Aku tak menyangka di perumahan ini aku bisa bertemu lagi dengan Dio. Lelaki yang selalu aku sesali kenapa tak bisa memilikinya.Dio pernah berniat serius padaku. Namun sayang ketika itu aku sudah bertunangan dengan Mas Gilang. Lalu saat Mas Gilang sudah meninggal, kami pernah cukup intens lagi berhubungan. Dio masih belum menikah. Dio nampak perhatian padaku anak-anakku. Sering dia mengunjungiku dan mengajak anak-anak bermain. Ia dulu juga rutin mengirimkan uang untuk biaya anak-anak yang telah menjadi yatim katanya.Kukira hubungan kami akan berlanjut lagi. Tapi tidak. Ia lalu hilang begitu saja bagai ditelan bumi.Lalu tanpa diduga kami akhirnya bertemu lagi di perumahan sini. Betapa aku senang sekali bisa dekat lagi dengannya. Namun ternyata sebuah kenyataan lainnya menamparku, Dio bersama Aruni. Entah mereka punya hubungan apa. Karena mereka terlihat begitu dekat. Sampai suatu hari, Arsy anak Aruni dan Mas Juna sakit. Semua orang di komplek ini mengajak untuk menjenguknya di rum
Epilog 2Betapa aku kesal pada Ismi. Aku menjadikannya istri dengan harapan bisa menghemat pengeluaran tapi ia malah tidak mengertindan terus menututku untuk memberinya uang. Padahal saat ini tempatku bekerja sebagai marketing di perusahaan otomotif perlahan mulai mengurangi gaji pegawainya karena penjualan yang terus merosot tajam.Ibu memberi saran agar aku menikahinya saja. Maka pengeluaran bulanan akan lebih hemat, dan aku pun akan ada yang mengurusi.Namun apa yang terjadi, setelah menikah dia malah terus mengeluh kekurangan uang. Baru saja sebulan menikah, pengeluaran sudah melebihi 6 juta. Aku tak habis pikir bagaimana cara Ismi mengelola keuangan. Sedangkan anak-anaknya pun belum ada yang sekolah.Gajiku yang hanya 5 juta sebulannya tentu tak akan mencukupi semuanya. Dari mana aku harus menutupi kekurangannya?Terpakasa aku harus pinjam sana sini walau harus menanggung malu. Sungguh rasanya lebih mudah saat kami tidak menikah seperti dulu.Hal ini juga membuatku rindu pada sos
"Kamu tahu ... apa yang menarik dari Bali?" tanya Dio saat kami sedang menatap sunset di pinggir pantai Seminyak, Bali.Langit tampak begitu indah dengan awan kemerahan yang begitu memanjakan mata berpadu dengan suara deburan ombak yang mengalun merdu membuat suasana hati menjadi tenang.Ini pertama kalinya bagiku menginjak tanah Bali. Sedari kecil Bali bagiku adalah tempat wisata yang tak terjangkau. Pun saat aku sudah mulai memiliki bisnis sendiri, rasanya tak ada waktu untuk sekedar berwisata seperti ini.Jadi saat Dio menawarkan untuk berbulan madu ke Eropa, aku menolak mentah-mentah dan memilih ke Bali saja karena belum pernah sama sekali melihat pantai Bali."Ya ... tentu saja semua ini, kan... pantainya, lautnya, sunsetnya dan... ragam budayanya," jawabku sambil menatap Dio yang tampak tampan dengan kemeja pantai berwarna jingga yang dibelinya di pedagang kaki lima sambil merebahkan badan di kursi santai."Bukan ... Bali selalu menarik karena penuh dengan kisah cinta. Coba liha
"Galuh ... kamu sedang apa di sini?" Dio seketika mendekat wanita dengan pakaian minim itu sambil tersenyum lebar. Wajahnya seketika berubah hangat. Lantas mereka pun saling berpelukan dan mencium pipi, tampak sangat akrab sekali.Sungguh ada sebersit rasa tak suka saat melihat Dio sangat dekat dengan wanita yang hanya memakai pakaian dalam saja itu. Aku saja yang wanita merasa risi dan malu melihatnya. Meski memang di Bali hal seperti itu sudah menjadi pemandangan yang biasa saja. Tapi ... aku tak pernah berharap akan melihat suamiku sendiri saling berpelukan dengan salah satu dari mereka."Aku baru saja landing dari Ausie kemarin, sebelum pulang aku ingin liburan dulu beberapa hari di sini," jawab wanita bernama Galuh itu sambil mengibaskan rambut pirang panjangnya."Dia siapa? Istrimu?" Wanita itu melirik ke arahku dengan tatapan sinis. Seakan ia tak suka menatapku."Ah... iya.. dia Aruni, istriku!" Dio seketika menarik lenganku, memintaku untuk mendekat. "Sayang, perkenalkan ini
