Bab 19
"Bagas memandang Darmi kikuk. "Non udah siang udah buruan. Gak apa-apa bau dikit, nanti pas udah nyampe senprot parfum," ujar Darmi. "Pake mobil aja, kunci mobil mana Mbok?" tanya Nisa. "Tapi aku gak bisa bawa mobil!!" seru Bagus. "Ya ampun gini hari gak bisa bawa mobil? Umur doang tua!" hina Nisa. "Non, kunci mobil juga dibawa Den Damar semua. Katanya Non Nisa suruh ikut Mas Bagus." Darmi gelisah, sulit memang membujuk Nisa. Nisa mengambil helm dengan kasar. "Mana bau lagi nih helm, ancur rambut gue. Liat aja Mas Damar, bakal Nisa kerjain kamu, bikin Nisa jengkel terus." Nisa terus menggerundel sepanjang jalan. "Non, udah sampe!" seru Bagus. "Ya ampuunn ... Kenapa lo berhenti di depan kampus pas. Maju buruann!!" Nisa menepuk-nepuk pundak Bagas. Khawatir ada temen yang liat gengsi banget Nisa di anter ojek, 'pikirnyaBab 20Nisa pun menerima masker pemberian Bagus, saat Nisa sedang memakai masker, tiba-tiba motor yang dikendarai Bagus melaju, membuat tubuh Nisa terhuyung. "Aduhh ... Pelan-pelan dong. Nanti gue jatoh gimana?!" teriak Nisa, kesel. "Maaf Non gak sengaja." Terlihat raut khawatir di wajah Bagus, ceroboh sekali dia, tidak menyadari Nisa sedang menggunakan masker. Setelah itu Bagus menjalankan motor pelan. "Kalo elo naik motor pelan gini mau nyampe kapan?" suara Nisa terdengar dekat ditelinga Bagus. "I-iya, Non. Pegangan ya Non. Saya kencengin," Bagus mulai mempercepat laju motor yang dia kendarai. "Alhamdulillah. Sampe juga." "Bukain susah banget sih ini helm!" Nisa selalu berkata ketus. Entah lah, setelah mengetahui perselingkuhan Damar mood Nisa selalu buruk. Bagus pun kembali membuka pengait helm yang sel
Nisa melempar helm yang dia pakai. Bagus hanya diam menunduk tak berani berkata. "Ada apa Non, Pulang-pulang kaya kesurupan begitu," tanya Darmi bingung melihat keributan di garasi. "Telpon Mas Damar Mbok!! Kemana itu orang gak Pulang-pulang. Nisa butuh ponsel, hidup udah kaya di gunung!!" teriak Nisa frustasi. "Pokoknya besok Nisa gak mau naik motor lagi, gak mau tau Nisa gak mau dijemput pake motor, pusing, bau asep, cape, gak bisa nyender, panas lagi!!" Nisa berteriak histeris. "Ya Udah, Mbok telpon, Non." Darmi tergopoh masuk, tak lama Mbok Darmi keluar. "Sebentar lagi Den Damar pulang, Non. Jangan teriak-teriak lagi." Darmi berkata pelan. Hatinya berdetak lebih kencang belakangan ini karna Nisa terus merajuk. Dengan menghentakkan kaki, gadis cantik ini pergi masuk ke dalam rumah. "Mas, sabar ya," ucap Darmi pada Bagus, Netranya berkaca khawatir Bagus tidak betah
"Antar aku ke Rumah Sakit aja, aku gak kuliah hari ini," ucap Nisa pada Bagus. "Loh kenapa gak kuliah, Non?" tanya Darmi. "Nggak Mbok, aku gak mood, percuma kuliah kalo pelajaran gak masuk di otak," ucap Nisa masih dengan raut kesal. "Non, nanti di rumah sakit hati-hati bicara sama, Tuan." Darmi mengingatkan. "Iya, Mbok, Nisa ngerti." Mengingat kesehatan ayahnya Nisa menjadi semakin tak bergairah. "Mas Bagus, antar Non Nisa ke Rumah Sakit aja, ya," ucap Mbok Darmi pada Bagus, yang sejak tadi berdiri di teras. "Iya, Mbok." Bagus menjawab sopan, menundukkan kepala. Bagus memperhatikan wajah Nisa yang murung lewat kaca sepion, pun saat turun dari motor tak ada lagi marah atau kesal saat gadis ini kesulitan membuka helm. "Mas, tunggu di sini aja, Nisa gak lama kok," ucap Nisa pada Bagus dengan suara lembut, tak ada lagi ketus. Bagus t
Bab 23 Mas ...." Nisa memanggil Bagus yang sedang memainkan ponsel. Dengan langkah lebar Nisa berjalan ke arah Bagus. Gadis ini melirik ke arah ponsel Bagus, "Keren juga nih tukang ojek, handponnya keluaran terbaru iceran gue," pikir Nisa. Bagus mendongak, segera memasukkan ponsel canggihnya. "Udah Nis, eh Non?" tanya Bagus. Nisa hanya mengangguk, "Maaf lama ya, Mas!! Bosen ya nunggu Nisa di bawah pohon?" tanya Nisa ramah. "Kesambet apaan, nih bocah, jadi ramah begini?" hati Bagus bertanya. "Apa ni anak berkepribadian ganda." pikir Bagus. "Nggak ... kok Non. Tadi sambil main game," jawab Bagus. "Bentar, Non saya ambil motornya dulu," Nisa mengangguk. Setelah Nisa naik di belakang Bagus, perlahan motor berjalan melewati pos, pak satpam membuka palang pintu. Bagus mengambil uang untuk membayar parkir. "Ambil kembaliannya," kebias
