Aku menghela napas dalam-dalam kemudian membuangnya secara perlahan. Sebenarnya aku sudah merasa kurang nyaman tinggal di rumah Dokter Ibrahim. Selain tidak mau terus merepotkan, aku juga merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan di balik sikap baik serta perhatiannya kepadaku. Aku merasa sepertinya dia memiliki perasaan lebih, dan aku takut menjadi terlalu banyak berhutang budi kepadanya hingga akhirnya mau tidak mau harus menerima pinangan darinya juga menjadi ibu sambung untuk anak-anaknya. Astagfirullah ....Kenapa pikiranku malah jadi ngelantur seperti ini?“Tuh, ‘kan, melamun lagi?” protes Dilan.“Ayo kita pulang. Atau, mau aku anter ke rumah orang tua kamu?”Aku terenyak sesaat. Tidak mungkin juga aku pulang ke rumah Ayah, karena aku masih trauma dengan tempat itu. Semuanya kini benar-benar menjadi dilema untukku. Ingin meminta dicarikan kontrakan, aku takut tambah merepotkan Dilan, karena aku tidak memiliki uang sama seka
“Maaf, Bunda. Tapi saya tidak mencintai Dokter Ibra. Saya juga masih kepingin sendiri dulu, belum berpikir untuk mencari pengganti Mas Gunawan!” tolakku secara halus, tidak berani menatap wajah Bunda.“Witing tresno jalaran soko kulino. Wes, Bunda nggak mau tau. Pokoke setelah melahirkan kalian nikah!”Ya Allah ... kenapa malah jadi seperti ini? Aku tidak mau menikah dengan Dokter Ibrahim, karena memang tidak ada rasa cinta sama sekali kepadanya. Memang cinta bisa datang kapan saja jika kita sudah hidup bersama. Tapi, bagaimana dengan perasaan Dilan? Dia yang sudah menjagaku dari kami remaja selama bertahun-tahun lamanya. Masa iya aku harus kembali menikah dengan laki-laki lain dan mematahkan hatinya?“Sekarang kamu pikirkan baik-baik, Kanaya. Hidup kamu akan terjamin jika menikah dengan anak saya. Kamu tidak akan disakiti seperti saat hidup dengan mantan suami kamu itu!” Bunda menarik kruk lalu berjalan tertatih menuju kamarnya meninggal
“Enggak, Dok. Saya tidak kepengen apa-apa. Saya makan yang ada saja.”Buru-buru mengambil piring, menyendok nasi lalu menyantapnya setelah membaca doa.Dokter Ibrahim tersenyum melihat aku makan dengan lahap sampai menjilati sisa-sisa makanan yang tertinggal di jari-jari.“Kalau lapar jangan ditahan-tahan, Nay. Kamu sendang hamil dan butuh asupan gizi yang banyak. Kalau kepengen sesuatu juga jangan segan meminta sama saya. Insya Allah saya belikan.”Aku menertibkan senyuman, mencoba menghilangkan kecanggungan yang sedang aku rasakan.“Terima kasih, Dokter.”“Kembali kasih. Sudah, makan lagi yang banyak!” “Dok, sepertinya besok saya akan pulang ke rumah orang tua saya.”Mata si pemilik rahang tegas itu membola. Dia menghentikan aktivitas menyantap kue nastar dan menatap wajahku sekilas.“Ada apa? Kenapa tiba-tiba kamu mau pergi dari rumah ini, Nay? Apa diantara kami ada yang menyakiti
“Dilan? Ya Allah ...!” Segera melepas sabuk pengaman, membuka pintu mobil kemudian berjalan setengah berlari masuk ingin tahu apa yang terjadi.“Hati-hati, Nay. Kamu jangan lari-larian seperti itu. Kamu sedang hamil!” seru Dokter Ibrahim seraya berlari mengejarku.Langkahku terayun cepat membelah orang-orang yang sedang menyemut, hingga kaki ini terhenti ketika melihat sesosok laki-laki sedang duduk terpekur sambil menangis di samping peti jenazah. Jantungku juga berdenyut nyeri saat seorang perempuan berambut panjang terus saja mengusap punggung si lelaki, menatapnya dengan penuh kekaguman serta cinta.Ah, mungkin seperti ini yang dia rasakan ketika melihat aku bersama mantan suami dulu. Sakit, perih hingga meresap ke pori-pori.“Dilan?” Bibir ini mengucap pelan, memanggil nama pria yang begitu aku cintai.Tuhan, terima kasih karena Engkau masih memberiku kesempatan untuk melihat dia. Tadinya aku pikir dia terlah pergi meninggalkan dunia juga diriku. Bisa apa aku jika tidak ada Dilan
Aku hanya diam tidak tahu harus menjawab apa. Rasanya malu jika harus mengumbar perasaanku kepadanya, sementara statusku ini hanyalah seorang janda yang baru saja bercerai dengan sang suami. Pasti jika ada orang lain mendengar dan tidak tahu perjalanan hidupku bersama Mas Gunawan, mereka akan menganggap kalau Dilan sebagai perusak rumah tangga orang, ataupun sebaliknya. Mereka akan mengira kalau aku diceraikan gara-gara ada pria idaman lain yang sudah menggoyahkan perasaanku terhadap mantan suami.“Oke. Diam kamu saya artikan iya. Saya akan mendukung kamu dan ikut mendoakan supaya Dilan lekas mendapatkan hidayah dari Allah, Nay. Biar kalian bisa bersatu. Aku merasa kasian melihat kalian berdua terus menerus seperti ini. Saling mencintai, tapi tidak bisa saling memiliki karena ada jurang yang memisahkan.”“Aamiin ....” Mengaminkan segala doa-doanya.“Saya juga salut dengan kesetiaan Dilan!” pujinya lagi.Aku kembali mengusap perut, karena t
“Kamu mau apa, Dilan?!” sentakku sedikit takut.“Memangnya aku mau apa, Nay? Sejak tadi aku duduk nggak ngapa-ngapain, Cuma liatin kamu yang terlihat sedang bertingkah aneh!” sanggahnya.Aku menajamkan mata, menatap pria tampan yang sedang bersedekap sambil menyandarkan punggungnya di penopang kursi.Ya Allah ... ternyata imanku begitu lemah, bahkan sampai membayangkan hal yang tidak-tidak. Padahal aku sangat yakin kalau lelaki yang sedang duduk di sebelahku itu tidak akan pernah berbuat macam-macam terhadap diriku."Kamu piktor, ya?" Dia terkekeh, membuat wajah ini mungkin sudah bersemu merah seperti tomat ranum."Nikah, yuk! Biar kamu nggak pernah berpikir macam-macam sama aku!""Sekarang?""Kalo kamu mau!""Nggak bisa, Dilan. Masa idah aku belum habis, karena wanita yang baru dicerai oleh suaminya itu bisa menikah lagi setelah masa idahnya selesai.""Sampai kapan?""Samp
"Jangan diliatin terus, Dil. Nanti bosan. Lagian kita itu bukan pasangan halal. Jangankan saling memandang, berdua terus dalam satu ruangan seperti ini saja sebenarnya sudah dosa. Tapi apalah daya aku begitu mencintai kamu dan tidak bisa berpisah dari kamu. Makanya aku pernah memohon kepada Tuhan. Jika kita tidak bisa bersatu dalam ikatan pernikahan, aku meminta kepada Sang Pemilik Hidup supaya mencabut nyawaku saja. Agar diantara kita tidak ada lagi yang merasa tersakiti dan terluka."Kerongkongan ini terasa sakit mendengar kata yang terucap dari bibir manis Kanaya. Kenapa dia bisa berpikiran sejauh itu? Aku sangat yakin, bahwa suatu saat Tuhan pasti akan mempersatukan kami berdua dengan cara apa pun."Kamu mau nyuapin aku apa mau bengong, Dil?" protes Kanaya seraya mengerucutkan bibir manja.Ya Tuhan ... godaan apa lagi ini. Kenapa dia selalu bertingkah yang membuat syaitan terus saja berbisik untuk melakukan hal lebih kepadanya.Sabar,
Segera berjalan menuju parkiran, mendorong sepeda motor lalu menyalakannya dan melajukan kendaraan roda dua milikku membelah jalanan kota yang masih terasa sepi sebab hari masih terlalu pagi.Margaretha sudah berdiri di depan pintu unit gawat darurat ketika aku datang. Seulas senyum tergambar di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude, namun entahlah, senyumnya itu malah membuat aku sedikit risih, apalagi setelah mendengar cerita Kanaya yang mengatakan kalau dia sudah mengarang cerita tentang hubunganku dan dirinya. Ilang feeling jadinya.“Kamu semalam ke mana, Dil? Aku ke rumah tapi sepi. Nggak ada orang,” tanyanya sambil menghampiri.“Nungguin Naya di rumah sakit. Dia keram perut dan hampir saja mengalami perdarahan!” Aku menjawab seadanya.“Ya Tuhan. Memang dia seneng banget cari perhatian orang-orang ya, Dil. Aku kasian sama kamu lho. Karena seumur hidup, hanya menjaga jodoh orang!”Aku menatap bengis wajah lawan b
Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari halaman pusat perbelanjaan. Salwa kembali memejamkan mata, sementara aku berusaha untuk tetap fokus mengemudi.Sesampainya di rumah kembali kugendong perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu, merebahkannya di atas pembaringan kemudian membantunya melepaskan hijab yang menutup kepala.“Mas buatkan teh hangat mau?” tawarku dengan intonasi dibuat selembut mungkin.“Kalau tidak merepotkan. Aku mau salat isya dulu tapi.” Dia menjawab dengan nada pelan, persis seperti orang sedang berbisik.“Mas tidak pernah merasa direpotkan oleh kamu.” Beranjak dari bibir ranjang, mengayunkan kaki perlahan menuju dapur kemudian lekas menjerang air dan membuat segelas teh manis hangat untuk istri.Saat kembali ke dalam kamar aku lihat wanita yang selalu kulukai hatinya itu tengah melakukan ibadah wajib empat rakaat, lalu bermunajat serta berzikir sebelum akhirnya menghampiri diriku yang sedang duduk d
Sesuai janji, selepas magrib aku mendatangi tempat yang sudah kami janjikan. Aku sengaja datang terlebih dahulu, supaya nantinya Dilan serta Kanaya tidak perlu menunggu lama-lama. Tidak enak karena semua masalah ini berasal dari Salwa, dan mereka harus membuang-buang waktu berharga mereka untuk menemui kami. “Assalamualaikum!” Aku menoleh mendengar suara berat seorang laki-laki mengucapkan salam. Dilan berdiri sambil menggandeng tangan mantan istriku, menampakkan kemesraan serta keserasian antara keduanya. “Waalaikumussalam, silakan duduk, Dil, Nay.” Mempersilakan mereka untuk duduk. Salwa menundukkan wajah ketika melihat sepasang suami istri itu datang. Sementara aku terus berusaha menahan degup jantung yang terasa semakin tidak karuan saat menatap ke arah Kanaya yang terlihat semakin memesona. Dia begitu anggun, cantik meski tanpa polesan. “Mbak Salwa apa kabar?” Perempuan di sebelahku terlihat gugup ketika Kanaya menyapanya.
[Assalamualaikum, Dil. Bisa ketemuan nggak? Ada hal penting yang ingin saya dan istri bicarakan] Segera mengirimkan pesan kepada Dilan, berniat mengajak dia bertabayyun agar masalahku dengan istri tidak berlarut-larut.[Waalaikumussalam, ada apa? Kebetulan besok saya off. Insya Allah bisa.] Balas pria keturunan Tionghoa itu.[Jangan lupa ajak Kanaya juga.][Loh, memangnya ada keperluan apa dengan istri saya?][Pengen meluruskan masalah antara saya dan dia. Biar Salwa istri saya tidak terus menerus curiga.][Oh, baik kalau begitu. Nanti biar saya sampaikan kepada istri.][Terima kasih atas pengertiannya. Maaf mengganggu waktunya.][Sama-sama.]Aku segera meletakkan ponsel di atas nakas, kemudian kembali berbaring di sebelah Salwa yang sepertinya sudah terlelap. Semoga saja besok tidak ada halangan, dan semua masalah serta kecurigaan Salwa lekas pergi dari hidupku ini.Samar-samar
Aku segera menyalami tangan mertua dan mencium bagian punggungnya dengan takzim ketika melihat dia beranjak dari kursi. Pun dengan Salwa.“Titip Salwa, Gunawan. Assalamualaikum!” ucapnya lagi, sembari menepuk pelan pundakku ini.Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, sambil melirik ke arah istri yang tengah berdiri di sisiku.“Dek ...,” panggilku pelan, seraya berjalan menghampiri istri.“Maaf, Mas. Aku mau istirahat. Dan perlu kamu tahu, aku tidak pernah selingkuh dengan siapa pun. Aku masih tau batasan juga takut dengan dosa. Walaupun aku tahu suamiku tidak mencintai aku, tetapi aku akan selalu berusaha setia.” Dia berujar sambil berjalan menuju kamar tamu.“Salwa dengerin Mas dulu. Mas tahu kamu tidak pernah membagi cinta dengan siapa pun. Begitu juga dengan Mas. Mas percaya sama kamu, dan aku mohon, agar kamu juga percaya sama Mas!” Mencekal lengannya lalu menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukan. Dia berusaha member
Tuhan, di mana pun dia berada, tolong lindungilah Salwa. Dia pergi karena mungkin sudah tidak bisa memendam lagi amarahnya kepadaku. Meskipun dia wanita sholehah serta taat, tetapi Salwa juga manusia yang tidak pernah luput dari dosa. Hatinya juga hanya terbuat dari sebongkah daging yang mudah sekali terluka.“Abah sama ummi juga sudah mencari Salwa ke rumah-rumah saudara, tapi dia tidak ada di sana. Kemarin ponselnya sempat aktif, sekarang nomor sudah tidak bisa lagi dihubungi.” Abah kembali berujar, dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca. Gurat kekhawatiran terlihat jelas di kedua sorot netranya, membuat diri ini semakin bertambah merasa bersalah.“Saya janji, secepatnya akan menemukan Salwa dan membawa dia pulang, Bah!”“Terima kasih, Gunawan. Kamu memang seorang suami yang baik.” Lelaki berkemeja biru tua itu menepuk pundakku. “Abah juga akan membantu mencari Salwa semampu Abah. Semoga anak itu segera ditemukan. Abah sangat khawatir dengan keadaann
“Ummi serius?” tanyaku memastikan.“Serius lah, Gun. Untuk apa Ummi berbohong. Memangnya kalian sedang ada masalah?” Ibu mertua menatap menyelidik.“Eh, ada Nak Gunawan. Ummi ini bagaimana, sih. Masa ada tamu malah nggak disuruh masuk?” Tiba-tiba abah sudah berada diantara kami. Dia lalu menyuruhku masuk, mempersilakan duduk serta menawarkan minuman.“Sebenarnya ada apa, Gun? Tadi kalau nggak salah denger, kamu nanyain Salwa. Memangnya dia ke mana?” tanya lelaki berkoko putih itu seraya menatap lamat-lamat wajahku.“Tadi dia pamit mau ke sini, Bah. Makanya saya susul, eh, ternyata malah nggak ada.” Aku menjawab takut, khawatir Abah marah dan menyalahkan diriku.Bapak mertua terlihat menghela napas perlahan. Dia lalu membuang pandang keluar jendela, seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin khawatir dengan putrinya juga kecewa kepadaku.“Saya minta maaf karena belum bisa menjadi suami yang baik buat Salwa, Bah!” ucapk
Selesai mendengarkan ceramah, aku bergegas pulang dan mendapati Salwa sedang duduk di sofa, dan di dekat kakinya ada sebuah tas besar yang entah apa itu isinya. Apa dia dia benar-benar ingin pergi seperti perkiraanku?“Mas, aku mau minta izin pulang ke rumah Abah!” ucapnya pelan, bagai angin sedang berbisik.“Pulang ke rumah Abah? Maksud kamu apa, Dek?” Mataku membulat sempurna sekarang.“Sepertinya kita memang butuh waktu buat sendiri-sendiri dulu. Supaya kita bisa memahami letak kesalahan kita masing-masing!”“Kamu itu ngawur? Kenapa musti pulang ke rumah orang tua kamu? Kalau ada masalah itu diselesaikan dengan cara dewasa, Dek. Jangan dikit-dikit minggat. Dikit-dikit minggat. Aku nggak ngizinin kamu pergi!”Salwa menggigit bibir bawah. Matanya mengembun dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening meluncur melewati pipi putihnya.Duh, kenapa pakai acara nangis segala? Kan jadi nggak tega.“D
Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas membuka mata, dan ternyata Dilan serta anak-anak sudah bersiap pergi ke mushola untuk melaksanakan sholat berjamaah. Kurang bahagia apa aku jika memiliki keluarga mendekati sempurna seperti ini. Masa iya harus menggoda mantan suami seperti yang dituduhkan Mbak Salwa? Rasanya sedikit lucu jika mengingat tuduhan tidak beralasan wanita itu.Selesai mandi, aku segera melaksanakan ibadah wajib dua rakaat, lalu berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta anak-anak. Menu nasi goreng campur sosis, telur serta ayam menjadi favorit semuanya, termasuk Dilan suamiku. Kalau memasak menu seperti itu, tidak akan tersisa walau hanya sesendok saja. Makanya aku paling semangat memasak hidangan tersebut."Ada yang bisa Cici bantu, Ma?" tanya Aisyah putriku seraya berjalan menghampiri."Cici potong-potong sosis sama suir ayamnya bisa?" "Bisa dong ...
“Maaf, Mbak? Maksud Mbaknya apa ya? Kok tiba-tiba datang ke rumah dan berkata seperti itu kepada saya?” tanyaku tetap berusaha santai, walaupun sebenarnya sedikit terkejut dengan pertanyaan perempuan di hadapanku ini.“Mbak paham lah, maksud saya apa!” Dia menjawab sambil menunduk.Aku semakin bingung. Bertemu dengan Mas Gunawan saja hanya beberapa kali, dan itu pun secara tidak sengaja. Masa iya mau mengganggu rumah tangga orang, sedangkan berbicara dengan mantan suami saja hampir tidak pernah. Lagian, aku sudah melupakan dia dan hidup bahagia bersama Dilan serta putra putri kami.“Jujur saya tidak mengerti maksud Mbak Salwa itu apa. Karena saya juga merasa tidak pernah mengganggu rumah tangga siapapun,” ujarku lagi, seraya menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya Mas Gunawan.Apa iya diam-diam mantan suamiku mengkhianati istrinya, dan Mbak Salwa mengira akulah wanita penggoda itu.Astaghfirullahaladzim...Tuh, kan,