Home / Romansa / Aku Menyerah, Mas! / Permintaan Dokter Ibrahim

Share

Permintaan Dokter Ibrahim

Author: Ida Saidah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku kembali duduk dengan resah, menunggu paramedis juga dokter keluar dan memberi kabar baik tentang Kanaya. Pun dengan Dokter Ibrahim yang mulai tampak gelisah. Ekor mataku terus saja meliriknya, yang sedang berkomat-kamit merapalkan doa serta memegang tasbih digital ditangan kanannya.

Lampu indikator padam, pertanda tindakan di ruang operasi sudah selesai, dan pasien akan segera dipindahkan ke ruang pemulihan. Tanpa terasa sekitar satu jam aku menunggu dengan rasa cemas dan tidak henti-hentinya merapalkan doa yang kubisa.

Hati ini kian mencelos melihat tubuh Kanaya tergolek lemah dengan selang oksigen di hidung juga kabel elektroda di bagian dada dan ditutup kain oleh perawat.

“Setelah ini pakaikan dia hijab, Dok. Dia tidak terbiasa membuka aurat!” perintah pria dengan gelar spesialis dokter kejiwaan itu dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca.

“Baik, Pak!” suster menyahut seraya mendorong brankar masuk ke dalam ruangan intensive care unit
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Arifrahman
gimana mau bersama nay,dilan, sedang kamu kukuh dengan keyakinan mu,kalau cinta ya harus rela berkorban,,ikuti Kanaya..masak 13 THN hanya mandang saja.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Aku Menyerah, Mas!   Keinginan Dilan

    “Permisi, Pak. Bisa saya bicara sebentar dengan Bapak?” Aku menoleh ke arah sumber suara. Seorang perempuan beralmamater putih mengulas senyum dan mengajakku berbicara empat mata.“Ada apa, Dokter?” tanyaku penasaran.“Begini, Pak. Saya Cuma mau mengabarkan kepada Bapak, kalau keadaan anak Bapak semakin kritis dan kemungkinan hidupnya hanya sepuluh persen saja. Pun dengan Ibu yang keadaannya kian melemah. Kami semua para petugas medis sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi semuanya sudah diatur oleh Sang Pencipta. Bapak banyak-banyak berdoa saja supaya ada keajaiban dari Allah, dan Bu Kanaya bisa melewati masa kritisnya. Jujur, saya juga sudah pasrah karena sepertinya pasien tidak memiliki semangat hidup sama sekali!”Seketika lutut ini terasa lemas tidak mampu menopang tubuh. Air mata berlomba-lomba mengular di pipi, dan dada ini menjadi sesak seperti tidak ada pasokan oksigen masuk ke dalam paru-paru.“Sabar ya, Pak. Mungkin ini semua s

  • Aku Menyerah, Mas!   Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat

    “Maaf sebelumnya, Mas Dilan. Mungkin pertanyaan saya agak sedikit kurang sopan. Apa Mas Dilan sudah dikhitan?” tanya pria berkalung sorban yang ada di depanku setelah kami berbasa-basi sebentar.Dahiku mengernyit mendengar pertanyaan dari laki-laki yang dipanggil Gus oleh Mas Abraham.“Begini, loh. Khitan merupakan kewajiban karena termasuk ke dalam fitrah yang harus dijaga. Dalam tradisi Islam, khitan hukumnya wajib untuk laki-laki. Makanya saya menanyakan hal seperti itu kepada Mas Dilan, soalnya Mas Dilan ini sudah memantapkan hati ingin memeluk agama kami.”“Sudah, Gus.” Aku mengangguk sembari menerbitkan sebuah senyuman.“Alhamdulillah kalau begitu. Ya sudah. Kalau begitu kita mulai saja berhubung sudah ada beberapa saksi, apalagi sebentar lagi sudah masuk waktu salat asar.”Gus Azmi menjabat tanganku, membimbingku untuk mengucap dua kalimat syahadat dan aku mengikutinya dengan segenap jiwa dan raga.“Asyhadu an

  • Aku Menyerah, Mas!   Belajar Tentang Agama

    “A—ada apa, Dokter? Ada apa dengan Kanayaku?” tanyaku dengan perasaan takut.“Oh, tidak ada apa-apa, Pak. Tadi salah seorang perawat melihat tangan Ibu bergerak-gerak, jadi kami langsung memeriksanya!” jawab perempuan berjas putih yang setiap hari memeriksa keadaan calon istriku.“Terus, apa sekarang Naya sudah siuman?” Dokter menggeleng pelan.“Ya sudah. Saya permisi dulu!” Dia lalu melenggang pergi meninggalkan diriku, begitu juga dengan para perawat yang ikut menangani.Menggenggam hendel pintu, mengayunkan langkah kaki ke dalam menghampiri wanita yang teramat kucintai.“Assalamualaikum, Sayang.” Kuucapkan salam seraya menarik kursi, mengenyakkan bokong secara perlahan dan mata ini tidak pernah lepas dari wajahnya yang terlihat begitu pucat.“Nay, hari ini, aku sudah memantapkan diri untuk menjadi seorang muslim. Sekarang sudah tidak ada lagi jurang penghalang diantara kita. Apa kamu mau menjadi istriku

  • Aku Menyerah, Mas!   Ijab Kabul

    Setelah beberapa puluh menit menunggu. Akhirnya rombongan yang aku tunggu tiba juga. Wajah ayah Kanaya terlihat kurang suka saat menatapku, tapi tidak apa-apa. Toh, dia sudah biasa menatapku dengan pindaian seperti itu. Berprasangka baik saja, mungkin ekspresi wajah Pak Heru memang begitu.Menyalami tangan mereka bertiga secara bergantian, aku lalu duduk di kursi panjang rumah sakit dengan perasaan tidak menentu. Apalagi mata Pak Heru tidak juga lepas dari wajahku, seolah ada sesuatu yang ingin dia bicarakan, namun, tidak mampu dia ungkapkan.“Begini, Dil. Kemarin setelah kamu mengucap syahadat di masjid, saya langsung mendatangi rumah Pak Heru menyampaikan maksud baik kamu untuk meminang dan menikahi Kanaya. Dan setelah saya mendengar perkembangan Kanaya dari Pak Ibrahim, kami akhirnya memutuskan untuk segera menikahkan kalian berdua, sebagai ikhtiar kesembuhan Kanaya juga. Siapa tahu setelah kamu menikahi dia semangat hidupnya akan kembali muncul dan Naya bis

  • Aku Menyerah, Mas!   Belajar Salat

    Duduk di sebelah istri sembari membaca buku panduan salat, aku terus berusaha menghafal bacaannya karena salat itu hal yang paling wajib dilakukan oleh seorang muslim. Tiang agama kalau kata Mas Abraham. Jadi jika tiangnya kurang kokoh, maka akan ambruk pula apa yang sedang disangga."Sore, Pak. Saya izin mau membersihkan dan mengganti selimut Ibu," ucap salah seorang perawat dengan intonasi sangat lembut.Aku segera menutup buku yang sedang kubaca lalu menyuruh suster meletakkan baskom berisi air hangat di atas meja."Biar saya mengurusnya, Sus." "Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu." Wanita berseragam khas rumah sakit itu segera keluar dari ruangan meninggalkan diriku beserta istri.Dengan tangan gemetar kubuka hijab yang kanaya kenakan, mengusap lembut rambutnya kemudian menyapukan handuk kecil yang sudah terlebih dahulu dicelupkan ke air hangat ke seluruh permukaan wajah."Ternyata kamu begitu memesona keti

  • Aku Menyerah, Mas!   Haruskah Aku Ikhlaskan?

    Pukul enam pagi.Motor kutepikan di depan rumah, ingin mengambil pakaian sekaligus membersihkan badan. Harum wangi bunga melati menguar di udara ketika kaki ini melangkah masuk, dan masih banyak bunga-bunga layu di ruang tamu. Aku belum sempat membersihkan rumah setelah kepergian Cik Helly, karena terlalu sibuk mengurus serta menemani Kanaya.Atribut keagamaan yang masih menggantung di bilik dinding segera kuturunkan, memasukkannya ke dalam kardus kemudian kusimpan di gudang.Badan rasanya begitu lelah. Apalagi sudah lebih dari tiga pekan tidak pernah merasakan yang namanya tidur di kasur empuk, atau istirahat yang cukup. Hampir sisa waktu kuhabiskan dengan istri di rumah sakit.Allahu Akbar...Aku tidak boleh mengeluh. Semua itu pilihanku dan harus ikhlas menjalani semuanya agar terasa ringan. Menghempaskan bobot secara perlahan di atas peraduan, mata ini seolah sedang ditiup angin sepoi-sepoi dan segera terpejam ta

  • Aku Menyerah, Mas!   Dua Kali Melihat Kematian

    Dengan semangat yang membara kuikuti langkah suster menuju kamar ICU, menggendong bayi tersebut lalu meletakkannya di sebelah tubuh istri.“Assalamualaikum, Mama. Lihat ni, Ma. Dede udah sehat dan nungguin Mama. Dede sama Papa kangen sama Mama,” mengarahkan tangan Kanaya untuk menyentuh bayi yang ada di sebelahnya, seraya terus berdoa semoga kali ini usahaku berhasil.Bukankah tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah sudah berkehendak? Walaupun dokter sudah angkat tangan dan mengatakan bahwa kemungkinan hidup istri hanya tinggal kurang dari sepuluh persen, tapi jika Tuhan sudah berkehendak maka bisa saja tiba-tiba dia terbangun dari komanya dan sehat seperti sedia kala. Hidup dan mati manusia ada di tangan Allah. Kita sebagai dokter hanya bisa mendiagnosa serta mengira-ngira saja.Hampir tiga puluh menit si bayi berbaring di sebelah Kanaya, dia malah terlelap seakan merasa nyaman berada di sebelah ibu barunya.Ya Allah ... jika Engkau memb

  • Aku Menyerah, Mas!   Bidadari Surga

    "Semalam saya disuruh menghubungi Bapak oleh dokter, tapi Bapak tidak menjawab panggilan dari saya. Padahal saya ingin memberitahu ke Bapak bahwa Ibu sudah siuman dan mau dipindahkan ke kamar pemulihan," terangnya panjang lebar, membuatku terkesiap tidak percaya."Istri saya siuman, Sus?" Mengangkat bokong dari kursi seraya mengusap air mata, bersujud di lantai mengucap beribu syukur kehadirat Allah karena sudah mendengarkan doa-doa hamba-Nya ini."Dia dipindah ke kamar nomor berapa, Sus?" tanyaku lagi setelah bangun dari sujud."Mari, Pak. Ikut saya."Aku mengangguk dan segera mengekor di belakang petugas medis tersebut, membuka pintu kamar rawat inap istri dan menatap dia yang sedang berbaring sembari bermuroja'ah, melantunkan ayat suci Alquran membuat air mata kembali mengalir deras."Assalamualaikum, Sayang!" Kuucapkan salam seraya berjalan mendekat."Waalaikum," perlahan dia membuka mata, menerbitkan sedikit seny

Latest chapter

  • Aku Menyerah, Mas!   Ending

    Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari halaman pusat perbelanjaan. Salwa kembali memejamkan mata, sementara aku berusaha untuk tetap fokus mengemudi.Sesampainya di rumah kembali kugendong perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu, merebahkannya di atas pembaringan kemudian membantunya melepaskan hijab yang menutup kepala.“Mas buatkan teh hangat mau?” tawarku dengan intonasi dibuat selembut mungkin.“Kalau tidak merepotkan. Aku mau salat isya dulu tapi.” Dia menjawab dengan nada pelan, persis seperti orang sedang berbisik.“Mas tidak pernah merasa direpotkan oleh kamu.” Beranjak dari bibir ranjang, mengayunkan kaki perlahan menuju dapur kemudian lekas menjerang air dan membuat segelas teh manis hangat untuk istri.Saat kembali ke dalam kamar aku lihat wanita yang selalu kulukai hatinya itu tengah melakukan ibadah wajib empat rakaat, lalu bermunajat serta berzikir sebelum akhirnya menghampiri diriku yang sedang duduk d

  • Aku Menyerah, Mas!   Menghabiskan Waktu Bersama

    Sesuai janji, selepas magrib aku mendatangi tempat yang sudah kami janjikan. Aku sengaja datang terlebih dahulu, supaya nantinya Dilan serta Kanaya tidak perlu menunggu lama-lama. Tidak enak karena semua masalah ini berasal dari Salwa, dan mereka harus membuang-buang waktu berharga mereka untuk menemui kami. “Assalamualaikum!” Aku menoleh mendengar suara berat seorang laki-laki mengucapkan salam. Dilan berdiri sambil menggandeng tangan mantan istriku, menampakkan kemesraan serta keserasian antara keduanya. “Waalaikumussalam, silakan duduk, Dil, Nay.” Mempersilakan mereka untuk duduk. Salwa menundukkan wajah ketika melihat sepasang suami istri itu datang. Sementara aku terus berusaha menahan degup jantung yang terasa semakin tidak karuan saat menatap ke arah Kanaya yang terlihat semakin memesona. Dia begitu anggun, cantik meski tanpa polesan. “Mbak Salwa apa kabar?” Perempuan di sebelahku terlihat gugup ketika Kanaya menyapanya.

