“Astaga, Ibu. Kenapa Ibu tidak meminta izin dulu sama aku. Terus, sekarang bagaimana dengan toko aku? Aku sudah tidak punya modal sama sekali, Bu?”
“Coba kamu minta sama istri kamu. Pasti simpan dia banyak. Masa istri pemilik toko yang omsetnya puluhan juta per minggunya nggak punya simpanan sama sekali!”“Memangnya Ibu pikir Naya punya uang. Selama menikah aku tidak pernah memberi dia uang lebih. Aku hanya menjatahnya lima puluh ribu sehari.”Aku memutus sambungan telepon secara sepihak. Kesal, marah, kecewa, semuanya bercampur menjadi satu.Kenapa Ibu bisa selancang itu menggadaikan sertifikat rumah tanpa seizin dariku. Padahal setiap bulan tidak kurang dari lima belas juta aku menjatahnya, dan untuk sembako, gas dan lainnya dia mengambil di toko. Di kemanakan uang yang aku beri setiap bulan.Shit!Membanting ponsel ke kasur, frustrasi, kacau balau semuanya.Duduk di bibir ranjang, menjambak rambut frusTidak lama kemudian dokter yang menangani Adelia keluar dari ruangannya. Wajah lelaki bertubuh tegap itu terlihat muram, menandakan kalau Adelia dalam keadaan tidak baik-baik saja.Aku segera menghampiri lelaki berkemeja biru serta almamater putih tersebut, menanyakan keadaan Adelia namun dia tetap diam membisu.“Jangan diam saja, Dokter. Bagaimana keadaan adik saya sekarang?!” Spontan aku mengguncang tangan pria berjambang tipis itu, karena penasaran ingin mengetahui keadaan Adelia.“Maaf, Pak. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi sepertinya Tuhan lebih sayang sama adik Bapak. Saya turut berdukacita cita ya, Pak.” Langit bagaikan runtuh seketika. Bumi tempatku berpijak seakan berhenti berputar. Lututku lemas seolah tidak memiliki tenaga, sehingga tidak mampu lagi menopang tubuh. Aku duduk bersimpuh sambil menangis, meratapi kepergian Adelia yang terasa begitu cepat serta mendadak. Padahal, beberapa hari yang lalu dia
"Bu, jangan begini, dong. Ikhlaskan Adel." Mengambil tangan Ibu, menggenggam erat jemarinya seraya menatap lamat-lamat wajah senjanya sambil menahan air mata yang sudah hampir tumpah ruah."Pindahkan Adel ke kamar, Gun. Kasihan dia nanti masuk angin." Dia membungkuk, mencoba mengangkat tubuh Adelia sambil menangis tergugu membuat semua pelayat yang ada ikut terbawa suasana."Bu Adel. Ibu yang sabar, kasihan Adelia kalau Ibu begini." Salah seorang pelayat berusaha menenangkan hati Ibu."Tapi anak saya sedang tidur, Bu Salma. Dia nanti masuk angin kalau tidur di lantai. Aku mau mindahin dia ke dalam kamar!" pekik wanita yang sudah bersusah payah membesarkan aku tanpa seorang suami itu."Ya sudah. Nanti biar Gunawan yang pindahin Adel ke dalam kamar. Ibu ikut saya dulu, ya. Soalnya Adel mau dimandiin. Biar bersih. Nanti kalau dia sudah bersih dan siap, kita balik lagi ke sini." Bu Salma merangkul pundak Ibu, membawa wanita itu keluar entah ke mana sebelum akhirnya para pemandi jenazah m
Kedua bola mata wanita berambut sebahu itu membeliak menatapku, lalu dia menangis meraung-raung membuat api amarah kian berkobar.Stres menghadapi sifatnya yang sudah seperti orang tidak waras. Bisa ikut gila aku kalau begini terus."Sudahlah, Bu. Jangan ditangisi seperti itu. Adel sudah mati. Dia sudah menyusul Dedek!" sentakku lagi.Ibu menggeleng. Dia tetap saja tidak mau berhenti menangis, malah kian menjadi dan terus saja memanggil nama Adelia.Hingga akhirnya aku lebih memilih pergi meninggalkan dia yang sedang menangis sendirian, mencari ketenangan jiwa juga kepingin istirahat, dan kembali ke rumah setelah pagi hari.Tok! Tok!Tok! "Assalamu'alaikum!" Baru saja hendak mengenyakkan bokong di sofa, terdengar suara ramai-ramai orang mengucap salam. Sepertinya masih banyak tamu yang ingin melayat meski jenazah Adelia sudah dikebumikan. Segera keluar untuk membukakan pintu, mempersilahkan rombongan ibu-ibu berdandan cetar membahana itu masuk dan mempersilahkan mereka duduk."Say
