Bab 37
Damar terpaku sejenak, Kirana yang selama ini dia kenal tidak pernah berkata keras atau kasar. Kini bukan hanya suara yang keras, tetapi kini matanya menyorotkan kebencian begitu dalam. "Lepasin aku, Mas, jangan pernah lagi dekati aku, aku meminta kamu menceraikan aku," suara Kirana penuh luka. "Kirana, aku mencintaimu dan selamanya mencintaimu," Damar mencoba membujuk. "Aku gak sudi berbagi, aku gak kuat membayangkan kamu berbagi peluh dengan wanita lain. Lepaskan aku." Kirana terus berontak. Sebesar apapun cinta kamu gak sebanding sama luka yang kamu beri." "Kirana kemarin Nisa dicekoki minuman peningkat gairah. Aku menolong meringankan bebannya, a-" "Dan setelah itu kamu menikmati, lalu menginginkan terus?" Netra Kirana menatap Damar nyalang, penuh api cemburu. Damar hanBab 38Kirana menarik tangan dari dada Damar. "Jangan bawa-bawa Allah, Mas," ucap Kirana. "Dengan apa lagi agar kamu percaya?" Damar berucap meyakinkan. "Apakah ada perubahan semalam?" tanya Damar serius. Kirana menggeleng. Damar menangkup wajah Kirana kembali mendaratkan ciuman. "Aku bahkan masih sama kuatnya, Kirana, kamu mau lagi?" Damar menggoda.kirana menepis tangan Damar yang sudah mulai menjelajah. " Mas ini di pondok, sebentar lagi solat subuh, di luar sudah ramai," ujar Kirana.Damar mengeratkan pelukan pada Kirana, "Nanti kalau sudah mau pulang kabari, ya." Damar mengecup pucak kepala Kirana. "Mas, aku kebelakang dulu, bantuin mbak-mbak masak buat santri." Damar mengangguk. "Pakai ini, Mas. Ke masjid aja, murojaah dulu sambil menunggu waktu subuh." Kirana memberikan sarung kopiah dan baju koko. "Ini punya siapa?" tanya Damar, menjembreng kemeja yang berada di pangkuan. "Punya kamu jaman dulu, ada dirumah ibu, aku bawa," ucap Kirana, sambil memakai hijab. Lalu memakai n
Bab 39"Ayah, aku rindu Bunda!" ucap Fatta si gadis kecil dalam pangkuan Damar. "Iya, minggu depan kita ke tempat bunda. Sekarang ke tempat Ayah dulu," ucap damar mencium pipi putri kecilnya. Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, mobil hitam milik Damar sampai di halaman rumah cukup megah. Nisa menyambut membuat Damar terkejut. "Mas siapa dia?" tanya Nisa, melihat ke arah gadis kecil dalam gendongan Damar. "Fatta salim sama Mama," Damar menyuruh fatta mencium tangan Nisa. Si gadis kecil pun mendekati Nisa setelah Damar menurunkan dari gendongan.Bocah lima tahun yang masih polos ini mengulurkan tangan, tetapi Nisa abai. "Nisa ajarkan sopan santun pada Fatta." Damar memerintah gadis yang masih belum dewasa. Dengan terpaksa Nisa mengulurkan tangan membolehkan fatta mencium tangannya. Nisa mengingat, gadis kecil ini anak dari wanita yang pernah Nisa datangi. "kembali Damar menggendong putri kecil. "Ayah, ini rumah siapa?" tanyanya polos. "Ini rumah ayah, sekarang Fatta tinggal
Bab 40Damar menaruh nampan, mengambil bantal yang bercercer, membenahi selimut. "Nasib-nasib punya istri dua ngambek semua, ya Allah tolong ya Allah. Lembutkan hati istri-istriku," ucap Damar. Tetapi ucapan Damar semakin menyulut emosi Nisa. "Lagian maruk sih, pake punya istri dua," ucap Nisa dengan raut jengkel. "Stok perempuan banyak, Nis. jadi mas hanya menyelamatkan mereka dari ke jomblo-an," ucap Damar, berusaha mencairkan ketegangan."Alasan padahal maruk, satu aja gak abis, ini punya dua, ntar pengen tiga," cerocos Nisa. "Insha Allah dua aja, Nis. Cape juga Mas Damar. Rasanya pengen guling-guling juga, pulang ke sini, yang di sana ngambek, pulang ke sana yang di sini ngambek." Damar duduk di deket Nisa memasang wajah lelah. Memang Nisa akui, wajah Damar belakangan ini terlihat sangat lelah. "Lelah, iya, lelah. karna Mas Damar harus juga memuaskan dua orang wanita. Monolog Nisa. Netra Nisa
Bab 41Lelaki atletis ini menarik diri dari tubuh wanita di bawahnya, terburu memakai kain penutup tubuh, menyelimuti raga polos wanita yang kini tak berdaya, nafas masih sedikit memburu, mata terlihat sayu karna hasrat yang belum tuntas. "Mas keluar sebentar." Dengan cepat Damar menuju pintu membuka dan terdengar suara Fatta menangis keras. "Maaf Den, Non Fatta nangis sejak tadi, gak mau saya gendong," ujar Marni sedikit ada rasa tak enak. "Gak apa-apa," suara Damar terdengar berat, keringat di kening pun terlihat belum diseka. "Ayo sama Ayah," Damar menggendong Fatta membawa masuk ke dalam kamar membaringkan di dekat Nisa yang masih tergolek.Tak ada kata atau ucapan apapun dari wanita muda ini, dia menghadapkan badan pada Fatta tubuh masih di dalam selimut karna belum berpakaian. Tangan Nisa menepuk-nepuk paha Fatta, tak ada raut kesal atau benci.Hingga Fatta kembali tertidur, Damar
