"An, Ibu mau bicara sama kamu!" Aku yang masih sibuk membersihkan dapur usai menyiapkan makan pagi dikagetkan ibu Mas Guntur yang tiba-tiba menyembul dari pintu pembatas antara ruang dapur dan ruang tengah."Iya, Bu. Ibu mau bicara apa sama Ana." Aku seger menghampirinya setelah terlebih dahulu meletakkan sapu ijuk yang baru saja aku gunakan pada tempatnya di pojok kanan dapur ini."An, kamu sudah tahu 'kan berapa besaran gaji suami kamu itu. Ditambah lagi kamu sedang berbadan dua otomatis pengeluaran rumah ini akan semakin bertambah..." Ibu menjedah ucapannya lalu berjalan kearah kursi makan dan kemudian menariknya untuk didudukinya. "Kamu kenapa gak berinisiatif untuk membantu suamimu mencari uang. Kamu juga sudah tahu kan, mantan-mantannya di Guntur itu semua wanita mandiri dan sukses. Apa kamu tidak malu?" Lanjutnya setelah bobotnya dijatuhkan pada salah satu kursi dari meja makan tersebut."Ana gak malu, Bu. Untuk apa juga Ana harus merasa malu. Lagian Ana ini juga kerja kok Bu.
"An, aku mau ngomong sama kamu." ucap Mas Guntur yang baru saja pulang dari tempat ia mengais rezeki.Tidak seperti biasanya. Tumben sekali, suara motornyapun aku tidak mendengarnya. Ah, kenaperasaanku mendadak jadi tidak enak. Mas Guntur langsung menutup pintu kamar ini. Iya, sat ini kami sedang berada di dalam kamar. Aku baru saja selesai merapikan mukenah yang baru saja aku pakai untuk melakukan kewajiban empat rakaat ashar. Aku belum sempat menyiapkan apapun untuk menyambut kedatangan suamiku. Tidak seperti biasanya. Ini bukan jam biasanya ia pulang kerja."Kok, gak pake salam dulu, Mas. Masuk rumah wajib hukumnya mengucapkan salam. Kok tumben jam segini sudah pulang." Setelah merapikan mukenah dan mengembalikannya ketempat semula. Aku segera menghampiri Mas Guntur yang sudah duduk di pinggiran ranjang untuk segera menyalaminya seperti biasa."Kamu tadi sudah apain ibu sama Mbak Mila?" tanyanya tanpa basa-basi sambil menatap tidak suka ke arahku. "Apa benar kamu sudah maksa Mbak
Sudah bulat tekatku untuk berubah. Aku harus bisa menjadi manusia yang lebih baik. Aku yakin Tuhan telah memberiku kesempatan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik.Aku juga yakin pasti setiap orang mempunyai sisi kelam dalam hidupnya.Aku juga akan membuktikan bahwa diri ini pun bisa menjadi manusia yang lebih baik.Semenjak aku bekerja dengan suami baru mantan istriku. Rasanya diri ini sangat jauh berbeda darinya saat memperlakukan keluarga kecilnya, istri dan anak-anaknya. Bahkan Zainal pun tak pernah membedakan kasih sayangnya pada putri sambungnya, Zaskia, putriku dan juga Fitri dari pernikahan kami.Justru Zaskia mendapatkan kasih sayang yang berlimpah dari ayah sambungnya itu ketimbang aku yang merupakan ayah kandungnya.Aku justru lebih mengutamakan keluargaku sendiri dan juga anak-anak dari Mbak Mila dan abai akan putri dan juga istriku.Seperti nasi yang sudah menjadi bubur nasi yang tidak akan bisa diolah lagi.Menyesal. Tentu saja sebagai orang yang normal rasa ses
"Tante, mana uang saku aku?" Desi si sulung dari Mbak Mila tiba-tiba datang menghampiriku yang sedang mencuci bekas peralatan masak di dapur.Aku mengerutkan dahi ketika menoleh ke arahnya. "Maaf, Desi. Bukannya tante tidak mau kasih uang sana kamu juga Deska. Tapi uang saku dan uang jajan kamu itu sudah Om Guntur titipkan sama ibu kalian. Jadi kalau kalian mau minta uang saku dan uang jajan minta sama ibu kalian bukan sama tante lagi." Sebenarnya ada rasa tak tega ketika melihat gadis kecil ini. Tapi mau bagaimana lagi. Itu salah dari orang tuanya sendiri serta kesalahan cara mereka untuk mendidik anak-anaknya. Mbak Mila terlalu memanjakan buah hatinya, begitu juga ibu yang selalu memberikan dukungan karena mengiyakannya. Selama ini permintaan putra putrinya itu harus terpenuhi. Tentu saja dia tidak ikut memikirkan mana kebutuhan yang lebih utama dan yang mana harus dikesampingkan karena aku dan mas Guntur-lah yang harus mengeluarkan biaya untuk mereka semua."Tapi kata mama semua u
