Bab31
Cuaca Kota Jakarta begitu terik, Nisa duduk di cafe tempat dia biasa nongkrong, hari ini gadis ini ada janji bertemu Lana di sini. Lana ingin mengenalkan gebetan baru.Hari ini Nisa menggunakan hijab sebab tadi sebelum berangkat Damar menasehati, apalagi sebelumnya Damar lagi-lagi mengajak Nisa mengarungi kenikmatan dunia.Nisa mengaduk gelas jus, pandangan ke arah kaca, tembus pada keramaian hilir mudik orang berjalan. Bibirnya tersungging mengingat kejadian-kejadian kebersamaan bersama Damar. Akhirnya penantiannya membuahkan hasil, kini dia memiliki jiwa raga kekasihnya."Nis," tangan Lana menepuk pundak Nisa yang sedang mengingat sentuhan-sentuhan lembut Damar."Iihhh ... Lana ... Ngangetin tau," ucap Nisa masam."Liatin apa senyum -senyum sendiri?" tanya Lana penasaran, mengalihkan pandangan pada jalan yang tadi Nisa lihat."Ehh ... Sini duduk." Nisa menarik tanBan 32 "Maksud kamu apa membatalkan semua kerjasama?" tanya Bagus pada Damar, dengan ekspresi terkejut. Damar menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan, "Nisa buat masalah lagi." Damar menghentikan ucapan, menatap Bagus yang penasaran. "Kan sudah biasa dia buat masalah, sudah lekas ceraikan, aku yang akan menjaga, setelah kamu menceraikan dia, langsung aku lamar dan menikahinya, karna dia tak memiliki masa iddah," ucap Bagus panjang lebar. "Masalahnya dia buat masalah fatal Bro." Damar mengusap wajah kasar. "Sepertinya masalah berat?" tanya Bagus,mengamati wajah Damar. "Aku menggaulinya," ucap Damar pelan. "Ternyata kurang ajar juga, kamu, jadi lelaki," Bagus menatap Damar marah. "Dia dicekoki obat, untungnya aku segera datang, terlambat sebentar saja, dia melakukan dengan orang lain," ujar Damar. Kelebatan bayangan Nisa mengerang panjang terlintas. "Aahh ... Bro, aku harus menunggu masa idahnya berarti?" tanya Bagus. "Aku tak ingin menceraikannya sek
Bab 33Chandra sudah berbaring kembali di pembaringan yang terlihat nyaman. "Pah, perawat datang kembali jam berapa?" tanya Nisa. Chandra melirik jam yang berada di atas nakas. "Sebentar lagi Dokter spesialish datang mengontrol.Baru saja Nisa bertanya seorang perawat masuk, "Maaf, Pak Chandra waktunya pengecekan, kesehatan." Seorang lelaki berpostur tinggi masuk bersama seorang beberpa perawat. "Mas Bagus?" Nisa memanggil saat melihat Bagus masuk ke dalam ruangan."Non, Nisa?" Bagus reflek memanggil Nisa dengan sebutan Non. "Kok, Mas Bagus ada di sini?" tanya Nisa penasaran, pasalnya Bagus menggunakan atribut dokter lengkap dengan stetoskop tersampir di dada. "Dia ini Dokter yang merawat Papah, Nis." jawab Chandra. "Non, saya periksa, Pak Chandra, dulu, ya," ujar Bagus. "Saya periksa dulu ya Pak." Bagus mulai melakukan pengecekan kesehatan Chandra.
Bab 34"Dari mana seharian?" tanya Damar denga suara ditekan, marah. "Aku ketemuan sama Lana, terus nengok Papah. Maaf aku gak ngabarin lupa!" ujar Nisa takut melihat ekspresi Damar. "Lupa?!" tanya Damar dengan sorot menakutkan. "Enak ya, kencan sama laki-laki sampai lupa sama suami?" tanya Damar, menguliti. "Eh itu, aku ketemu, Mas Bagus, ternyata dia dokternya Papah, Mas 'kan yang ngerjain aku?!" Nisa meninggikan suara di kata terakhir. "Buat apa coba, Mas Damar ngerjain aku? Pake nyuruh Mas Bagus jadi tukang ojek?!" kini suara Nisa sudah seperti biasa lantang dan menantang. "Loh, kok kamu jadinya yang marah?" tanya Damar. "Marah lah, suami aneh, deket-deketin istri sendiri sama lelaki lain." Nisa menghentak kaki dan berlalu pergi menaiki anak tangga smabil berlari. Uh ... Damar mengepalkan tangan memukul angin. Kenapa jadi Nisa yang marah. Tu anak susah banget di
Bab 35Darmi memandang kepergian Damar dengan segala doa, wanita tua ini, tak tau pasti dari mana asal Damar. Yang dia tau sejak datang hingga sekarang Damar memiliki peringai baik, sopan, pekerja keras dan jujur. Walau terkadang keras terhadap Nisa, tetapi itu semua Darmi anggap sebagai didikan untuk Nisa. Sejak Damar datang Nisa yang tadinya selalu murung, menjadi bersemangat dan kembali ceria. Kemarin Darmi sempat was-was, ketika Nisa mengatakan Damar memiliki istri dan hingga sekarang belum juga menyentuh Nisa, tetapi segala was-was sirna setelah Damar menyatakan kalimat-kalimat penenang barusan. Kini tak ada lagi keraguan di hati wanita itu, jika Damar akan mencampakkan Nisa. Sekarang tugas Darmi adalah menenangkan Nisa agar mau berbagi. Tetapi sepertinya akan sulit. Darmi tau persis seperti apa sifat Nisa. "Non, Bangun sudah mau tengah hari, udah kelewatan sarapannya." Darmi membuka tirai kamar, cahaya terang
Bab 36Nisa kini tersenyum penuh kemenangan, melihat wajah Pram yang masam. "Sialan nih orang, bisa juga dia mempengaruhi Lana," monolog Pram. "Gue pulang aja, Lan. Temen lo ini emang gak suka kayanya sama gue," Pram bangun dari duduk segera melangkah pergi meninggalkan Lana. Lana mengejar Pram, "Bang jangan marah, kan Nisa bener, ngingetin kita." Lana terus berbicara. "Iya, abang gak marah, sekarang abang buktikan ke kamu, abang bisa punya kerjaan yang layak," ujar Pram. "Ya udah," Lana memeluk erat Pram dan mendaratkan ciuman. Membuat Nisa yang melihat jengah."Tuh 'kan, Nis. Liatkan ... Gak salah 'kan gue pilih Pram, dia itu baik," Lana kembali duduk di deket Nisa. "Lan tapi lo belum di apa-apain 'Kan sama Pram?" Netra Nisa menatap Lana penuh selidik. Lana tersenyum simpul."Kok elo senyum begitu? elo udah enak-enak sama Pram?" tanya Nisa gusar.
Bab 37 Damar terpaku sejenak, Kirana yang selama ini dia kenal tidak pernah berkata keras atau kasar. Kini bukan hanya suara yang keras, tetapi kini matanya menyorotkan kebencian begitu dalam. "Lepasin aku, Mas, jangan pernah lagi dekati aku, aku meminta kamu menceraikan aku," suara Kirana penuh luka. "Kirana, aku mencintaimu dan selamanya mencintaimu," Damar mencoba membujuk. "Aku gak sudi berbagi, aku gak kuat membayangkan kamu berbagi peluh dengan wanita lain. Lepaskan aku." Kirana terus berontak. Sebesar apapun cinta kamu gak sebanding sama luka yang kamu beri." "Kirana kemarin Nisa dicekoki minuman peningkat gairah. Aku menolong meringankan bebannya, a-" "Dan setelah itu kamu menikmati, lalu menginginkan terus?" Netra Kirana menatap Damar nyalang, penuh api cemburu. Damar han
Bab 38Kirana menarik tangan dari dada Damar. "Jangan bawa-bawa Allah, Mas," ucap Kirana. "Dengan apa lagi agar kamu percaya?" Damar berucap meyakinkan. "Apakah ada perubahan semalam?" tanya Damar serius. Kirana menggeleng. Damar menangkup wajah Kirana kembali mendaratkan ciuman. "Aku bahkan masih sama kuatnya, Kirana, kamu mau lagi?" Damar menggoda.kirana menepis tangan Damar yang sudah mulai menjelajah. " Mas ini di pondok, sebentar lagi solat subuh, di luar sudah ramai," ujar Kirana.Damar mengeratkan pelukan pada Kirana, "Nanti kalau sudah mau pulang kabari, ya." Damar mengecup pucak kepala Kirana. "Mas, aku kebelakang dulu, bantuin mbak-mbak masak buat santri." Damar mengangguk. "Pakai ini, Mas. Ke masjid aja, murojaah dulu sambil menunggu waktu subuh." Kirana memberikan sarung kopiah dan baju koko. "Ini punya siapa?" tanya Damar, menjembreng kemeja yang berada di pangkuan. "Punya kamu jaman dulu, ada dirumah ibu, aku bawa," ucap Kirana, sambil memakai hijab. Lalu memakai n
Bab 39"Ayah, aku rindu Bunda!" ucap Fatta si gadis kecil dalam pangkuan Damar. "Iya, minggu depan kita ke tempat bunda. Sekarang ke tempat Ayah dulu," ucap damar mencium pipi putri kecilnya. Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, mobil hitam milik Damar sampai di halaman rumah cukup megah. Nisa menyambut membuat Damar terkejut. "Mas siapa dia?" tanya Nisa, melihat ke arah gadis kecil dalam gendongan Damar. "Fatta salim sama Mama," Damar menyuruh fatta mencium tangan Nisa. Si gadis kecil pun mendekati Nisa setelah Damar menurunkan dari gendongan.Bocah lima tahun yang masih polos ini mengulurkan tangan, tetapi Nisa abai. "Nisa ajarkan sopan santun pada Fatta." Damar memerintah gadis yang masih belum dewasa. Dengan terpaksa Nisa mengulurkan tangan membolehkan fatta mencium tangannya. Nisa mengingat, gadis kecil ini anak dari wanita yang pernah Nisa datangi. "kembali Damar menggendong putri kecil. "Ayah, ini rumah siapa?" tanyanya polos. "Ini rumah ayah, sekarang Fatta tinggal
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal