"Sudah ... kita tak usah membicarakan masalah itu lagi. Khawatir Aruni akan mendengar!" ucap Dio tampak mengakhiri pembicaraan.Aku yang masih duduk tepat di belakangnya hanya bisa menahan sesak di dada, penuh tanda tanya tentang apa semua ini.Tak ingin Dio tahu jika aku mendengarkan pembicaraan mereka, aku pun bergegas bangkit. Dengan kangkah seribu aku kembali ke toilet dan menenangkan diri sejenak.Sungguh aku tak bisa berpikir tentang kemungkinan apa pun dari apa yang barusan dibicarakan Dio dan Galuh. Tentang rencananya juga tentang Om Satyo.Tapi firasatku mengatakan ini bukanlah hal positif. Tak akan pernah ada hal baik yang disembunyikan seperti ini."Lama sekali kamu di toilet! Betah ya?" Tiba-tiba saja pintu toilet terbuka dan kulihat Galuh masuk dengan mimik sinisnya menatapku."Suamimu sampai memintaku menyusul karena khawatir kamu kenapa-kenapa. Merepotkan sekali!" lanjutnya lagi sambil melipat kedua tangan di dada.Karena rasa sesak di dada yang masih menggumpal, aku ta
Pagi ini karena masih kesal dengan Dio aku meninggalkannya dan memilih sarapan terlebih dahulu. Lalu saat Dio datang menyusul aku pun memilih untuk meninggalkannya. Rasanya masih malas untuk dekat-dekat dengannya. Walau sebenarnya ada rasa sedih di hati karena sikapku ini tentu menghancurkan momen honey moonku sendiri. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri akan rasa kecewa dan sedih yang aku rasakan sendiri.Saat baru saja sampai di kamar, ponselku berdering. Aku yakin pasti dari Dio, dia mungkin mau membujukku untuk kembali ke restoran hotel dan menemaninya makan.Tapi saat kulihat, bukannya nama Dio yang tertera di layar ponsel, melainkan nama Bapak. Segera saja kutelan tombol hijau agar dapat segera tersambung dengan lelaki yang merupakan ayah kandungku itu."Aruni ..., kapan kau akan pulang dari Bali?" tanya Bapak melalui telepon dari seberang sana. "Ada apa memang, Pak? Rencananya aku dan Dio akan pulang 3 hari lagi," terangku. Seingatku aku sudah mengatakan pada orang-or
Jam sudah menunjukkan pukul 18 saat kami akhirnya sampai di rumah. Dio menepati perkataannya untuk pulang hari ini juga demi memastikan Arsy aman.Sepanjang perjalanan aku dan Dio tak banyak bicara. Aku sungguh malas untuk melakukan percakapan dengannya. Di pikiranku berkecamuk banyak hal. Tentang maksud dan tujuan ibunya Mas Juna yang sampai datang setiap hari ke rumah dan mengajak Arsy ke lembaga pemasyarakatan, juga tentu saja tentang percakapan Dio dan Galuh yang masih menjadi misteri.Bicara tentang Galuh, aku jadi teringat, sebelum kami pulang tadi wanita itu sempat menemui kami di bandara. Mungkin Dio mengabari tentang kepulangan kami yang mendadak padanya."Jadi kamu pulang hanya karena khawatir pada anaknya wanita itu?" tanya Galuh dengan raut tak sukanya seperri biasa. Dia kali ini mengenakan dress berwarna merah muda sepaha, warna rambutnya membuatnya cukup kontras dengan warna pakaiannya. Tapi Galuh tetap terlihat penuh percaya diri.Lalu kemudian Galuh dan Dio menjauh dar
Aku menunggu Om Satyo di sebuah lobi hotel tempatnya menginap. Om Satyo hanya beberapa hari saja berada di sini katanya. Dua hari lagi ia akan kembali ke Kalimantan untuk mengurusi bisnisnya yang banyak yang berada di banyak bidang itu. Dan keberadaan beliau di sini memang sedang ada urusan bisnis lainnya yang memerlukan kehadirannya.Ya ... Om Satyo memang sesibuk itu. Setiap minggunya pasti tidak akan ada di satu tempat yang sama. Maka dari itu waktunya begitu berharga.Lelaki berusia akhir 40-an berjalan dengan gagah sambil tersenyum menatapku. Om Satyo tampak gagah dengan memakai kemeja berwarna cream yang menempel sempurna di tubuhnya. Meski sudah cukup berumur, ia masih sangat terlihat gagah, segar dan tampan. Rambutnya yang mulai memutih malah membuat penampilannya semakin menarik."Kamu sudah lama menunggu, Aruni?" tanya Om Satyo sambil menyambutku dan memberi pelukan erat."Enggak kok, Om! Aku juga baru sampai!""Syukurlah kalau begitu! Lalu ... kenapa kamu sudah kembali? Buk
"Jadi ... sebenarnya ada apa, Aruni?" selidik Om Satyo menatapku dengan tatapan penasaran. "Mmmh... katakan saja padaku Om, apa Om mengenal keluarga Dio? Karena kemarin kan saat menikah yang datang hanya keluatga intinya saja. Dan aku pun sama sekali belum pernah dikenalkan dengan keluarga besarnya," jawabku mencari alasan.Om Satyo menatap mataku dalam. Tampak menyelami, sampai aku salah tingkah dibuatnya. Apa Om Satyo tahu bahwa ada yang aku sembunyikan?"Sepertinya Om kenal salah satunya, atau beberapa. Yang tengah ini namanya Hendro Airlangga dan ini istrinya, Juni," terangnya sambil menunjuk sosok yang kutebal adalah kakek dan neneknya."Om kenal? Siapa mereka?" Om Satyo menghembuskan nafas berat. Tak langsung menjawabnya."Dia sahabat karib kakekmu. Mereka bersahabat sejak kecil. Aku tidak tahu kalau ternyata Dio adalah cucunya Om Hendro." Om Satyo kembali memerhatikan foto keluarga di ponselku. Tampak sedang mengamati lagi.Jadi ternyata keluarga Dio ada hubungannya dengan ke
"Kenapa sih ibu ngotot sekali ingin membawa Arsy ke lapas? Aku dengar beberapa hari yang lalu pun ibu sudah datang kemari hanya untuk mengajak Arsy ke lapas!" Aku masih mencoba tetap tenang. Mencari tahu apa alasan di balik kegigihannya membawa Arsy."Memangnya apa yang salah? Aku mau membawa cucuku bertemu dengan ayahnya apa tidak boleh? Arjuna merindukan anaknya. Tidakkah kamu tahu bagaimana menderitanya dia berada di lapas seorang diri! Coba saja kamu tidak melaporkannya malam itu, semuanya tidak akan begini jadinya!" jawab Ibu dengan nada menahan kesal.Hah ... rasanya aku sudah bosan dengan pola pikirnya yang selalu menyalahkanku atas semua yang terjadi pada anak kesayangannya itu. "Ya ... itu salah, Bu! Karena selama ini Arsy dan Arjuna tidak pernah benar-benar menjadi ayah dan anak kecuali hanya karena darah Arjuna mengalir di tubuh Arsy.""Apa maksudmu, Aruni? Sudah jelas-jelas darah Arjuna yang mengalir di tubuh Arsy itu lebih kuat dari apa pun!" Mata Ibu melotot sempurna, t
"Bagaimana harimu hari ini, Aruni?" tanya Dio sambil memeluk pinggangku saat aku sedang asyik menyiapkan makan malam di dapur."Dio... malu! Bagaimana kalau ada yang lihat?" Aku berusaha melepas pelukan lelaki yang baru saja pulang kerja itu. Bahkan tasnya saja masih ia jinjing. Aku tidak mengetahui kedatangannya yang lebih cepat dari jam yang ia beritahukan sebelumnya melalui pesan. Maka aku memilih untuk bersiap saja di dapur.Sekuat tenaga aku berusaha melepas pelukan Dio. Sungguh rasanya benar-benar malu, takut kalau sampai ada yang melihat apa yang dilakukan suamiku itu. Apalagi jika itu adalah Arsy atau Bapak. Meski yang kami lakukan sudah halal, tapi tetap saja rasanya risi jika sampai terlihat orang.Dio tampak cemberut saat aku berhasil lepas sempurna dari pelukannya. Ia memasang wajah kecewa."Aku kan kangen sama kamu, Aruni! Masa peluk sedikit saja tidak boleh?!" Dio merajuk seperti anak kecil yang menginginkan sesuatu tapi dilarang oleh orang tuanya."Bukannya tidak boleh,
Usulan Dio yang ingin berbulan madu lagi tentu saja kutolak mentah-mentah. Selain karena kesal dan marah pada lelaki itu, aku juga tak mungkin meninggalkan bisnisku lebih lama lagi. Selain itu masih ada banyak hal yang harus aku lakukan di dunia nyata. Ayolah... hidup bukan melulu harus di habiskan berdua saja.Aku harus memastikan Juara Food Company tetap berjalan baik dan malah lebih baik lagi. Bisnis frozen food kami sekarang merambah semakin besar. Bahkan aku sedang berencana membuka kemitraan terkait restoran siap saji yang sedang aku rintis ini.Dio tentu saja tidak terima begitu saja keputusanku. Sepanjang malam dia terus membujukku untuk berbulan madu lagi. Tapi setelah kuingatkan soal pekerjaannya yang sama menumpuknya denganku, dia pun akhirnya berhenti membicarakannya.Setelah menitipkan beberapa pesan pada Bi Susi dan Bapak untuk memastikan bahwa Arsy akan aman tanpa diganggu lagi oleh kehadiran neneknya, aku pun mulai berangkat kerja ke kantor Juara Food Company. Banyak s
Setelah 10 hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Dio diperbolehkan pulang. Tapi dengan catatan ia masih harus beristirahat dan tidak boleh banyak beraktivitas.Ayah dan Ibunya Dio telah menunggu kepulangan kami di rumah. Mereka sengaja menunggu Dio benar-benar pulih dulu baru datang ke Indonesia untuk menjenguk anaknya yang pernah hampir kehilangan nyawa itu.Saat pertama bertemu, Ayah dan Ibu seketika menghambur memeluk Dio juga aku diiringi dengan tangisan. Mereka begitu bersyukur karena kami masih diberi keselamatan dan umur yang panjang."Erlang itu memang keterlaluan! Sudah kubilang berkali-kali, membalas dendam hanya akan membuat kehancuran saja. Dan sekarang dia menanggung semuanya, kan?" ujar Ibunya Dio yang juga dengan penuh penyesalan. Ibunya Dio adalah adik dari Om Erlang yang juga merupakan kakak langsung dari Tante Astri. Menurut Ibu, ia juga begitu terluka akan kepergian adiknya. Bahkan Ibu sampai harus mengkonsumsi obat penenang selama satu tahun karena belum bisa mene
"Bagaimana kabar Dio?" tanyaku entah untuk yang ke berapa kalinya pada Fania sepupu Dio yang sedang menemaniku di rumah sakit.Sudah dua hari ini aku dan Dio mendapatkan perawatan setelah kejadian penyanderaan malam itu. Beruntung aku hanya kelelahan dan dehidrasi saja. Juga mendapatkan perawatan atas luka bakar yang diberikan Om Erlang di pahaku. Sedangkan Dio pagi tadi harus menjalani opersi besar karena livernya terluka akibat serangan yang ia terima saat menolongku."Dio masih belum sadar, tapi kata dokter kondisinya sudah stabil sekarang." Kabar dari Fania cukup membuat aku lega, sungguh yang aku takutkan saat ini adalah kehilangan Dio setelah semua yang terjadi pada kami."Tenang, Dio pasti akan baik-baik saja. Operasinya sudah berhasil. Dan Dio pasti akan pulih dengan cepat, Aruni." Sepertinya Fania melihat kegelisahanku. Sambil menggenggam tanganku, wanita yang memang selalu ceria di setiap suasana itu berusaha menenangkanku."Terima kasih, Fania. Terima kasih atas semua dukun
