Hari ini tidak seperti hari biasanya. Berbeda karena pengaruh dari suasana hati juga pikiran. Hari ini aku dan juga istriku---Ana, kami saling mendiamkan satu sama lain. Sarapan pun kami dalam keadaan hening tidak ada kata-kata yang terlontar dari mulut kami berdua. Bukan aku marah atas permintaannya, melainkan aku kecewa. Sudah kami bahas sebelumnya jika kami tidak mungkin untuk keluar dari rumah yang sudah aku dan keluargaku tinggali selama beberapa tahun ini.Bukannya tidak mau dan tidak ingin membahagiakan istri. Tapi dilema yang sedang melanda diri ini yang masih belum bisa untuk mengambil keputusan.Di sini posisiku adalah sebagai anak, sebagai saudara dan juga sebagai suami. Aku pria dewasa satu-satunya di rumah ini sekaligus sebagai tulang punggung yang m mang sudah menjadi kewajibanku saat ini.Aku tidak tega bila harus meninggalkan ibuku yang kondisinya juga sudah tidak muda dan sekuat dulu lagi. Masih ada dua keponakan ku---anak dari kakak perempuan satu-satunya yang juga
Seperti biasanya. Semenjak mendapatkan pekerjaan baru, Mila mulai jarang berada di rumah. Pergi pagi pulang malam, tidak jarang juga pergi malam secara diam-diam dan menjelang siang baru ia kembali pulang ke rumah.Saat Mila sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan dengan pria kencannya tanpa sengaja dari arah parkiran mobil matanya menangkap sosok yang sangat ia kenali sebelumnya.“Sayang kamu lagi lihatin apa?” tangan kekar yang melingkar di pundaknya tiba-tiba membuyarkan konsentrasinya.“Ngak, kok, Mas. Aku tadi cuma liatin orang yang sepertinya aku kenal.”“Siapa?” tanya pria berumur yang menjadi teman kencannya saat ini.“Perempuan yang pernah mencuri dan menjual surat rumah ibuku, Mas.”Pria itupun mengikuti arah kemana mata wanitanya itu mengarah.“Yang, mana mereka?” “Sepertinya mereka sudah pergi. Biar saja. Nanti kalau ketemu lagi tidak akan aku lepaskan perempuan b@jin@n itu,” geramnya.“Oke. Gak usah dipikirin. Kita senang-senang dulu saja sekarang. Nanti kita pikirkan
"An ...," sapa mas Guntur ketika baru saja sampai di teras rumah. Aku yang sore ini sedang menyiram tanaman di depan rumah."Assalamualaikum ...." Aku menjadi menimpalinya dengan membenarkan untuk terlebih dahulu mengucapkan kata salam."Waalaikumsalam ...," balasnya kemudian.Aku meletakkan selang air dan meletakkan di tempatnya semula sebelum menyalami tangan suamiku.Nampaknya es yang membeku tadi pagi, sore ini sepertinya sudah mencair. "Mau minum kopi dulu apa mandi dulu?" ucapku menawari."Kopi dulu sekalian mas mau ngobrol sama kamu."Setelah mendapatkan jawaban. Aku gegas menuju dapur dan membuatkan secangkir kopi untuknya."Ibu sama anak-anak kok gak kelihatan?" Mas Guntur membuntuti aku yang sudah berada di dapur."Iya, tadi Ibu keluar tapi gak tahu kemana. Anak-anak tadi ikut Ibu juga dan hari ini mereka bolos sekolah lagi.""Loh kok bolos lagi? Apa meret sebelumnya juga sering tidak masuk sekolah?""Iya seperti itu, Mas. Sepertinya kedua anak mbak Mila sudah tidak ada min
Saat hendak merebahkan raga ini dari arah luar terdengar gedoran yang aku yakin adalah suara dari pintu kayu rumah kami.Aku dan mas Guntur yang sudah ada di pembaringan terpaksa beranjak untuk mencari tahu siapakah di sana. Mbak Mila? Mungkin saja. Biar. Biar mas Guntur sendiri yang membukakan pintu tersebut. Biar dia tahu bagaimana kekakuan kakaknya yang selalu dilindunginya sekarang.Aku mau tidak mau juga ikut mengekor suami di belakang."Mbak, Mila?" pekik suamiku.Mas Guntur mundur seketika saat pintu tersebut didorong kasar oleh kakaknya."Minggir, Gun!" sentaknya pada adiknya sendiri."Mbak ini apa-apaan, sih. Pulang larut, apa gak ingat anak-anak di rumah!" cerca suamiku."Aku ini kerja. Ini juga karena ulah istrimu itu." Perempuan itu menunjukku. Aku? Kenapa aku yang harus di bawa-bawa. Dasar gak waras."Enak saja mbak nyalahin aku. Iya dulu aku memang bodoh mau kau bohongi. Tapi sekarang aku sudah sadar. Mbak nyalahin aku karena sudah berani tegas dan gak mau lagi nurutin
Aku pusing. Bagaimana tidak. Ana yang begitu penurut tiba-tiba saja memutuskan untuk pergi dari rumah ini. Ia sudah nekat. Aku pun tak bisa mencegahnya.Semua karena ucapan dari Ibu juga mbak Mila yang memang jika aku jadi Ana, aku juga pasti akan merasakan sakitnya. Aku sadar selama tinggal dan menjadikan istriku. Keluarga ku belum bisa menerima Ana untuk sepenuhnya. Mereka masih berharap besar aku ini bisa mendapatkan istri yang jauh lebih dari dirinya. Bahkan kadang kala kita Ibu berusaha menghasut ku untuk kembali mendekati mantan istri ku, yang tidak lain adalah Fitri---istri dari pemilik tempat ku bekerja.Sebelum aku memutuskan untuk menikah menikahi Ana. Sempat Ibu dan mbak Mila mencoba untuk menjodohkan aku dengan banyak perempuan. Mulai dari yang gadis hingga sampai para janda. Bagaimana respon ku? Tentu saja aku berusaha menolaknya, namun dengan cara yang halus.Kebencian mereka berawal karena penolakan yang aku lakukan ketika suatu hari rumah kami ini kedatangan seorang
Jika berandai-andai. Aku ingin hidupku ini normal seperti dahulu. Bisa berkumpul dengan keluarga juga segala kebutuhan ku tetap tercukupi.Bagai jatuh tertimpa tangga pula. Sakit yang sepertinya tidak berujung yang saat iki aku rasakan. Terkadang terbesit apakah ini balasan atau buah yang harus aku tuai? Aku yang dulu bisa merasakan kenikmatan di atas derita orang---Fitri---mantan adik iparku. Keadaan berbanding terbalik, bahkan seolah takdir sedang mencemooh diri ini. Aku bagai jatuh dari langit dan landing terbang bebas ke jurang, sedangkan mantan iparku justru sekarang dia berada di atas awan dengan semua yang menjadi angan dan mimpiku.Aku yang berharap bisa bersandar pada saudaraku, justru kecewa yang aku dapat. Dia tidak bisa menuruti apa yang menjadi keinginan dari saudari satu-satunya ini.Perempuan yang sudah kami pilihkan ditolaknya begitu saja. Ughhh! Ingin ku umpat dan aku maki itu adik kandung ku. Di sudah membuang tambang emas. Aku tahu memang perempuan yang aku dan Ibuk
POV GunturAku merasa frustasi bagaimana tidak, istriku yang tiba-tiba saja memutuskan untuk keluar dari rumah ini. Sementara aku yang ingin sekali mencegah dan mengejarnya, di sisi lain ada Ibu dan juga saudariku yang harus aku pertimbangkan juga perasaan mereka. Niatku untuk berubah memanglah benar. Tapi jangan pula aku di hadapkan pada pilihan yang membuat ku begitu sulit untuk memilihnya. Ketika langkah ini aku ingin bergegas untuk menyusul wanita ku yang merajuk serta membawa pergi buah cinta kami berdua. Ibuku dengan nekat datang dan mengancam akan mengakhiri hidupnya sendiri. Oh Tuhan beri hamba petunjukmu. Aku tidak bisa membiarkan surgaku mengakhiri hidupnya hanya demi egoku. Aku juga tidak bisa membiarkan masa depan rumah tanggaku harus kembali hancur dan berserakan. Sungguh aku hanya ingin memiliki keluarga yang utuh.Aku bingung. Otak ini seakan macet total memikirkan bagaimana cara untuk menyatukan antara istri denga keluargaku.Aku tak ingin dicap sebagai suami yang teg
Akhirnya aku bisa keluar dari rumah yang berasa neraka itu. Aku bisa bernapas lega. Hidup tanpa ada gangguan dari siapapun dan tidak dalam ungkit-ungkitan seperti saat berada di rumah mertua.Inilah rumah peninggalan kedut orang tuaku yang berhasil aku bangun dan tombak sedemikian hingga seperti saat ini. bukan dalam waktu yang singkat menang. Aku harus bekerja keras demi mewujudkan impian ini. Menahan diri untuk tidak lapar dan gelap mata. Jika semua orang punya keinginan. Aku pun sama. Hanya saja berusaha untuk tidak menurutinya setiap keinginan itu datang. Aku bisa beristirahat dengan nyenyak. Tapi apa pikiran ku akan tenang. Ternyata tidak. Hati dan pikiran masih terbesit akan kehadiran dari suamiku.Aku kecewa. Bagaimana tidak. Ternyata suamiku masih tetap pada pendiriannya. Lebih berat pada keluarganya. Keluarga yang aku yakin hanya menjadi racun yang terus akan meracuni otak dan hati suamiku yang sedikit telah dibersihkan-nya dari keburukan masa lalunya.Ah ... biarlah waktu