"Galuh ... kamu sedang apa di sini?" Dio seketika mendekat wanita dengan pakaian minim itu sambil tersenyum lebar. Wajahnya seketika berubah hangat. Lantas mereka pun saling berpelukan dan mencium pipi, tampak sangat akrab sekali.Sungguh ada sebersit rasa tak suka saat melihat Dio sangat dekat dengan wanita yang hanya memakai pakaian dalam saja itu. Aku saja yang wanita merasa risi dan malu melihatnya. Meski memang di Bali hal seperti itu sudah menjadi pemandangan yang biasa saja. Tapi ... aku tak pernah berharap akan melihat suamiku sendiri saling berpelukan dengan salah satu dari mereka."Aku baru saja landing dari Ausie kemarin, sebelum pulang aku ingin liburan dulu beberapa hari di sini," jawab wanita bernama Galuh itu sambil mengibaskan rambut pirang panjangnya."Dia siapa? Istrimu?" Wanita itu melirik ke arahku dengan tatapan sinis. Seakan ia tak suka menatapku."Ah... iya.. dia Aruni, istriku!" Dio seketika menarik lenganku, memintaku untuk mendekat. "Sayang, perkenalkan ini
"Kamu sudah cantik, kok, Sayang...." ucap Dio seraya melingkarkan tangannya di pinggangku yang sedang mematut diri di cermin sebelum kami beranjak pergi ke restoran untuk dinner bersama Galuh, sepupu sexynya itu.Aku masih menyimpan kesal pada Dio akan kejadian siang tadi. Maka kukibaskan saja lengannya dari pinggangku. Belum lagi aku juga malas ikut di dinner ini untuk bertemu dengan Galuh. Terbayang bagaimana nanti wanita itu akan menatapku.Tapi aku tak punya pilihan. Dio memaksaku untuk ikut. Dan aku juga tak mau kalau Dio hanya berduaan dengan Galuh, apalagi jika ternyata Galuh memakai pakaian sexy lagi seperti siang tadi.Dio memasang wajah cemberut saat dengan sengaja kulepaskan tangannya tadi. Tapi aku tahu dia tidak benar-benar marah. Lelaki itu lalu mengapit lenganku erat dan menuntunku untuk segera turun ke parkiran dan berangkat ke restoran."Semangat, Sayang... Makanan di restoran yang kita tuju itu, enak-enak, loh! Pokoknya, kita nikmati saja malam ini, ya!" Dio kembali
"Sudah ... kita tak usah membicarakan masalah itu lagi. Khawatir Aruni akan mendengar!" ucap Dio tampak mengakhiri pembicaraan.Aku yang masih duduk tepat di belakangnya hanya bisa menahan sesak di dada, penuh tanda tanya tentang apa semua ini.Tak ingin Dio tahu jika aku mendengarkan pembicaraan mereka, aku pun bergegas bangkit. Dengan kangkah seribu aku kembali ke toilet dan menenangkan diri sejenak.Sungguh aku tak bisa berpikir tentang kemungkinan apa pun dari apa yang barusan dibicarakan Dio dan Galuh. Tentang rencananya juga tentang Om Satyo.Tapi firasatku mengatakan ini bukanlah hal positif. Tak akan pernah ada hal baik yang disembunyikan seperti ini."Lama sekali kamu di toilet! Betah ya?" Tiba-tiba saja pintu toilet terbuka dan kulihat Galuh masuk dengan mimik sinisnya menatapku."Suamimu sampai memintaku menyusul karena khawatir kamu kenapa-kenapa. Merepotkan sekali!" lanjutnya lagi sambil melipat kedua tangan di dada.Karena rasa sesak di dada yang masih menggumpal, aku ta
Pagi ini karena masih kesal dengan Dio aku meninggalkannya dan memilih sarapan terlebih dahulu. Lalu saat Dio datang menyusul aku pun memilih untuk meninggalkannya. Rasanya masih malas untuk dekat-dekat dengannya. Walau sebenarnya ada rasa sedih di hati karena sikapku ini tentu menghancurkan momen honey moonku sendiri. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri akan rasa kecewa dan sedih yang aku rasakan sendiri.Saat baru saja sampai di kamar, ponselku berdering. Aku yakin pasti dari Dio, dia mungkin mau membujukku untuk kembali ke restoran hotel dan menemaninya makan.Tapi saat kulihat, bukannya nama Dio yang tertera di layar ponsel, melainkan nama Bapak. Segera saja kutelan tombol hijau agar dapat segera tersambung dengan lelaki yang merupakan ayah kandungku itu."Aruni ..., kapan kau akan pulang dari Bali?" tanya Bapak melalui telepon dari seberang sana. "Ada apa memang, Pak? Rencananya aku dan Dio akan pulang 3 hari lagi," terangku. Seingatku aku sudah mengatakan pada orang-or