Lelaki ini membuka lagi pakaian yang sudah dia kenakan. Terjun ke dalam kolam, mengarungi isi kolam renang hingga gejolak amarah di dada sirna. Kirana duduk termenung di teras, memangku Fatta, karna Rudi tak mau membukakan pagar walau Kirana memaksa. "Maaf, Bu, tolong mengerti keadaan saya, jika saya buka pintu ini, taruhannya pekerjaan saya, kalau saya gak kerja, anak istri saya makan apa?" ucap Rudi, membuat Kirana terdiam. Nisa duduk di sofa, mukanya di tekuk masam,tangan melipat di dada, memandang Damar yang tak kunjung lelah. Setelah kejadian ini, ntah apa yang kedua wanita ini akhirnya pikirkan.Tak lagi ada suara atau gerak dari ketiga orang yang sedang berseteru Maslah hati ini. Hingga lelaki atletis ini naik dari dalam kolam mengistirahatkan tubuh di kursi santai, pinggir kolam renang. Dadanya terlihat turun naik, sepertinya begitu lelah, hingga nafasnya terlihat teratur. "Mbak makan dulu aja. Ajak Fatta m
Bab 43Damar mempertahankan pernikahannya, bukan hanya soal cinta, ambisi, apalagi selangkangan. Ini soal tanggung jawab dan janji. Janji kepada Tuhan yang utama, selebihnya janji kepada kedua orang tua wanita yang dia nikahi lalu janji pada si wanita.Lelaki berhidung tinggi ini, mendudukkan kedua wanita bersebelahan, Kirana Dan Nisa menolak tapi Damar mendorong paksa kedua wanita untuk duduk. Lelaki ini meraih Fatta membawa masuk memberikan pada Mbok Darmi. "Mbok, Marni sudah bereskan kamar?" tanya Damar. "Sedang di bereskan, Den." "Nanti kalo sudah, suruh momong Fatta main di taman belakang," Damar menyerahkan Fatta, Darmi membawa Fatta ke belakang.Damar kembali menghampiri kedua wanitanya yang sudah duduk terpisah kembali. Hanya gelengan kepala yang Damar lakukan. "Sini," Damar membopong Nisa duduk dekat Kirana. Kirana membelalakkan mata melihat kelakuan Damar, secara tiba-tiba Damar me
Bab 44Damar menelpon bagian kebersihan Apartemen untuk membersihkan hunian. Lalu mengajak Kirana berbelanja pakaian terlebih dahulu."Mas gak usah belanja terlalu banyak, akan menjadi hisab," ujar Kirana. "Pakaianku di rumah juga masih banyak yang layak," ujarnya lagi. "Ambil beberapa setel, besok aku suruh Roni mengemas pakaian kamu," Damar memberi perintah pada Kirana. "Fatta mau beli baju juga?" tanya Damar yang di angguki Putri kecilnya. Dari jauh ada seorang wanita yang sedang memperhatikan mereka, wanita dengan pakaian seksi bergincu merah ini, tersungging penuh intrik. "Ternyata, tak sepolos dugaan, Damar, lelaki kok sukanya perempuan ninja," ujar Finna, bibir merona menyungging senyum penuh manipulasi. Beberapa foto dia ambil ketika Damar memilihkan pakaian untuk Kirana, setelah dirasa cukup wanita berbaju kerah pendek ini mendekati Damar dan Kirana. "Damar sayang, kita ketemu di sini." ujar Fina, tangan reflek menggelendot pada lengan Damar. Dengan cepat Damar mene
Bab 45."Assalamualaikum, Lan." Bik Nira menghapiri Nisa. "Waalaikumsalam, Non lama gak dateng. Masuk Non," Nira menyuruh Nisa duduk. "Lana ada, Bik," tanya Nisa. "Ada Non." Nira melirik ke arah atas kamar Lana. "Baru masuk kamar, mungkin mau istirahat.""Tumben, aku langsung naik aja, Bik." Nisa mengangkat badan melangkah tetapi lengannya di cekal oleh Nira. "Non, Non Lana sama pacarnya barusan masuk, kamar." Aduan Nira membuat mata Nisa terbelalak. "Sering mereka masuk kamar?" tanya Nisa."Baru kali ini, Non," Nira menjawab. Nisa berlari menaiki anak tangga, Nira pun mengejar. "Non, jangan Non.""Nggak bisa di biarkan Bik, namanya zinah, dosa, Nisa langsung membuka pintu kamar Lana yang tak terkunci. "Lana!!" Nisa berteriak melihat adegan dewasa di hadapan. Lana langsung menutupi tubuh bagian atas yang sudah terbuka. "Ya ampun Nisa!! Bikin kaget ...." Lana berbicara tanpa ada rasa bersalah. Memang dia tak bersalah, mereka melakukan sama-sama suka, pram singel dan Lana singe
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal