Bab 12.
"Jangan berteriak Kirana?" ucap Damar, masih dengan suara pelan. Dia tak menyangka Kirana bisa meninggikan suara."Kenapa? Malu? Aku yang seharusnya malu, seperti perempuan gak laku, yang mau hanya di nikah siri," suara Kirana di tekan. Rahangnya mengatup rapat menahan amarah."Tapi semua masalah akan segera selesai," Damar membela diri."Tapi kamu berjanji akan segera menceraikan Nisa. Mana? Bahkan sampai saat ini, ini waktu yang tepat, Nisa sudah mengetahui hubungan kita. Apa lagi yang kamu tunggu?" netra kirana sudah berkaca-kaca."Ada hal lain, kenapa aku belum bisa menceraikan Nisa, tolong Kirana mengertilah. Di hatiku hanya ada kamu, gak usah cemburu.""Bulsyit ...." suara kirana melengking. "Kalian dua orang dewasa dan sudah menikah, tinggal satu atap, tak mungkin akan selamanya tak tergoda melakukan hal itu!!" Netra Kirana membola menatap tajam pada Damar. DBab 13.Mendengar Nisa lagi-lagi berteriak, Damar lebih memprofokasi perasaan gadis muda ini. "Dia Istri Mas Damar, sekarang kamu sudah tau, mulai hari ini Mas akan sering mengunjunginya," ucap Damar santai, netra legam hanya melirik sekilas. "Tapi Nisa juga istri kamu! kamu gak adil. Kamu jahat!!" ucap Nisa, nafasnya turun naik tangannya sudah mulai mengepal. "Kamu berbeda Nisa, Mas gak ingin menyentuh kamu, mas menyayangimu." Damar mendekati Nisa, menatap tajam pada gadis yang sudah bersimbah air mata. "Namanya kamu jahat, Mas. Mengikat tapi menelantarkan." Nisa menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Bahunya bergoyang.Memdapati Nisa menangis setelah sekian lama bersama hati Damar terenyuh. Lelaki bertubuh tegap ini mendekap tubuh kecil Nisa. "Maafin Mas Damar, Nis," ucap Damar pelan. "Makanya cerein Nisa, Mas," ujar Nisa. "Biar Nisa cari kebah
Bab 14"Nis, beneran lo mau di rumah sendirian?" tanya Lana, gadis manis ini sedang bersiap berangkat kuliah. "Iya gue mau tidur aja." Nisa kembali masuk ke dalam bedcover. "Btw nyokap elo kapan balik, tar tau-tau nyokap loe balik," tanya Nisa. "Belum tau," jawab Lana, dia menyahut tas. "Gue berangkat ya!!" tanpa menunggu jawaban Nisa Lana keluar kamar. Terdengar suara mobil keluar dari garasi. Nisa bangkit dari tempat tidur. Duduk termenung di pinggiran ranjang. Menatap cermin besar yang memantulkan bayangan dirinya. "Mah, aku merindukan mu!!" sudah lama Nisa tak merasakan rindu teramat sangat seperti sekarang ini. Selama ini Damar menemani dan mengisi hari-harinya dengan kebahagiaan. Tapi kini? Hanya Damar kala itu orang yang dapat menggantikan kehangatan Mama-nya. Chandra saat itu sedang menggilai wanita yang kini menjadi mama tirinya. Nisa menelungkupkan tangan pa
Bab 15 "Sin gue istirahat dulu, cape, masih amatir gue, masih butuh jam terbang lebih banyak." kekeh Nisa, dia berlalu menjatuhkan bobot tubuh kasar di sofa empuk. Tangan gadis itu meraih air mineral menenggak cepat, lalu meraih cemilan di atas meja, saat ini bahagia yang dia rasa. Apa lagi melihat teman-teman yang lain juga tertawa lepas, terlihat aura kebahagiaan dari diri meraka lalu menular pada diri Nisa. Setelah mengistirahatkan tubuh sesaat dia kembali ikut berjikrak-jingkrak lagi, lagu yang di putar Dj kesukaan Nisa. "Sin ternyata menyenangakan, kenapa gue gak ketemu elo dari dulu. Nyesel Lana gak ikut." Nisa tertawa riang, tubuhnya ringan, terus bergoyang mengikuti irama. Suasana semakin panas. Beberapa orang sudah mulai lelah. Tapi Sinta masih juga energik. "Lo kuat banget Sin, gak ada capenya," teriak Nisa pada sinta.
Bab 16"Gak perlu tau siapa aku, yang penting sekarang Kita bersenang-senang, sayang," ucap Pram, tersenyum penuh kemenangan. Bisa mengurung gadis incaran.Nisa menggeser tubuh saat pram ingin meraih pinggang rampingnya. "Jangan dekati aku!!" Nisa menjulurkan jari telunjuk, mengarah wajah Pram berada. "Tak usah khawatir baby, jangan takut, aku akan membuatmu, mendapatkan bahagia," ujar Pram. Dengan gesit tangan Pram meraih tubuh Nisa. "Lepas ...." Nisa terus berontak. Pram mendekap kuat, Nisa tak berdaya. Apalagi kini kepalanya terus berdenyut. "Tolong ... Tolong ...." Nisa berusaha mencari pertolongan dengan berteriak."Tak usah menghabiskan energi dengan berteriak, tak ada siapapun di sini." Pram mencium rambut Nisa. Dengan tangkas lelaki berlengan kuat ini membopong Nisa, menaruh kasar tubuh Nisa di ranjang. Pram memandang Nisa dengan kilatan nafsu d
Bab 17Darmi membuka tirai jendela kamar. Sorot terang benderang memenuhi kamar Nisa. Netra lentik Nisa mengerjap, tangan menyentuh kening."Mbok, jam berapa ini?" suara lemah Nisa bertanya. "Jam 7, Non," jawab Darmi. "Masih pagi, Mbok. Tutup lagi tirainya, silau ... aku mau tidur lagi, kepalaku sakit.""Tapi tadi Den Damar pesen, Non Nisa suruh bangun pagi. Ayo Mbok bantu, makan bubur terus minum obat." Darmi membangunkan tubuh Nisa. Awalnya Nisa ingin membantah. "Non, Mbok takut liat muka Den Damar, yang nurut ya," ucap Darmi. Nisa pun tak mampu mengelak, dia juga kasihan jika Mbok Darmi kena marah, suaminya."Mbok ... Nisa, pengen nengok Papa," ucap Nisa di sela-sela suapan. "Nanti Mbok anter ke Rs. Non jangan buat masalah terus kasian Den Damar. Kelihatan lelah. Belum ngurus perusahaan, belum lagi Nyonya Fina merongrong t
Bab 18"Bagaimana gak mikirin, Lan. Dia pasti lagi pulang ketempat perempuan itu." Nisa menelungkupkan wajah di kasur berseprei putih.Lana menatap Nisa pilu. Tangan Lana Mengelus-elus lengan Nisa memberi hawa damai. "Udah Nis, jangan di bawa sedih terus," Lana menguatkan."Nis tapi lo baik-baik aja, gak ada trauma atau apa gitu? Dengan kejadian kemarin?" tanya Lana penasaran, ketika Nisa sudah tak menangis.Pasalnya kemarin Lana dengar Nisa hampir mengalami pelecehan. "Gue mabuk Lan, gue lupa-lupa inget," ucap Nisa santai. "Ada untungnya juga ya, padahal hal buruk," Lana garuk-garuk kepala yang tidak gatal. ***Damar merebahkan tubuh lelah di ranjang dengan seprei bercorak bunga. Lama dia menunggu Kirana menidurkan Fatta tak jua kembali, hingga lelaki ini kembali terjaga tak juga Kirana ada di sampingnya.
Bab 19 "Bagas memandang Darmi kikuk. "Non udah siang udah buruan. Gak apa-apa bau dikit, nanti pas udah nyampe senprot parfum," ujar Darmi. "Pake mobil aja, kunci mobil mana Mbok?" tanya Nisa. "Tapi aku gak bisa bawa mobil!!" seru Bagus. "Ya ampun gini hari gak bisa bawa mobil? Umur doang tua!" hina Nisa. "Non, kunci mobil juga dibawa Den Damar semua. Katanya Non Nisa suruh ikut Mas Bagus." Darmi gelisah, sulit memang membujuk Nisa. Nisa mengambil helm dengan kasar. "Mana bau lagi nih helm, ancur rambut gue. Liat aja Mas Damar, bakal Nisa kerjain kamu, bikin Nisa jengkel terus." Nisa terus menggerundel sepanjang jalan. "Non, udah sampe!" seru Bagus. "Ya ampuunn ... Kenapa lo berhenti di depan kampus pas. Maju buruann!!" Nisa menepuk-nepuk pundak Bagas. Khawatir ada temen yang liat gengsi banget Nisa di anter ojek, 'pikirnya
Bab 20Nisa pun menerima masker pemberian Bagus, saat Nisa sedang memakai masker, tiba-tiba motor yang dikendarai Bagus melaju, membuat tubuh Nisa terhuyung. "Aduhh ... Pelan-pelan dong. Nanti gue jatoh gimana?!" teriak Nisa, kesel. "Maaf Non gak sengaja." Terlihat raut khawatir di wajah Bagus, ceroboh sekali dia, tidak menyadari Nisa sedang menggunakan masker. Setelah itu Bagus menjalankan motor pelan. "Kalo elo naik motor pelan gini mau nyampe kapan?" suara Nisa terdengar dekat ditelinga Bagus. "I-iya, Non. Pegangan ya Non. Saya kencengin," Bagus mulai mempercepat laju motor yang dia kendarai. "Alhamdulillah. Sampe juga." "Bukain susah banget sih ini helm!" Nisa selalu berkata ketus. Entah lah, setelah mengetahui perselingkuhan Damar mood Nisa selalu buruk. Bagus pun kembali membuka pengait helm yang sel
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal