Bab 23
Mas ...." Nisa memanggil Bagus yang sedang memainkan ponsel. Dengan langkah lebar Nisa berjalan ke arah Bagus. Gadis ini melirik ke arah ponsel Bagus, "Keren juga nih tukang ojek, handponnya keluaran terbaru iceran gue," pikir Nisa. Bagus mendongak, segera memasukkan ponsel canggihnya. "Udah Nis, eh Non?" tanya Bagus. Nisa hanya mengangguk, "Maaf lama ya, Mas!! Bosen ya nunggu Nisa di bawah pohon?" tanya Nisa ramah. "Kesambet apaan, nih bocah, jadi ramah begini?" hati Bagus bertanya. "Apa ni anak berkepribadian ganda." pikir Bagus. "Nggak ... kok Non. Tadi sambil main game," jawab Bagus."Bentar, Non saya ambil motornya dulu," Nisa mengangguk. Setelah Nisa naik di belakang Bagus, perlahan motor berjalan melewati pos, pak satpam membuka palang pintu. Bagus mengambil uang untuk membayar parkir. "Ambil kembaliannya," kebiasTak ada jawaban dari bibir Nisa. "Ati-ati tiap hari jalan bareng nanti timbul rasa tak terduga," Lana terus mengkonfrontasi Nisa. Nisa hanya mendengus, tak menanggapi ocehan Lana. "Mas!!" Lana melambai, memanggil Bagus yang menunggu di bawah pohon rindang sedang berbincang ramah dengan para Mahasisiwi. "Eh busyet itu opa makin kece aja Nis. Lo gak deg degan dibocengin cowo ganteng begitu, tiap hari?" tanya Lana menyenggol lengan Nisa yang juga terkesima melihat Bagus. Baru kali ini Nisa memperhatikan postur dan wajah Bagus, memang benar kata Lana, dia tampan bertubuh proporsional. "Non, ayo," Bagus menyerahkan helm pada Nisa. "Mas ... Aku mau main dulu sama Lana, Mas Bagus pulang aja, Maaf ya udah bikin nunggu." Nisa memasang mimik mengsedih. "Udah bilang belum sama Den Damar, Non," tanya Bagus. "Gak usah bilang, nanti gak boleh, gue udah boring di r
Bab 25. "Lama amat Nisa, kemana itu anak?" Lana menengokkan kepala mencari keberadaan Nisa dengan netra memindai sekitar. "Mas, aku cek ke toilet dulu," ucap Lana, membangunkan tubuh, melangkah pergi. Sampai di depan toilet Lana mendengar kasak kusuk beberapa orang saling berbisik. Lana membuka pintu toilet. Alangkah terkejutnya Lana di sana ada Nisa sedang bertolak pinggang berdebat dengan seorang wanita. "Mbak coba bilang sama Mas Damar. Cerein aku. Mas Damar itu cintanya sama aku, aku buat masalah kaya apapun dia gak bakal cerein aku." Nisa berkata marah. "Tapi yang bisa dapetin Mas Damar itu aku, buktinya aku sudah punya anak." Wanita ayu ini menyilangkan tangan di dada berkata dengan pongah. Membuat Nisa menggeram emosi. "Kamu sudah pernah di sentuh belum sama Mas Damar?" tanya Kirana lagi tatapannya mengejek. "Aku belum lulus kuliah, kata Mas Da
Bab 26"Mas ... Kamu belum mandi," suara Nisa bergetar ketika wajah mereka tinggal beberapa inci. Netra bulat Nisa menyiratkan kekhawatiran, membuat Damar tersenyum penuh kemenangan. "Apakah perlu mandi?" tanya Damar dengan menyeringai. "B-bau, M-Mas...," ucap Nisa lagi terbata. "Masa? Biasanya kamu bilang, Mas, selalu wangi?" Damar menarik diri dari hadapan Nisa mencium ketiaknya bergantian. Lalu kembali mendekati Nisa, mengecup bibir Nisa, memang sudah biasa setelah menikah Damar sering mencium Istri kecilnya. Apalagi selama ini Nisa selalu agresif selalu nempel dimanapun Damar berada kecuali jika Damar sudah masuk ruang kerja. " Ya sudah tunggu sebentar, Mas Damar mandi dulu." Damar segera turun dari ranjang menuju kamar mandi, tetapi belum sampai kamar mandi lelaki berdada bidang ini berbalik. "Ayo mandi bareng, Nis. Damar menjulurkan tangan, meminta tangan Nisa. Gadis ini gel
Bab 27"Mamih aja yang di ajak, kalau Mamih yang di ajak pasti Mamih mau." suara Fina mengagetkan sepasang suami istri ini. "Kok kaget begitu kalian?""Tenang, mamih hanya sebentar di sini. Gak akan mengganggu kemesraan kalian." kekeh Fina. Dia mendekati Damar menggaitkan jemari di lengan Damar. "Sayang uang bulanan mamih belum cair?" tanya Fina manja, membuat Nisa jengah. "Papah sakit bukannya ngurusin, ini palah seneng-seneng terus," ujar Nisa kesal. "Di rumah sakit sudah ada yang ngurus Nisa sayang," ujar Fina menjawil dagu Nisa."Kenapa ... Papah masih pertahanin perempuan begini? Cari laki lain yang masih bisa kamu porotin dan bisa ngasih kamu kepuasan!" ucap Nisa menggebu. "Lalaki itu ada di sini, Nisa. Kalau kamu gak bisa memberi kepuasan pada Damar, biar mamih yang kasih," ucap Fina frontal, bibir tersungging menyeringai, kata-katanya mengibarkan bendera perang. "Menjijikan," uc
Bab 28Di dalam kantor Hardiyata group perusahaan di bidang Farmasi yang kini merambah pada bisnis kesehatan sedang berbincang serius dengan Bagus si kepala Rumah Sakit tempat Chandra di rawat. Mereka membicarakan masalah Nisa dan juga saham perusahaan setelah Damar resmi menceraikan Nisa. Bagus setuju dengan semua kerjasama yang ditawarkan Damar. Entah apa sebabnya begitu melihat Nisa dia pun tertarik, apalagi Nisa adalah pewaris penuh dari saham kepemilikan Rumah sakit yang dia pimpin. Dengan terjalinnya kerjasama ini kekuasaan Damar akan aman tak tergoyahkan, Damar pun masih bisa memantau keadaan Nisa, Damar sepenuhnya akan tetap melindungi Nisa walaupun dia tak lagi bersama. "Oke untuk masalah ini, rapat direksi akan dilakukan paling cepat minggu depan," ujar Damar pada Bagus. "Surat-surat akan segera di cek, dan akan aku kirimkan ke padamu," ujar Damar, serius. "Bol
Bab 29"Ya udah kita hapy-hapy aja,pas banget gue ngajak elo," ujar Sinta, sumringah.Mereka sampe pada tempat yang dituju sebuah rumah besar sudah siap menyambut Sinta dan Nisa denga pesta tak lazim. Sudah banyak yang berkumpul mereka menyambut kedua gadis ini. Dua orang pria menghampiri nisa dan Sinta, seorang pria langsung memeluk dan mencium Sinta. "Nis, kenalin pacar gue, Heru." Sinta memeperkenalkan Kekasih sesaatnya. Nisa mengulurkan tangan. setelah itu ia pun menyalami lelaki di sebelah Heru. "Ardi," ucap si lelaki seraya menjulurkan tangan. "Nisa," jawab gadis yang kini sedang patah hati. Pesta kembali digelar. Semua bersorak, bernyanyi, bergoyang, laki dan perempuan sudah tak ada lagi batasan, bahkan tak malu mereka bercumbu di muka umum. Minuman keras mendominasi ditempat ini, terlihat mereka semua sudah dalam keadaan setengah sadar. Nisa menenggak minuman itu, seolah lupa jika minuman itu bukan
Bab 30.Damar mengendus bangun mendengar Alarm berbunyi dari ponsel. Nisa tertidur di pelukan lelaki bertubuh atletis ini. Damar mengusap wajah kasar, lalu menggeser tubuh gadis kecil dalam pelukan. "Mas, mau ke mana?" tanya Nisa mengeratkan pelukan kembali. Merasa nyaman berada di pelukan suaminya. Damar tak dapat berkata, dia menarik nafas dalam, hancur semua rencana yang sudah dia jalankan. Lagi dia menarik nafas dalam. "Nis bangun dulu, mandi solat subuh," ujar Damar. Nisa bergeming enggan bangun, sebenarnya dia malu mengingat semalam. Nisa menyodorkan tubuhnya karna Efek obat yang dia minum. Kini bagian bawahnya pun terasa sakit. Damar mencoba menghindar, tapi kondisi Nisa yang mengenaskan membuat Damar melakukan hal yang lama dia tahan. Damar sudah duduk dipinggir ranjang meraih celana boxer yang teronggok. Memakai kembali.Damar menyingkab selimut yang menutupi tubuh Nisa. "
Bab31Cuaca Kota Jakarta begitu terik, Nisa duduk di cafe tempat dia biasa nongkrong, hari ini gadis ini ada janji bertemu Lana di sini. Lana ingin mengenalkan gebetan baru.Hari ini Nisa menggunakan hijab sebab tadi sebelum berangkat Damar menasehati, apalagi sebelumnya Damar lagi-lagi mengajak Nisa mengarungi kenikmatan dunia. Nisa mengaduk gelas jus, pandangan ke arah kaca, tembus pada keramaian hilir mudik orang berjalan. Bibirnya tersungging mengingat kejadian-kejadian kebersamaan bersama Damar. Akhirnya penantiannya membuahkan hasil, kini dia memiliki jiwa raga kekasihnya. "Nis," tangan Lana menepuk pundak Nisa yang sedang mengingat sentuhan-sentuhan lembut Damar. "Iihhh ... Lana ... Ngangetin tau," ucap Nisa masam. "Liatin apa senyum -senyum sendiri?" tanya Lana penasaran, mengalihkan pandangan pada jalan yang tadi Nisa lihat. "Ehh ... Sini duduk." Nisa menarik tan
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal