“Titip Kanaya, Dokter. Saya mau ke puskesmas dulu. Nanti kalau ada apa-apa tolong hubungi saya ya. Maaf sudah terlalu sering merepotkan Dokter.” Aku berujar seraya mengenakan jaket kulit milikku.
“Kamu tenang saja, Dil. Kanaya aman bersama saya.” Dia menyunggingkan bibir.Aku kemudian menyalami tangan Bunda yang sedang duduk santai di ruang tamu lalu segera pergi meninggalkan rumah Dokter Ibrahim.Entah mengapa akhir-akhir ini aku sering merasakan perasaan yang begitu aneh. Jantung berdebar-debar serta selalu dilanda gelisah. Aku begitu mengkhawatirkan Kanaya, wanita yang sejak SMA sudah menanamkan cinta begitu dalam di palung hati ini.Aku begitu takut kehilangan dia untuk yang kedua kalinya, walaupun kusadari, kalau cinta kami tidak mungkin bisa bersatu. Terlalu dalam jurang pemisah diantara kita berdua, serta kerikil tajam yang siap melukai jika salah satu dari kami mundur dan mengakhiri cerita tak bertepi ini.Tiga belas ta[Nay, hari Minggu aku pergi ke Jogja. Apa kamu bisa menemuiku di taman?] Sekali lagi mengirim pesan melalui short message service, berharap Naya akan membalasnya dan menemuiku kali ini. Aku tidak bisa pergi tanpa pamit kepada perempuan itu, sebab bagiku dia sudah menjadi separuh dari hidupku. Apa jadinya hidup ini tanpa melihat senyuman Kanaya.[Jam berapa, Dil? Insya Allah aku akan datang, mumpung Ayah lagi ke luar kota anter Ibu]Aku bersorak kegirangan membaca balasan dari Kanaya.Puji Tuhan, Engkau masih memberiku kesempatan untuk bertemu dengan dia. [Jam setengah empat, Nay. Sampai jumpa di taman, Sayang][Oke]Kami mengakhiri obrolan karena aku harus segera bersiap-siap. Dandan yang rapi untuk menarik perhatian sang kekasih hati.Memantas diri di depan cermin, menyisir rambut supaya terlihat tampan di depan Kanaya. Tidak lupa juga menyemprotkan parfum di tubuh dan setelah siap
Bertahun-tahun aku mengasingkan diri di kota tempatku menimba ilmu, berharap bisa melupakan rasa cintaku terhadap Kanaya walaupun nyatanya tetap tidak bisa.Aku terus saja meratapi serta menyesali keteledoranku yang telah mengakibatkan Kanaya kehilangan kehormatan, dan setelah aku mulai bisa melupakan dia, aku malah ditugaskan di sebuah puskesmas yang letaknya tidak jauh dari rumah Kanaya beserta suaminya. Hidupku memang dalam tangan Tuhan, dalam rencananya yang tidak bisa diduga-duga.Rasa sesak kembali merajai hati ketika tanpa sengaja melihat Kanaya sedang berjalan tergopoh sambil menggendong seorang gadis kecil dengan paras cantik seperti dirinya. Wajah wanita itu terlihat sembab serta kuyu, tidak menampakkan kebahagiaan sama sekali.Diam-diam aku mengikutinya, melihat dia diperlakukan tidak baik oleh Gunawan, membuat batin ini ikut merasakan parutan luka yang terus digoreskan oleh laki-laki itu.Setelah bertahun-tahun aku
Naik ke atas motor, mengenakan helmet lalu menyalakan mesin sepeda motor milikku meninggalkan pemakaman tanpa lagi memedulikan ekspresi Gunawan.Dari kejauhan aku melihat Gunawan melempar tentengan yang ada di tangannya, lalu menguyar rambut frustrasi.Selamat menikmati kehancuranmu, Pecundang.***Kanaya sedang duduk sendiri di teras sambil membaca buku. Aku lekas mengayunkan langkah mendekat, menyembunyikan tanganku di belakang tubuh ingin memberi dia kejutan."Hai!" sapaku seraya menyunggingkan bibir."Dil, sudah datang?" Dia membalas senyumanku, membuat dada ini berdegup kian kencang.Ah, Kanaya. Kenapa kamu selalu membuat aku jatuh cinta. Bisakah sedetik saja kamu tidak membuatku terpesona?"Bawa apa? Kok, tangan kamu diumpetin begitu?" dia melongok, ingin tahu apa yang aku bawa."Kamu gendong tuyul ya?" Aku terkekeh mendengar pertanyaan konyol yang terlontar dari mulu
“Iya, Sayang. Ada apa?” sapaku seraya membayangkan wajah cantik Kanaya yang sedang tersenyum ketika berbicara.“Emm ... enggak, Dil. Aku mau minta tolong tapi ngomongnya nggak enak sama kamu.”“Ada apa? Bicara saja, Nay.”“Kamu hari ini off ya?”“Iya. Memangnya kenapa?”“Hari ini jadwalnya aku kontrol kandungan, Dil.”“Terus?” Aku sengaja meledeknya, sebab aku paham betul sifat Kanaya yang suka tidak enak hati jika ingin meminta tolong.“Emm ... enggak deh, nggak jadi. Ya sudah, Dil. Aku mau sarapan dulu. Kamu jangan lupa sarapan juga.”Aku terkekeh. Dasar Kanaya. Tinggal bilang minta diantar saja susah sekali.“Iya. Tunggu aku di situ. Aku mandi dulu, habis itu aku antar kamu ke dokter kandungan.”“Terima kasih, Dil.”“Sama-sama.” Dia menutup sambungan telepon dan aku tersenyum bahagia karena pagi-pagi sudah mendengar indahnya suara wanita yang teram
“Ibu Kanaya!” Asisten dokter memanggil nama Kanaya dari ambang pintu.“Aku masuk dulu, Dil. Kamu tunggu di sini ya?”“Siap. Semangat!”Lagi, dia menerbitkan senyuman lalu segera masuk ke ruang periksa.Aku terus meremas jari jemari mengingat ayat-ayat yang aku dengar tadi. Tubuh ini terasa panas dingin juga merinding.Menyadarkan punggung di tembok. Tidak lama kemudian Kanaya keluar dengan senyum tersungging dan tangan kanannya mengelus perut.Aku langsung berjalan menghampiri, mengelus perut datarnya dan mendaratkan ciuman singkat.“Dil, kamu kok bengong?” Aku terkesiap ketika tiba-tiba Kanaya sudah ada di hadapanku.Ya Tuhan. Ternyata hanya khayalanku saja. Semuanya tidak nyata.“Eh, enggak, Nay. Kamu sudah selesai?” Menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.“Sudah.”“Bagaimana keadaan anak kita?” Kanaya menoleh menatapku cukup lama.“
Rekaman CCTV di pasar juga menunjukkan kalau Adelia dan Erwin yang datang ke toko dan menjarah barang-barang daganganku kemudian mereka jual ke penadah yang sekarang ini menjadi buronan polisi juga.Aku heran, kenapa Adel bisa setega itu terhadap kakaknya sendiri, padahal segala yang dia punya bersumber dari toko milikku.Meraup wajah kasar, menghempaskan tubuh di atas kasur sambil meratapi nasib diri sekarang ini. Ternyata aku tidak bisa apa-apa jika hidup tanpa Kanaya. Semuanya terasa sulit. Pintu rezekiku menyempit karena tidak ada yang mau mendoakan.Hari ini. Setelah sekian lama toko tidak beroperasi karena tidak ada barang maupun modal, akhirnya aku bisa kembali lagi berjualan setelah menjual rumah Adelia. Niat hati ingin menjual mobil, tapi karena polisi masih membutuhkan mobil tersebut untuk dijadikan barang bukti, jadi aku memutuskan untuk menjual rumah Adelia. Semoga saja usahaku bertambah maju dan hiduku
Aku lekas menepikan sepeda motorku di teras, berjalan setengah berlari menghampiri Ibu yang sedang berteriak histeris sambil membentur-benturkan kepalanya di tembok.“Ya Allah, Bu. Tolong jangan menyakiti diri sendiri seperti ini, Bu.” Menarik tubuh Ibu ke dalam pelukan berusaha menenangkan dia.“Sebenarnya ada apa, Bu Endang?” tanyaku penasaran.“Tadi Ibu keluar, ikut nimbrung sama ibu-ibu kompleks. Nah, katanya sama ibu-ibu disinggung masalah ....” Bu Endang menggantung kalimat.“Masalah apa, Bu?”“Masalah kasus pelecehan yang dilakukan Mas Gunawan dulu, juga karena tadi ada polisi datang mau nangkep Mas Gun.”Aku mengusap wajah kasar. Pusing, bingung harus bagaimana menghadapi masalah yang datang silih berganti ini.Tuhan. Terlalu berat hukuman yang Engkau jatuhkan kepadaku. Bolehkah aku menyerah, ya Rabb.“Ya sudah Bu Endang. Terima kasih sudah membantu saya. Ini, ada sedikit rezeki buat Ibu.” Menyodorkan selembar uang merah kepadanya dan perempuan bertubuh gempal itu lekas pulang
Spontan aku menatap wajah Ibu. “Nggak usah liatin Ibu seperti itu, memangnya Ibu setan? Ibu lapar. Belikan Ibu makanan!” perintahnya lagi. “Ibu goreng telur saja, Bu. Kalau nggak masak mie instan.” “Nggak mau. Ibu maunya makan lontong sayur yang pedes, kalau nggak soto Tegal yang ada di ujung jalan. Aku menghela napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Sabar, Gunawan. Ibu kamu sedang sakit. Pikirannya juga sudah kembali seperti anak kecil. Jadi kamu tidak boleh marah dan turuti saja apa yang dia mau. Mengambil dompet, berjalan keluar rumah sekalian olahraga pagi. “Assalamualaikum, selamat pagi, Pak Herman?” sapaku kepada tetangga sebelah yang sedang menyapu halaman. Dia hanya menoleh, tanpa menjawab sapaan dariku. Padahal setahuku, menjawab salam itu hukumnya wajib. Dan dia pasti lebih tahu akan hal itu. Pun dengan tetangga lainnya yang biasanya ramah, mereka tidak ada lagi yang mau bicara ataupun sekedar menyapa. Selain nantinya mendapatkan sanksi hukum, kini ak
Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari halaman pusat perbelanjaan. Salwa kembali memejamkan mata, sementara aku berusaha untuk tetap fokus mengemudi.Sesampainya di rumah kembali kugendong perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu, merebahkannya di atas pembaringan kemudian membantunya melepaskan hijab yang menutup kepala.“Mas buatkan teh hangat mau?” tawarku dengan intonasi dibuat selembut mungkin.“Kalau tidak merepotkan. Aku mau salat isya dulu tapi.” Dia menjawab dengan nada pelan, persis seperti orang sedang berbisik.“Mas tidak pernah merasa direpotkan oleh kamu.” Beranjak dari bibir ranjang, mengayunkan kaki perlahan menuju dapur kemudian lekas menjerang air dan membuat segelas teh manis hangat untuk istri.Saat kembali ke dalam kamar aku lihat wanita yang selalu kulukai hatinya itu tengah melakukan ibadah wajib empat rakaat, lalu bermunajat serta berzikir sebelum akhirnya menghampiri diriku yang sedang duduk d
Sesuai janji, selepas magrib aku mendatangi tempat yang sudah kami janjikan. Aku sengaja datang terlebih dahulu, supaya nantinya Dilan serta Kanaya tidak perlu menunggu lama-lama. Tidak enak karena semua masalah ini berasal dari Salwa, dan mereka harus membuang-buang waktu berharga mereka untuk menemui kami. “Assalamualaikum!” Aku menoleh mendengar suara berat seorang laki-laki mengucapkan salam. Dilan berdiri sambil menggandeng tangan mantan istriku, menampakkan kemesraan serta keserasian antara keduanya. “Waalaikumussalam, silakan duduk, Dil, Nay.” Mempersilakan mereka untuk duduk. Salwa menundukkan wajah ketika melihat sepasang suami istri itu datang. Sementara aku terus berusaha menahan degup jantung yang terasa semakin tidak karuan saat menatap ke arah Kanaya yang terlihat semakin memesona. Dia begitu anggun, cantik meski tanpa polesan. “Mbak Salwa apa kabar?” Perempuan di sebelahku terlihat gugup ketika Kanaya menyapanya.
[Assalamualaikum, Dil. Bisa ketemuan nggak? Ada hal penting yang ingin saya dan istri bicarakan] Segera mengirimkan pesan kepada Dilan, berniat mengajak dia bertabayyun agar masalahku dengan istri tidak berlarut-larut.[Waalaikumussalam, ada apa? Kebetulan besok saya off. Insya Allah bisa.] Balas pria keturunan Tionghoa itu.[Jangan lupa ajak Kanaya juga.][Loh, memangnya ada keperluan apa dengan istri saya?][Pengen meluruskan masalah antara saya dan dia. Biar Salwa istri saya tidak terus menerus curiga.][Oh, baik kalau begitu. Nanti biar saya sampaikan kepada istri.][Terima kasih atas pengertiannya. Maaf mengganggu waktunya.][Sama-sama.]Aku segera meletakkan ponsel di atas nakas, kemudian kembali berbaring di sebelah Salwa yang sepertinya sudah terlelap. Semoga saja besok tidak ada halangan, dan semua masalah serta kecurigaan Salwa lekas pergi dari hidupku ini.Samar-samar
Aku segera menyalami tangan mertua dan mencium bagian punggungnya dengan takzim ketika melihat dia beranjak dari kursi. Pun dengan Salwa.“Titip Salwa, Gunawan. Assalamualaikum!” ucapnya lagi, sembari menepuk pelan pundakku ini.Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, sambil melirik ke arah istri yang tengah berdiri di sisiku.“Dek ...,” panggilku pelan, seraya berjalan menghampiri istri.“Maaf, Mas. Aku mau istirahat. Dan perlu kamu tahu, aku tidak pernah selingkuh dengan siapa pun. Aku masih tau batasan juga takut dengan dosa. Walaupun aku tahu suamiku tidak mencintai aku, tetapi aku akan selalu berusaha setia.” Dia berujar sambil berjalan menuju kamar tamu.“Salwa dengerin Mas dulu. Mas tahu kamu tidak pernah membagi cinta dengan siapa pun. Begitu juga dengan Mas. Mas percaya sama kamu, dan aku mohon, agar kamu juga percaya sama Mas!” Mencekal lengannya lalu menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukan. Dia berusaha member
Tuhan, di mana pun dia berada, tolong lindungilah Salwa. Dia pergi karena mungkin sudah tidak bisa memendam lagi amarahnya kepadaku. Meskipun dia wanita sholehah serta taat, tetapi Salwa juga manusia yang tidak pernah luput dari dosa. Hatinya juga hanya terbuat dari sebongkah daging yang mudah sekali terluka.“Abah sama ummi juga sudah mencari Salwa ke rumah-rumah saudara, tapi dia tidak ada di sana. Kemarin ponselnya sempat aktif, sekarang nomor sudah tidak bisa lagi dihubungi.” Abah kembali berujar, dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca. Gurat kekhawatiran terlihat jelas di kedua sorot netranya, membuat diri ini semakin bertambah merasa bersalah.“Saya janji, secepatnya akan menemukan Salwa dan membawa dia pulang, Bah!”“Terima kasih, Gunawan. Kamu memang seorang suami yang baik.” Lelaki berkemeja biru tua itu menepuk pundakku. “Abah juga akan membantu mencari Salwa semampu Abah. Semoga anak itu segera ditemukan. Abah sangat khawatir dengan keadaann
“Ummi serius?” tanyaku memastikan.“Serius lah, Gun. Untuk apa Ummi berbohong. Memangnya kalian sedang ada masalah?” Ibu mertua menatap menyelidik.“Eh, ada Nak Gunawan. Ummi ini bagaimana, sih. Masa ada tamu malah nggak disuruh masuk?” Tiba-tiba abah sudah berada diantara kami. Dia lalu menyuruhku masuk, mempersilakan duduk serta menawarkan minuman.“Sebenarnya ada apa, Gun? Tadi kalau nggak salah denger, kamu nanyain Salwa. Memangnya dia ke mana?” tanya lelaki berkoko putih itu seraya menatap lamat-lamat wajahku.“Tadi dia pamit mau ke sini, Bah. Makanya saya susul, eh, ternyata malah nggak ada.” Aku menjawab takut, khawatir Abah marah dan menyalahkan diriku.Bapak mertua terlihat menghela napas perlahan. Dia lalu membuang pandang keluar jendela, seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin khawatir dengan putrinya juga kecewa kepadaku.“Saya minta maaf karena belum bisa menjadi suami yang baik buat Salwa, Bah!” ucapk
Selesai mendengarkan ceramah, aku bergegas pulang dan mendapati Salwa sedang duduk di sofa, dan di dekat kakinya ada sebuah tas besar yang entah apa itu isinya. Apa dia dia benar-benar ingin pergi seperti perkiraanku?“Mas, aku mau minta izin pulang ke rumah Abah!” ucapnya pelan, bagai angin sedang berbisik.“Pulang ke rumah Abah? Maksud kamu apa, Dek?” Mataku membulat sempurna sekarang.“Sepertinya kita memang butuh waktu buat sendiri-sendiri dulu. Supaya kita bisa memahami letak kesalahan kita masing-masing!”“Kamu itu ngawur? Kenapa musti pulang ke rumah orang tua kamu? Kalau ada masalah itu diselesaikan dengan cara dewasa, Dek. Jangan dikit-dikit minggat. Dikit-dikit minggat. Aku nggak ngizinin kamu pergi!”Salwa menggigit bibir bawah. Matanya mengembun dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening meluncur melewati pipi putihnya.Duh, kenapa pakai acara nangis segala? Kan jadi nggak tega.“D
Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas membuka mata, dan ternyata Dilan serta anak-anak sudah bersiap pergi ke mushola untuk melaksanakan sholat berjamaah. Kurang bahagia apa aku jika memiliki keluarga mendekati sempurna seperti ini. Masa iya harus menggoda mantan suami seperti yang dituduhkan Mbak Salwa? Rasanya sedikit lucu jika mengingat tuduhan tidak beralasan wanita itu.Selesai mandi, aku segera melaksanakan ibadah wajib dua rakaat, lalu berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta anak-anak. Menu nasi goreng campur sosis, telur serta ayam menjadi favorit semuanya, termasuk Dilan suamiku. Kalau memasak menu seperti itu, tidak akan tersisa walau hanya sesendok saja. Makanya aku paling semangat memasak hidangan tersebut."Ada yang bisa Cici bantu, Ma?" tanya Aisyah putriku seraya berjalan menghampiri."Cici potong-potong sosis sama suir ayamnya bisa?" "Bisa dong ...
“Maaf, Mbak? Maksud Mbaknya apa ya? Kok tiba-tiba datang ke rumah dan berkata seperti itu kepada saya?” tanyaku tetap berusaha santai, walaupun sebenarnya sedikit terkejut dengan pertanyaan perempuan di hadapanku ini.“Mbak paham lah, maksud saya apa!” Dia menjawab sambil menunduk.Aku semakin bingung. Bertemu dengan Mas Gunawan saja hanya beberapa kali, dan itu pun secara tidak sengaja. Masa iya mau mengganggu rumah tangga orang, sedangkan berbicara dengan mantan suami saja hampir tidak pernah. Lagian, aku sudah melupakan dia dan hidup bahagia bersama Dilan serta putra putri kami.“Jujur saya tidak mengerti maksud Mbak Salwa itu apa. Karena saya juga merasa tidak pernah mengganggu rumah tangga siapapun,” ujarku lagi, seraya menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya Mas Gunawan.Apa iya diam-diam mantan suamiku mengkhianati istrinya, dan Mbak Salwa mengira akulah wanita penggoda itu.Astaghfirullahaladzim...Tuh, kan,