Kedua bola mata wanita berambut sebahu itu membeliak menatapku, lalu dia menangis meraung-raung membuat api amarah kian berkobar.Stres menghadapi sifatnya yang sudah seperti orang tidak waras. Bisa ikut gila aku kalau begini terus."Sudahlah, Bu. Jangan ditangisi seperti itu. Adel sudah mati. Dia sudah menyusul Dedek!" sentakku lagi.Ibu menggeleng. Dia tetap saja tidak mau berhenti menangis, malah kian menjadi dan terus saja memanggil nama Adelia.Hingga akhirnya aku lebih memilih pergi meninggalkan dia yang sedang menangis sendirian, mencari ketenangan jiwa juga kepingin istirahat, dan kembali ke rumah setelah pagi hari.Tok! Tok!Tok! "Assalamu'alaikum!" Baru saja hendak mengenyakkan bokong di sofa, terdengar suara ramai-ramai orang mengucap salam. Sepertinya masih banyak tamu yang ingin melayat meski jenazah Adelia sudah dikebumikan. Segera keluar untuk membukakan pintu, mempersilahkan rombongan ibu-ibu berdandan cetar membahana itu masuk dan mempersilahkan mereka duduk."Say
Ya Allah, Kanaya. Kamu benar-benar tidak mau memberi suamimu ini kesempatan kedua, walaupun aku telah berjanji akan berubah dan memberikan segala yang aku punya untuk kamu. Apakah cinta yang kamu rasa sudah sirna, Kanaya?Ini semua tidak boleh terjadi. Aku akan datang untuk mediasi dan mengatakan kepada mediator, bahwa aku masih sangat mencintai istriku dan ingin mempertahankan biduk rumah tangga yang telah kubangun selama enam tahun ini. Aku tidak mau berpisah. Aku tidak akan sanggup jika benar-benar harus melepaskan Kanaya dan melihat dia hidup bahagia bersama laki-laki lain selain diriku.Tuhan, tolong aku. Bantu hamba-Mu untuk menyelesaikan masalah ini, dan jangan biarkan Kanaya berpaling dariku. Tolong sentuh hatinya dan lembutkanlah dia, ya Rabb. Buat istriku agar mengubah keputusannya untuk berpisah denganku.Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap-siap untuk datang ke pengadilan agama. Tidak boleh terlambat apalagi sampai tidak mengikuti sidang mediasi. Akan kuperjuangkan lagi is
Selesai mediasi, Wanita berhijab yang selalu mendampingi Kanaya membimbing istriku keluar dari ruangan. Aku masih berusaha mengejar dia ingin meminta maaf serta mendesaknya untuk menarik gugatannya.“Nay!” Bersimpuh dilantai lalu mencekal kaki wanita yang telah kuhancurkan hidupnya itu.Kanaya terkesiap melihat aksi nekatku.“Mas, kamu apa-apaan, sih?” Dia mencoba melepas tanganku, namun dengan erat kucengkeramkan kedua kakinya.“Mas minta maaf, Nay. Ampun. Jangan siksa batin Mas seperti ini. Mas menyesal telah menyia-nyiakan hidup kamu selama ini. Mas berjanji jika kita bisa hidup bersama lagi, Mas akan berubah. Mas masih mencintai kamu, Kanaya.” “Lepas, Mas. Malu dilihat banyak orang.”“Tidak, Kanaya. Mas tidak akan melepaskannya jika kamu tidak mau pulang sama Mas.”“Cukup, Mas. Belum puaskah kamu menghancurkan hidup aku? Tolong biarkan aku hidup bahagia. Aku sudah tidak mau hidup bersama laki-laki kejam juga penipu seperti kamu.”“Aku melakukannya karena begitu terobsesi dan menc
Ting!Sebuah notifikasi pesan masuk ke gawai. Dari Bu Endang.[Assalamualaikum, Mas Gunawan. Pulang jam berapa? Ini sudah siang. Ibu mau pulang karena anak Ibu hari ini datang] Kubaca isi pesan tersebut sambil menghela napas dalam-dalam.[Waalaikumussalam, Bu. Ini saya sudah mau jalan pulang. Kalau ibu saya sudah tidur, Ibu pulang saja tidak apa-apa. Paling sekitar tiga puluh menitan lagi saya sampai di rumah] Send, Bu Endang.Untung saja masih ada tetangga yang baik dan mau menjaga Ibu saat aku pergi. Sebab hampir seluruh warga kompleks menjauhi keluargaku, semenjak gosip pem*rkosaan yang aku lakukan terhadap Kanaya beredar luas.Sekali lagi menoleh menatap Kanaya yang sedang tertidur di atas brankar. Memindai wajah cantiknya sambil menahan rindu yang belum bisa terobati.“Aku pulang dulu, Sayang. Besok aku akan kembali datang menjenguk kamu. Istirahatlah. Tidurlah dengan nyenyak serta mimpi indah. Jangan lupa juga mimpikan aku juga anak kita. Sekali lagi, aku minta maaf karena suda
