Beliau orang baik. Satu-satunya orang yang paling kusegani di keluarga ini. Dan kini orang baik itu telah pergi. Semoga almarhum diampuni segala dosanya oleh Allah SWT.Setelah selesai kami pun beranjak keluar, agar dapat memberi kesempatan para pelayat lain yang ingin mendoakan. Kami berpindah ke tenda, sambil menunggu jenazah akan di makamkan. Aku memperhatikan sekeliling, merasa ada yang kurang dari tadi. Tak kutemukan Mas Juna beserta Istri dan anak-anaknya. Padahal merekalah orang yang paling ingin aku hindari, harusnya aku bersyukur tak bertemu. Tapi tetap saja aneh. Karena Mas Juna adalah anak lelaki satu-satunya, seharusnya dia ada dan mengurus semuanya.Saat sedang duduk menunggu, segerombol ibu-ibu melewatiku menuju tempat duduk di belakangku yang memang masih kosong. Beberapa dari mereka berbisik sambil memperhatikanku."Eh itu kan Aruni, mantan istrinya Arjuna yang katanya ninggalin Arjuna pas lagi susah.""Iya istri gak tahu diuntung ya, suami susah malah ditinggalin. B
Dinner. Ini pertama kalinya untukku. Walau sudah pernah menikah, tapi tak pernah sekalipun Mas Juna mengajaku dinner secara spesial dulu. Kalau pun makan diluar paling kami hanya makan di kedai bakso atau pecel lele. Bagiku saat itu sudah cukup spesial.Sedangkan nanti, Dio mengajak makan malam di sebuah restoran yang katanya sangat romantis, apalagi di malam hari, dengan pemandangan langit yang akan terlihat indah, karena restorannya berada di salah satu tempat yang tinggi di kotaku. "Semoga saja tak turun hujan!" Kata Dio di telepon barusan, saat memastikan lagi tentang janji dinner kami.Sepulang melayat, sambil bermain bersama Arsy aku mencari-cari apa saja yang akan aku kenakan di acara dinner nanti.Setelah mengacak-acak hampir seluruh isi lemari, akhirnya pilihanku jatuh pada dress polos berwarna pastel dengan jilbab senada.Aku pun sudah mengantongi izin Bapak untuk pergi malam ini bersama Dio. Bapak sudah kenal cukup baik dengan Dio, beberapa kali mereka pun nampak seru ber
"Ya aku suka anak kecil dan ... suka kamu juga!" ucap Dio tegas.Jantungku tiba-tiba berdetak kencang lagi. Apa pula maksud yang dikatakan Dio barusan. Perkataannya berhasil membuatku tersipu.Dio masih dengan senyum nakalnya menatapku. Seketika langsung kutundukan muka. Malu.Aku lalu hanya terus kembali menikmati makan malam, yang entah kenapa menjadi lebih sulit. Tanpa sanggup menatap wajah Dio tentunya.Aku tak mengerti apa yang baru saja dilakukan Dio, aku tak tahu harus berbuat apa, untuk merespon ucapannya barusan. Aku hanya malu.Hingga akhirnya kami berdua sama-sama menghabiskan makan malam dalam keadaan yang canggung."Ehem," kudengar Dio berdehem.Lalu aku pun sedikit mengangkat wajahku, dan memandangnya."Hei, Aruni, kamu ngambek?"Tak kujawab pertanyaannya. Aku bukannya ngambek, hanya saja terlalu malu."Hei.. aku bercanda Aruni."Betul kan seperti dugaanku semua yang dia katakan tadi hanya bercanda. Dio mungkin tak ubahnya lelaki lain yang ingin menggodaku saja.Tiba-ti
Semenjak kejadian itu, hubunganku dengan Dio menjadi tak biasa saja menurutku. Dio kini semakin intens mendekati. Jujur kuakui, aku pun suka dan menikmati dengan perhatian-perhatian kecilnya. Sekarang hampir tiap hari dia menjadi supir pribadiku, kecuali memang saat dia harus pergi keluar kota. Aku tak bisa menolak setiap dia menawarkan diri.[Aku jemput ya, Tuan Putri!]Apa aku harus menolaknya sedang di saat yang sama hatiku membuncah mengiyakan. Apalagi dengan segala sikap manisnya?Aku tak tahu, tapi mungkin ini salah satu bukti dari perrkataannya waktu itu. Hubungan yang lebih serius lagi.Sore ini, seperti biasa Dio mengantarku sampai rumah, dan turun sejenak untuk menyapa Arsy dan Bapak. Saat sedang menyajikan minuman untuk Dio dan aku, Mba Nina salah satu ART ku menanyakan hal yang cukup aneh."Bu, apa benar orang yang kemarin baru pindahan ke rumah kosong di belakang sana mantannya ibu ya?" Nina mengerenyitkan kening, nampak sekali penasaran.Namun aku tak mengerti maksud
