“Permisi, Pak. Bisa saya bicara sebentar dengan Bapak?” Aku menoleh ke arah sumber suara. Seorang perempuan beralmamater putih mengulas senyum dan mengajakku berbicara empat mata.
“Ada apa, Dokter?” tanyaku penasaran.“Begini, Pak. Saya Cuma mau mengabarkan kepada Bapak, kalau keadaan anak Bapak semakin kritis dan kemungkinan hidupnya hanya sepuluh persen saja. Pun dengan Ibu yang keadaannya kian melemah. Kami semua para petugas medis sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi semuanya sudah diatur oleh Sang Pencipta. Bapak banyak-banyak berdoa saja supaya ada keajaiban dari Allah, dan Bu Kanaya bisa melewati masa kritisnya. Jujur, saya juga sudah pasrah karena sepertinya pasien tidak memiliki semangat hidup sama sekali!”Seketika lutut ini terasa lemas tidak mampu menopang tubuh. Air mata berlomba-lomba mengular di pipi, dan dada ini menjadi sesak seperti tidak ada pasokan oksigen masuk ke dalam paru-paru.“Sabar ya, Pak. Mungkin ini semua s“Maaf sebelumnya, Mas Dilan. Mungkin pertanyaan saya agak sedikit kurang sopan. Apa Mas Dilan sudah dikhitan?” tanya pria berkalung sorban yang ada di depanku setelah kami berbasa-basi sebentar.Dahiku mengernyit mendengar pertanyaan dari laki-laki yang dipanggil Gus oleh Mas Abraham.“Begini, loh. Khitan merupakan kewajiban karena termasuk ke dalam fitrah yang harus dijaga. Dalam tradisi Islam, khitan hukumnya wajib untuk laki-laki. Makanya saya menanyakan hal seperti itu kepada Mas Dilan, soalnya Mas Dilan ini sudah memantapkan hati ingin memeluk agama kami.”“Sudah, Gus.” Aku mengangguk sembari menerbitkan sebuah senyuman.“Alhamdulillah kalau begitu. Ya sudah. Kalau begitu kita mulai saja berhubung sudah ada beberapa saksi, apalagi sebentar lagi sudah masuk waktu salat asar.”Gus Azmi menjabat tanganku, membimbingku untuk mengucap dua kalimat syahadat dan aku mengikutinya dengan segenap jiwa dan raga.“Asyhadu an
“A—ada apa, Dokter? Ada apa dengan Kanayaku?” tanyaku dengan perasaan takut.“Oh, tidak ada apa-apa, Pak. Tadi salah seorang perawat melihat tangan Ibu bergerak-gerak, jadi kami langsung memeriksanya!” jawab perempuan berjas putih yang setiap hari memeriksa keadaan calon istriku.“Terus, apa sekarang Naya sudah siuman?” Dokter menggeleng pelan.“Ya sudah. Saya permisi dulu!” Dia lalu melenggang pergi meninggalkan diriku, begitu juga dengan para perawat yang ikut menangani.Menggenggam hendel pintu, mengayunkan langkah kaki ke dalam menghampiri wanita yang teramat kucintai.“Assalamualaikum, Sayang.” Kuucapkan salam seraya menarik kursi, mengenyakkan bokong secara perlahan dan mata ini tidak pernah lepas dari wajahnya yang terlihat begitu pucat.“Nay, hari ini, aku sudah memantapkan diri untuk menjadi seorang muslim. Sekarang sudah tidak ada lagi jurang penghalang diantara kita. Apa kamu mau menjadi istriku
Setelah beberapa puluh menit menunggu. Akhirnya rombongan yang aku tunggu tiba juga. Wajah ayah Kanaya terlihat kurang suka saat menatapku, tapi tidak apa-apa. Toh, dia sudah biasa menatapku dengan pindaian seperti itu. Berprasangka baik saja, mungkin ekspresi wajah Pak Heru memang begitu.Menyalami tangan mereka bertiga secara bergantian, aku lalu duduk di kursi panjang rumah sakit dengan perasaan tidak menentu. Apalagi mata Pak Heru tidak juga lepas dari wajahku, seolah ada sesuatu yang ingin dia bicarakan, namun, tidak mampu dia ungkapkan.“Begini, Dil. Kemarin setelah kamu mengucap syahadat di masjid, saya langsung mendatangi rumah Pak Heru menyampaikan maksud baik kamu untuk meminang dan menikahi Kanaya. Dan setelah saya mendengar perkembangan Kanaya dari Pak Ibrahim, kami akhirnya memutuskan untuk segera menikahkan kalian berdua, sebagai ikhtiar kesembuhan Kanaya juga. Siapa tahu setelah kamu menikahi dia semangat hidupnya akan kembali muncul dan Naya bis