Ya Allah, Kanaya. Kamu benar-benar tidak mau memberi suamimu ini kesempatan kedua, walaupun aku telah berjanji akan berubah dan memberikan segala yang aku punya untuk kamu. Apakah cinta yang kamu rasa sudah sirna, Kanaya?Ini semua tidak boleh terjadi. Aku akan datang untuk mediasi dan mengatakan kepada mediator, bahwa aku masih sangat mencintai istriku dan ingin mempertahankan biduk rumah tangga yang telah kubangun selama enam tahun ini. Aku tidak mau berpisah. Aku tidak akan sanggup jika benar-benar harus melepaskan Kanaya dan melihat dia hidup bahagia bersama laki-laki lain selain diriku.Tuhan, tolong aku. Bantu hamba-Mu untuk menyelesaikan masalah ini, dan jangan biarkan Kanaya berpaling dariku. Tolong sentuh hatinya dan lembutkanlah dia, ya Rabb. Buat istriku agar mengubah keputusannya untuk berpisah denganku.Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap-siap untuk datang ke pengadilan agama. Tidak boleh terlambat apalagi sampai tidak mengikuti sidang mediasi. Akan kuperjuangkan lagi is
Selesai mediasi, Wanita berhijab yang selalu mendampingi Kanaya membimbing istriku keluar dari ruangan. Aku masih berusaha mengejar dia ingin meminta maaf serta mendesaknya untuk menarik gugatannya.“Nay!” Bersimpuh dilantai lalu mencekal kaki wanita yang telah kuhancurkan hidupnya itu.Kanaya terkesiap melihat aksi nekatku.“Mas, kamu apa-apaan, sih?” Dia mencoba melepas tanganku, namun dengan erat kucengkeramkan kedua kakinya.“Mas minta maaf, Nay. Ampun. Jangan siksa batin Mas seperti ini. Mas menyesal telah menyia-nyiakan hidup kamu selama ini. Mas berjanji jika kita bisa hidup bersama lagi, Mas akan berubah. Mas masih mencintai kamu, Kanaya.” “Lepas, Mas. Malu dilihat banyak orang.”“Tidak, Kanaya. Mas tidak akan melepaskannya jika kamu tidak mau pulang sama Mas.”“Cukup, Mas. Belum puaskah kamu menghancurkan hidup aku? Tolong biarkan aku hidup bahagia. Aku sudah tidak mau hidup bersama laki-laki kejam juga penipu seperti kamu.”“Aku melakukannya karena begitu terobsesi dan menc
Ting!Sebuah notifikasi pesan masuk ke gawai. Dari Bu Endang.[Assalamualaikum, Mas Gunawan. Pulang jam berapa? Ini sudah siang. Ibu mau pulang karena anak Ibu hari ini datang] Kubaca isi pesan tersebut sambil menghela napas dalam-dalam.[Waalaikumussalam, Bu. Ini saya sudah mau jalan pulang. Kalau ibu saya sudah tidur, Ibu pulang saja tidak apa-apa. Paling sekitar tiga puluh menitan lagi saya sampai di rumah] Send, Bu Endang.Untung saja masih ada tetangga yang baik dan mau menjaga Ibu saat aku pergi. Sebab hampir seluruh warga kompleks menjauhi keluargaku, semenjak gosip pem*rkosaan yang aku lakukan terhadap Kanaya beredar luas.Sekali lagi menoleh menatap Kanaya yang sedang tertidur di atas brankar. Memindai wajah cantiknya sambil menahan rindu yang belum bisa terobati.“Aku pulang dulu, Sayang. Besok aku akan kembali datang menjenguk kamu. Istirahatlah. Tidurlah dengan nyenyak serta mimpi indah. Jangan lupa juga mimpikan aku juga anak kita. Sekali lagi, aku minta maaf karena suda