  • Aku Menyerah, Mas!   Tabayun

    [Assalamualaikum, Dil. Bisa ketemuan nggak? Ada hal penting yang ingin saya dan istri bicarakan] Segera mengirimkan pesan kepada Dilan, berniat mengajak dia bertabayyun agar masalahku dengan istri tidak berlarut-larut.[Waalaikumussalam, ada apa? Kebetulan besok saya off. Insya Allah bisa.] Balas pria keturunan Tionghoa itu.[Jangan lupa ajak Kanaya juga.][Loh, memangnya ada keperluan apa dengan istri saya?][Pengen meluruskan masalah antara saya dan dia. Biar Salwa istri saya tidak terus menerus curiga.][Oh, baik kalau begitu. Nanti biar saya sampaikan kepada istri.][Terima kasih atas pengertiannya. Maaf mengganggu waktunya.][Sama-sama.]Aku segera meletakkan ponsel di atas nakas, kemudian kembali berbaring di sebelah Salwa yang sepertinya sudah terlelap. Semoga saja besok tidak ada halangan, dan semua masalah serta kecurigaan Salwa lekas pergi dari hidupku ini.Samar-samar

  • Aku Menyerah, Mas!   Mengajaknya Tabayun

    Aku segera menyalami tangan mertua dan mencium bagian punggungnya dengan takzim ketika melihat dia beranjak dari kursi. Pun dengan Salwa.“Titip Salwa, Gunawan. Assalamualaikum!” ucapnya lagi, sembari menepuk pelan pundakku ini.Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, sambil melirik ke arah istri yang tengah berdiri di sisiku.“Dek ...,” panggilku pelan, seraya berjalan menghampiri istri.“Maaf, Mas. Aku mau istirahat. Dan perlu kamu tahu, aku tidak pernah selingkuh dengan siapa pun. Aku masih tau batasan juga takut dengan dosa. Walaupun aku tahu suamiku tidak mencintai aku, tetapi aku akan selalu berusaha setia.” Dia berujar sambil berjalan menuju kamar tamu.“Salwa dengerin Mas dulu. Mas tahu kamu tidak pernah membagi cinta dengan siapa pun. Begitu juga dengan Mas. Mas percaya sama kamu, dan aku mohon, agar kamu juga percaya sama Mas!” Mencekal lengannya lalu menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukan. Dia berusaha member

  • Aku Menyerah, Mas!   Malu

    Tuhan, di mana pun dia berada, tolong lindungilah Salwa. Dia pergi karena mungkin sudah tidak bisa memendam lagi amarahnya kepadaku. Meskipun dia wanita sholehah serta taat, tetapi Salwa juga manusia yang tidak pernah luput dari dosa. Hatinya juga hanya terbuat dari sebongkah daging yang mudah sekali terluka.“Abah sama ummi juga sudah mencari Salwa ke rumah-rumah saudara, tapi dia tidak ada di sana. Kemarin ponselnya sempat aktif, sekarang nomor sudah tidak bisa lagi dihubungi.” Abah kembali berujar, dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca. Gurat kekhawatiran terlihat jelas di kedua sorot netranya, membuat diri ini semakin bertambah merasa bersalah.“Saya janji, secepatnya akan menemukan Salwa dan membawa dia pulang, Bah!”“Terima kasih, Gunawan. Kamu memang seorang suami yang baik.” Lelaki berkemeja biru tua itu menepuk pundakku. “Abah juga akan membantu mencari Salwa semampu Abah. Semoga anak itu segera ditemukan. Abah sangat khawatir dengan keadaann

  • Aku Menyerah, Mas!   Mencari Salwa

    “Ummi serius?” tanyaku memastikan.“Serius lah, Gun. Untuk apa Ummi berbohong. Memangnya kalian sedang ada masalah?” Ibu mertua menatap menyelidik.“Eh, ada Nak Gunawan. Ummi ini bagaimana, sih. Masa ada tamu malah nggak disuruh masuk?” Tiba-tiba abah sudah berada diantara kami. Dia lalu menyuruhku masuk, mempersilakan duduk serta menawarkan minuman.“Sebenarnya ada apa, Gun? Tadi kalau nggak salah denger, kamu nanyain Salwa. Memangnya dia ke mana?” tanya lelaki berkoko putih itu seraya menatap lamat-lamat wajahku.“Tadi dia pamit mau ke sini, Bah. Makanya saya susul, eh, ternyata malah nggak ada.” Aku menjawab takut, khawatir Abah marah dan menyalahkan diriku.Bapak mertua terlihat menghela napas perlahan. Dia lalu membuang pandang keluar jendela, seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin khawatir dengan putrinya juga kecewa kepadaku.“Saya minta maaf karena belum bisa menjadi suami yang baik buat Salwa, Bah!” ucapk

  • Aku Menyerah, Mas!   Aku Menyerah, Mas!

    Selesai mendengarkan ceramah, aku bergegas pulang dan mendapati Salwa sedang duduk di sofa, dan di dekat kakinya ada sebuah tas besar yang entah apa itu isinya. Apa dia dia benar-benar ingin pergi seperti perkiraanku?“Mas, aku mau minta izin pulang ke rumah Abah!” ucapnya pelan, bagai angin sedang berbisik.“Pulang ke rumah Abah? Maksud kamu apa, Dek?” Mataku membulat sempurna sekarang.“Sepertinya kita memang butuh waktu buat sendiri-sendiri dulu. Supaya kita bisa memahami letak kesalahan kita masing-masing!”“Kamu itu ngawur? Kenapa musti pulang ke rumah orang tua kamu? Kalau ada masalah itu diselesaikan dengan cara dewasa, Dek. Jangan dikit-dikit minggat. Dikit-dikit minggat. Aku nggak ngizinin kamu pergi!”Salwa menggigit bibir bawah. Matanya mengembun dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening meluncur melewati pipi putihnya.Duh, kenapa pakai acara nangis segala? Kan jadi nggak tega.“D

  • Aku Menyerah, Mas!   POV Gunawan

    Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas membuka mata, dan ternyata Dilan serta anak-anak sudah bersiap pergi ke mushola untuk melaksanakan sholat berjamaah. Kurang bahagia apa aku jika memiliki keluarga mendekati sempurna seperti ini. Masa iya harus menggoda mantan suami seperti yang dituduhkan Mbak Salwa? Rasanya sedikit lucu jika mengingat tuduhan tidak beralasan wanita itu.Selesai mandi, aku segera melaksanakan ibadah wajib dua rakaat, lalu berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta anak-anak. Menu nasi goreng campur sosis, telur serta ayam menjadi favorit semuanya, termasuk Dilan suamiku. Kalau memasak menu seperti itu, tidak akan tersisa walau hanya sesendok saja. Makanya aku paling semangat memasak hidangan tersebut."Ada yang bisa Cici bantu, Ma?" tanya Aisyah putriku seraya berjalan menghampiri."Cici potong-potong sosis sama suir ayamnya bisa?" "Bisa dong ...

  • Aku Menyerah, Mas!   Aku Mencintai Kamu

    “Maaf, Mbak? Maksud Mbaknya apa ya? Kok tiba-tiba datang ke rumah dan berkata seperti itu kepada saya?” tanyaku tetap berusaha santai, walaupun sebenarnya sedikit terkejut dengan pertanyaan perempuan di hadapanku ini.“Mbak paham lah, maksud saya apa!” Dia menjawab sambil menunduk.Aku semakin bingung. Bertemu dengan Mas Gunawan saja hanya beberapa kali, dan itu pun secara tidak sengaja. Masa iya mau mengganggu rumah tangga orang, sedangkan berbicara dengan mantan suami saja hampir tidak pernah. Lagian, aku sudah melupakan dia dan hidup bahagia bersama Dilan serta putra putri kami.“Jujur saya tidak mengerti maksud Mbak Salwa itu apa. Karena saya juga merasa tidak pernah mengganggu rumah tangga siapapun,” ujarku lagi, seraya menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya Mas Gunawan.Apa iya diam-diam mantan suamiku mengkhianati istrinya, dan Mbak Salwa mengira akulah wanita penggoda itu.Astaghfirullahaladzim...Tuh, kan,

DMCA.com Protection Status