Bab 45."Assalamualaikum, Lan." Bik Nira menghapiri Nisa. "Waalaikumsalam, Non lama gak dateng. Masuk Non," Nira menyuruh Nisa duduk. "Lana ada, Bik," tanya Nisa. "Ada Non." Nira melirik ke arah atas kamar Lana. "Baru masuk kamar, mungkin mau istirahat.""Tumben, aku langsung naik aja, Bik." Nisa mengangkat badan melangkah tetapi lengannya di cekal oleh Nira. "Non, Non Lana sama pacarnya barusan masuk, kamar." Aduan Nira membuat mata Nisa terbelalak. "Sering mereka masuk kamar?" tanya Nisa."Baru kali ini, Non," Nira menjawab. Nisa berlari menaiki anak tangga, Nira pun mengejar. "Non, jangan Non.""Nggak bisa di biarkan Bik, namanya zinah, dosa, Nisa langsung membuka pintu kamar Lana yang tak terkunci. "Lana!!" Nisa berteriak melihat adegan dewasa di hadapan. Lana langsung menutupi tubuh bagian atas yang sudah terbuka. "Ya ampun Nisa!! Bikin kaget ...." Lana berbicara tanpa ada rasa bersalah. Memang dia tak bersalah, mereka melakukan sama-sama suka, pram singel dan Lana singe
Bab 46Kirana memasuki hunian apartemen milik suaminya sudah dalam keadaan bersih, dia membongkar semua belanjaan yang tadi Damar belikan. Fatta masih tertidur. Memasukkan satu persatu pakaian yang tadi dibeli ke dalam lemari tanpa dia cuci. Tempat dia belanja tadi begitu mewah, bersih bahkan lantainya bisa di gunakan untuk bercermin. "Biarlah tak usah di cuci," monolog Kirana. Wanita lembut ini mengedarkan pandangan pada hunian kini dia berada. Hunian mewah, karir cemerlang, bahkan hingga di beri kekuasaan tertinggi oleh si pemilik perusahaan, itu karna dedikasi, kerja keras dan tanggung jawab diterapkan dalam pribadi Damar. Kini lelaki ini di hadapkan pada keadaan sulit, untuk mempertanggung jawabkan apa yang sudah dia ikrarkan. Kirana sebagai wanita tak ada hak meminta cerai ketika suami mampu berpoligami, mampu melakukan syariat islam dengan baik, bahkan Damar berusaha untuk berbuat adi seadil-adilnya pada dua wanitanya. Kirana memandang Fatta, sebersit ingatan muncul, "Bunda
Bab 47Damar masuk ke dalam rumah sudah dalam keadaan gelap. Tanpa menyalakan lampu lagi lelaki ini langsung menaiki anak tangga masuk kedalam kamar. Tetapi tak ada Nisa di atas ranjang, Damar langsung menghubungi orang yang biasa mengawasi Nisa."Nggak Liat?" tanya Damar terkesiap. Tapi mobil Nisa ada di parkiran kemana ini bocah pikir Damar, tadi udah mau pulang pake tergoda sama Kirana, pikir Damar lagi. Lelaki ini menuruni anak tangga kembali keluar bertanya pada Security, Satpam tak lihat juga Nisa keluar. "Sejak tadi saya di sini gak liat Non Nisa keluar Den," ujar Rudi gelagapan, pasalnya dia tertidur tadi. Apakah Nisa memindik keluar tanpa sepengetahuannya. Damar kembali masuk ke dalam rumah dengan tergesa, menuju kamar Darmi, melewati ruang televisi, tetapi Damar khawatir mengganggu wanita tua itu. Dia urungkan dan duduk di sofa, netranya mendapati Nisa yang sedang tertidur di karpet terhalang sofa."Ya Allah istriku, dicariin ada di sini." Damar mengangkat tubuh Nisa."M
Di dalam ruang kantor sebuah gedung tinggi menjulang dengan tulisan Hardiyata group ini, seorang wanita ber style ala abg duduk di sofa, Fina menggunakan kaos putih pas badan di padu jins pensil. Jari tangan menggapit rokok, bibir seksi sesekali memainkan asap membentuk bulatan bulatan kecil, sesekali menghembuskan kasar. "Ayolah sayang, mami tak bisa hidup tanpa uang," Fina memelas pada anak angkat yang dilimpahkan tanggung jawab memberikan materi yang di butuhkan wanita matang ini. "Papah, sudah ada dirumah kamu belum pernah mengunjunginya, dia selalu bertanya di mana kamu," ujar Damar, memandang Fina dengan tatapan antipati. Rokok dalam apitan jari di matikan, wanita yang kini berpenampilan modis ini bangun mendekati Damar. Umur dan penampilan berbanding terbalik, Fina terlihat lebih muda dari usianya. "Tapi kamu selalu bisa membuat alasan kemana aku pergi kan, sayang."Jari-jari lentik dengan cat kuku bagus menambah pesona kecantikan hanya dengan melihat jemari tangan milik Fin
