Spontan aku menatap wajah Ibu. “Nggak usah liatin Ibu seperti itu, memangnya Ibu setan? Ibu lapar. Belikan Ibu makanan!” perintahnya lagi. “Ibu goreng telur saja, Bu. Kalau nggak masak mie instan.” “Nggak mau. Ibu maunya makan lontong sayur yang pedes, kalau nggak soto Tegal yang ada di ujung jalan. Aku menghela napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Sabar, Gunawan. Ibu kamu sedang sakit. Pikirannya juga sudah kembali seperti anak kecil. Jadi kamu tidak boleh marah dan turuti saja apa yang dia mau. Mengambil dompet, berjalan keluar rumah sekalian olahraga pagi. “Assalamualaikum, selamat pagi, Pak Herman?” sapaku kepada tetangga sebelah yang sedang menyapu halaman. Dia hanya menoleh, tanpa menjawab sapaan dariku. Padahal setahuku, menjawab salam itu hukumnya wajib. Dan dia pasti lebih tahu akan hal itu. Pun dengan tetangga lainnya yang biasanya ramah, mereka tidak ada lagi yang mau bicara ataupun sekedar menyapa. Selain nantinya mendapatkan sanksi hukum, kini ak
Ayah melewatiku sambil menatap sinis kemudian duduk bersama orang tersebut. Pihak penyidik terus saja memberondong pertanyaan kepada kami satu persatu, bahkan mereka menanyakan kepada kanaya ciri-ciri orang yang melecehkannya dulu.Wajah perempuan berusia tiga puluh tahun itu terlihat pias, tapi dengan lancar mulutnya menjabarkan apa yang dia ingat.“Saya melihat ada tanda lahir di bagian pinggang pelaku, Pak!” katanya di akhir jawaban.“Tapi itu tidak bisa dijadikan bukti yang kuat, Bu.”“Saya melihat dia membekap Mbak Naya dari belakang, menyeretnya ke dalam bangunan kosong lalu melecehkan Mbak Kanaya. Saya sempat mau melaporkan kepada warga dan aparat setempat tapi tubuh saya gemetar sampai saya sakit selama lebih dari dua pekan saking syoknya melihat kejadian itu, sebab saya mempunyai anak sepantaran dengan Mbak Naya dan saya membayangkan jika itu terjadi kepada anak saya.Setelah saya sembuh, saya mendatangi rumah Pak Heru
Aku masih duduk terpaku ketika hampir semua orang yang ada di dalam ruangan keluar. Saat aku menoleh ke tempat Kanaya duduk pun ternyata perempuan itu sudah tidak ada di tempatnya. Ya Rabb ... Bahkan keluar saja dia tidak ada basa basinya sama sekali kepadaku. Aku dianggap seonggok patung yang tidak memiliki perasaan.“Saya permisi juga, Pak!” menyalami dua orang petugas yang tadi menginterogasi lalu berjalan terseok keluar dari ruangan.Suasana sudah terlihat sepi di luar kantor polisi, karena sepertinya Kanaya beserta rombongan sudah meninggalkan tempat ini. Padahal, aku ingin sekali berbicara empat mata dengan mantan istri, melihat wajahnya walau hanya sekejap saja untuk melepas rasa rindu yang sudah bertakhta dalam kalbu.Menstater motor dengan tangan gemetar, aku terus saja memikirkan bagaimana nasib Ibu kedepannya jika aku sampai ditahan. Dia pasti bertambah depresi karena masalah ini.Ibu sedang duduk sendiri di te
Lamat-lamat terdengar suara Sang Muadzin mengumandangkan azan subuh. Alhamdulillah ternyata Allah masih memberiku kesempatan untuk menatap indahnya pagi hari, memberiku waktu memperbaiki diri sebelum malaikat Israil benar-benar diutus untuk mencabut nyawaku.Lekas menyibak selimut, turun dari tempat tidur dan segera melaksanakan ibadah wajib dua rakaat.Siang harinya, aku menyempatkan diri untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari yang tidak ada di toko, sekaligus ingin membeli buku tentang pelajaran Islam untuk aku bawa nanti selama aku mendekam dalam sel tahanan. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar tengah berdiri sambil membaca buku dengan mimik begitu serius, sampai-sampai tidak menyadari kehadiranku di sebelahnya.Alisku bertaut ketika dia malah tengah membaca buku yang sedang aku cari, bahkan di tangannya sudah ada beberapa buku sejarah Islam lainnya yang sepertinya hendak dia beli.“Kamu ngapain di tempat seperti ini, Di