"Kamu sudah cantik, kok, Sayang...." ucap Dio seraya melingkarkan tangannya di pinggangku yang sedang mematut diri di cermin sebelum kami beranjak pergi ke restoran untuk dinner bersama Galuh, sepupu sexynya itu.Aku masih menyimpan kesal pada Dio akan kejadian siang tadi. Maka kukibaskan saja lengannya dari pinggangku. Belum lagi aku juga malas ikut di dinner ini untuk bertemu dengan Galuh. Terbayang bagaimana nanti wanita itu akan menatapku.Tapi aku tak punya pilihan. Dio memaksaku untuk ikut. Dan aku juga tak mau kalau Dio hanya berduaan dengan Galuh, apalagi jika ternyata Galuh memakai pakaian sexy lagi seperti siang tadi.Dio memasang wajah cemberut saat dengan sengaja kulepaskan tangannya tadi. Tapi aku tahu dia tidak benar-benar marah. Lelaki itu lalu mengapit lenganku erat dan menuntunku untuk segera turun ke parkiran dan berangkat ke restoran."Semangat, Sayang... Makanan di restoran yang kita tuju itu, enak-enak, loh! Pokoknya, kita nikmati saja malam ini, ya!" Dio kembali
"Sudah ... kita tak usah membicarakan masalah itu lagi. Khawatir Aruni akan mendengar!" ucap Dio tampak mengakhiri pembicaraan.Aku yang masih duduk tepat di belakangnya hanya bisa menahan sesak di dada, penuh tanda tanya tentang apa semua ini.Tak ingin Dio tahu jika aku mendengarkan pembicaraan mereka, aku pun bergegas bangkit. Dengan kangkah seribu aku kembali ke toilet dan menenangkan diri sejenak.Sungguh aku tak bisa berpikir tentang kemungkinan apa pun dari apa yang barusan dibicarakan Dio dan Galuh. Tentang rencananya juga tentang Om Satyo.Tapi firasatku mengatakan ini bukanlah hal positif. Tak akan pernah ada hal baik yang disembunyikan seperti ini."Lama sekali kamu di toilet! Betah ya?" Tiba-tiba saja pintu toilet terbuka dan kulihat Galuh masuk dengan mimik sinisnya menatapku."Suamimu sampai memintaku menyusul karena khawatir kamu kenapa-kenapa. Merepotkan sekali!" lanjutnya lagi sambil melipat kedua tangan di dada.Karena rasa sesak di dada yang masih menggumpal, aku ta
Pagi ini karena masih kesal dengan Dio aku meninggalkannya dan memilih sarapan terlebih dahulu. Lalu saat Dio datang menyusul aku pun memilih untuk meninggalkannya. Rasanya masih malas untuk dekat-dekat dengannya. Walau sebenarnya ada rasa sedih di hati karena sikapku ini tentu menghancurkan momen honey moonku sendiri. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri akan rasa kecewa dan sedih yang aku rasakan sendiri.Saat baru saja sampai di kamar, ponselku berdering. Aku yakin pasti dari Dio, dia mungkin mau membujukku untuk kembali ke restoran hotel dan menemaninya makan.Tapi saat kulihat, bukannya nama Dio yang tertera di layar ponsel, melainkan nama Bapak. Segera saja kutelan tombol hijau agar dapat segera tersambung dengan lelaki yang merupakan ayah kandungku itu."Aruni ..., kapan kau akan pulang dari Bali?" tanya Bapak melalui telepon dari seberang sana. "Ada apa memang, Pak? Rencananya aku dan Dio akan pulang 3 hari lagi," terangku. Seingatku aku sudah mengatakan pada orang-or
Jam sudah menunjukkan pukul 18 saat kami akhirnya sampai di rumah. Dio menepati perkataannya untuk pulang hari ini juga demi memastikan Arsy aman.Sepanjang perjalanan aku dan Dio tak banyak bicara. Aku sungguh malas untuk melakukan percakapan dengannya. Di pikiranku berkecamuk banyak hal. Tentang maksud dan tujuan ibunya Mas Juna yang sampai datang setiap hari ke rumah dan mengajak Arsy ke lembaga pemasyarakatan, juga tentu saja tentang percakapan Dio dan Galuh yang masih menjadi misteri.Bicara tentang Galuh, aku jadi teringat, sebelum kami pulang tadi wanita itu sempat menemui kami di bandara. Mungkin Dio mengabari tentang kepulangan kami yang mendadak padanya."Jadi kamu pulang hanya karena khawatir pada anaknya wanita itu?" tanya Galuh dengan raut tak sukanya seperri biasa. Dia kali ini mengenakan dress berwarna merah muda sepaha, warna rambutnya membuatnya cukup kontras dengan warna pakaiannya. Tapi Galuh tetap terlihat penuh percaya diri.Lalu kemudian Galuh dan Dio menjauh dar