Arsy yang tidak mengerti apa-apa hanya diam, ia menyodorkan makanan yang di pegangnya kepada Mas Juna. Namun Mas Juna sama sekali tidak menanggapinya. Kentara sekali, tidak ada ketulusan pada dirinya saat mendekati Arsy.Mas Juna lalu berdiri, masih dengan senyum angkuhnya kepadaku. "Apa kabar Dek?" Sapanya lembut, membuatku merinding saja. Dan apa tadi katanya? Dek? Setelah sekian lama dia tak memanggilku lagi dengan sebutan itu.Dio nampak sedang membaca keadaan yang tiba-tiba canggung ini. Berharao Dio dapat mengerti tanpa harus di beri penjelasan lagi. "Ada apa kau kesini Mas?" Tanyaku sinis.Sebenarnya aku takut, takut bila jawabannya adalah benar dia sudah pindah kesini."Apa tak boleh aku main kesini, dan menemui putriku?" Mas Juna balik bertanya.Hah, naif sekali dia, bilang mau menemui putrinya. Lalu selama 2 tahun kemarin kemana dia pergi. Tak sekali pun menampakan batang hidungnya untuk bertemu Arsy.Aku hanya mencebik padanya. Tak kuhiraukan pertanyaannya, seharusnya di
Mendapati kenyataan bahwa Mas Juna dan keluarganya tinggal di lingkungan yang sama denganku, sungguh membuatkku sakit kepala.Nampaknya aku harus meningkatkan kewaspadaan, Mengingat Mas Juna bahkan sudah 2 kali mendatangiku meminta agar bisa rujuk dengannya, bisa jadi dia akan melancarkan aksi lainnya lagi.Belum lagi, tentang Arsy, jujur aku takut dia akan mengancam kebersamaanku dengannya. Bukannya aku tak ingin mereka dekat sebagai ayah dan anak, tapi melihat kejadian tadi pagi saja aku bisa menilai Mas Juna tidak begitu menginginkan Arsy. Dio mengingatkan aku untuk tak ambil pusing akan keluarga mantan yang tiba-tiba menjadi tetangga baru itu."Biarkan saja mengalir, anggap saja mereka hanya orang lain yang kebetulan mengenal kita!" Katanya bijak saat aku menceritakan kegelisahanku.Hal yang sama juga dikatakan Bapak. Katanya, kita tetap harus berbuat baik pada mereka, selayaknya saudara sesama Muslim. Sedangkan tentang Arsy, bapak akan meminta Bi Susi untuk menjaganya bila meman
"Aku sedih banget, kangen cucu tapi dilarang-larang bertemu!"Halah .., drama. Padahal sama sekali ia tak pernah menanyakan kabar Arsy sama sekali. Jika kangen tinggal hubungi. Padahal ia masih menyimpan nomor teleponku. Buktinya ia bisa menghubungi untuk meminjam uang, untuk pernikahan anaknya Tapi tidak tidak pernah sekalipun menanyakan kabar cucunya."Sekarang kan sudah dekat Bu, nanti biar kuantar Arsy ke rumah kalau Ibu memang kangen." Jawabku sebisa mungkin menjaga agar tetap lembut."Alah ..., dari dulu kemana saja, sama sekali tak pernah datang. Sampai-sampai Arjuna harus membeli rumah di dekat sini demi bisa bertemu dengan anaknya sendiri!"Hah, membeli rumah disini agar dekat dengan Arsy, pasti itu hanya alasan yang dibuat-buat saka.Tak kuhiraukan ucapannya sama sekali.Ibu-ibu yang lain nampak berbisik menanggapi omongan Ibu."Sudah nih ambil anakmu, aku sudah tak kuat lama-lama menggendongnya!" Seketika ibu pun menyerahkan kembali Arsy padaku begitu saja.Aku pun seketika
Dio membawaku segera menjauh dari orang-orang tersebut. Menenangkanku lalu mengalihkan fokus dengan membicarakan hal lain yang lebih menyenangkan.Sepanjang perjalanan kami bernyanyi bergembira bersama Arsy.Namun aku tak bisa mengabaikan rasa kesalku.Kesal. Amat kesal. Rasanya ingin mencak-mencak dan menanyakan pada Ibunya Mas Juna mengapa menyebarkan isu yang tak benar atas diriku, kepada seluruh penghuni komplek. Apa itu tujuan mereka pindah ke dekat rumahku?Tiba-tiba sebuah pertanyaan besar terbersit dan mengganggu pikiran. Bagaiamana bisa Mas Juna pindah rumah ke sini, dalam waktu yang sangat singkat. 4 bulan saja semenjak pernikahannya yang bahkan ibunya masih meminjam uang padaku untuk menutupi kekurangan biayanya waktu itu.Padahal rumah disini cukup mahal, dan memang diperuntukan untuk kalangan menengah atas.Bukan maksudku merendahkan Mas Juna dan keluarganya. Tapi 2 tahun menjadi anggota keluarga membuatku sedikitnya tahu kondisi mereka. Belum lagi terakhir Mas Juna bil