Aku menggigit bibir seraya berusaha tetap dengan mode yang sama ketika menyadari lelaki yang lebih pantas menjadi ayahku itu menarik selimut dan menutup tubuhku, lalu menurunkan suhu air conditioner karena ruangan tempatku dirawat memang terasa terlalu dingin.Tidak kupungkiri ada rasa nyaman ketika berada di dekat Dokter Ibrahim, merasa seperti menemukan sosok seorang ayah yang selalu berusaha melindungi putrinya. Beruntung sekali Humaira dan Hafizah, karena memiliki ayah sebaik serta sempurna seperti Dokter. Tidak seperti diriku yang tidak pernah dipedulikan oleh kedua orang tuaku, malah terkesan dibuang oleh mereka.Malam kian menampakkan keheningan. Aku membuka mata, dan ternyata jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka satu dini hari. Aku mendengar suara dengkuran halus seorang lelaki dari arah sofa, dan ketika aku lihat ternyata Dilan sedang berbaring sambil melipat tangan di dada.Ah, gara-gara pura-pura tertidur untuk menghindari bersitatap dengan Dokter Ibrahim, aku malah te
“Kita tidak bisa terus-terusan seperti ini, Dil!” ucapku parau.“Kenapa tidak bisa, Nay. Kita sudah menjalaninya selama bertahun-tahun, dan aku tidak pernah melukai hati kamu. Aku rela jika seumur hidup harus menjaga kamu, sampai waktunya tiba dan jiwaku telah terbang ke nirwana, itu tandanya tugasku untuk menjaga kamu telah usai.”Aku kembali duduk di sebelah Dilan. “Dil, jangan sia-siakan hidup kamu hanya untuk aku. Kamu berhak bahagia,” kataku lagi.Dilan mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan.“Sudah aku katakan berkali-kali, kalau bahagia aku itu hanya kamu, Kanaya. Aku tidak bisa mencintai perempuan lain selain kamu. Cintaku sama kamu sudah terpatri kuat dalam hati, dan tidak akan bisa digantikan oleh siapa pun walau oleh bidadari sekalipun.”Aku menoleh menatap wajah Dilan. Dia menyunggingkan bibir membuat hati ini kian teriris pedih.“Dil, jangan buat aku semakin tersiksa karena perasaan ini. Aku nggak kuat jika terus menerus berada di samping kamu, tapi ki
Memasang sabuk pengaman, berusaha senyaman mungkin berada diantara dua lelaki berbeda generasi yang begitu perhatian itu. Aku tidak mau terbawa perasaan, apalagi sampai berpikir yang macam-macam tentang Dokter Ibrahim.“Mau sarapan apa, Nay?” “Bubur ayam aja, Dil.”“Siap, bos.”“Ngomong-ngomong, Dokter Ibrahim nggak kerja? Kok ikut pulang?” tanyaku merasa sedikit aneh karena sudah jam tujuh pagi tadi dokter bertubuh tegap itu malah ikut kami pulang.“Ini kan hari Sabtu, Kanaya. Saya dapat jatah libur walaupun tetap harus standby jika suatu waktu ada telepon darurat.” Dia menoleh menatapku sekilas.Aku hanya ber oh ria menanggapinya, sebab jujur merasa sedikit terganggu ada Dokter Ibrahim diantara kita.Dilan menepikan mobil di dekat penjual bubur ayam yang ada di taman kota, membukakan pintu untukku seperti biasa lalu kami berjalan bersisian menuju penjual makanan tersebut.“Tiga, Pakde! Nggak pake kacang semua.” Dokter Ibrahim memesan tiga mangkuk bubur lalu menarik kursi dan memper
“Titip Kanaya, Dokter. Saya mau ke puskesmas dulu. Nanti kalau ada apa-apa tolong hubungi saya ya. Maaf sudah terlalu sering merepotkan Dokter.” Aku berujar seraya mengenakan jaket kulit milikku.“Kamu tenang saja, Dil. Kanaya aman bersama saya.” Dia menyunggingkan bibir. Aku kemudian menyalami tangan Bunda yang sedang duduk santai di ruang tamu lalu segera pergi meninggalkan rumah Dokter Ibrahim.Entah mengapa akhir-akhir ini aku sering merasakan perasaan yang begitu aneh. Jantung berdebar-debar serta selalu dilanda gelisah. Aku begitu mengkhawatirkan Kanaya, wanita yang sejak SMA sudah menanamkan cinta begitu dalam di palung hati ini.Aku begitu takut kehilangan dia untuk yang kedua kalinya, walaupun kusadari, kalau cinta kami tidak mungkin bisa bersatu. Terlalu dalam jurang pemisah diantara kita berdua, serta kerikil tajam yang siap melukai jika salah satu dari kami mundur dan mengakhiri cerita tak bertepi ini.Tiga belas ta
[Nay, hari Minggu aku pergi ke Jogja. Apa kamu bisa menemuiku di taman?] Sekali lagi mengirim pesan melalui short message service, berharap Naya akan membalasnya dan menemuiku kali ini. Aku tidak bisa pergi tanpa pamit kepada perempuan itu, sebab bagiku dia sudah menjadi separuh dari hidupku. Apa jadinya hidup ini tanpa melihat senyuman Kanaya.[Jam berapa, Dil? Insya Allah aku akan datang, mumpung Ayah lagi ke luar kota anter Ibu]Aku bersorak kegirangan membaca balasan dari Kanaya.Puji Tuhan, Engkau masih memberiku kesempatan untuk bertemu dengan dia. [Jam setengah empat, Nay. Sampai jumpa di taman, Sayang][Oke]Kami mengakhiri obrolan karena aku harus segera bersiap-siap. Dandan yang rapi untuk menarik perhatian sang kekasih hati.Memantas diri di depan cermin, menyisir rambut supaya terlihat tampan di depan Kanaya. Tidak lupa juga menyemprotkan parfum di tubuh dan setelah siap
Bertahun-tahun aku mengasingkan diri di kota tempatku menimba ilmu, berharap bisa melupakan rasa cintaku terhadap Kanaya walaupun nyatanya tetap tidak bisa.Aku terus saja meratapi serta menyesali keteledoranku yang telah mengakibatkan Kanaya kehilangan kehormatan, dan setelah aku mulai bisa melupakan dia, aku malah ditugaskan di sebuah puskesmas yang letaknya tidak jauh dari rumah Kanaya beserta suaminya. Hidupku memang dalam tangan Tuhan, dalam rencananya yang tidak bisa diduga-duga.Rasa sesak kembali merajai hati ketika tanpa sengaja melihat Kanaya sedang berjalan tergopoh sambil menggendong seorang gadis kecil dengan paras cantik seperti dirinya. Wajah wanita itu terlihat sembab serta kuyu, tidak menampakkan kebahagiaan sama sekali.Diam-diam aku mengikutinya, melihat dia diperlakukan tidak baik oleh Gunawan, membuat batin ini ikut merasakan parutan luka yang terus digoreskan oleh laki-laki itu.Setelah bertahun-tahun aku
Naik ke atas motor, mengenakan helmet lalu menyalakan mesin sepeda motor milikku meninggalkan pemakaman tanpa lagi memedulikan ekspresi Gunawan.Dari kejauhan aku melihat Gunawan melempar tentengan yang ada di tangannya, lalu menguyar rambut frustrasi.Selamat menikmati kehancuranmu, Pecundang.***Kanaya sedang duduk sendiri di teras sambil membaca buku. Aku lekas mengayunkan langkah mendekat, menyembunyikan tanganku di belakang tubuh ingin memberi dia kejutan."Hai!" sapaku seraya menyunggingkan bibir."Dil, sudah datang?" Dia membalas senyumanku, membuat dada ini berdegup kian kencang.Ah, Kanaya. Kenapa kamu selalu membuat aku jatuh cinta. Bisakah sedetik saja kamu tidak membuatku terpesona?"Bawa apa? Kok, tangan kamu diumpetin begitu?" dia melongok, ingin tahu apa yang aku bawa."Kamu gendong tuyul ya?" Aku terkekeh mendengar pertanyaan konyol yang terlontar dari mulu
“Iya, Sayang. Ada apa?” sapaku seraya membayangkan wajah cantik Kanaya yang sedang tersenyum ketika berbicara.“Emm ... enggak, Dil. Aku mau minta tolong tapi ngomongnya nggak enak sama kamu.”“Ada apa? Bicara saja, Nay.”“Kamu hari ini off ya?”“Iya. Memangnya kenapa?”“Hari ini jadwalnya aku kontrol kandungan, Dil.”“Terus?” Aku sengaja meledeknya, sebab aku paham betul sifat Kanaya yang suka tidak enak hati jika ingin meminta tolong.“Emm ... enggak deh, nggak jadi. Ya sudah, Dil. Aku mau sarapan dulu. Kamu jangan lupa sarapan juga.”Aku terkekeh. Dasar Kanaya. Tinggal bilang minta diantar saja susah sekali.“Iya. Tunggu aku di situ. Aku mandi dulu, habis itu aku antar kamu ke dokter kandungan.”“Terima kasih, Dil.”“Sama-sama.” Dia menutup sambungan telepon dan aku tersenyum bahagia karena pagi-pagi sudah mendengar indahnya suara wanita yang teram