"Jadi ... kalian bertengkar hanya karena perkara uang 800 ribu?" tanya ibu mertuaku melalui sambungan telepon.Benar saja dugaanku. Perkara dengan Galuh ternyata akan berbuntut panjang. Buktinya Ibunya Dio sampai rela meneleponku dari Singapura sana demi mengetahui masalah sebenarnya."Mama tahu, apa yang dilakukan Galuh itu tidak benar. Mama juga tidak setuju. Tapi... kamu harus tahu, kamu harus meminimalisir bermasalah dengan Galuh. Dia itu orangnya memang menyebalkan!" lanjutnya lagi."Iya, Mah. Maafkan aku. Tapi aku hanya tidak mau membeda-bedakan siapa pun. Aku juga ingin memberi pelajaran pada karyawanku bahwa tidak ada pengecualian di restoranku. Meski itu keluarga owner atau manejer bahkan staff sekali pun," terangku berusaha membela diri. Meski rasanya pasti sia-sia saja. Karena memang masalah dengan Galuh tetap saja sudah menjadi pembicaraan hangat di keluarga Airlangga."Iya, Sayang. Mamah mengerti. Sikapmu sudah benar, kok. Galuh begitu seenaknya padamu! Tapi ... demi keda
"Dio ..., Mas Juna masuk rumah sakit!" Setelah Kak Tari menelepon tadi, aku tidak bisa berpikir jernih. Kak Tari mengatakan bahwa Mas Juna kini berada di ICU, entah sakit apa. Tapi dia terus memanggil namaku dan nama Arsy katanya.Kak Tari memohon-mohon padaku agar bisa datang membawa Arsy. Takut tak ada kesempatan lain lagi nantinya.Jantungku berdebar kencang. Entahlah apa yang Kak Tari katakan adalah yang sesungguhnya atau tidak. Tapi ... jika itu benar, ada rasa bersalah di dadaku karena menahan-nahan waktu ibunya Mas Juna akan mengajak Arsy bertemu dengan ayahnya."Sakit apa? Kamu kata siapa, Aruni?" tanya Dio balik. Ia yang sebelumnya sedang konsentrasi dengan laptopnya mengangkat wajah menatapku, menunggu jawaban dariku."Baru saja Kak Tari meneleponku. Dia bilang Mas Juna dirawat di ICU. Aku gak tahu dia sakit apa. Tapi ... dia memohon supaya aku bisa membawa Arsy bertemu dengan Mas Juna di rumah sakit," terangku. Tentu saja aku tidak mengatakan perihal Mas Juna yang katanya
"Aruni ..., di mana Arsy?" Kenapa dia tidak bersamamu?" ujar Mas Juna terbata dengan sangat lemah dari balik masker oksigen yang menutupi mulutnya. Wajahnya terlihat pucat, tubuhnya begitu kurus, tampak tak terurus. Penampilannya sangat jauh berbeda dari saat kami masih berstatus suami istri dulu, juga saat terakhir kali aku melihatnya saat penangkapannya karena kasus narkoba.Ya, tadi Kak Tari memintaku untuk menemui Mas Juna masuk ke dalam ruang ICU. Lebih tepatnya ia memohon-mohon. Menurut Kak Tari, adiknya itu terus memanggil-manggil namaku, meminta untuk dapat bertemu denganku walau sekali saja.Atas seizin Dio, aku pun akhirnya berada di sini, di samping lelaki yang benar-benar tampak begitu tak berdaya itu."Arsy belum bisa ikut kemari, Mas. Besok, aku akan membawanya menemuimu! Kamu bertahanlah" jawabku dengan hati berdebar. Jujur aku sungguh merasa iba melihat kondisi lelaki yang sudah kukenal lebih dari 10 tahun itu yang kini tampak tak berdaya itu."Aruni ... Maafkan aku. A
"Bagaimana kondisi Arjuna? Apa saja yang kamu bicarakan dengannya tadi, Sayang?" tanya Dio yang kini sedang fokus dibelakang kemudinya. Setelah mendengar apa yang dibicarakan Mas Juna tadi, aku tak banyak bicara. Kepalaku sakit bukan main. Rasanya terlalu banyak yang harus aku pikirkan. Rahasia Dio dan sepupunya Galuh, masalah dengan keluarga Galuh, tekanan dari Ibunya Mas Juna yang masih menyalahkanku atas kondisi anaknya saat ini, lalu kini ditambah lagi tentang apa yang dikatakan Mas Juna tentang Om Satyo dan lelaki bernama Hendro itu. Arghh.. semuanya benar-benar memusingkan.Aku tak segera menjawab pertanyaan Dio, rasanya malas untuk membuka mulut ini dan mengatakan sesuatu. Tiba-tiba saja pikiranku tersentak saat Dio menggenggam tanganku dengan sebelah tangannya, sementara sebelahnya lagi menggenggam setir. "Are you okay, Honey? Dari tadi kamu ngelamun. Mikirin apa, sih?" tanya Dio sambil sesekali menatapku penuh khawatir."I'm okey, Dio! Sorry, aku lagi ga enak badan kayakn
"Sebenarnya acara apa itu, Dio?" tanyaku pada lelaki yang baru saja sampai dari tempat kerjanya saat ia juga ternyata menyampaikan undangan yang sama dari Om Erlang pada kami berdua.Aku benar-benar merasa curiga dengan undangan ini. Bukankah kemarin mereka masih mengibarkan bendera perang padaku, menuntut agar aku untuk meminta maaf atas kesalahan anaknya itu."Undangan biasa, kok, Sayang! Keluargaku kan memang suka mengadakan acara seperti ini. Sekalian katanya mereka ingin kenal denganmu!" terang Dio."Kamu yakin, Dio? Bukannya mereka kemarin masih menyindir-nyindir aku untuk meminta maaf pada Galuh, sekarang malah Galuh sendiri yang datang menemuiku untuk datang ke rumahnya. Seakan tak ada yang terjadi antara aku dan dia.""Mmmh... ya... pada dasarnya memang ini acara yang sering keluargaku adakan. Tapi.. acara besok memang sangat dadakan sekali. Bahkan semuanya baru dikabarkan sore tadi." Kini raut wajah Dio berubah serius. Ia pun mengernyitkan keningnya seakan berpikir keras."S
"Halo Aruni, perkenalkan saya Erlangga Putra Airlangga!" Suara bariton Om Erlang cukup membuatku terkesima saat pertama mendengarnya. Postur tubuhnya yang besar dan kekar sangat menampakkan sifat dominannya. Sekali lihat siapapun akan tahu bahwa dia adalah orang yang penuh kuasa.Om Erlang secara khusus menyambut kedatanganku dengan Dio. Ia menyunggingkan senyum yang tampak ramah saat menatapku. Meski jujur saja, senyumnya itu terlihat aneh terlukis di wajah sangarnya."Halo, Om... perkenalkan saya Aruni!" ucapku perlahan setelah Dio memberi isyarat agar aku membalas jabatan tangan dari Om Erlang."Kamu cantik sekali, Aruni!" puji Om Erlang yang masih tampak tersenyum menatapku."Terima kasih, Om!" Aku membalasnya dengan sebuah senyuman. Tapi entah mengapa aku merasa bahwa ucapannya bukanlah sebuah pujian."Maaf, ya, karena kami baru bisa menyambutmu menjadi keluarga sekarang, Aruni! Lagi pula Dio juga nih, menikah tanpa memberitahukan keluarga besar. Padahal kan seharusnya kamu mengu
"Aruni ..." Suara Galang yang menyebut namaku menggoyahkan pertahananku. Entah mengapa dia bisa terlihat begitu mengintimidasi. Padahal aku tidak mengenalnya sama sekali. Jantungku makin berdebar kencang. Bahkan kurasa kakiku pun melemah saking ketakutannya. Sebisa mungkin aku menguatkan diri untuk menghadapi Galang, anak dari Om Erlang itu. Meski takut, aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan kepadaku.Namun, tiba-tiba saja sebuah tangan memegang pundak belakangku, membuatku refleks melihat siapa itu. Ternyata Dio kini sudah ada tepat disampingku. Sebuah rasa lega seketika memenuhi jantungku. Aku sangat bersyukur Dio datang di saat yang tepat."Ayo, kita pulang. Aku sudah pamit pada Om Erlang dan lainnya tadi!" ucap Dio dengan amat tegas sambil menatap tajam Galang yang kini berdiri angkuh di hadapan kami dengan senyuman yang sekan merendahkan.Tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Galang, Dio menarik lenganku dan dengan cepat membawaku pergi meninggalkan lelaki demgan t
Sepulang dari pemakaman aku meminta waktu untuk beristirahat tanpa ingin diganggu siapa pun. Aku bahkan sudah meminta cuti untuk dua hari ke depan dari kantor karena rasanya saat ini aku tak bisa berpikir dengan baik.Dio menatapku penuh khawatir karena aku begitu murung dan lesu."Apa kamu sakit, Aruni? Kamu begitu lesu sejak kita pulang dari pemakaman tadi." Lelaki itu memegang keningku. Membandingkan suhu tubuhku dengannya. "Kamu gak demam, sepertinya kamu hanya kelelahan, Sayang! Kalau begitu istirahat, ya! Jangan terlalu banyak pikiran!" Dio mengusap kepalaku dan mengecupnya lembut. Lalu dengan penuh hati-hati lelaki yang belum setengah tahun menjadi suamiku itu menutupi tubuhku dengan selimut. Memastikan aku beristirahat dengan nyaman di kasur. Tak lama ia pun pamit pergi untuk kembali bekerja dan membiarkanku sendirian seperti yang aku minta sebelumnya.Dio memang baik, tapi bagiku saat ini kebaikannya hanya topeng untuk menutupi sesuatu yang besar yang sudah ia rencanakan yan