"Mbak, saya bisa minta kunci serep kamar yang dibooking oleh Erwin?" "Maaf, tidak bisa, Pak. Kami di sini selalu menjaga kenyamanan tamu-tamu yang datang, jadi, tidak bisa memberikan kunci ke sembarang orang," jawab sang resepsionis dengan sopan."Kalau begitu, bisa antar saja ke kamar Erwin?""Sekali lagi saya minta maaf, Pak!" Dia menangkupkan tangan."Dia itu pencuri, Mbak. Mobil yang sedang dia bawa itu punya saya yang dia curi. Apa perlu saya melakukan siaran langsung di hotel ini dan memberitahu ke khalayak umum kalau hotel bintang tiga tempat Mbak mengais rezeki ini melindungi seorang penjahat?"Dia diam sejenak sambil terlihat berpikir. Wanita berambut panjang itu kemudian menghubungi seseorang, dan tidak lama kemudian datang seorang laki-laki berpakaian formal menghampiri.Resepsionis memberitahu manajer hotel maksud kedatanganku ke tempat tersebut dan mereka akhirnya memberi izin menemui Erwin, dengan catatan didampingi oleh scurity dan pegawai hotel.Aku menyetujuinya kare
Aku menggigit bibir seraya berusaha tetap dengan mode yang sama ketika menyadari lelaki yang lebih pantas menjadi ayahku itu menarik selimut dan menutup tubuhku, lalu menurunkan suhu air conditioner karena ruangan tempatku dirawat memang terasa terlalu dingin.Tidak kupungkiri ada rasa nyaman ketika berada di dekat Dokter Ibrahim, merasa seperti menemukan sosok seorang ayah yang selalu berusaha melindungi putrinya. Beruntung sekali Humaira dan Hafizah, karena memiliki ayah sebaik serta sempurna seperti Dokter. Tidak seperti diriku yang tidak pernah dipedulikan oleh kedua orang tuaku, malah terkesan dibuang oleh mereka.Malam kian menampakkan keheningan. Aku membuka mata, dan ternyata jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka satu dini hari. Aku mendengar suara dengkuran halus seorang lelaki dari arah sofa, dan ketika aku lihat ternyata Dilan sedang berbaring sambil melipat tangan di dada.Ah, gara-gara pura-pura tertidur untuk menghindari bersitatap dengan Dokter Ibrahim, aku malah te
Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari halaman pusat perbelanjaan. Salwa kembali memejamkan mata, sementara aku berusaha untuk tetap fokus mengemudi.Sesampainya di rumah kembali kugendong perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu, merebahkannya di atas pembaringan kemudian membantunya melepaskan hijab yang menutup kepala.“Mas buatkan teh hangat mau?” tawarku dengan intonasi dibuat selembut mungkin.“Kalau tidak merepotkan. Aku mau salat isya dulu tapi.” Dia menjawab dengan nada pelan, persis seperti orang sedang berbisik.“Mas tidak pernah merasa direpotkan oleh kamu.” Beranjak dari bibir ranjang, mengayunkan kaki perlahan menuju dapur kemudian lekas menjerang air dan membuat segelas teh manis hangat untuk istri.Saat kembali ke dalam kamar aku lihat wanita yang selalu kulukai hatinya itu tengah melakukan ibadah wajib empat rakaat, lalu bermunajat serta berzikir sebelum akhirnya menghampiri diriku yang sedang duduk d
Sesuai janji, selepas magrib aku mendatangi tempat yang sudah kami janjikan. Aku sengaja datang terlebih dahulu, supaya nantinya Dilan serta Kanaya tidak perlu menunggu lama-lama. Tidak enak karena semua masalah ini berasal dari Salwa, dan mereka harus membuang-buang waktu berharga mereka untuk menemui kami. “Assalamualaikum!” Aku menoleh mendengar suara berat seorang laki-laki mengucapkan salam. Dilan berdiri sambil menggandeng tangan mantan istriku, menampakkan kemesraan serta keserasian antara keduanya. “Waalaikumussalam, silakan duduk, Dil, Nay.” Mempersilakan mereka untuk duduk. Salwa menundukkan wajah ketika melihat sepasang suami istri itu datang. Sementara aku terus berusaha menahan degup jantung yang terasa semakin tidak karuan saat menatap ke arah Kanaya yang terlihat semakin memesona. Dia begitu anggun, cantik meski tanpa polesan. “Mbak Salwa apa kabar?” Perempuan di sebelahku terlihat gugup ketika Kanaya menyapanya.