Di kamar ini-lah yang menjadi tempat ter-nyamanku selama aku tinggal bersama dengan keluarga suamiku.Aku menyibukkan diri yang mana kesibukan yang aku jalani ini tak pernah diketahui oleh mereka. Mungkin yang mereka pikir dan tahu, aku banyak menghabiskan waktuku untuk tidur sehingga ibu mertua selalu menyebutku sebagai wanita pemalas. Padahal sebaliknya. Mereka bisa makan juga dari sebagian uang pribadi yang sengaja aku keluarkan pun tanpa sepengetahuan dari mas Guntur. Tak ingin membuatnya berkecil hati yang akan membuatnya berpikiran jika istrinya ini tidak pandai mengatur uang dari suami serta mensyukuri rezeki yang ada.Mungkin dari ini pula yang membuat mereka selalu memanfaatkan suamiku. Mereka mengira bahwa uang yang suamiku berikan untukku adalah lebih.Seiring dengan berjalannya waktu dan juga cukup bagiku untuk bisa menilai bagaimana mereka. Aku sudah memutuskan untuk segera keluar dari rumah ini. Tak akan lagi aku dengarkan alasan mereka yang berusaha untuk menahan mas Gu
"Buktikan, mbak. Jangan cuma mengancam atau omdo alias ngomong doang," cibirku tak mau kalah. Amit- amit semoga anakku tidak meniru kelakuan atau watak dari keluarga ayahnya.Mungkin juga ini kart bawaan bayiku. Entah sedari awal hamil, ingin saja diri ini untuk melawan perlakuan buruk mereka . Namun aku masih sebisa mungkin menahannya. Tapi tidak untuk sekarang ini dan seterusnya.Jadi keputusan ku untuk segera keluar dari rumah ini semakin kuat. Malu juga numpang hidup di rumah orang apalagi karena belas kasihan. Meskipun aku bukan orang kaya, sebisa mungkin diri ini berusaha untuk tidak merendahkan diri dihadapan orang.Sepertinya lapar, sehingga saudari iparku tidak lagi menanggapi omonganku. Dia berlalu begitu saja. Masa bodoh. Yang penting aku sudah makan. Urusan perutnya itu urusannya sendiri.Selesai mencuci peralatan masak dan makan. Aku melanjutkan untuk mencuci baju di belakang rumah. Di rumah ini memang belum mempunyai mesin cuci. Jadi untuk mencuci baju aku biasanya manu
"Kamu gak apa-apa, kan, Dek?" tanya mas Guntur saat kami sudah berada di dalam kamar kami."Iya, Mas. Ana gak apa-apa. Justru Ana yang harusnya minta maaf sama mas. Ana sudah berani melawan Ibu," akuh-ku pada suami. Aku tahu yang aku lakukan memang tidaklah pantas. Aku hanya ingin melindungi diri. Aku tidak mau selamanya dan terus menerus di manfaatkan oleh Ibu mertua dan mbak Mila."Selama di rumah kamu yang hati-hati saja. Kalau tidak ada keperluan baik di kamar saja." Nasehat suamiku. Pasti mas Guntur juga mencemaskan istrinya atas sikap dari ibu juga saudarinya."Mas ...." Aku melihat ke arah mas Guntur yang sudah merebahkan diri di atas kasur kamar kami. Pasti ia sangat lelah setelah seharian dan setiap hari yang harus bersusah payah untuk mengais rezeki. Sebenarnya aku sudah sangat memikirkan bagaimana kedepannya kehidupan rumah tangga kami ini. Aku berharap suamiku tidak terus bekerja di bawah pimpinan orang lain. Aku ingin ia memiliki usaha sendiri dengan kemampuan yang ia mil
Hari ini tidak seperti hari biasanya. Berbeda karena pengaruh dari suasana hati juga pikiran. Hari ini aku dan juga istriku---Ana, kami saling mendiamkan satu sama lain. Sarapan pun kami dalam keadaan hening tidak ada kata-kata yang terlontar dari mulut kami berdua. Bukan aku marah atas permintaannya, melainkan aku kecewa. Sudah kami bahas sebelumnya jika kami tidak mungkin untuk keluar dari rumah yang sudah aku dan keluargaku tinggali selama beberapa tahun ini.Bukannya tidak mau dan tidak ingin membahagiakan istri. Tapi dilema yang sedang melanda diri ini yang masih belum bisa untuk mengambil keputusan.Di sini posisiku adalah sebagai anak, sebagai saudara dan juga sebagai suami. Aku pria dewasa satu-satunya di rumah ini sekaligus sebagai tulang punggung yang m mang sudah menjadi kewajibanku saat ini.Aku tidak tega bila harus meninggalkan ibuku yang kondisinya juga sudah tidak muda dan sekuat dulu lagi. Masih ada dua keponakan ku---anak dari kakak perempuan satu-satunya yang juga