"Kamu tahu Aruni, sekian tahun aku memikirkan bagaimana cara terbaik untuk membalaskan dendamku ini. Sekian lama aku mencari siapa orang yang disayangi oleh Satyo, hingga akhirnya aku tahu tentangmu. Keponakan Satyo yang baru saja berkembang. Yang dijaga dan selalu diawasi Satyo. Aku mencari tahu tentangmu. Mencari cara bagaimana bisa mendekatimu. Sampai aku harus mendatangi mantan suamimu. Tapi semuanya nihil tidak berhasil!" lanjut Om Erlang lagi dengan menggebu-gebu. "Tapi ternyata takdir baik berpihak padaku. Tiba-tiba saja kudengar kamu menikah dengan Dio, keponakanku sendiri. Kamu seolah datang dan menyerahkan dirimu sendiri ke tanganku Aruni," Om Erlang kini membelai rambutku dengan lembut. Tapi seketika menimbulkan perasaan takut yang amat sangat pada diriku."Terima kasih Aruni! Terima kasih karena kau telah datang sendiri padaku!" ucap Om Erlang lagi dengan amat puas.Saat ini aku hanya bisa menangis. Puluhan rasa menjadi satu. Takut, bingung, sedih, marah kecewa semuanya k
Entah sudah berapa jam aku menunggu di dalam ruangan gelap dan pengap ini. Galang meninggalkanku begitu saja setelah ia mendapat telepon yang entah dari siapa tadi saat matahari masih cukup terang hingga kini sudah gelap gulita.Badanku kini terasa makin lemah aku teringat sejak pagi tadi belum mengkonsumsi apa pun karena memang tak nafsu. Belum lagi aku juga terus berusaha untuk melepaskan ikatan di badanku meski sama sekali tak ada perubahan apa pun.Sungguh rasanya aku hampir putus asa, sepertinya sebentar lagi aku akan menghadapi ajal dengan cara yang mengenaskan begini.Saat sedang meratapi nasib, tiba-tiba terdengar sebuah mobil mendekat. Aku terus berusaha untuk tetap waspada. Entah kali ini apa yang akan terjadi padaku.Tak lama pintu pun terbuka, kulihat Om Erlang yang kupastikan otak dari semua ini datang menghampiri.Dengan begitu tenang, seolah tak terjadi apa pun, lelaki itu tersenyum manis padaku. "Aruni ... bagaimana rasanya berada di sini dengan keadaan terikat begini
Sepulang dari pemakaman aku meminta waktu untuk beristirahat tanpa ingin diganggu siapa pun. Aku bahkan sudah meminta cuti untuk dua hari ke depan dari kantor karena rasanya saat ini aku tak bisa berpikir dengan baik.Dio menatapku penuh khawatir karena aku begitu murung dan lesu."Apa kamu sakit, Aruni? Kamu begitu lesu sejak kita pulang dari pemakaman tadi." Lelaki itu memegang keningku. Membandingkan suhu tubuhku dengannya. "Kamu gak demam, sepertinya kamu hanya kelelahan, Sayang! Kalau begitu istirahat, ya! Jangan terlalu banyak pikiran!" Dio mengusap kepalaku dan mengecupnya lembut. Lalu dengan penuh hati-hati lelaki yang belum setengah tahun menjadi suamiku itu menutupi tubuhku dengan selimut. Memastikan aku beristirahat dengan nyaman di kasur. Tak lama ia pun pamit pergi untuk kembali bekerja dan membiarkanku sendirian seperti yang aku minta sebelumnya.Dio memang baik, tapi bagiku saat ini kebaikannya hanya topeng untuk menutupi sesuatu yang besar yang sudah ia rencanakan yan
"Aruni ..." Suara Galang yang menyebut namaku menggoyahkan pertahananku. Entah mengapa dia bisa terlihat begitu mengintimidasi. Padahal aku tidak mengenalnya sama sekali. Jantungku makin berdebar kencang. Bahkan kurasa kakiku pun melemah saking ketakutannya. Sebisa mungkin aku menguatkan diri untuk menghadapi Galang, anak dari Om Erlang itu. Meski takut, aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan kepadaku.Namun, tiba-tiba saja sebuah tangan memegang pundak belakangku, membuatku refleks melihat siapa itu. Ternyata Dio kini sudah ada tepat disampingku. Sebuah rasa lega seketika memenuhi jantungku. Aku sangat bersyukur Dio datang di saat yang tepat."Ayo, kita pulang. Aku sudah pamit pada Om Erlang dan lainnya tadi!" ucap Dio dengan amat tegas sambil menatap tajam Galang yang kini berdiri angkuh di hadapan kami dengan senyuman yang sekan merendahkan.Tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Galang, Dio menarik lenganku dan dengan cepat membawaku pergi meninggalkan lelaki demgan t
"Halo Aruni, perkenalkan saya Erlangga Putra Airlangga!" Suara bariton Om Erlang cukup membuatku terkesima saat pertama mendengarnya. Postur tubuhnya yang besar dan kekar sangat menampakkan sifat dominannya. Sekali lihat siapapun akan tahu bahwa dia adalah orang yang penuh kuasa.Om Erlang secara khusus menyambut kedatanganku dengan Dio. Ia menyunggingkan senyum yang tampak ramah saat menatapku. Meski jujur saja, senyumnya itu terlihat aneh terlukis di wajah sangarnya."Halo, Om... perkenalkan saya Aruni!" ucapku perlahan setelah Dio memberi isyarat agar aku membalas jabatan tangan dari Om Erlang."Kamu cantik sekali, Aruni!" puji Om Erlang yang masih tampak tersenyum menatapku."Terima kasih, Om!" Aku membalasnya dengan sebuah senyuman. Tapi entah mengapa aku merasa bahwa ucapannya bukanlah sebuah pujian."Maaf, ya, karena kami baru bisa menyambutmu menjadi keluarga sekarang, Aruni! Lagi pula Dio juga nih, menikah tanpa memberitahukan keluarga besar. Padahal kan seharusnya kamu mengu
"Sebenarnya acara apa itu, Dio?" tanyaku pada lelaki yang baru saja sampai dari tempat kerjanya saat ia juga ternyata menyampaikan undangan yang sama dari Om Erlang pada kami berdua.Aku benar-benar merasa curiga dengan undangan ini. Bukankah kemarin mereka masih mengibarkan bendera perang padaku, menuntut agar aku untuk meminta maaf atas kesalahan anaknya itu."Undangan biasa, kok, Sayang! Keluargaku kan memang suka mengadakan acara seperti ini. Sekalian katanya mereka ingin kenal denganmu!" terang Dio."Kamu yakin, Dio? Bukannya mereka kemarin masih menyindir-nyindir aku untuk meminta maaf pada Galuh, sekarang malah Galuh sendiri yang datang menemuiku untuk datang ke rumahnya. Seakan tak ada yang terjadi antara aku dan dia.""Mmmh... ya... pada dasarnya memang ini acara yang sering keluargaku adakan. Tapi.. acara besok memang sangat dadakan sekali. Bahkan semuanya baru dikabarkan sore tadi." Kini raut wajah Dio berubah serius. Ia pun mengernyitkan keningnya seakan berpikir keras."S
"Bagaimana kondisi Arjuna? Apa saja yang kamu bicarakan dengannya tadi, Sayang?" tanya Dio yang kini sedang fokus dibelakang kemudinya. Setelah mendengar apa yang dibicarakan Mas Juna tadi, aku tak banyak bicara. Kepalaku sakit bukan main. Rasanya terlalu banyak yang harus aku pikirkan. Rahasia Dio dan sepupunya Galuh, masalah dengan keluarga Galuh, tekanan dari Ibunya Mas Juna yang masih menyalahkanku atas kondisi anaknya saat ini, lalu kini ditambah lagi tentang apa yang dikatakan Mas Juna tentang Om Satyo dan lelaki bernama Hendro itu. Arghh.. semuanya benar-benar memusingkan.Aku tak segera menjawab pertanyaan Dio, rasanya malas untuk membuka mulut ini dan mengatakan sesuatu. Tiba-tiba saja pikiranku tersentak saat Dio menggenggam tanganku dengan sebelah tangannya, sementara sebelahnya lagi menggenggam setir. "Are you okay, Honey? Dari tadi kamu ngelamun. Mikirin apa, sih?" tanya Dio sambil sesekali menatapku penuh khawatir."I'm okey, Dio! Sorry, aku lagi ga enak badan kayakn