"Mbak, saya bisa minta kunci serep kamar yang dibooking oleh Erwin?" "Maaf, tidak bisa, Pak. Kami di sini selalu menjaga kenyamanan tamu-tamu yang datang, jadi, tidak bisa memberikan kunci ke sembarang orang," jawab sang resepsionis dengan sopan."Kalau begitu, bisa antar saja ke kamar Erwin?""Sekali lagi saya minta maaf, Pak!" Dia menangkupkan tangan."Dia itu pencuri, Mbak. Mobil yang sedang dia bawa itu punya saya yang dia curi. Apa perlu saya melakukan siaran langsung di hotel ini dan memberitahu ke khalayak umum kalau hotel bintang tiga tempat Mbak mengais rezeki ini melindungi seorang penjahat?"Dia diam sejenak sambil terlihat berpikir. Wanita berambut panjang itu kemudian menghubungi seseorang, dan tidak lama kemudian datang seorang laki-laki berpakaian formal menghampiri.Resepsionis memberitahu manajer hotel maksud kedatanganku ke tempat tersebut dan mereka akhirnya memberi izin menemui Erwin, dengan catatan didampingi oleh scurity dan pegawai hotel.Aku menyetujuinya kare
Aku menggigit bibir seraya berusaha tetap dengan mode yang sama ketika menyadari lelaki yang lebih pantas menjadi ayahku itu menarik selimut dan menutup tubuhku, lalu menurunkan suhu air conditioner karena ruangan tempatku dirawat memang terasa terlalu dingin.Tidak kupungkiri ada rasa nyaman ketika berada di dekat Dokter Ibrahim, merasa seperti menemukan sosok seorang ayah yang selalu berusaha melindungi putrinya. Beruntung sekali Humaira dan Hafizah, karena memiliki ayah sebaik serta sempurna seperti Dokter. Tidak seperti diriku yang tidak pernah dipedulikan oleh kedua orang tuaku, malah terkesan dibuang oleh mereka.Malam kian menampakkan keheningan. Aku membuka mata, dan ternyata jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka satu dini hari. Aku mendengar suara dengkuran halus seorang lelaki dari arah sofa, dan ketika aku lihat ternyata Dilan sedang berbaring sambil melipat tangan di dada.Ah, gara-gara pura-pura tertidur untuk menghindari bersitatap dengan Dokter Ibrahim, aku malah te
“Kita tidak bisa terus-terusan seperti ini, Dil!” ucapku parau.“Kenapa tidak bisa, Nay. Kita sudah menjalaninya selama bertahun-tahun, dan aku tidak pernah melukai hati kamu. Aku rela jika seumur hidup harus menjaga kamu, sampai waktunya tiba dan jiwaku telah terbang ke nirwana, itu tandanya tugasku untuk menjaga kamu telah usai.”Aku kembali duduk di sebelah Dilan. “Dil, jangan sia-siakan hidup kamu hanya untuk aku. Kamu berhak bahagia,” kataku lagi.Dilan mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan.“Sudah aku katakan berkali-kali, kalau bahagia aku itu hanya kamu, Kanaya. Aku tidak bisa mencintai perempuan lain selain kamu. Cintaku sama kamu sudah terpatri kuat dalam hati, dan tidak akan bisa digantikan oleh siapa pun walau oleh bidadari sekalipun.”Aku menoleh menatap wajah Dilan. Dia menyunggingkan bibir membuat hati ini kian teriris pedih.“Dil, jangan buat aku semakin tersiksa karena perasaan ini. Aku nggak kuat jika terus menerus berada di samping kamu, tapi ki
Memasang sabuk pengaman, berusaha senyaman mungkin berada diantara dua lelaki berbeda generasi yang begitu perhatian itu. Aku tidak mau terbawa perasaan, apalagi sampai berpikir yang macam-macam tentang Dokter Ibrahim.“Mau sarapan apa, Nay?” “Bubur ayam aja, Dil.”“Siap, bos.”“Ngomong-ngomong, Dokter Ibrahim nggak kerja? Kok ikut pulang?” tanyaku merasa sedikit aneh karena sudah jam tujuh pagi tadi dokter bertubuh tegap itu malah ikut kami pulang.“Ini kan hari Sabtu, Kanaya. Saya dapat jatah libur walaupun tetap harus standby jika suatu waktu ada telepon darurat.” Dia menoleh menatapku sekilas.Aku hanya ber oh ria menanggapinya, sebab jujur merasa sedikit terganggu ada Dokter Ibrahim diantara kita.Dilan menepikan mobil di dekat penjual bubur ayam yang ada di taman kota, membukakan pintu untukku seperti biasa lalu kami berjalan bersisian menuju penjual makanan tersebut.“Tiga, Pakde! Nggak pake kacang semua.” Dokter Ibrahim memesan tiga mangkuk bubur lalu menarik kursi dan memper