Bab 49.uhuk.... Damar tersedak air yang sedang dia minum. "Mas, hati-hati," Nisa bangun menepuk pundak Damar. Chandra menatap Fina mencari kepastian dari ucapan istrinya. "Pah, jangan liatin mami begitu, mamih cuma menduga, mami 'Kan cemburuan, penuh curiga pada lelaki yang gak kuat di ranjang," ujar Fina pelan. "Kata siapa Mas Damar gak kuat di ranjang," Nisa membela lelaki yang bisa membuatnya terkapar tak berdaya."Nisa, sudah tak usah membongkar urusan ranjang, tabu," ujar Damar menyentuh lengan wanitanya. "Pah, Nisa pamit, Nisa sudah selesai makannya," wanita ngambekan ini langsung pergi menarik tangan Damar. "Ayo Mas." "Mami, kita udah tua, salinglah menghargai, jangan seperti itu terus sama anak-anak," Chandra selalu sabar menasehati istri penghianat. "Iya, Pah." Fina menggelendot di tangan suaminya. "Pah masuk kamar yuk, udah lama Papah di rumah sakit, memang gak rindu sama mami." Fina berbisik di telinga Chandra. Lelaki ini tersenyum cerah. Bagaimanapun, Fina selalu da
Bab 50Adzan subuh berkumandang, tangan lelaki ini memeluk erat pinggang wanita disebelahnya. Rasanya baru saja memejamkan mata, tetapi panggilan untuk bersujud sudah terdengar. Damar beringsut turun dari ranjang, masuk ke dalam kamar mandi, menyetel keran air hangat. Mengisi bathtub. Setelah penuh, lelaki ini membopong tubuh Nisa yang masih enggan untuk bangun. "Mas, aku masih ngantuk," ujar Nisa, menepis tangan Damar, menaikkan lagi selimut hingga bahu. "Tapi udah subuh, nanti kalo udah mandi jadi seger." Damar mengecup ceruk leher gadis manja di hadapan. Mata Nisa mengerjab merasa geli, dia melingkarkan tangan ke leher Damar. Tanpa kata lagi Damar mengangkat masuk ke dalam kamar mandi. Menaruh tubuh mungil di dalam bathtub. Tubuh yang tadinya terasa ngilu dan pegal berangsur rileks. Damar memijit pelan bahu wanita muda ini. "Nis sebelum mandi hadas, kita lanjut dulu ya. Biar cepet kasih papa cucu," Damar menaik turunkan alis. Wajah Nisa tersipu malu, "Ya ampun. Mas... Nisa aj
Kedua lelaki saling tatap. Bola mata Chandra menatap dengan keharusan, dan iris hitam legam Damar mengatakan tidak apapun taruhannya. "Nggak, Pah." Dengan tegas Damar berkata tidak. Chandra menggebrak meja, membuat Nisa terjengkit kaget. "Pah, jangan emosi, nanti sakit lagi." Nisa mengingatkan. "Mas." Nisa memandang sendu kekasihnya. "Pah." Suara Damar melemah. "Jangan paksa aku untuk meninggalkan wanita yang sudah menjadi tanggung jawabku, jangan ajarkan aku menjadi pecundang, jangan ajarkan aku menjadi lelaki hina karna membuang yang seharusnya dia lindungi. Chandra menatap mata Damar penuh penekanan, mencari sejauh mana sikap gentle, dan sikap adil pada Damar. Irish kecoklatan milik Chandra beralih menatap Nisa," urus gugatan cerai kamu, papah akan dukung sepenuhnya."Kepala Nisa menggeleng samar, walau awalnya dia ingin sekali bercerai tetapi kini niatan itu sirna, saat ini hati Nisa terasa seperti sedang pasa fase paling bahagia, apapun status Damar saat ini. Apakah ini yang
"Apa sih, Mas. Lengket juga badannya." Nisa mendorong tubuh Damar."Orang tadi mas lagi olah raga, Fina ganggu, eh kepergok Papah. Olahraganya gak di lanjut, sekarang lanjut sama kamu aja yuk." Sambil bangun Damar meraih pinggang ramping Nisa, mengangkat menuju ranjang."Mas, badan kamu lengket banget ini," teriak Nisa menggeleng-gelengkan kepala, mengelak dari ciuman Damar. "Ya udah, sambil mandi aja." Damar turun dari ranjang, mengangkat Nisa menuju kamar mandi."Nggak mau... Aku udah mandi," Nisa berusaha turun, tapi rengkuhan Damar begitu kuat hingga sampai di kamar mandi Nisa masih juga meronta dan berteriak, hingga air shower membasahi tubuh, bibir Damar pun membungkam bibir yang sejak tadi berteriak. Hingga si wanita tak mampu lagi melawan, dia hanyut dalam buaian tangan nakal juga kecupan memabukkan lelaki dihadapan. Lagi dan lagi, wanita yang begitu manis ini mampu mengimbangi dan m
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal