Di kamar ini-lah yang menjadi tempat ter-nyamanku selama aku tinggal bersama dengan keluarga suamiku.Aku menyibukkan diri yang mana kesibukan yang aku jalani ini tak pernah diketahui oleh mereka. Mungkin yang mereka pikir dan tahu, aku banyak menghabiskan waktuku untuk tidur sehingga ibu mertua selalu menyebutku sebagai wanita pemalas. Padahal sebaliknya. Mereka bisa makan juga dari sebagian uang pribadi yang sengaja aku keluarkan pun tanpa sepengetahuan dari mas Guntur. Tak ingin membuatnya berkecil hati yang akan membuatnya berpikiran jika istrinya ini tidak pandai mengatur uang dari suami serta mensyukuri rezeki yang ada.Mungkin dari ini pula yang membuat mereka selalu memanfaatkan suamiku. Mereka mengira bahwa uang yang suamiku berikan untukku adalah lebih.Seiring dengan berjalannya waktu dan juga cukup bagiku untuk bisa menilai bagaimana mereka. Aku sudah memutuskan untuk segera keluar dari rumah ini. Tak akan lagi aku dengarkan alasan mereka yang berusaha untuk menahan mas Gu
"Buktikan, mbak. Jangan cuma mengancam atau omdo alias ngomong doang," cibirku tak mau kalah. Amit- amit semoga anakku tidak meniru kelakuan atau watak dari keluarga ayahnya.Mungkin juga ini kart bawaan bayiku. Entah sedari awal hamil, ingin saja diri ini untuk melawan perlakuan buruk mereka . Namun aku masih sebisa mungkin menahannya. Tapi tidak untuk sekarang ini dan seterusnya.Jadi keputusan ku untuk segera keluar dari rumah ini semakin kuat. Malu juga numpang hidup di rumah orang apalagi karena belas kasihan. Meskipun aku bukan orang kaya, sebisa mungkin diri ini berusaha untuk tidak merendahkan diri dihadapan orang.Sepertinya lapar, sehingga saudari iparku tidak lagi menanggapi omonganku. Dia berlalu begitu saja. Masa bodoh. Yang penting aku sudah makan. Urusan perutnya itu urusannya sendiri.Selesai mencuci peralatan masak dan makan. Aku melanjutkan untuk mencuci baju di belakang rumah. Di rumah ini memang belum mempunyai mesin cuci. Jadi untuk mencuci baju aku biasanya manu
"Kamu gak apa-apa, kan, Dek?" tanya mas Guntur saat kami sudah berada di dalam kamar kami."Iya, Mas. Ana gak apa-apa. Justru Ana yang harusnya minta maaf sama mas. Ana sudah berani melawan Ibu," akuh-ku pada suami. Aku tahu yang aku lakukan memang tidaklah pantas. Aku hanya ingin melindungi diri. Aku tidak mau selamanya dan terus menerus di manfaatkan oleh Ibu mertua dan mbak Mila."Selama di rumah kamu yang hati-hati saja. Kalau tidak ada keperluan baik di kamar saja." Nasehat suamiku. Pasti mas Guntur juga mencemaskan istrinya atas sikap dari ibu juga saudarinya."Mas ...." Aku melihat ke arah mas Guntur yang sudah merebahkan diri di atas kasur kamar kami. Pasti ia sangat lelah setelah seharian dan setiap hari yang harus bersusah payah untuk mengais rezeki. Sebenarnya aku sudah sangat memikirkan bagaimana kedepannya kehidupan rumah tangga kami ini. Aku berharap suamiku tidak terus bekerja di bawah pimpinan orang lain. Aku ingin ia memiliki usaha sendiri dengan kemampuan yang ia mil
Hari ini tidak seperti hari biasanya. Berbeda karena pengaruh dari suasana hati juga pikiran. Hari ini aku dan juga istriku---Ana, kami saling mendiamkan satu sama lain. Sarapan pun kami dalam keadaan hening tidak ada kata-kata yang terlontar dari mulut kami berdua. Bukan aku marah atas permintaannya, melainkan aku kecewa. Sudah kami bahas sebelumnya jika kami tidak mungkin untuk keluar dari rumah yang sudah aku dan keluargaku tinggali selama beberapa tahun ini.Bukannya tidak mau dan tidak ingin membahagiakan istri. Tapi dilema yang sedang melanda diri ini yang masih belum bisa untuk mengambil keputusan.Di sini posisiku adalah sebagai anak, sebagai saudara dan juga sebagai suami. Aku pria dewasa satu-satunya di rumah ini sekaligus sebagai tulang punggung yang m mang sudah menjadi kewajibanku saat ini.Aku tidak tega bila harus meninggalkan ibuku yang kondisinya juga sudah tidak muda dan sekuat dulu lagi. Masih ada dua keponakan ku---anak dari kakak perempuan satu-satunya yang juga
Seperti biasanya. Semenjak mendapatkan pekerjaan baru, Mila mulai jarang berada di rumah. Pergi pagi pulang malam, tidak jarang juga pergi malam secara diam-diam dan menjelang siang baru ia kembali pulang ke rumah.Saat Mila sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan dengan pria kencannya tanpa sengaja dari arah parkiran mobil matanya menangkap sosok yang sangat ia kenali sebelumnya.“Sayang kamu lagi lihatin apa?” tangan kekar yang melingkar di pundaknya tiba-tiba membuyarkan konsentrasinya.“Ngak, kok, Mas. Aku tadi cuma liatin orang yang sepertinya aku kenal.”“Siapa?” tanya pria berumur yang menjadi teman kencannya saat ini.“Perempuan yang pernah mencuri dan menjual surat rumah ibuku, Mas.”Pria itupun mengikuti arah kemana mata wanitanya itu mengarah.“Yang, mana mereka?” “Sepertinya mereka sudah pergi. Biar saja. Nanti kalau ketemu lagi tidak akan aku lepaskan perempuan b@jin@n itu,” geramnya.“Oke. Gak usah dipikirin. Kita senang-senang dulu saja sekarang. Nanti kita pikirkan
"An ...," sapa mas Guntur ketika baru saja sampai di teras rumah. Aku yang sore ini sedang menyiram tanaman di depan rumah."Assalamualaikum ...." Aku menjadi menimpalinya dengan membenarkan untuk terlebih dahulu mengucapkan kata salam."Waalaikumsalam ...," balasnya kemudian.Aku meletakkan selang air dan meletakkan di tempatnya semula sebelum menyalami tangan suamiku.Nampaknya es yang membeku tadi pagi, sore ini sepertinya sudah mencair. "Mau minum kopi dulu apa mandi dulu?" ucapku menawari."Kopi dulu sekalian mas mau ngobrol sama kamu."Setelah mendapatkan jawaban. Aku gegas menuju dapur dan membuatkan secangkir kopi untuknya."Ibu sama anak-anak kok gak kelihatan?" Mas Guntur membuntuti aku yang sudah berada di dapur."Iya, tadi Ibu keluar tapi gak tahu kemana. Anak-anak tadi ikut Ibu juga dan hari ini mereka bolos sekolah lagi.""Loh kok bolos lagi? Apa meret sebelumnya juga sering tidak masuk sekolah?""Iya seperti itu, Mas. Sepertinya kedua anak mbak Mila sudah tidak ada min
Saat hendak merebahkan raga ini dari arah luar terdengar gedoran yang aku yakin adalah suara dari pintu kayu rumah kami.Aku dan mas Guntur yang sudah ada di pembaringan terpaksa beranjak untuk mencari tahu siapakah di sana. Mbak Mila? Mungkin saja. Biar. Biar mas Guntur sendiri yang membukakan pintu tersebut. Biar dia tahu bagaimana kekakuan kakaknya yang selalu dilindunginya sekarang.Aku mau tidak mau juga ikut mengekor suami di belakang."Mbak, Mila?" pekik suamiku.Mas Guntur mundur seketika saat pintu tersebut didorong kasar oleh kakaknya."Minggir, Gun!" sentaknya pada adiknya sendiri."Mbak ini apa-apaan, sih. Pulang larut, apa gak ingat anak-anak di rumah!" cerca suamiku."Aku ini kerja. Ini juga karena ulah istrimu itu." Perempuan itu menunjukku. Aku? Kenapa aku yang harus di bawa-bawa. Dasar gak waras."Enak saja mbak nyalahin aku. Iya dulu aku memang bodoh mau kau bohongi. Tapi sekarang aku sudah sadar. Mbak nyalahin aku karena sudah berani tegas dan gak mau lagi nurutin
Aku pusing. Bagaimana tidak. Ana yang begitu penurut tiba-tiba saja memutuskan untuk pergi dari rumah ini. Ia sudah nekat. Aku pun tak bisa mencegahnya.Semua karena ucapan dari Ibu juga mbak Mila yang memang jika aku jadi Ana, aku juga pasti akan merasakan sakitnya. Aku sadar selama tinggal dan menjadikan istriku. Keluarga ku belum bisa menerima Ana untuk sepenuhnya. Mereka masih berharap besar aku ini bisa mendapatkan istri yang jauh lebih dari dirinya. Bahkan kadang kala kita Ibu berusaha menghasut ku untuk kembali mendekati mantan istri ku, yang tidak lain adalah Fitri---istri dari pemilik tempat ku bekerja.Sebelum aku memutuskan untuk menikah menikahi Ana. Sempat Ibu dan mbak Mila mencoba untuk menjodohkan aku dengan banyak perempuan. Mulai dari yang gadis hingga sampai para janda. Bagaimana respon ku? Tentu saja aku berusaha menolaknya, namun dengan cara yang halus.Kebencian mereka berawal karena penolakan yang aku lakukan ketika suatu hari rumah kami ini kedatangan seorang
Dua bulan sudah Bu Marni beserta kedua cucunya tinggal bersama di kediaman milik Ana. Mereka juga telah mengembalikan lagi rumah yang beberapa tahun pernah mereka singgahi pada pemilik aslinya, Bulek Sri yang tidak lain adalah adik ipar Bu Marni.Ana berhasil mengubah kebiasaan buruk dan malas dari kedua anak kakak iparnya itu. Desi dan Deska sekarang enjadi anak yang mulai bertanggung jawab atas tugasnya. Ana juga kembali menyekolahkan kedua keponakannya itu di sekolah yang lebih dekat dari rumahnya. Kedua anak itu harus belajar ekstra dan lebih giat untuk mengejar ketertinggalan mereka. Jika sebelumnya mereka bersekolah di sekolah negeri. Untuk saat ini mereka harus menerima untuk sekolah di sekolah milik swasta di karenakan banyak ketertinggalan dari tempat yang sebelumnya.Seperti pagi ini. Desi mulai terbiasa bangun di pagi hari begitu juga dengan Bu Marni dan juga Deska, adiknya. Ana mengajarkan kedua anak tersebut tentang agama yang selama ini kurang mereka perhatikan. Desi da
Aku kira ini cuma mimpi di siang bolong. Gara-gara ketiduran setelah memberi ASI pada jagoan kecilku yang aku beri nama Alfathrizki.Iya, aku sudah melahirkan. Tepat satu hari setelah kedatangan mas Guntur. Lebih cepat satu Minggu dari HPL prediksi ibu bidan tempat biasa aku priksa.Siang ini matahari sangat terik. Aku yang berinisiatif untuk membuka pintu agar angin dari luar bisa masuk ke dalam rumah, tanpa sengaja di kejutkan oleh kedatangan tiga orang yang sangat familiar dengan ku. Ternyata di depan pagar rumahku nampak seseorang paruh baya yang tengah terduduk di atas tanah yang di temani oleh dia orang bocah yang tidak lain adalah Desi dan Deska. Nampak mereka sedang berunding. Entah apa yang sedang dirundingkan oleh mereka aku pun tidak tahu karena tidak bisa mendengarnya langsung.Ada apa dengan mereka? Apa hal yang membuat mereka hingga sampai di rumahku? Mungkin mereka tidak akan menduga jika rumah reyot yang sering mereka singgung sudah berubah menjadi istana kecil ini.
Pada akhirnya bu Marni tersadar. Hanya kecewa yang ia peroleh dari putri kesayangannya.Justru dalam kondisi sudah tidak muda lagi dan tenaga yang terbatas. Semua anak-anaknya pergi meninggalkan dia. Yang membuat dada semakin sakit adalah karena merasa salah satu dasi meret yang pergi itu adat karena kecewa oleh dirinya."Nek bagaimana dengan nasib kita," tangis pilu cucu sulungnya.Bukannya menjawab justru Bu Marni ikut pula menangis seperti kedua cucunya.Meski pergi meninggalkan rumah, kini hanyalah tersisa Guntur yang masih dekat dengannya. Bukannya tak tahu alamat akan anak dan menantunya untuk ia meminta perlindungan. Namun sudah terlanjur malu atas perbuatannya itu sendiri. Apa mungkin bu Marni akan menjilat kembali ludahnya, setelah dengan pongahnya ia dengan mulutnya sendiri yang menghebdat menantunya tersebut untuk pergi."Nek, kita cari om Guntur, ya?" celetuk Desi seolah memberikan jalan keluar bagi mereka."Iya, nek kita cari om Guntur atau kita pergi saja ke rumah tante
Satu Minggu kemudian.Di tempat lain. Di kediaman yang di tempati oleh Bu Marni--- Ibu dari Guntur dan juga Mila---kakak Guntur."Nek, Deska lapar ni, Nek!" rengek Deska pada wanita paruh baya tersebut.Bu Marni sendiri sudah sangat gelabakan. Bagaimana tidak. Semenjak Guntur meninggalkan rumah mereka. Anak perempuan yang selalu didukungnya itu seolah lepas tangan. Satu Minggu semenjak kejadian tersebut, bahkan Mila sendiri sudah jarang terlihat di rumah. Bukan itu saja. Mengeluarkan uang sekedar untuk makan Ibu dan anaknya saja dia sangat sayang dan bisa di bilang pelit."Sabar, ya. Nunggu mama kalian pulang dulu," ucap perempuan yang rambutnya sudah hampir berubah menjadi putih tersebut."Mama itu pergi kemana sih, Nek? Kok gak pulang-pulang?" tanya si sulung, Desi yang juga merasa sudah sangat lemas."Sabar ya ... Mama kalian itu kan pergi kerja, cari uang buat kita." Nenek dari dia orang cucu itu mencoba menghibur cucu-cucunya."Kerja tapi kenapa pas kita mintai uang, mama selalu
Aku sangat emosi hari ini setelah mendengar dan mengetahui apa yang sudah di rencanakan oleh Ibu dan juga kakakku.Entah apa yang ada di otak mereka. Mereka pikir aku ini apa? Aku sudah seperti barang saja yang bagi mereka dengan gampangnya bisa ditukar dengan uang dan kehidupan yang mapan. Aku sudah salah bersikap. Harusnya aku mendengar ucapan Ana. Harus bisa tegas pada Ibu juga mbak Mila."Arrggggh ...!" teriak ku marah karena kecewa.Apa aku ikut bersama Ana saja. Iya ... setidaknya itu lebih baik. Dari pada nasibku kedepannya akan ditukar oleh mereka dengan uang dan gelimang harta. Belum tentu juga aku akan bahagia. Bisa-bisa hidup tertekan tanpa warna.Lebih baik aku susul saja istriku di rumahnya. Bodoh amat dengan apa yang akan aku hadapi nanti.Gegas masuk kedalam kamar. Aku ambil beberapa potong baju. Tidak mungkin aku harus wira-wiri.Setelah selesai mengemas pakaian. Aku segera keluar kamar. Tanpa ingin pamit tak ku hiraukan dua wanita yang selalu ku taruh rasa hormat itu
Seharian mengurusi rumah. Mulai dari berbelanja perlengkapan rumah, kebutuhan dapur dan lainnya. Tubuh ini Setelah terasa sangat letih. Mungkin pengaruh dari kondisi kehamilan ini. Untung saja sore tadi aku sempatkan untuk memesan makanan cepat saji secara online jadi tidak perlu ribet harus bejibaku dengan kerepotan di dapur, karena kondisi dapur juga belum bisa digunakan untuk beraktifitas. Aku merasa sangat puas. Meski tidak sesempurna namun puas dengan hasilnya. Rumah sudah terisi berbagaiperlengkapannya. Tinggal menata bagian dapur. Mungkin aku harus istirahat dulu sebelum mengerjakannya. Ingin meminta bantuan tetangga rasanya juga malu. Bukan apa. Hanya saja aku tidak mau dan tidak suka jika nantinya muncul pertanyaan dari mereka di mana suamiku? Kenapa dikerjakan sendiri? Dan lain sebagainya. Malas saja menanggapi ocehan orang yang sebenarnya tidak tahu kejadian nyatanya.Pagi menjelang badan sudah kembali bugar. Setelah menyelesaikan ibadah wajib, aku langsung turun ke dapur
Akhirnya aku bisa keluar dari rumah yang berasa neraka itu. Aku bisa bernapas lega. Hidup tanpa ada gangguan dari siapapun dan tidak dalam ungkit-ungkitan seperti saat berada di rumah mertua.Inilah rumah peninggalan kedut orang tuaku yang berhasil aku bangun dan tombak sedemikian hingga seperti saat ini. bukan dalam waktu yang singkat menang. Aku harus bekerja keras demi mewujudkan impian ini. Menahan diri untuk tidak lapar dan gelap mata. Jika semua orang punya keinginan. Aku pun sama. Hanya saja berusaha untuk tidak menurutinya setiap keinginan itu datang. Aku bisa beristirahat dengan nyenyak. Tapi apa pikiran ku akan tenang. Ternyata tidak. Hati dan pikiran masih terbesit akan kehadiran dari suamiku.Aku kecewa. Bagaimana tidak. Ternyata suamiku masih tetap pada pendiriannya. Lebih berat pada keluarganya. Keluarga yang aku yakin hanya menjadi racun yang terus akan meracuni otak dan hati suamiku yang sedikit telah dibersihkan-nya dari keburukan masa lalunya.Ah ... biarlah waktu
POV GunturAku merasa frustasi bagaimana tidak, istriku yang tiba-tiba saja memutuskan untuk keluar dari rumah ini. Sementara aku yang ingin sekali mencegah dan mengejarnya, di sisi lain ada Ibu dan juga saudariku yang harus aku pertimbangkan juga perasaan mereka. Niatku untuk berubah memanglah benar. Tapi jangan pula aku di hadapkan pada pilihan yang membuat ku begitu sulit untuk memilihnya. Ketika langkah ini aku ingin bergegas untuk menyusul wanita ku yang merajuk serta membawa pergi buah cinta kami berdua. Ibuku dengan nekat datang dan mengancam akan mengakhiri hidupnya sendiri. Oh Tuhan beri hamba petunjukmu. Aku tidak bisa membiarkan surgaku mengakhiri hidupnya hanya demi egoku. Aku juga tidak bisa membiarkan masa depan rumah tanggaku harus kembali hancur dan berserakan. Sungguh aku hanya ingin memiliki keluarga yang utuh.Aku bingung. Otak ini seakan macet total memikirkan bagaimana cara untuk menyatukan antara istri denga keluargaku.Aku tak ingin dicap sebagai suami yang teg
Jika berandai-andai. Aku ingin hidupku ini normal seperti dahulu. Bisa berkumpul dengan keluarga juga segala kebutuhan ku tetap tercukupi.Bagai jatuh tertimpa tangga pula. Sakit yang sepertinya tidak berujung yang saat iki aku rasakan. Terkadang terbesit apakah ini balasan atau buah yang harus aku tuai? Aku yang dulu bisa merasakan kenikmatan di atas derita orang---Fitri---mantan adik iparku. Keadaan berbanding terbalik, bahkan seolah takdir sedang mencemooh diri ini. Aku bagai jatuh dari langit dan landing terbang bebas ke jurang, sedangkan mantan iparku justru sekarang dia berada di atas awan dengan semua yang menjadi angan dan mimpiku.Aku yang berharap bisa bersandar pada saudaraku, justru kecewa yang aku dapat. Dia tidak bisa menuruti apa yang menjadi keinginan dari saudari satu-satunya ini.Perempuan yang sudah kami pilihkan ditolaknya begitu saja. Ughhh! Ingin ku umpat dan aku maki itu adik kandung ku. Di sudah membuang tambang emas. Aku tahu memang perempuan yang aku dan Ibuk