Duduk di sebelah istri sembari membaca buku panduan salat, aku terus berusaha menghafal bacaannya karena salat itu hal yang paling wajib dilakukan oleh seorang muslim. Tiang agama kalau kata Mas Abraham. Jadi jika tiangnya kurang kokoh, maka akan ambruk pula apa yang sedang disangga."Sore, Pak. Saya izin mau membersihkan dan mengganti selimut Ibu," ucap salah seorang perawat dengan intonasi sangat lembut.Aku segera menutup buku yang sedang kubaca lalu menyuruh suster meletakkan baskom berisi air hangat di atas meja."Biar saya mengurusnya, Sus." "Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu." Wanita berseragam khas rumah sakit itu segera keluar dari ruangan meninggalkan diriku beserta istri.Dengan tangan gemetar kubuka hijab yang kanaya kenakan, mengusap lembut rambutnya kemudian menyapukan handuk kecil yang sudah terlebih dahulu dicelupkan ke air hangat ke seluruh permukaan wajah."Ternyata kamu begitu memesona keti
Pukul enam pagi.Motor kutepikan di depan rumah, ingin mengambil pakaian sekaligus membersihkan badan. Harum wangi bunga melati menguar di udara ketika kaki ini melangkah masuk, dan masih banyak bunga-bunga layu di ruang tamu. Aku belum sempat membersihkan rumah setelah kepergian Cik Helly, karena terlalu sibuk mengurus serta menemani Kanaya.Atribut keagamaan yang masih menggantung di bilik dinding segera kuturunkan, memasukkannya ke dalam kardus kemudian kusimpan di gudang.Badan rasanya begitu lelah. Apalagi sudah lebih dari tiga pekan tidak pernah merasakan yang namanya tidur di kasur empuk, atau istirahat yang cukup. Hampir sisa waktu kuhabiskan dengan istri di rumah sakit.Allahu Akbar...Aku tidak boleh mengeluh. Semua itu pilihanku dan harus ikhlas menjalani semuanya agar terasa ringan. Menghempaskan bobot secara perlahan di atas peraduan, mata ini seolah sedang ditiup angin sepoi-sepoi dan segera terpejam ta
Dengan semangat yang membara kuikuti langkah suster menuju kamar ICU, menggendong bayi tersebut lalu meletakkannya di sebelah tubuh istri.“Assalamualaikum, Mama. Lihat ni, Ma. Dede udah sehat dan nungguin Mama. Dede sama Papa kangen sama Mama,” mengarahkan tangan Kanaya untuk menyentuh bayi yang ada di sebelahnya, seraya terus berdoa semoga kali ini usahaku berhasil.Bukankah tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah sudah berkehendak? Walaupun dokter sudah angkat tangan dan mengatakan bahwa kemungkinan hidup istri hanya tinggal kurang dari sepuluh persen, tapi jika Tuhan sudah berkehendak maka bisa saja tiba-tiba dia terbangun dari komanya dan sehat seperti sedia kala. Hidup dan mati manusia ada di tangan Allah. Kita sebagai dokter hanya bisa mendiagnosa serta mengira-ngira saja.Hampir tiga puluh menit si bayi berbaring di sebelah Kanaya, dia malah terlelap seakan merasa nyaman berada di sebelah ibu barunya.Ya Allah ... jika Engkau memb
"Semalam saya disuruh menghubungi Bapak oleh dokter, tapi Bapak tidak menjawab panggilan dari saya. Padahal saya ingin memberitahu ke Bapak bahwa Ibu sudah siuman dan mau dipindahkan ke kamar pemulihan," terangnya panjang lebar, membuatku terkesiap tidak percaya."Istri saya siuman, Sus?" Mengangkat bokong dari kursi seraya mengusap air mata, bersujud di lantai mengucap beribu syukur kehadirat Allah karena sudah mendengarkan doa-doa hamba-Nya ini."Dia dipindah ke kamar nomor berapa, Sus?" tanyaku lagi setelah bangun dari sujud."Mari, Pak. Ikut saya."Aku mengangguk dan segera mengekor di belakang petugas medis tersebut, membuka pintu kamar rawat inap istri dan menatap dia yang sedang berbaring sembari bermuroja'ah, melantunkan ayat suci Alquran membuat air mata kembali mengalir deras."Assalamualaikum, Sayang!" Kuucapkan salam seraya berjalan mendekat."Waalaikum," perlahan dia membuka mata, menerbitkan sedikit seny
"Aku pengen liat, Sayang.""Nanti kalau keadaan kamu sudah membaik.""Aku sudah sehat, aku mau menyusui dia, Dil.""Dokter belum mengizinkan dedek untuk dibawa ke ruangan ini. Dedek masih berada di dalam inkubator, soalnya dia lahir prematur.""Kamu bisa mengantarku ke ruangan dedek?"Aku mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Dasar anak ini. Selalu saja keras kepala. Sifatnya tidak pernah berubah, membuat aku semakin jatuh cinta."Keadaan kamu juga belum sepenuhnya pulih. Kamu masih harus banyak istirahat dan belum boleh banyak bergerak," nasihatku sekaligus mencari alasan supaya dia tidak memaksa untuk bertemu sang anak.Aku tidak mungkin membawa bayi yang aku adopsi sekarang, karena jika dipikir-pikir bayi itu terlalu besar dan takut Kanaya malah mencurigai kalau anak itu bukan putranya."Tapi, Sayang. Aku ....""Nurut, no debat!" mengacungkan jari telunjuk lalu meng