"Jangan diliatin terus, Dil. Nanti bosan. Lagian kita itu bukan pasangan halal. Jangankan saling memandang, berdua terus dalam satu ruangan seperti ini saja sebenarnya sudah dosa. Tapi apalah daya aku begitu mencintai kamu dan tidak bisa berpisah dari kamu. Makanya aku pernah memohon kepada Tuhan. Jika kita tidak bisa bersatu dalam ikatan pernikahan, aku meminta kepada Sang Pemilik Hidup supaya mencabut nyawaku saja. Agar diantara kita tidak ada lagi yang merasa tersakiti dan terluka."
Kerongkongan ini terasa sakit mendengar kata yang terucap dari bibir manis Kanaya. Kenapa dia bisa berpikiran sejauh itu? Aku sangat yakin, bahwa suatu saat Tuhan pasti akan mempersatukan kami berdua dengan cara apa pun."Kamu mau nyuapin aku apa mau bengong, Dil?" protes Kanaya seraya mengerucutkan bibir manja.Ya Tuhan ... godaan apa lagi ini. Kenapa dia selalu bertingkah yang membuat syaitan terus saja berbisik untuk melakukan hal lebih kepadanya.Sabar,Segera berjalan menuju parkiran, mendorong sepeda motor lalu menyalakannya dan melajukan kendaraan roda dua milikku membelah jalanan kota yang masih terasa sepi sebab hari masih terlalu pagi.Margaretha sudah berdiri di depan pintu unit gawat darurat ketika aku datang. Seulas senyum tergambar di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude, namun entahlah, senyumnya itu malah membuat aku sedikit risih, apalagi setelah mendengar cerita Kanaya yang mengatakan kalau dia sudah mengarang cerita tentang hubunganku dan dirinya. Ilang feeling jadinya.“Kamu semalam ke mana, Dil? Aku ke rumah tapi sepi. Nggak ada orang,” tanyanya sambil menghampiri.“Nungguin Naya di rumah sakit. Dia keram perut dan hampir saja mengalami perdarahan!” Aku menjawab seadanya.“Ya Tuhan. Memang dia seneng banget cari perhatian orang-orang ya, Dil. Aku kasian sama kamu lho. Karena seumur hidup, hanya menjaga jodoh orang!”Aku menatap bengis wajah lawan b
#Dilan Mobil kutepikan di dekat rumah kosong, karena di situ satu-satunya tempat yang bisa dipakai untuk memarkirkan kendaraan roda empat. Aku terus saja memperhatikan wajah Kanaya yang terlihat pias serta ketakutan. Mencoba menenangkan dia, namun dia terus saja meracau, mungkin bayangan kelam di masa lalunya kembali menghantui pikiran. “Nay, kenapa? Ada apa?” Kucoba mendekat, tetapi dia malah bertambah ketakutan. “Kanaya, Sayang. Astaga! Kamu kenapa?” Meraih tangan perempuan berhijab ungu itu, dan lagi-lagi dia memekik ketakutan. “Jangan sentuh, lepas, sakit, ampun!!” Dia malah berlari ke jalan raya, menerobos para pengendara yang sedang lalu lalang hingga sebuah minibus menabraknya dan tubuh wanita yang teramat kucinta itu terpental beberapa meter. “KANAYA ... ALLAHU AKBAR!” teriakku sambil berlari menghampiri dan segera kubopong tubuhnya yang sudah berlumuran darah. “Tolong bantu saya mengemudi. Antar sa
Aku kembali duduk dengan resah, menunggu paramedis juga dokter keluar dan memberi kabar baik tentang Kanaya. Pun dengan Dokter Ibrahim yang mulai tampak gelisah. Ekor mataku terus saja meliriknya, yang sedang berkomat-kamit merapalkan doa serta memegang tasbih digital ditangan kanannya.Lampu indikator padam, pertanda tindakan di ruang operasi sudah selesai, dan pasien akan segera dipindahkan ke ruang pemulihan. Tanpa terasa sekitar satu jam aku menunggu dengan rasa cemas dan tidak henti-hentinya merapalkan doa yang kubisa.Hati ini kian mencelos melihat tubuh Kanaya tergolek lemah dengan selang oksigen di hidung juga kabel elektroda di bagian dada dan ditutup kain oleh perawat.“Setelah ini pakaikan dia hijab, Dok. Dia tidak terbiasa membuka aurat!” perintah pria dengan gelar spesialis dokter kejiwaan itu dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca.“Baik, Pak!” suster menyahut seraya mendorong brankar masuk ke dalam ruangan intensive care unit
