"Ya sudah, rumah Bu Nisa sudah dekat ini," ujar Emran. "Kok Pak Emran tau rumah saya sudah dekat?" tanya Nisa. "Apa yang nggak Emran tau tentang para pengajar di yayasannya, Bu," ujar Emran.Nisa hanya diam, "Iya juga ya, aku kan kerja di yayasannya, nggak mungkin Emran nggak tau aku tinggal di mana." monolog Nisa."Ngomong-ngomong makasih oleh-olehnya, Bu," ucap Emran, memulai pembicaraan yang sempat terhenti tadi. "Cuma sedikit Pak," Nisa menatap Emran, tetapi ternyata Emran memalingkan wajah menatap Nisa juga. Pandangan mata mereka bertemu sesaat, Nisa langsung mengalihkan tatapan mata pada lelaki tampan di sebelahnya. "Sudah sampai Bu, Alhamdulillah hujannya juga udah berhenti.""Terimakasih, Pak. Mampir dulu, ngopi biar sedikit hangat," ujar Nisa basa basi. "Emang nggak ada yang marah kalo saya mampir?" Bibir Emran terkulum, Nisa baru menyadari jika senyum Emran begitu mempesona.Bibir Nisa langsung tersungging, " Ada Pak," ujar Nisa apa adanya. Dia langsung mengingat kecem
Nisa menyandarkan kepala di dada bidang lelakinya. Merasa nyaman, pikirannya melayang-layang, entah kenapa banyak sekali bayangan-bayangan beberapa lelaki berkelebat di rongga kepalanya. Netranya terpejam, penciumannya mengendus tulang selangka Damar. "Mas, kok Nisa belum hamil juga, ya?" tanya Nisa. "Hamil, punya anak itu hak preogratif dari Allah. Usaha aja maksimal," ujar Damar. "Abis ini kita usaha lagi ya," Damar menaik turunkan alis, mengecup bibir Nisa sesaat. "Nanti jatuh dari tangga Mas!! Jangan mesum mulu kenapa?" cebik Nisa, menepuk pundak Damar. "Sama istri sendiri kok mesum." Damar meremas bokong Nisa yang tepat berada di telapak tangannya. Aww .... Bola mata Nisa membola mendapat remasan di bokong sintalnya. Damar terkikik mendapati wajah masam Nisa. Sebelum menaruh bobot tubuh Nisa di atas kursi, lagi Damar melumat bibir kemerahan milik Nisa yang cemberut menggemaskan. "Iihhh ... Malu tuh, sama Mbak Marni, sama Mbok Darmi, nyosor aja." tunjuk Nisa pad
"Waalaikumsalam Kak Ayo borong." tawar Nisa. Dia mengambil satu makanan dan mengangsurkan ke arah Fatta. "Ini puding buatan Kak Mitha," ujar Nisa, menengok pada gadis kecil di sebelahnya. Fata meraih puding pemberian Nisa. Kirana menyuapi, "Fatta mau lagi?" tanya Kirana pada gadis kecilnya. Fatta memgangguk. "Suka ya?" tanya Nisa. Lagi Fatta mengangguk. "Borong Mas!" ujar Nisa pada Damar, dia tersungging kikuk melihat Damar memperhatikannya sejak tadi. "Ya udah Mas borong semua pudingnya, bungkus buat Fatta 10, buat kamu 10 bawa pulang ya. Sisanya kamu bagi-bagi aja," perintah Damar pada Nisa. Dini begitu terpana melihat penampilan Damar, dia pun tak habis pikir dengan Nisa dan satu wanita yang sedang menyuapi Fatta, "Kok bisa dia nggak bertengkar atau cemburu, melihat suaminya bergandengan dengan wanita lain." monolog Dini. "Asiikk...." Nisa bersorak. "Mitha dagangan kita langsung abis," ujar Nisa pada Mitha siswi yang di dampingi berjualan. Damar memberikan beberapa lembar
Di rumah megah milik Nisa seorang pria sedang mencoba merayu permata yamg selama ini dia jaga, lelaki ini khawatir si permata akan jatuh pada kubang dosa jika di biarkan terus berada berdekatan dengan pria yang bukan mukhrim. Selama ini dia sedikit abai, tetapi setelah melihat kejadian siang tadi, mata kepala Damar kembali terang, bahwa Nisa masih sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayangnya. "Nis, kamu betah kerjanya?" tanya Damar. Memeluk Nisa dari belakang. "Betah, emang kenapa, tumben tanya-tanya?" tanya Nisa. "Mas Damar butuh sekretaris tambahan, kamu aja yang jadi sekretaris, biar nggak jauh-jauh dari Mas." Damar mencium pudak Nisa. "Nisa 'kan males kerja di kantor," tolak Nisa, "Pusing liat angka-angka, sama jadwal.""Nisa cuma perlu temenin Mas doang, ngingetin Mas meeting, makan. Itu doang." Lagi Damar mencoba meyakinkan bahwa perkerjaan Nisa mudah nantinya. "Kan ada Pak Roni!!" "Tapi Mas butuh kamu di deket Mas tiap hari." Lebih baik menjaga Nisa di dekatnya dari
"Jangan di sini, Nis." Fina menarik tangan Nisa keluar kamar. "Apa sebaiknya Papah di rawat di Rumah Sakit, Nis. Mamih khawatir," ada raut cemas di wajah Fina. Dia harus bisa mengambil hati anak sambungnya kali ini."Iya, ini Nisa juga mau ajak Papah untuk di rawat, tadi kata Mas Bagus nggak mau," ujar Nisa. "Iya, tadi sudah mau di panggilkan ambulance tapi Papah nggak mau." "Ya udah Mih, nanti kalo Papah udah bangun panggil Nisa biar kita ajak ke Rumah Sakit," ujar Nisa lagi. Fina mengangguk, "Nis maafin mamih ya," ujar Fina menguatkan hati mencoba memberi kesan baik pada anak sambungnya. "Untuk apa Mih?" tanya Nisa. "Karna mengabaikan kamu selama ini," ujar Finna. Nisa tersenyum. "Iya Mih, ya udah Nisa naik dulu capek banget baru pulang kerja." Fina memandangi kepergian Nisa, dia harus menjalankan strategi baru, mendekati Nisa agar dia bisa tetap berada di sini walau Chandra telah tiada nanti. Kemarin Chandra sudah menceraikan Fina tanpa sepengetahuan siapapun, hanya pengac
Setiap Nisa keluar rumah Damar selalu waspada, memikirkan istri kecilnya, khawatir melakukan hal yang di luar batas. zaman yang sekarang di lalui adalah tahapan pada akhir jaman, siapa yang tidak waspada maka akan celaka. "Mas, ngapain sih sering banget telpon." Wajah Nisa terpampang cemberut di layar ponsel Damar."Kamu makan siang sama siapa?" tanya Damar. "Sama Bu Dini, di dalam kelas." Suara Nisa terlihat sekali tak suka karna Damar sudah beberapa kali menelponnya hari ini, Nisa sampai hafal betul jam Damar menelponnya. Dini cekikikan, melihat eksperesi kesal Nisa. Dan wajah Dini di sorot kamera Damar, karna Damar meminta Nisa menyorot semua ruangan. "Apaan sih, Mas!! Udah ... aku nggak mau di telponin mulu," ujar Nisa. "Kok cuma berdua, muridnya mana?" tanya Damar."Udah pada pulang, 'kan Nisa ngajar kelas satu, jam satu mereka pulang." "Kenapa kamu pulang jam tiga, dua jam ngapain aja di situ?" tanya Damar menelisik. "Ngerjain tugas lain, udah ah ... Nisa tutup telponnya
"Tapi tak bisa semudah itu risign dari yayasan ini, Pak Damar."ucapan Emran membuat Damar sedikit gelisah, tak mudah rupanya menarik istrinya dari tempat ini."Iya saya tau akan hal ini, silahkan cari guru pengganti secepatnya, minimal tiga hari kedapan istri cantik saya ini harus sudah bisa keluar dari yayasan Anda." Damar berkata tegas. Menekankan ucapan di kata 'istri cantik'."Minimal dua minggu paling lama satu bulan," ujar Emran dia menyandarkan bahu, mengangkat kedua tangan ke atas sandaran kursi, mengungkapkan dia tak mau di bantah, karna sekarang ini mereka ada di wilayahnya. "Oke," jawab Damar seolah itu tak masalah. Semua sudah ia pertimbangkan, dan mau tidak mau Damar harus mengikuti peraturan yang berlaku, dia tak ingin Emran tau, jika Damar menarik Nisa Karna cemburu dengannya."Mas, Nisa kan belum setuju mau risign!!" Nisa mencoba bernego dengan Damar. "Bu Nisa, lain waktu kalau ingin kembali ke sini, silahkan. Pintu sekolah kami terbuka untuk Ibu. " Emran mengakhiri
"Ahhh ... Hati kenapa kamu menghianatiku, kenapa aku jadi galau sendiri. Kenapa nggak bisa membenci Kirana." Nisa berbincang sendiri sejak tadi. "Dek." Lamunan Nisa buyar mendengar Kirana memanggil. Wanita muda ini menggeser tubuh saat Kirana ingin duduk di sebelahnya, baru tadi hatinya bilang Kirana baik, sekarang hati yang lain merasa iri melihat perut Kirana. "Alhamdulillah," ucap Kirana saat berhasil mendaratkan bokong di kursi empuk sebelah Nisa."Dek, ini tas rajut, ini syal. Semua ini kakak yang buat sendiri. Nih buat dek Nisa." Kirana meyerahkan barang di tangannya pada Nisa. "Syalnya kakak buat tiga untuk kamu kakak sama Mas Damar. Semoga kita selalu rukun, ya. Bisa sampai ke Jannahnya Allah." Kirana menerangkan jika dia sendiri yang buat tas dan syal pada Nisa. "Bagus, Kak. Tangan kakak trampil banget bikin rajutan," ucap Nisa, meneliti setiap detai rajutan tangan Kirana. "Buat ngisi waktu, Dek. biar nggak jenuh," ujar Kirana. Senyum Kirana begitu tulus, membuat hati N