Semenjak kejadian itu, hubunganku dengan Dio menjadi tak biasa saja menurutku. Dio kini semakin intens mendekati. Jujur kuakui, aku pun suka dan menikmati dengan perhatian-perhatian kecilnya. Sekarang hampir tiap hari dia menjadi supir pribadiku, kecuali memang saat dia harus pergi keluar kota. Aku tak bisa menolak setiap dia menawarkan diri.[Aku jemput ya, Tuan Putri!]Apa aku harus menolaknya sedang di saat yang sama hatiku membuncah mengiyakan. Apalagi dengan segala sikap manisnya?Aku tak tahu, tapi mungkin ini salah satu bukti dari perrkataannya waktu itu. Hubungan yang lebih serius lagi.Sore ini, seperti biasa Dio mengantarku sampai rumah, dan turun sejenak untuk menyapa Arsy dan Bapak. Saat sedang menyajikan minuman untuk Dio dan aku, Mba Nina salah satu ART ku menanyakan hal yang cukup aneh."Bu, apa benar orang yang kemarin baru pindahan ke rumah kosong di belakang sana mantannya ibu ya?" Nina mengerenyitkan kening, nampak sekali penasaran.Namun aku tak mengerti maksud
Arsy yang tidak mengerti apa-apa hanya diam, ia menyodorkan makanan yang di pegangnya kepada Mas Juna. Namun Mas Juna sama sekali tidak menanggapinya. Kentara sekali, tidak ada ketulusan pada dirinya saat mendekati Arsy.Mas Juna lalu berdiri, masih dengan senyum angkuhnya kepadaku. "Apa kabar Dek?" Sapanya lembut, membuatku merinding saja. Dan apa tadi katanya? Dek? Setelah sekian lama dia tak memanggilku lagi dengan sebutan itu.Dio nampak sedang membaca keadaan yang tiba-tiba canggung ini. Berharao Dio dapat mengerti tanpa harus di beri penjelasan lagi. "Ada apa kau kesini Mas?" Tanyaku sinis.Sebenarnya aku takut, takut bila jawabannya adalah benar dia sudah pindah kesini."Apa tak boleh aku main kesini, dan menemui putriku?" Mas Juna balik bertanya.Hah, naif sekali dia, bilang mau menemui putrinya. Lalu selama 2 tahun kemarin kemana dia pergi. Tak sekali pun menampakan batang hidungnya untuk bertemu Arsy.Aku hanya mencebik padanya. Tak kuhiraukan pertanyaannya, seharusnya di
Mendapati kenyataan bahwa Mas Juna dan keluarganya tinggal di lingkungan yang sama denganku, sungguh membuatkku sakit kepala.Nampaknya aku harus meningkatkan kewaspadaan, Mengingat Mas Juna bahkan sudah 2 kali mendatangiku meminta agar bisa rujuk dengannya, bisa jadi dia akan melancarkan aksi lainnya lagi.Belum lagi, tentang Arsy, jujur aku takut dia akan mengancam kebersamaanku dengannya. Bukannya aku tak ingin mereka dekat sebagai ayah dan anak, tapi melihat kejadian tadi pagi saja aku bisa menilai Mas Juna tidak begitu menginginkan Arsy. Dio mengingatkan aku untuk tak ambil pusing akan keluarga mantan yang tiba-tiba menjadi tetangga baru itu."Biarkan saja mengalir, anggap saja mereka hanya orang lain yang kebetulan mengenal kita!" Katanya bijak saat aku menceritakan kegelisahanku.Hal yang sama juga dikatakan Bapak. Katanya, kita tetap harus berbuat baik pada mereka, selayaknya saudara sesama Muslim. Sedangkan tentang Arsy, bapak akan meminta Bi Susi untuk menjaganya bila meman
"Aku sedih banget, kangen cucu tapi dilarang-larang bertemu!"Halah .., drama. Padahal sama sekali ia tak pernah menanyakan kabar Arsy sama sekali. Jika kangen tinggal hubungi. Padahal ia masih menyimpan nomor teleponku. Buktinya ia bisa menghubungi untuk meminjam uang, untuk pernikahan anaknya Tapi tidak tidak pernah sekalipun menanyakan kabar cucunya."Sekarang kan sudah dekat Bu, nanti biar kuantar Arsy ke rumah kalau Ibu memang kangen." Jawabku sebisa mungkin menjaga agar tetap lembut."Alah ..., dari dulu kemana saja, sama sekali tak pernah datang. Sampai-sampai Arjuna harus membeli rumah di dekat sini demi bisa bertemu dengan anaknya sendiri!"Hah, membeli rumah disini agar dekat dengan Arsy, pasti itu hanya alasan yang dibuat-buat saka.Tak kuhiraukan ucapannya sama sekali.Ibu-ibu yang lain nampak berbisik menanggapi omongan Ibu."Sudah nih ambil anakmu, aku sudah tak kuat lama-lama menggendongnya!" Seketika ibu pun menyerahkan kembali Arsy padaku begitu saja.Aku pun seketika
Dio membawaku segera menjauh dari orang-orang tersebut. Menenangkanku lalu mengalihkan fokus dengan membicarakan hal lain yang lebih menyenangkan.Sepanjang perjalanan kami bernyanyi bergembira bersama Arsy.Namun aku tak bisa mengabaikan rasa kesalku.Kesal. Amat kesal. Rasanya ingin mencak-mencak dan menanyakan pada Ibunya Mas Juna mengapa menyebarkan isu yang tak benar atas diriku, kepada seluruh penghuni komplek. Apa itu tujuan mereka pindah ke dekat rumahku?Tiba-tiba sebuah pertanyaan besar terbersit dan mengganggu pikiran. Bagaiamana bisa Mas Juna pindah rumah ke sini, dalam waktu yang sangat singkat. 4 bulan saja semenjak pernikahannya yang bahkan ibunya masih meminjam uang padaku untuk menutupi kekurangan biayanya waktu itu.Padahal rumah disini cukup mahal, dan memang diperuntukan untuk kalangan menengah atas.Bukan maksudku merendahkan Mas Juna dan keluarganya. Tapi 2 tahun menjadi anggota keluarga membuatku sedikitnya tahu kondisi mereka. Belum lagi terakhir Mas Juna bil
Sudah kulupakan masalah tentang keluarga Mas Juna apapun itu. Aku hanya akan menganggap mereka tak ada sama sekali.Soal Arsy yang selalu mereka jadikan alasan, akan kuabaikan saja. Toh mereka juga sama sekali tak menghubungiku untuk meminta Arsy seperti yang mereka gembar-gemborkan sebelumnya. Sabtu pagi ini aku hanya ingin berdiam diri di rumah, tak mau jika sampai harus bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan.Bapak mengajak Arsy bermain bola di halaman. Arsy begitu bersemangat sekali.Ketika kulihat ada tukang sayur yang melintas, aku segera memberhentikannya. Ingin berbelanja sekali-sekali. Kebetulan Mba Nina juga sedang mencuci di dalam. Bi Susi mengikutiku berbelanja. Kami memilih-milih sayuran yang akan kami olah sayur asem. Itulah yang akan kumasak siang ini.Saat sedang asyik memilih, datang beberapa ibu-ibu yang juga hendak berbelanja. Aku menyapa mereka sambil melempar senyum hangat.Tapi, entah kenapa mereka memasang wajah sinis terhadapku.Seolah aku memiliki salah
Saat akan berjalan pulang ke rumah, seseorang yang tengah menaiki motor menghentikanku. Dio."Aruni, dari mana kau?" Tanyanya sambil memperhatikanku. Entah seperti apa penampilanku kini. Berjalan kaki sendirian, dengan nafas ngos-ngosan, mungkin rambutku juga acak-acakan, tanpa make up sedikit pun karena niat awalku hanya ingin membeli sayur."Ikut yuk! Kita berkeliling sebentar saja!" Ajaknya tanpa menunggu jawabanku."Tapi aku, belum siap-siap!" Seruku, benar-benar tak percaya diri akan penampilanku kali ini dihadapan Dio."Memangnya kita mau kemana harus pakai siap-siap segala? Keliling komplek doang kok. Yuk!" Ajak Dio lagi sembari menepuk-nepuk kursi penumpangnya.Tak bisa mengelak lagi, akhirnya aku pun mengikuti perintahnya dan menaiki motor, Dio pun langsung melajukan motornya.Dio membawa ku ke danau di sekitar perumahan. Karena masih cukup pagi, suasana danau masih ramai dengan orang-orang yang berjalan-jalan, menikmati udara dan hangatnya mentari pagi.Sungguh aku benar-ben
"Sedang apa di sini Dio?" Tanya Ismi, menatap Dio dengan tatapan takjub."Aku sedang berbelanja, kau sendiri?" Dio menjawabnya dengan gugup. Sambil mengangkat Arsy di pangkuannya.Aku mengurungkan niatku untuk mendekat pada Dio, mengambil sisi lain agar tak menganggu mereka."Yaa ..., aku juga berbelanja, ehh ... kau tinggal di sini kah Dio?""Ya, aku tinggal di sini, kau juga?" Tanya Dio nampak terkejut"Ya baru beberapa hari saja. Waw gak nyangka ya ternyata sekarang kita dekat!""Ya ..., bagaimana keadaanmu?""Seperti yang kau lihat.""Syukurlah.""Dia ..., anakmu?" Tanya Ismi ragu-ragu. Sambil menunjuk Arsy."Oh, dia anak seorang teman dekat. Oh ya ..., aku sedang terburu-buru, mungkin lain kali kita bsia bertemu lagi." Dio menyudahi perbincangannya dengan Ismi.Mereka pun akhirnya berpisah. Aku masih berdiri mematung di tempatku. Tak menyangka bahwa Dio mengenal Ismi. Hingga tiba-tiba, "Mamaaaaa ...!" Arsy memanggilku kencang. Suaranya memenuhi seluruh ruangan swalayan yang tak