“Permisi, Pak. Bisa saya bicara sebentar dengan Bapak?” Aku menoleh ke arah sumber suara. Seorang perempuan beralmamater putih mengulas senyum dan mengajakku berbicara empat mata.“Ada apa, Dokter?” tanyaku penasaran.“Begini, Pak. Saya Cuma mau mengabarkan kepada Bapak, kalau keadaan anak Bapak semakin kritis dan kemungkinan hidupnya hanya sepuluh persen saja. Pun dengan Ibu yang keadaannya kian melemah. Kami semua para petugas medis sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi semuanya sudah diatur oleh Sang Pencipta. Bapak banyak-banyak berdoa saja supaya ada keajaiban dari Allah, dan Bu Kanaya bisa melewati masa kritisnya. Jujur, saya juga sudah pasrah karena sepertinya pasien tidak memiliki semangat hidup sama sekali!”Seketika lutut ini terasa lemas tidak mampu menopang tubuh. Air mata berlomba-lomba mengular di pipi, dan dada ini menjadi sesak seperti tidak ada pasokan oksigen masuk ke dalam paru-paru.“Sabar ya, Pak. Mungkin ini semua s
“Maaf sebelumnya, Mas Dilan. Mungkin pertanyaan saya agak sedikit kurang sopan. Apa Mas Dilan sudah dikhitan?” tanya pria berkalung sorban yang ada di depanku setelah kami berbasa-basi sebentar.Dahiku mengernyit mendengar pertanyaan dari laki-laki yang dipanggil Gus oleh Mas Abraham.“Begini, loh. Khitan merupakan kewajiban karena termasuk ke dalam fitrah yang harus dijaga. Dalam tradisi Islam, khitan hukumnya wajib untuk laki-laki. Makanya saya menanyakan hal seperti itu kepada Mas Dilan, soalnya Mas Dilan ini sudah memantapkan hati ingin memeluk agama kami.”“Sudah, Gus.” Aku mengangguk sembari menerbitkan sebuah senyuman.“Alhamdulillah kalau begitu. Ya sudah. Kalau begitu kita mulai saja berhubung sudah ada beberapa saksi, apalagi sebentar lagi sudah masuk waktu salat asar.”Gus Azmi menjabat tanganku, membimbingku untuk mengucap dua kalimat syahadat dan aku mengikutinya dengan segenap jiwa dan raga.“Asyhadu an
“A—ada apa, Dokter? Ada apa dengan Kanayaku?” tanyaku dengan perasaan takut.“Oh, tidak ada apa-apa, Pak. Tadi salah seorang perawat melihat tangan Ibu bergerak-gerak, jadi kami langsung memeriksanya!” jawab perempuan berjas putih yang setiap hari memeriksa keadaan calon istriku.“Terus, apa sekarang Naya sudah siuman?” Dokter menggeleng pelan.“Ya sudah. Saya permisi dulu!” Dia lalu melenggang pergi meninggalkan diriku, begitu juga dengan para perawat yang ikut menangani.Menggenggam hendel pintu, mengayunkan langkah kaki ke dalam menghampiri wanita yang teramat kucintai.“Assalamualaikum, Sayang.” Kuucapkan salam seraya menarik kursi, mengenyakkan bokong secara perlahan dan mata ini tidak pernah lepas dari wajahnya yang terlihat begitu pucat.“Nay, hari ini, aku sudah memantapkan diri untuk menjadi seorang muslim. Sekarang sudah tidak ada lagi jurang penghalang diantara kita. Apa kamu mau menjadi istriku
Setelah beberapa puluh menit menunggu. Akhirnya rombongan yang aku tunggu tiba juga. Wajah ayah Kanaya terlihat kurang suka saat menatapku, tapi tidak apa-apa. Toh, dia sudah biasa menatapku dengan pindaian seperti itu. Berprasangka baik saja, mungkin ekspresi wajah Pak Heru memang begitu.Menyalami tangan mereka bertiga secara bergantian, aku lalu duduk di kursi panjang rumah sakit dengan perasaan tidak menentu. Apalagi mata Pak Heru tidak juga lepas dari wajahku, seolah ada sesuatu yang ingin dia bicarakan, namun, tidak mampu dia ungkapkan.“Begini, Dil. Kemarin setelah kamu mengucap syahadat di masjid, saya langsung mendatangi rumah Pak Heru menyampaikan maksud baik kamu untuk meminang dan menikahi Kanaya. Dan setelah saya mendengar perkembangan Kanaya dari Pak Ibrahim, kami akhirnya memutuskan untuk segera menikahkan kalian berdua, sebagai ikhtiar kesembuhan Kanaya juga. Siapa tahu setelah kamu menikahi dia semangat hidupnya akan kembali muncul dan Naya bis
Duduk di sebelah istri sembari membaca buku panduan salat, aku terus berusaha menghafal bacaannya karena salat itu hal yang paling wajib dilakukan oleh seorang muslim. Tiang agama kalau kata Mas Abraham. Jadi jika tiangnya kurang kokoh, maka akan ambruk pula apa yang sedang disangga."Sore, Pak. Saya izin mau membersihkan dan mengganti selimut Ibu," ucap salah seorang perawat dengan intonasi sangat lembut.Aku segera menutup buku yang sedang kubaca lalu menyuruh suster meletakkan baskom berisi air hangat di atas meja."Biar saya mengurusnya, Sus." "Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu." Wanita berseragam khas rumah sakit itu segera keluar dari ruangan meninggalkan diriku beserta istri.Dengan tangan gemetar kubuka hijab yang kanaya kenakan, mengusap lembut rambutnya kemudian menyapukan handuk kecil yang sudah terlebih dahulu dicelupkan ke air hangat ke seluruh permukaan wajah."Ternyata kamu begitu memesona keti