"Bagaimana harimu hari ini, Aruni?" tanya Dio sambil memeluk pinggangku saat aku sedang asyik menyiapkan makan malam di dapur."Dio... malu! Bagaimana kalau ada yang lihat?" Aku berusaha melepas pelukan lelaki yang baru saja pulang kerja itu. Bahkan tasnya saja masih ia jinjing. Aku tidak mengetahui kedatangannya yang lebih cepat dari jam yang ia beritahukan sebelumnya melalui pesan. Maka aku memilih untuk bersiap saja di dapur.Sekuat tenaga aku berusaha melepas pelukan Dio. Sungguh rasanya benar-benar malu, takut kalau sampai ada yang melihat apa yang dilakukan suamiku itu. Apalagi jika itu adalah Arsy atau Bapak. Meski yang kami lakukan sudah halal, tapi tetap saja rasanya risi jika sampai terlihat orang.Dio tampak cemberut saat aku berhasil lepas sempurna dari pelukannya. Ia memasang wajah kecewa."Aku kan kangen sama kamu, Aruni! Masa peluk sedikit saja tidak boleh?!" Dio merajuk seperti anak kecil yang menginginkan sesuatu tapi dilarang oleh orang tuanya."Bukannya tidak boleh,
Usulan Dio yang ingin berbulan madu lagi tentu saja kutolak mentah-mentah. Selain karena kesal dan marah pada lelaki itu, aku juga tak mungkin meninggalkan bisnisku lebih lama lagi. Selain itu masih ada banyak hal yang harus aku lakukan di dunia nyata. Ayolah... hidup bukan melulu harus di habiskan berdua saja.Aku harus memastikan Juara Food Company tetap berjalan baik dan malah lebih baik lagi. Bisnis frozen food kami sekarang merambah semakin besar. Bahkan aku sedang berencana membuka kemitraan terkait restoran siap saji yang sedang aku rintis ini.Dio tentu saja tidak terima begitu saja keputusanku. Sepanjang malam dia terus membujukku untuk berbulan madu lagi. Tapi setelah kuingatkan soal pekerjaannya yang sama menumpuknya denganku, dia pun akhirnya berhenti membicarakannya.Setelah menitipkan beberapa pesan pada Bi Susi dan Bapak untuk memastikan bahwa Arsy akan aman tanpa diganggu lagi oleh kehadiran neneknya, aku pun mulai berangkat kerja ke kantor Juara Food Company. Banyak s
"Lihat itu, bos kalian datang! Kalian semua pasti akan dipecat dari restoran ini karena bertindak sewenang-wenang padaku!"Saat aku datang, Galuh langsung menyambutku dengan sikap penuh angkuhnya itu lagi. Kembali mengancam karyawanku.Saat ini Galuh sudah diamankan di ruang karyawan agar kondisi restoran lebih kondusif tidak terganggu oleh keributan yang dibuat oleh sepupu iparku itu."Ada apa ini?" Aku kembali mengkonfirmasi tentang apa yang terjadi pada karyawanku. Fani, manajer operasional langsung menjelaskan duduk permasalahannya. Menurut Fani, saat Galuh selesai makan ia langsung melenggang pulang tanpa membayar yang telah dimakan olehnya dan teman-temannya. Saat Dewi yang bertugas sebagai kasir menegurnya, Galuh seketika marah-marah hebat dan mengatakan bahwa ia adalah saudaraku dan tetap kekeh tidak mau membayar apa yang telah masuk ke dalam perutnya.Aku menarik nafas panjang setelah mendengar penuturan Fani. Mengumpulkan segenap kesabaran di dada."Sebaiknya kamu pecat saj
"Jadi ... kalian bertengkar hanya karena perkara uang 800 ribu?" tanya ibu mertuaku melalui sambungan telepon.Benar saja dugaanku. Perkara dengan Galuh ternyata akan berbuntut panjang. Buktinya Ibunya Dio sampai rela meneleponku dari Singapura sana demi mengetahui masalah sebenarnya."Mama tahu, apa yang dilakukan Galuh itu tidak benar. Mama juga tidak setuju. Tapi... kamu harus tahu, kamu harus meminimalisir bermasalah dengan Galuh. Dia itu orangnya memang menyebalkan!" lanjutnya lagi."Iya, Mah. Maafkan aku. Tapi aku hanya tidak mau membeda-bedakan siapa pun. Aku juga ingin memberi pelajaran pada karyawanku bahwa tidak ada pengecualian di restoranku. Meski itu keluarga owner atau manejer bahkan staff sekali pun," terangku berusaha membela diri. Meski rasanya pasti sia-sia saja. Karena memang masalah dengan Galuh tetap saja sudah menjadi pembicaraan hangat di keluarga Airlangga."Iya, Sayang. Mamah mengerti. Sikapmu sudah benar, kok. Galuh begitu seenaknya padamu! Tapi ... demi keda