“Bu, hati-hati jalan-jalannya ya. Aku sangat menyayangi Ibu, walaupun Ibu bukan orang tua kandungku!” mendaratkan ciuman singkat di pipinya, dan tanpa dikomando dua bulir air bening lolos begitu saja membasahi pipi.“Kenapa kamu menangis? Kamu mau ikut jalan-jalan juga?” “Ibu jalannya berdua saja sama Adel.” “Ya sudah. Dah ....” Ibu melambaikan tangan kegirangan. Padahal semalam, saat penyakitnya sedang tidak kambuh dia menolak untuk dibawa ke yayasan.Kini, tinggal aku sendiri, bersiap-siap untuk pergi memenuhi panggilan polisi karena besok sidang pertamaku akan digelar.Bismillah...semoga saja hukuman yang akan aku terima nanti akan menjadi penebus dosa serta memperkuat benteng keimanan yang sedang aku bangun secara perlahan.#Kanaya.Hakim telah mengetuk palu dan Mas Gunawan dijatuhi hukuman selama tujuh tahun dalam kurungan. Sebenarnya tidak puas dengan putusan hakim yang hanya menghukum mantan suami seringan itu. Aku maunya dia dihukum seumur hidup karena trauma yang dia torehk
Aku menghela napas dalam-dalam kemudian membuangnya secara perlahan. Sebenarnya aku sudah merasa kurang nyaman tinggal di rumah Dokter Ibrahim. Selain tidak mau terus merepotkan, aku juga merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan di balik sikap baik serta perhatiannya kepadaku. Aku merasa sepertinya dia memiliki perasaan lebih, dan aku takut menjadi terlalu banyak berhutang budi kepadanya hingga akhirnya mau tidak mau harus menerima pinangan darinya juga menjadi ibu sambung untuk anak-anaknya. Astagfirullah ....Kenapa pikiranku malah jadi ngelantur seperti ini?“Tuh, ‘kan, melamun lagi?” protes Dilan.“Ayo kita pulang. Atau, mau aku anter ke rumah orang tua kamu?”Aku terenyak sesaat. Tidak mungkin juga aku pulang ke rumah Ayah, karena aku masih trauma dengan tempat itu. Semuanya kini benar-benar menjadi dilema untukku. Ingin meminta dicarikan kontrakan, aku takut tambah merepotkan Dilan, karena aku tidak memiliki uang sama seka
“Maaf, Bunda. Tapi saya tidak mencintai Dokter Ibra. Saya juga masih kepingin sendiri dulu, belum berpikir untuk mencari pengganti Mas Gunawan!” tolakku secara halus, tidak berani menatap wajah Bunda.“Witing tresno jalaran soko kulino. Wes, Bunda nggak mau tau. Pokoke setelah melahirkan kalian nikah!”Ya Allah ... kenapa malah jadi seperti ini? Aku tidak mau menikah dengan Dokter Ibrahim, karena memang tidak ada rasa cinta sama sekali kepadanya. Memang cinta bisa datang kapan saja jika kita sudah hidup bersama. Tapi, bagaimana dengan perasaan Dilan? Dia yang sudah menjagaku dari kami remaja selama bertahun-tahun lamanya. Masa iya aku harus kembali menikah dengan laki-laki lain dan mematahkan hatinya?“Sekarang kamu pikirkan baik-baik, Kanaya. Hidup kamu akan terjamin jika menikah dengan anak saya. Kamu tidak akan disakiti seperti saat hidup dengan mantan suami kamu itu!” Bunda menarik kruk lalu berjalan tertatih menuju kamarnya meninggal
“Enggak, Dok. Saya tidak kepengen apa-apa. Saya makan yang ada saja.”Buru-buru mengambil piring, menyendok nasi lalu menyantapnya setelah membaca doa.Dokter Ibrahim tersenyum melihat aku makan dengan lahap sampai menjilati sisa-sisa makanan yang tertinggal di jari-jari.“Kalau lapar jangan ditahan-tahan, Nay. Kamu sendang hamil dan butuh asupan gizi yang banyak. Kalau kepengen sesuatu juga jangan segan meminta sama saya. Insya Allah saya belikan.”Aku menertibkan senyuman, mencoba menghilangkan kecanggungan yang sedang aku rasakan.“Terima kasih, Dokter.”“Kembali kasih. Sudah, makan lagi yang banyak!” “Dok, sepertinya besok saya akan pulang ke rumah orang tua saya.”Mata si pemilik rahang tegas itu membola. Dia menghentikan aktivitas menyantap kue nastar dan menatap wajahku sekilas.“Ada apa? Kenapa tiba-tiba kamu mau pergi dari rumah ini, Nay? Apa diantara kami ada yang menyakiti