[Assalamualaikum, Dil. Bisa ketemuan nggak? Ada hal penting yang ingin saya dan istri bicarakan] Segera mengirimkan pesan kepada Dilan, berniat mengajak dia bertabayyun agar masalahku dengan istri tidak berlarut-larut.[Waalaikumussalam, ada apa? Kebetulan besok saya off. Insya Allah bisa.] Balas pria keturunan Tionghoa itu.[Jangan lupa ajak Kanaya juga.][Loh, memangnya ada keperluan apa dengan istri saya?][Pengen meluruskan masalah antara saya dan dia. Biar Salwa istri saya tidak terus menerus curiga.][Oh, baik kalau begitu. Nanti biar saya sampaikan kepada istri.][Terima kasih atas pengertiannya. Maaf mengganggu waktunya.][Sama-sama.]Aku segera meletakkan ponsel di atas nakas, kemudian kembali berbaring di sebelah Salwa yang sepertinya sudah terlelap. Semoga saja besok tidak ada halangan, dan semua masalah serta kecurigaan Salwa lekas pergi dari hidupku ini.Samar-samar
Aku segera menyalami tangan mertua dan mencium bagian punggungnya dengan takzim ketika melihat dia beranjak dari kursi. Pun dengan Salwa.“Titip Salwa, Gunawan. Assalamualaikum!” ucapnya lagi, sembari menepuk pelan pundakku ini.Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, sambil melirik ke arah istri yang tengah berdiri di sisiku.“Dek ...,” panggilku pelan, seraya berjalan menghampiri istri.“Maaf, Mas. Aku mau istirahat. Dan perlu kamu tahu, aku tidak pernah selingkuh dengan siapa pun. Aku masih tau batasan juga takut dengan dosa. Walaupun aku tahu suamiku tidak mencintai aku, tetapi aku akan selalu berusaha setia.” Dia berujar sambil berjalan menuju kamar tamu.“Salwa dengerin Mas dulu. Mas tahu kamu tidak pernah membagi cinta dengan siapa pun. Begitu juga dengan Mas. Mas percaya sama kamu, dan aku mohon, agar kamu juga percaya sama Mas!” Mencekal lengannya lalu menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukan. Dia berusaha member
Tuhan, di mana pun dia berada, tolong lindungilah Salwa. Dia pergi karena mungkin sudah tidak bisa memendam lagi amarahnya kepadaku. Meskipun dia wanita sholehah serta taat, tetapi Salwa juga manusia yang tidak pernah luput dari dosa. Hatinya juga hanya terbuat dari sebongkah daging yang mudah sekali terluka.“Abah sama ummi juga sudah mencari Salwa ke rumah-rumah saudara, tapi dia tidak ada di sana. Kemarin ponselnya sempat aktif, sekarang nomor sudah tidak bisa lagi dihubungi.” Abah kembali berujar, dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca. Gurat kekhawatiran terlihat jelas di kedua sorot netranya, membuat diri ini semakin bertambah merasa bersalah.“Saya janji, secepatnya akan menemukan Salwa dan membawa dia pulang, Bah!”“Terima kasih, Gunawan. Kamu memang seorang suami yang baik.” Lelaki berkemeja biru tua itu menepuk pundakku. “Abah juga akan membantu mencari Salwa semampu Abah. Semoga anak itu segera ditemukan. Abah sangat khawatir dengan keadaann
