"Tante, mana uang saku aku?" Desi si sulung dari Mbak Mila tiba-tiba datang menghampiriku yang sedang mencuci bekas peralatan masak di dapur.Aku mengerutkan dahi ketika menoleh ke arahnya. "Maaf, Desi. Bukannya tante tidak mau kasih uang sana kamu juga Deska. Tapi uang saku dan uang jajan kamu itu sudah Om Guntur titipkan sama ibu kalian. Jadi kalau kalian mau minta uang saku dan uang jajan minta sama ibu kalian bukan sama tante lagi." Sebenarnya ada rasa tak tega ketika melihat gadis kecil ini. Tapi mau bagaimana lagi. Itu salah dari orang tuanya sendiri serta kesalahan cara mereka untuk mendidik anak-anaknya. Mbak Mila terlalu memanjakan buah hatinya, begitu juga ibu yang selalu memberikan dukungan karena mengiyakannya. Selama ini permintaan putra putrinya itu harus terpenuhi. Tentu saja dia tidak ikut memikirkan mana kebutuhan yang lebih utama dan yang mana harus dikesampingkan karena aku dan mas Guntur-lah yang harus mengeluarkan biaya untuk mereka semua."Tapi kata mama semua u
Di kamar ini-lah yang menjadi tempat ter-nyamanku selama aku tinggal bersama dengan keluarga suamiku.Aku menyibukkan diri yang mana kesibukan yang aku jalani ini tak pernah diketahui oleh mereka. Mungkin yang mereka pikir dan tahu, aku banyak menghabiskan waktuku untuk tidur sehingga ibu mertua selalu menyebutku sebagai wanita pemalas. Padahal sebaliknya. Mereka bisa makan juga dari sebagian uang pribadi yang sengaja aku keluarkan pun tanpa sepengetahuan dari mas Guntur. Tak ingin membuatnya berkecil hati yang akan membuatnya berpikiran jika istrinya ini tidak pandai mengatur uang dari suami serta mensyukuri rezeki yang ada.Mungkin dari ini pula yang membuat mereka selalu memanfaatkan suamiku. Mereka mengira bahwa uang yang suamiku berikan untukku adalah lebih.Seiring dengan berjalannya waktu dan juga cukup bagiku untuk bisa menilai bagaimana mereka. Aku sudah memutuskan untuk segera keluar dari rumah ini. Tak akan lagi aku dengarkan alasan mereka yang berusaha untuk menahan mas Gu
"Buktikan, mbak. Jangan cuma mengancam atau omdo alias ngomong doang," cibirku tak mau kalah. Amit- amit semoga anakku tidak meniru kelakuan atau watak dari keluarga ayahnya.Mungkin juga ini kart bawaan bayiku. Entah sedari awal hamil, ingin saja diri ini untuk melawan perlakuan buruk mereka . Namun aku masih sebisa mungkin menahannya. Tapi tidak untuk sekarang ini dan seterusnya.Jadi keputusan ku untuk segera keluar dari rumah ini semakin kuat. Malu juga numpang hidup di rumah orang apalagi karena belas kasihan. Meskipun aku bukan orang kaya, sebisa mungkin diri ini berusaha untuk tidak merendahkan diri dihadapan orang.Sepertinya lapar, sehingga saudari iparku tidak lagi menanggapi omonganku. Dia berlalu begitu saja. Masa bodoh. Yang penting aku sudah makan. Urusan perutnya itu urusannya sendiri.Selesai mencuci peralatan masak dan makan. Aku melanjutkan untuk mencuci baju di belakang rumah. Di rumah ini memang belum mempunyai mesin cuci. Jadi untuk mencuci baju aku biasanya manu
"Kamu gak apa-apa, kan, Dek?" tanya mas Guntur saat kami sudah berada di dalam kamar kami."Iya, Mas. Ana gak apa-apa. Justru Ana yang harusnya minta maaf sama mas. Ana sudah berani melawan Ibu," akuh-ku pada suami. Aku tahu yang aku lakukan memang tidaklah pantas. Aku hanya ingin melindungi diri. Aku tidak mau selamanya dan terus menerus di manfaatkan oleh Ibu mertua dan mbak Mila."Selama di rumah kamu yang hati-hati saja. Kalau tidak ada keperluan baik di kamar saja." Nasehat suamiku. Pasti mas Guntur juga mencemaskan istrinya atas sikap dari ibu juga saudarinya."Mas ...." Aku melihat ke arah mas Guntur yang sudah merebahkan diri di atas kasur kamar kami. Pasti ia sangat lelah setelah seharian dan setiap hari yang harus bersusah payah untuk mengais rezeki. Sebenarnya aku sudah sangat memikirkan bagaimana kedepannya kehidupan rumah tangga kami ini. Aku berharap suamiku tidak terus bekerja di bawah pimpinan orang lain. Aku ingin ia memiliki usaha sendiri dengan kemampuan yang ia mil
Hari ini tidak seperti hari biasanya. Berbeda karena pengaruh dari suasana hati juga pikiran. Hari ini aku dan juga istriku---Ana, kami saling mendiamkan satu sama lain. Sarapan pun kami dalam keadaan hening tidak ada kata-kata yang terlontar dari mulut kami berdua. Bukan aku marah atas permintaannya, melainkan aku kecewa. Sudah kami bahas sebelumnya jika kami tidak mungkin untuk keluar dari rumah yang sudah aku dan keluargaku tinggali selama beberapa tahun ini.Bukannya tidak mau dan tidak ingin membahagiakan istri. Tapi dilema yang sedang melanda diri ini yang masih belum bisa untuk mengambil keputusan.Di sini posisiku adalah sebagai anak, sebagai saudara dan juga sebagai suami. Aku pria dewasa satu-satunya di rumah ini sekaligus sebagai tulang punggung yang m mang sudah menjadi kewajibanku saat ini.Aku tidak tega bila harus meninggalkan ibuku yang kondisinya juga sudah tidak muda dan sekuat dulu lagi. Masih ada dua keponakan ku---anak dari kakak perempuan satu-satunya yang juga
Seperti biasanya. Semenjak mendapatkan pekerjaan baru, Mila mulai jarang berada di rumah. Pergi pagi pulang malam, tidak jarang juga pergi malam secara diam-diam dan menjelang siang baru ia kembali pulang ke rumah.Saat Mila sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan dengan pria kencannya tanpa sengaja dari arah parkiran mobil matanya menangkap sosok yang sangat ia kenali sebelumnya.“Sayang kamu lagi lihatin apa?” tangan kekar yang melingkar di pundaknya tiba-tiba membuyarkan konsentrasinya.“Ngak, kok, Mas. Aku tadi cuma liatin orang yang sepertinya aku kenal.”“Siapa?” tanya pria berumur yang menjadi teman kencannya saat ini.“Perempuan yang pernah mencuri dan menjual surat rumah ibuku, Mas.”Pria itupun mengikuti arah kemana mata wanitanya itu mengarah.“Yang, mana mereka?” “Sepertinya mereka sudah pergi. Biar saja. Nanti kalau ketemu lagi tidak akan aku lepaskan perempuan b@jin@n itu,” geramnya.“Oke. Gak usah dipikirin. Kita senang-senang dulu saja sekarang. Nanti kita pikirkan
"An ...," sapa mas Guntur ketika baru saja sampai di teras rumah. Aku yang sore ini sedang menyiram tanaman di depan rumah."Assalamualaikum ...." Aku menjadi menimpalinya dengan membenarkan untuk terlebih dahulu mengucapkan kata salam."Waalaikumsalam ...," balasnya kemudian.Aku meletakkan selang air dan meletakkan di tempatnya semula sebelum menyalami tangan suamiku.Nampaknya es yang membeku tadi pagi, sore ini sepertinya sudah mencair. "Mau minum kopi dulu apa mandi dulu?" ucapku menawari."Kopi dulu sekalian mas mau ngobrol sama kamu."Setelah mendapatkan jawaban. Aku gegas menuju dapur dan membuatkan secangkir kopi untuknya."Ibu sama anak-anak kok gak kelihatan?" Mas Guntur membuntuti aku yang sudah berada di dapur."Iya, tadi Ibu keluar tapi gak tahu kemana. Anak-anak tadi ikut Ibu juga dan hari ini mereka bolos sekolah lagi.""Loh kok bolos lagi? Apa meret sebelumnya juga sering tidak masuk sekolah?""Iya seperti itu, Mas. Sepertinya kedua anak mbak Mila sudah tidak ada min
Saat hendak merebahkan raga ini dari arah luar terdengar gedoran yang aku yakin adalah suara dari pintu kayu rumah kami.Aku dan mas Guntur yang sudah ada di pembaringan terpaksa beranjak untuk mencari tahu siapakah di sana. Mbak Mila? Mungkin saja. Biar. Biar mas Guntur sendiri yang membukakan pintu tersebut. Biar dia tahu bagaimana kekakuan kakaknya yang selalu dilindunginya sekarang.Aku mau tidak mau juga ikut mengekor suami di belakang."Mbak, Mila?" pekik suamiku.Mas Guntur mundur seketika saat pintu tersebut didorong kasar oleh kakaknya."Minggir, Gun!" sentaknya pada adiknya sendiri."Mbak ini apa-apaan, sih. Pulang larut, apa gak ingat anak-anak di rumah!" cerca suamiku."Aku ini kerja. Ini juga karena ulah istrimu itu." Perempuan itu menunjukku. Aku? Kenapa aku yang harus di bawa-bawa. Dasar gak waras."Enak saja mbak nyalahin aku. Iya dulu aku memang bodoh mau kau bohongi. Tapi sekarang aku sudah sadar. Mbak nyalahin aku karena sudah berani tegas dan gak mau lagi nurutin