Jam sudah menunjukkan pukul 18 saat kami akhirnya sampai di rumah. Dio menepati perkataannya untuk pulang hari ini juga demi memastikan Arsy aman.Sepanjang perjalanan aku dan Dio tak banyak bicara. Aku sungguh malas untuk melakukan percakapan dengannya. Di pikiranku berkecamuk banyak hal. Tentang maksud dan tujuan ibunya Mas Juna yang sampai datang setiap hari ke rumah dan mengajak Arsy ke lembaga pemasyarakatan, juga tentu saja tentang percakapan Dio dan Galuh yang masih menjadi misteri.Bicara tentang Galuh, aku jadi teringat, sebelum kami pulang tadi wanita itu sempat menemui kami di bandara. Mungkin Dio mengabari tentang kepulangan kami yang mendadak padanya."Jadi kamu pulang hanya karena khawatir pada anaknya wanita itu?" tanya Galuh dengan raut tak sukanya seperri biasa. Dia kali ini mengenakan dress berwarna merah muda sepaha, warna rambutnya membuatnya cukup kontras dengan warna pakaiannya. Tapi Galuh tetap terlihat penuh percaya diri.Lalu kemudian Galuh dan Dio menjauh dar
Aku menunggu Om Satyo di sebuah lobi hotel tempatnya menginap. Om Satyo hanya beberapa hari saja berada di sini katanya. Dua hari lagi ia akan kembali ke Kalimantan untuk mengurusi bisnisnya yang banyak yang berada di banyak bidang itu. Dan keberadaan beliau di sini memang sedang ada urusan bisnis lainnya yang memerlukan kehadirannya.Ya ... Om Satyo memang sesibuk itu. Setiap minggunya pasti tidak akan ada di satu tempat yang sama. Maka dari itu waktunya begitu berharga.Lelaki berusia akhir 40-an berjalan dengan gagah sambil tersenyum menatapku. Om Satyo tampak gagah dengan memakai kemeja berwarna cream yang menempel sempurna di tubuhnya. Meski sudah cukup berumur, ia masih sangat terlihat gagah, segar dan tampan. Rambutnya yang mulai memutih malah membuat penampilannya semakin menarik."Kamu sudah lama menunggu, Aruni?" tanya Om Satyo sambil menyambutku dan memberi pelukan erat."Enggak kok, Om! Aku juga baru sampai!""Syukurlah kalau begitu! Lalu ... kenapa kamu sudah kembali? Buk
"Jadi ... sebenarnya ada apa, Aruni?" selidik Om Satyo menatapku dengan tatapan penasaran. "Mmmh... katakan saja padaku Om, apa Om mengenal keluarga Dio? Karena kemarin kan saat menikah yang datang hanya keluatga intinya saja. Dan aku pun sama sekali belum pernah dikenalkan dengan keluarga besarnya," jawabku mencari alasan.Om Satyo menatap mataku dalam. Tampak menyelami, sampai aku salah tingkah dibuatnya. Apa Om Satyo tahu bahwa ada yang aku sembunyikan?"Sepertinya Om kenal salah satunya, atau beberapa. Yang tengah ini namanya Hendro Airlangga dan ini istrinya, Juni," terangnya sambil menunjuk sosok yang kutebal adalah kakek dan neneknya."Om kenal? Siapa mereka?" Om Satyo menghembuskan nafas berat. Tak langsung menjawabnya."Dia sahabat karib kakekmu. Mereka bersahabat sejak kecil. Aku tidak tahu kalau ternyata Dio adalah cucunya Om Hendro." Om Satyo kembali memerhatikan foto keluarga di ponselku. Tampak sedang mengamati lagi.Jadi ternyata keluarga Dio ada hubungannya dengan ke
"Kenapa sih ibu ngotot sekali ingin membawa Arsy ke lapas? Aku dengar beberapa hari yang lalu pun ibu sudah datang kemari hanya untuk mengajak Arsy ke lapas!" Aku masih mencoba tetap tenang. Mencari tahu apa alasan di balik kegigihannya membawa Arsy."Memangnya apa yang salah? Aku mau membawa cucuku bertemu dengan ayahnya apa tidak boleh? Arjuna merindukan anaknya. Tidakkah kamu tahu bagaimana menderitanya dia berada di lapas seorang diri! Coba saja kamu tidak melaporkannya malam itu, semuanya tidak akan begini jadinya!" jawab Ibu dengan nada menahan kesal.Hah ... rasanya aku sudah bosan dengan pola pikirnya yang selalu menyalahkanku atas semua yang terjadi pada anak kesayangannya itu. "Ya ... itu salah, Bu! Karena selama ini Arsy dan Arjuna tidak pernah benar-benar menjadi ayah dan anak kecuali hanya karena darah Arjuna mengalir di tubuh Arsy.""Apa maksudmu, Aruni? Sudah jelas-jelas darah Arjuna yang mengalir di tubuh Arsy itu lebih kuat dari apa pun!" Mata Ibu melotot sempurna, t