“Ummi serius?” tanyaku memastikan.“Serius lah, Gun. Untuk apa Ummi berbohong. Memangnya kalian sedang ada masalah?” Ibu mertua menatap menyelidik.“Eh, ada Nak Gunawan. Ummi ini bagaimana, sih. Masa ada tamu malah nggak disuruh masuk?” Tiba-tiba abah sudah berada diantara kami. Dia lalu menyuruhku masuk, mempersilakan duduk serta menawarkan minuman.“Sebenarnya ada apa, Gun? Tadi kalau nggak salah denger, kamu nanyain Salwa. Memangnya dia ke mana?” tanya lelaki berkoko putih itu seraya menatap lamat-lamat wajahku.“Tadi dia pamit mau ke sini, Bah. Makanya saya susul, eh, ternyata malah nggak ada.” Aku menjawab takut, khawatir Abah marah dan menyalahkan diriku.Bapak mertua terlihat menghela napas perlahan. Dia lalu membuang pandang keluar jendela, seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin khawatir dengan putrinya juga kecewa kepadaku.“Saya minta maaf karena belum bisa menjadi suami yang baik buat Salwa, Bah!” ucapk
Selesai mendengarkan ceramah, aku bergegas pulang dan mendapati Salwa sedang duduk di sofa, dan di dekat kakinya ada sebuah tas besar yang entah apa itu isinya. Apa dia dia benar-benar ingin pergi seperti perkiraanku?“Mas, aku mau minta izin pulang ke rumah Abah!” ucapnya pelan, bagai angin sedang berbisik.“Pulang ke rumah Abah? Maksud kamu apa, Dek?” Mataku membulat sempurna sekarang.“Sepertinya kita memang butuh waktu buat sendiri-sendiri dulu. Supaya kita bisa memahami letak kesalahan kita masing-masing!”“Kamu itu ngawur? Kenapa musti pulang ke rumah orang tua kamu? Kalau ada masalah itu diselesaikan dengan cara dewasa, Dek. Jangan dikit-dikit minggat. Dikit-dikit minggat. Aku nggak ngizinin kamu pergi!”Salwa menggigit bibir bawah. Matanya mengembun dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening meluncur melewati pipi putihnya.Duh, kenapa pakai acara nangis segala? Kan jadi nggak tega.“D
Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas membuka mata, dan ternyata Dilan serta anak-anak sudah bersiap pergi ke mushola untuk melaksanakan sholat berjamaah. Kurang bahagia apa aku jika memiliki keluarga mendekati sempurna seperti ini. Masa iya harus menggoda mantan suami seperti yang dituduhkan Mbak Salwa? Rasanya sedikit lucu jika mengingat tuduhan tidak beralasan wanita itu.Selesai mandi, aku segera melaksanakan ibadah wajib dua rakaat, lalu berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta anak-anak. Menu nasi goreng campur sosis, telur serta ayam menjadi favorit semuanya, termasuk Dilan suamiku. Kalau memasak menu seperti itu, tidak akan tersisa walau hanya sesendok saja. Makanya aku paling semangat memasak hidangan tersebut."Ada yang bisa Cici bantu, Ma?" tanya Aisyah putriku seraya berjalan menghampiri."Cici potong-potong sosis sama suir ayamnya bisa?" "Bisa dong ...
“Maaf, Mbak? Maksud Mbaknya apa ya? Kok tiba-tiba datang ke rumah dan berkata seperti itu kepada saya?” tanyaku tetap berusaha santai, walaupun sebenarnya sedikit terkejut dengan pertanyaan perempuan di hadapanku ini.“Mbak paham lah, maksud saya apa!” Dia menjawab sambil menunduk.Aku semakin bingung. Bertemu dengan Mas Gunawan saja hanya beberapa kali, dan itu pun secara tidak sengaja. Masa iya mau mengganggu rumah tangga orang, sedangkan berbicara dengan mantan suami saja hampir tidak pernah. Lagian, aku sudah melupakan dia dan hidup bahagia bersama Dilan serta putra putri kami.“Jujur saya tidak mengerti maksud Mbak Salwa itu apa. Karena saya juga merasa tidak pernah mengganggu rumah tangga siapapun,” ujarku lagi, seraya menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya Mas Gunawan.Apa iya diam-diam mantan suamiku mengkhianati istrinya, dan Mbak Salwa mengira akulah wanita penggoda itu.Astaghfirullahaladzim...Tuh, kan,