Tak ada jawaban dari bibir Nisa. "Ati-ati tiap hari jalan bareng nanti timbul rasa tak terduga," Lana terus mengkonfrontasi Nisa. Nisa hanya mendengus, tak menanggapi ocehan Lana. "Mas!!" Lana melambai, memanggil Bagus yang menunggu di bawah pohon rindang sedang berbincang ramah dengan para Mahasisiwi. "Eh busyet itu opa makin kece aja Nis. Lo gak deg degan dibocengin cowo ganteng begitu, tiap hari?" tanya Lana menyenggol lengan Nisa yang juga terkesima melihat Bagus. Baru kali ini Nisa memperhatikan postur dan wajah Bagus, memang benar kata Lana, dia tampan bertubuh proporsional. "Non, ayo," Bagus menyerahkan helm pada Nisa. "Mas ... Aku mau main dulu sama Lana, Mas Bagus pulang aja, Maaf ya udah bikin nunggu." Nisa memasang mimik mengsedih. "Udah bilang belum sama Den Damar, Non," tanya Bagus. "Gak usah bilang, nanti gak boleh, gue udah boring di r
Bab 25. "Lama amat Nisa, kemana itu anak?" Lana menengokkan kepala mencari keberadaan Nisa dengan netra memindai sekitar. "Mas, aku cek ke toilet dulu," ucap Lana, membangunkan tubuh, melangkah pergi. Sampai di depan toilet Lana mendengar kasak kusuk beberapa orang saling berbisik. Lana membuka pintu toilet. Alangkah terkejutnya Lana di sana ada Nisa sedang bertolak pinggang berdebat dengan seorang wanita. "Mbak coba bilang sama Mas Damar. Cerein aku. Mas Damar itu cintanya sama aku, aku buat masalah kaya apapun dia gak bakal cerein aku." Nisa berkata marah. "Tapi yang bisa dapetin Mas Damar itu aku, buktinya aku sudah punya anak." Wanita ayu ini menyilangkan tangan di dada berkata dengan pongah. Membuat Nisa menggeram emosi. "Kamu sudah pernah di sentuh belum sama Mas Damar?" tanya Kirana lagi tatapannya mengejek. "Aku belum lulus kuliah, kata Mas Da
Bab 26"Mas ... Kamu belum mandi," suara Nisa bergetar ketika wajah mereka tinggal beberapa inci. Netra bulat Nisa menyiratkan kekhawatiran, membuat Damar tersenyum penuh kemenangan. "Apakah perlu mandi?" tanya Damar dengan menyeringai. "B-bau, M-Mas...," ucap Nisa lagi terbata. "Masa? Biasanya kamu bilang, Mas, selalu wangi?" Damar menarik diri dari hadapan Nisa mencium ketiaknya bergantian. Lalu kembali mendekati Nisa, mengecup bibir Nisa, memang sudah biasa setelah menikah Damar sering mencium Istri kecilnya. Apalagi selama ini Nisa selalu agresif selalu nempel dimanapun Damar berada kecuali jika Damar sudah masuk ruang kerja. " Ya sudah tunggu sebentar, Mas Damar mandi dulu." Damar segera turun dari ranjang menuju kamar mandi, tetapi belum sampai kamar mandi lelaki berdada bidang ini berbalik. "Ayo mandi bareng, Nis. Damar menjulurkan tangan, meminta tangan Nisa. Gadis ini gel
Bab 27"Mamih aja yang di ajak, kalau Mamih yang di ajak pasti Mamih mau." suara Fina mengagetkan sepasang suami istri ini. "Kok kaget begitu kalian?""Tenang, mamih hanya sebentar di sini. Gak akan mengganggu kemesraan kalian." kekeh Fina. Dia mendekati Damar menggaitkan jemari di lengan Damar. "Sayang uang bulanan mamih belum cair?" tanya Fina manja, membuat Nisa jengah. "Papah sakit bukannya ngurusin, ini palah seneng-seneng terus," ujar Nisa kesal. "Di rumah sakit sudah ada yang ngurus Nisa sayang," ujar Fina menjawil dagu Nisa."Kenapa ... Papah masih pertahanin perempuan begini? Cari laki lain yang masih bisa kamu porotin dan bisa ngasih kamu kepuasan!" ucap Nisa menggebu. "Lalaki itu ada di sini, Nisa. Kalau kamu gak bisa memberi kepuasan pada Damar, biar mamih yang kasih," ucap Fina frontal, bibir tersungging menyeringai, kata-katanya mengibarkan bendera perang. "Menjijikan," uc
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal