“Dilan ambekan, ah. Nggak lucu!” Mengerucutkan bibir manja, seperti yang dilakukan Humaira tadi.“Ya sudah kalau begitu, kamu ambil ATM-nya ya. Nomor pinnya tanggal lahir kamu.”“Nanti uang kamu aku abisin, lho!”“Tidak masalah. Aku masih sehat dan masih bisa cari lagi. Yang terpenting saat ini buat aku, kamu tersenyum, bahagia, sembuh dari trauma kamu, karena kebahagiaan kamu itu segalanya buat aku.”Aku mendongak menatap netra dengan iris hitam milik Dilan, hingga pandangan kami saling bertaut menghadirkan gelenyar aneh dalam sanubari. Tidak bisa dipungkiri kalau rasa cinta masih bertakhta di tempatnya, tidak mudah pergi walaupun jurang pemisah tidak akan membuat kami bisa bersatu dalam ikatan suci nan halal.Tapi, bukankah Tuhan maha adil dan bisa mengabulkan segala permintaan hamba-Nya?Salahkah aku jika meminta kepada Sang Maha Rahim untuk menyentuh hati Dilan, memberinya hidayah supaya bisa seiman denganku, agar kita bisa merajut asa bersama hingga maut menjemput dan Tuhan kemb
"Insya Allah bisa. Tapi kita perlu bukti yang kuat, karena kejadian itu sudah terjadi cukup lama."Aku mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa sesak juga sakit kemudian mengembuskannya lewat mulut.Benar semua yang dikatakan oleh Dokter Ibrahim. Aku harus punya bukti yang kuat. Tapi apa? Sedangkan saat itu yang aku lihat hanya mata laki-laki baj*ngan itu, juga tanda lahir di perutnya. Apakah itu cukup menjadi bukti? Ah, pantas saja dulu Mas Gunawan tidak pernah mau melepas pakaian di depanku. Setiap dia meminta haknya sebagai seorang suami juga selalu mematikan lampu, tidak peduli dengan diriku yang sedikit takut dengan kegelapan. Ternyata, dia ingin menyembunyikan tanda lahir itu dariku. Bodohnya aku, selama ini telah dijadikan boneka mainannya dia. Dihancurkan sehancur-hancurnya, lalu pura-pura diangkat dari kubangan kotor nan nista."Aku hanya ingat tanda lahir laki-laki itu, Dok. Karena saat itu dia mengenakan topeng. Aku juga langsung pingsan saat dia .....
"Mbak Nay. Sekali-kali kita jalan-jalan yuk!" aku menerbitkan senyuman ketika tiba-tiba Hafizah datang menghampiri kami. Dia menyelamatkan aku dari pertanyaan-pertanyaan Bunda yang tidak mampu aku jawab."Tapi, Fi. Mbak nggak boleh kemana-mana.""Nggak apa-apa. Nanti Fizah yang minta izin sama Dady.""Em..., ya sudah. Kalau Dady mengizinkan Mbak mau. Asal jangan jauh-jauh ya?""Ok!" Hafizah menautkan telunjuk serta ibu jari membentuk huruf O.Dia kemudian terlihat sibuk memainkan ponsel, dan tidak lama setelahnya mengajaknya bersiap-siap karena sudah mendapat izin dari Dokter Ibrahim.Di dalam taksi online Hafizah banyak bercerita tentang sang ayah. Dari makanan kesukaannya, hobinya yang katanya suka ngomel kalo dia telat pulang juga kenangan tentang almarhumah ibunya yang sudah meninggal sejak Humaira berusia tiga tahun."Makanya aku seneng banget pas liat Dady pulang bawa Mbak Nay. Aku itu suka kasihan sama Dady. Dia suka melamun sendiri, suka menangis sendiri jika sedang menatap fo
"Ta--tadi Fizah sudah chat Dady, minta izin ajak Mbak Naya pergi tapi Dady belum balas." Hafizah menjawab pelan. Gadis berkerudung putih itu menundukkan wajah, tidak berani menatap wajah sang ayah yang terlihat begitu marah."Kalau Dady belum balas harusnya kamu jangan pergi. Kamu tahu? Mbak Naya itu lagi sakit dan nggak boleh sembarang bertemu dengan orang. Kamu lihat sendiri 'kan akibatnya?!" Rahang lelaki berusia empat puluh delapan tahun itu terlihat mulai mengeras. Selama beberapa hari berada di rumah ini, baru kali ini aku melihat Dokter Ibrahim marah. Biasanya dia selalu memanjakan putri-putrinya dan selalu sabar menghadapi tingkah manja mereka."Aku minta maaf, Dad. Aku cuma mau pamer ke teman-teman kalau aku mau punya mami baru. Supaya nggak diledek anak kurang kasih sayang terus oleh mereka.""Apa selama ini kamu merasa kurang kasih sayang dari Dady?" Hafizah menggeleng pelan. Tanpa dikomando dua bulir air bening men
Aku menoleh menatap wajah penuh kharisma dokter yang ternyata spesialis menangani penyakit-penyakit seperti itu. Karena kebetulan Adelia juga dia yang menanganinya, dan kata orang-orang di rumah sakit ini, dia termasuk dokter Andalan dan sudah beberapa kali menyembuhkan orang-orang dengan gangguan mental karena trauma yang dialami."Ya sudah, saya permisi dulu." Dia menerbitkan sebuah senyuman lalu segera melangkah pergi meninggalkan diriku yang masih diam membisu mencoba mencerna setiap ucapannya itu.Sepersekian detik. Aku lihat Dilan berjalan tergopoh menuju sebuah lorong. Sepertinya dia ingin menemui seseorang, dan biasanya jika ada Dilan pasti ada istriku di tempat ini. Penasaran, aku mengangkat bokong dari kursi, menyeret langkah mengikuti pria dengan garis wajah tegas tersebut dan mata ini membeliak ketika melihat Kanaya sedang duduk bersandar di atas ranjang rumah sakit dengan wajah pucat serta tubuh bergetar hebat.Hatiku perih melihat perha
“Aku minta maaf, Bu,” lirihku bagai angin yang sedang berkesiur.“Ya sudah. Sekarang kamu pulang saja. Besok sebaiknya kamu buka toko. Adel biar Ibu saja yang jagain. Kalo kita di sini semua, dari mana kita bakal dapat duit untuk membiayai perawatan Adel dan untuk makan. Biaya di rumah sakit ini cukup mahal!” perintah Ibu dan segera kuturuti.Mengambil tangan perempuan berambut sebahu itu, mencium bagian punggungnya lalu segera mengayunkan kaki keluar dari rumah sakit.Saat sedang berada di jalan raya yang letaknya tidak jauh dari rumah, aku menghentikan sejenak kendaraan roda duaku di depan tukang martabak red velvet yang biasa dipinta oleh Thalita juga Kanaya, namun, tidak pernah sekalipun aku membelikan karena harganya yang cukup mahal. Lima puluh lima ribu satu loyang, dan itu menurutku sangat mahal sekali. Tapi entah mengapa jika Adelia dan Ibu meminta dibelikan sesuatu yang harganya fantastis juga menguras dompet, aku tidak pernah m
“Astaga, Ibu. Kenapa Ibu tidak meminta izin dulu sama aku. Terus, sekarang bagaimana dengan toko aku? Aku sudah tidak punya modal sama sekali, Bu?”“Coba kamu minta sama istri kamu. Pasti simpan dia banyak. Masa istri pemilik toko yang omsetnya puluhan juta per minggunya nggak punya simpanan sama sekali!” “Memangnya Ibu pikir Naya punya uang. Selama menikah aku tidak pernah memberi dia uang lebih. Aku hanya menjatahnya lima puluh ribu sehari.”Aku memutus sambungan telepon secara sepihak. Kesal, marah, kecewa, semuanya bercampur menjadi satu. Kenapa Ibu bisa selancang itu menggadaikan sertifikat rumah tanpa seizin dariku. Padahal setiap bulan tidak kurang dari lima belas juta aku menjatahnya, dan untuk sembako, gas dan lainnya dia mengambil di toko. Di kemanakan uang yang aku beri setiap bulan.Shit!Membanting ponsel ke kasur, frustrasi, kacau balau semuanya.Duduk di bibir ranjang, menjambak rambut frus
Tidak lama kemudian dokter yang menangani Adelia keluar dari ruangannya. Wajah lelaki bertubuh tegap itu terlihat muram, menandakan kalau Adelia dalam keadaan tidak baik-baik saja.Aku segera menghampiri lelaki berkemeja biru serta almamater putih tersebut, menanyakan keadaan Adelia namun dia tetap diam membisu.“Jangan diam saja, Dokter. Bagaimana keadaan adik saya sekarang?!” Spontan aku mengguncang tangan pria berjambang tipis itu, karena penasaran ingin mengetahui keadaan Adelia.“Maaf, Pak. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi sepertinya Tuhan lebih sayang sama adik Bapak. Saya turut berdukacita cita ya, Pak.” Langit bagaikan runtuh seketika. Bumi tempatku berpijak seakan berhenti berputar. Lututku lemas seolah tidak memiliki tenaga, sehingga tidak mampu lagi menopang tubuh. Aku duduk bersimpuh sambil menangis, meratapi kepergian Adelia yang terasa begitu cepat serta mendadak. Padahal, beberapa hari yang lalu dia