"Dio ..., Mas Juna masuk rumah sakit!" Setelah Kak Tari menelepon tadi, aku tidak bisa berpikir jernih. Kak Tari mengatakan bahwa Mas Juna kini berada di ICU, entah sakit apa. Tapi dia terus memanggil namaku dan nama Arsy katanya.Kak Tari memohon-mohon padaku agar bisa datang membawa Arsy. Takut tak ada kesempatan lain lagi nantinya.Jantungku berdebar kencang. Entahlah apa yang Kak Tari katakan adalah yang sesungguhnya atau tidak. Tapi ... jika itu benar, ada rasa bersalah di dadaku karena menahan-nahan waktu ibunya Mas Juna akan mengajak Arsy bertemu dengan ayahnya."Sakit apa? Kamu kata siapa, Aruni?" tanya Dio balik. Ia yang sebelumnya sedang konsentrasi dengan laptopnya mengangkat wajah menatapku, menunggu jawaban dariku."Baru saja Kak Tari meneleponku. Dia bilang Mas Juna dirawat di ICU. Aku gak tahu dia sakit apa. Tapi ... dia memohon supaya aku bisa membawa Arsy bertemu dengan Mas Juna di rumah sakit," terangku. Tentu saja aku tidak mengatakan perihal Mas Juna yang katanya
"Aruni ..., di mana Arsy?" Kenapa dia tidak bersamamu?" ujar Mas Juna terbata dengan sangat lemah dari balik masker oksigen yang menutupi mulutnya. Wajahnya terlihat pucat, tubuhnya begitu kurus, tampak tak terurus. Penampilannya sangat jauh berbeda dari saat kami masih berstatus suami istri dulu, juga saat terakhir kali aku melihatnya saat penangkapannya karena kasus narkoba.Ya, tadi Kak Tari memintaku untuk menemui Mas Juna masuk ke dalam ruang ICU. Lebih tepatnya ia memohon-mohon. Menurut Kak Tari, adiknya itu terus memanggil-manggil namaku, meminta untuk dapat bertemu denganku walau sekali saja.Atas seizin Dio, aku pun akhirnya berada di sini, di samping lelaki yang benar-benar tampak begitu tak berdaya itu."Arsy belum bisa ikut kemari, Mas. Besok, aku akan membawanya menemuimu! Kamu bertahanlah" jawabku dengan hati berdebar. Jujur aku sungguh merasa iba melihat kondisi lelaki yang sudah kukenal lebih dari 10 tahun itu yang kini tampak tak berdaya itu."Aruni ... Maafkan aku. A
"Bagaimana kondisi Arjuna? Apa saja yang kamu bicarakan dengannya tadi, Sayang?" tanya Dio yang kini sedang fokus dibelakang kemudinya. Setelah mendengar apa yang dibicarakan Mas Juna tadi, aku tak banyak bicara. Kepalaku sakit bukan main. Rasanya terlalu banyak yang harus aku pikirkan. Rahasia Dio dan sepupunya Galuh, masalah dengan keluarga Galuh, tekanan dari Ibunya Mas Juna yang masih menyalahkanku atas kondisi anaknya saat ini, lalu kini ditambah lagi tentang apa yang dikatakan Mas Juna tentang Om Satyo dan lelaki bernama Hendro itu. Arghh.. semuanya benar-benar memusingkan.Aku tak segera menjawab pertanyaan Dio, rasanya malas untuk membuka mulut ini dan mengatakan sesuatu. Tiba-tiba saja pikiranku tersentak saat Dio menggenggam tanganku dengan sebelah tangannya, sementara sebelahnya lagi menggenggam setir. "Are you okay, Honey? Dari tadi kamu ngelamun. Mikirin apa, sih?" tanya Dio sambil sesekali menatapku penuh khawatir."I'm okey, Dio! Sorry, aku lagi ga enak badan kayakn
"Sebenarnya acara apa itu, Dio?" tanyaku pada lelaki yang baru saja sampai dari tempat kerjanya saat ia juga ternyata menyampaikan undangan yang sama dari Om Erlang pada kami berdua.Aku benar-benar merasa curiga dengan undangan ini. Bukankah kemarin mereka masih mengibarkan bendera perang padaku, menuntut agar aku untuk meminta maaf atas kesalahan anaknya itu."Undangan biasa, kok, Sayang! Keluargaku kan memang suka mengadakan acara seperti ini. Sekalian katanya mereka ingin kenal denganmu!" terang Dio."Kamu yakin, Dio? Bukannya mereka kemarin masih menyindir-nyindir aku untuk meminta maaf pada Galuh, sekarang malah Galuh sendiri yang datang menemuiku untuk datang ke rumahnya. Seakan tak ada yang terjadi antara aku dan dia.""Mmmh... ya... pada dasarnya memang ini acara yang sering keluargaku adakan. Tapi.. acara besok memang sangat dadakan sekali. Bahkan semuanya baru dikabarkan sore tadi." Kini raut wajah Dio berubah serius. Ia pun mengernyitkan keningnya seakan berpikir keras."S