“Iya, Sayang. Ada apa?” sapaku seraya membayangkan wajah cantik Kanaya yang sedang tersenyum ketika berbicara.
“Emm ... enggak, Dil. Aku mau minta tolong tapi ngomongnya nggak enak sama kamu.”“Ada apa? Bicara saja, Nay.”“Kamu hari ini off ya?”“Iya. Memangnya kenapa?”“Hari ini jadwalnya aku kontrol kandungan, Dil.”“Terus?” Aku sengaja meledeknya, sebab aku paham betul sifat Kanaya yang suka tidak enak hati jika ingin meminta tolong.“Emm ... enggak deh, nggak jadi. Ya sudah, Dil. Aku mau sarapan dulu. Kamu jangan lupa sarapan juga.”Aku terkekeh. Dasar Kanaya. Tinggal bilang minta diantar saja susah sekali.“Iya. Tunggu aku di situ. Aku mandi dulu, habis itu aku antar kamu ke dokter kandungan.”“Terima kasih, Dil.”“Sama-sama.”Dia menutup sambungan telepon dan aku tersenyum bahagia karena pagi-pagi sudah mendengar indahnya suara wanita yang teram“Ibu Kanaya!” Asisten dokter memanggil nama Kanaya dari ambang pintu.“Aku masuk dulu, Dil. Kamu tunggu di sini ya?”“Siap. Semangat!”Lagi, dia menerbitkan senyuman lalu segera masuk ke ruang periksa.Aku terus meremas jari jemari mengingat ayat-ayat yang aku dengar tadi. Tubuh ini terasa panas dingin juga merinding.Menyadarkan punggung di tembok. Tidak lama kemudian Kanaya keluar dengan senyum tersungging dan tangan kanannya mengelus perut.Aku langsung berjalan menghampiri, mengelus perut datarnya dan mendaratkan ciuman singkat.“Dil, kamu kok bengong?” Aku terkesiap ketika tiba-tiba Kanaya sudah ada di hadapanku.Ya Tuhan. Ternyata hanya khayalanku saja. Semuanya tidak nyata.“Eh, enggak, Nay. Kamu sudah selesai?” Menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.“Sudah.”“Bagaimana keadaan anak kita?” Kanaya menoleh menatapku cukup lama.“
Rekaman CCTV di pasar juga menunjukkan kalau Adelia dan Erwin yang datang ke toko dan menjarah barang-barang daganganku kemudian mereka jual ke penadah yang sekarang ini menjadi buronan polisi juga.Aku heran, kenapa Adel bisa setega itu terhadap kakaknya sendiri, padahal segala yang dia punya bersumber dari toko milikku.Meraup wajah kasar, menghempaskan tubuh di atas kasur sambil meratapi nasib diri sekarang ini. Ternyata aku tidak bisa apa-apa jika hidup tanpa Kanaya. Semuanya terasa sulit. Pintu rezekiku menyempit karena tidak ada yang mau mendoakan.Hari ini. Setelah sekian lama toko tidak beroperasi karena tidak ada barang maupun modal, akhirnya aku bisa kembali lagi berjualan setelah menjual rumah Adelia. Niat hati ingin menjual mobil, tapi karena polisi masih membutuhkan mobil tersebut untuk dijadikan barang bukti, jadi aku memutuskan untuk menjual rumah Adelia. Semoga saja usahaku bertambah maju dan hiduku
Aku lekas menepikan sepeda motorku di teras, berjalan setengah berlari menghampiri Ibu yang sedang berteriak histeris sambil membentur-benturkan kepalanya di tembok.“Ya Allah, Bu. Tolong jangan menyakiti diri sendiri seperti ini, Bu.” Menarik tubuh Ibu ke dalam pelukan berusaha menenangkan dia.“Sebenarnya ada apa, Bu Endang?” tanyaku penasaran.“Tadi Ibu keluar, ikut nimbrung sama ibu-ibu kompleks. Nah, katanya sama ibu-ibu disinggung masalah ....” Bu Endang menggantung kalimat.“Masalah apa, Bu?”“Masalah kasus pelecehan yang dilakukan Mas Gunawan dulu, juga karena tadi ada polisi datang mau nangkep Mas Gun.”Aku mengusap wajah kasar. Pusing, bingung harus bagaimana menghadapi masalah yang datang silih berganti ini.Tuhan. Terlalu berat hukuman yang Engkau jatuhkan kepadaku. Bolehkah aku menyerah, ya Rabb.“Ya sudah Bu Endang. Terima kasih sudah membantu saya. Ini, ada sedikit rezeki buat Ibu.” Menyodorkan selembar uang merah kepadanya dan perempuan bertubuh gempal itu lekas pulang
Spontan aku menatap wajah Ibu. “Nggak usah liatin Ibu seperti itu, memangnya Ibu setan? Ibu lapar. Belikan Ibu makanan!” perintahnya lagi. “Ibu goreng telur saja, Bu. Kalau nggak masak mie instan.” “Nggak mau. Ibu maunya makan lontong sayur yang pedes, kalau nggak soto Tegal yang ada di ujung jalan. Aku menghela napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Sabar, Gunawan. Ibu kamu sedang sakit. Pikirannya juga sudah kembali seperti anak kecil. Jadi kamu tidak boleh marah dan turuti saja apa yang dia mau. Mengambil dompet, berjalan keluar rumah sekalian olahraga pagi. “Assalamualaikum, selamat pagi, Pak Herman?” sapaku kepada tetangga sebelah yang sedang menyapu halaman. Dia hanya menoleh, tanpa menjawab sapaan dariku. Padahal setahuku, menjawab salam itu hukumnya wajib. Dan dia pasti lebih tahu akan hal itu. Pun dengan tetangga lainnya yang biasanya ramah, mereka tidak ada lagi yang mau bicara ataupun sekedar menyapa. Selain nantinya mendapatkan sanksi hukum, kini ak
Ayah melewatiku sambil menatap sinis kemudian duduk bersama orang tersebut. Pihak penyidik terus saja memberondong pertanyaan kepada kami satu persatu, bahkan mereka menanyakan kepada kanaya ciri-ciri orang yang melecehkannya dulu.Wajah perempuan berusia tiga puluh tahun itu terlihat pias, tapi dengan lancar mulutnya menjabarkan apa yang dia ingat.“Saya melihat ada tanda lahir di bagian pinggang pelaku, Pak!” katanya di akhir jawaban.“Tapi itu tidak bisa dijadikan bukti yang kuat, Bu.”“Saya melihat dia membekap Mbak Naya dari belakang, menyeretnya ke dalam bangunan kosong lalu melecehkan Mbak Kanaya. Saya sempat mau melaporkan kepada warga dan aparat setempat tapi tubuh saya gemetar sampai saya sakit selama lebih dari dua pekan saking syoknya melihat kejadian itu, sebab saya mempunyai anak sepantaran dengan Mbak Naya dan saya membayangkan jika itu terjadi kepada anak saya.Setelah saya sembuh, saya mendatangi rumah Pak Heru
Aku masih duduk terpaku ketika hampir semua orang yang ada di dalam ruangan keluar. Saat aku menoleh ke tempat Kanaya duduk pun ternyata perempuan itu sudah tidak ada di tempatnya. Ya Rabb ... Bahkan keluar saja dia tidak ada basa basinya sama sekali kepadaku. Aku dianggap seonggok patung yang tidak memiliki perasaan.“Saya permisi juga, Pak!” menyalami dua orang petugas yang tadi menginterogasi lalu berjalan terseok keluar dari ruangan.Suasana sudah terlihat sepi di luar kantor polisi, karena sepertinya Kanaya beserta rombongan sudah meninggalkan tempat ini. Padahal, aku ingin sekali berbicara empat mata dengan mantan istri, melihat wajahnya walau hanya sekejap saja untuk melepas rasa rindu yang sudah bertakhta dalam kalbu.Menstater motor dengan tangan gemetar, aku terus saja memikirkan bagaimana nasib Ibu kedepannya jika aku sampai ditahan. Dia pasti bertambah depresi karena masalah ini.Ibu sedang duduk sendiri di te
Lamat-lamat terdengar suara Sang Muadzin mengumandangkan azan subuh. Alhamdulillah ternyata Allah masih memberiku kesempatan untuk menatap indahnya pagi hari, memberiku waktu memperbaiki diri sebelum malaikat Israil benar-benar diutus untuk mencabut nyawaku.Lekas menyibak selimut, turun dari tempat tidur dan segera melaksanakan ibadah wajib dua rakaat.Siang harinya, aku menyempatkan diri untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari yang tidak ada di toko, sekaligus ingin membeli buku tentang pelajaran Islam untuk aku bawa nanti selama aku mendekam dalam sel tahanan. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar tengah berdiri sambil membaca buku dengan mimik begitu serius, sampai-sampai tidak menyadari kehadiranku di sebelahnya.Alisku bertaut ketika dia malah tengah membaca buku yang sedang aku cari, bahkan di tangannya sudah ada beberapa buku sejarah Islam lainnya yang sepertinya hendak dia beli.“Kamu ngapain di tempat seperti ini, Di
“Bu, hati-hati jalan-jalannya ya. Aku sangat menyayangi Ibu, walaupun Ibu bukan orang tua kandungku!” mendaratkan ciuman singkat di pipinya, dan tanpa dikomando dua bulir air bening lolos begitu saja membasahi pipi.“Kenapa kamu menangis? Kamu mau ikut jalan-jalan juga?” “Ibu jalannya berdua saja sama Adel.” “Ya sudah. Dah ....” Ibu melambaikan tangan kegirangan. Padahal semalam, saat penyakitnya sedang tidak kambuh dia menolak untuk dibawa ke yayasan.Kini, tinggal aku sendiri, bersiap-siap untuk pergi memenuhi panggilan polisi karena besok sidang pertamaku akan digelar.Bismillah...semoga saja hukuman yang akan aku terima nanti akan menjadi penebus dosa serta memperkuat benteng keimanan yang sedang aku bangun secara perlahan.#Kanaya.Hakim telah mengetuk palu dan Mas Gunawan dijatuhi hukuman selama tujuh tahun dalam kurungan. Sebenarnya tidak puas dengan putusan hakim yang hanya menghukum mantan suami seringan itu. Aku maunya dia dihukum seumur hidup karena trauma yang dia torehk