[Assalamualaikum, Dil. Bisa ketemuan nggak? Ada hal penting yang ingin saya dan istri bicarakan] Segera mengirimkan pesan kepada Dilan, berniat mengajak dia bertabayyun agar masalahku dengan istri tidak berlarut-larut.
[Waalaikumussalam, ada apa? Kebetulan besok saya off. Insya Allah bisa.] Balas pria keturunan Tionghoa itu.[Jangan lupa ajak Kanaya juga.][Loh, memangnya ada keperluan apa dengan istri saya?][Pengen meluruskan masalah antara saya dan dia. Biar Salwa istri saya tidak terus menerus curiga.][Oh, baik kalau begitu. Nanti biar saya sampaikan kepada istri.][Terima kasih atas pengertiannya. Maaf mengganggu waktunya.][Sama-sama.]Aku segera meletakkan ponsel di atas nakas, kemudian kembali berbaring di sebelah Salwa yang sepertinya sudah terlelap. Semoga saja besok tidak ada halangan, dan semua masalah serta kecurigaan Salwa lekas pergi dari hidupku ini.Samar-samarSesuai janji, selepas magrib aku mendatangi tempat yang sudah kami janjikan. Aku sengaja datang terlebih dahulu, supaya nantinya Dilan serta Kanaya tidak perlu menunggu lama-lama. Tidak enak karena semua masalah ini berasal dari Salwa, dan mereka harus membuang-buang waktu berharga mereka untuk menemui kami. “Assalamualaikum!” Aku menoleh mendengar suara berat seorang laki-laki mengucapkan salam. Dilan berdiri sambil menggandeng tangan mantan istriku, menampakkan kemesraan serta keserasian antara keduanya. “Waalaikumussalam, silakan duduk, Dil, Nay.” Mempersilakan mereka untuk duduk. Salwa menundukkan wajah ketika melihat sepasang suami istri itu datang. Sementara aku terus berusaha menahan degup jantung yang terasa semakin tidak karuan saat menatap ke arah Kanaya yang terlihat semakin memesona. Dia begitu anggun, cantik meski tanpa polesan. “Mbak Salwa apa kabar?” Perempuan di sebelahku terlihat gugup ketika Kanaya menyapanya.
Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari halaman pusat perbelanjaan. Salwa kembali memejamkan mata, sementara aku berusaha untuk tetap fokus mengemudi.Sesampainya di rumah kembali kugendong perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu, merebahkannya di atas pembaringan kemudian membantunya melepaskan hijab yang menutup kepala.“Mas buatkan teh hangat mau?” tawarku dengan intonasi dibuat selembut mungkin.“Kalau tidak merepotkan. Aku mau salat isya dulu tapi.” Dia menjawab dengan nada pelan, persis seperti orang sedang berbisik.“Mas tidak pernah merasa direpotkan oleh kamu.” Beranjak dari bibir ranjang, mengayunkan kaki perlahan menuju dapur kemudian lekas menjerang air dan membuat segelas teh manis hangat untuk istri.Saat kembali ke dalam kamar aku lihat wanita yang selalu kulukai hatinya itu tengah melakukan ibadah wajib empat rakaat, lalu bermunajat serta berzikir sebelum akhirnya menghampiri diriku yang sedang duduk d
[Transfer berhasil ke nomer 0123xxx Adelia Puspita Rp 5.000.000] Kubaca notifikasi pesan keluar di gawai Mas Gunawan suamiku, untuk Delia adik perempuannya yang sudah menikah setahun yang lalu.Padahal semalam, ketika meminta uang untuk pengobatan Thalita putri kami, dia bilang kalau saat ini sedang tidak memiliki uang sama sekali. Tapi, kenapa bisa transfer sebesar itu kepada Delia?“Mas, kamu transfer uang untuk Delia?” tanyaku kepada Mas Gunawan, ingin mendengar alasannya kenapa lebih mementingkan adiknya ketimbang anaknya sendiri.“Dia sedang butuh uang, Nay. Jadi Mas transfer!” jawabnya tanpa menoleh.“Terus, kenapa kemarin pas aku minta buat dedek kamu bilang nggak ada uang, Mas?”Brak!Dia menggebrak meja hingga membuatku terkesiap.“Dia itu adikku. Duit yang aku transfer juga uang hasil keringat aku sendiri, tapi kenapa selalu kamu permasalahkan jika aku memberi saudara-saudaraku uang?!” sentaknya.“Ya jelas aku mempermasalahkannya, Mas. Aku minta lima ratus ribu buat berobat
POV GunawanAku menengok jam di layar gawai, ternyata sudah pukul sembilan malam. Ada banyak sekali panggilan masuk dari Kanaya istriku, yang sengaja kuabaikan karena dia pasti akan mengomel jika tahu lagi-lagi aku membiayai saudaraku.Entah mengapa dia begitu sentimen terhadap keluargaku dan tidak pernah mau menerima mereka. Selalu saja dipermasalahkan jika aku membagi sedikit saja rezeki yang kudapatkan.Rumah dalam keadaan sepi ketika kendaraan roda dua milikku menepi di halaman rumah. Biasanya setiap kali pulang, sudah ada Kanaya ataupun anaknya yang menyambut kedatanganku. Mungkin saat ini mereka sudah tertidur. Baguslah. Setidaknya tidak ada yang mengajakku cekcok, dan malam ini bisa beristirahat dengan tenang.Memutar hendel pintu, berjalan melewati ruang tengah dan ternyata Kanaya sedang duduk memaku sendiri di atas kursi. Sepertinya dia sedang melamun sehingga tidak menyadari kedatanganku. Tanpa memedulikan istri gegas aku masuk ke dalam kamar, segera merebahkan bobot yang t
Lagi, ponsel yang tergeletak di lantai kembali berdering. Kali ini segera menjawab panggilan dari Santi, memberi kabar kalau Thalita sudah tiada."Ya sudah, Mas. Nanti biarir aku kabari seluruh anggota keluarga. Mas Gunawan yang sabar ya," ucap Santi begitu menyejukkan hati."Terima kasih, Santi." Mengakhiri panggilan, kemudian berjalan terseok menghampiri Kanaya yang masih duduk dalam mode yang sama seperti tadi."Kamu apakan putriku, Naya? Kenapa dia bisa meninggal? Dasar Ibu tidak becus. Ngurus anak satu saja kamu tidak bisa. Makanya dulu aku nggak mau punya anak dulu, karena aku nggak yakin kalau kamu bisa urus keturunan aku!" sentakku sambil menarik kasar baju Thalita yang sedang dia peluk.Dan seperti tadi pagi, Kanaya hanya memindaiku dengan tatapan yang begitu menghunus, menyeramkan. Dia seperti orang sedang dirasuki makhluk halus.Tanpa menjawab pertanyaan dariku, perempuan bertubuh kurus tersebut berjalan melewati diriku. Masuk ke dalam kamar dan duduk memaku di tepi ranjang
Buru-buru mencari Kanaya di dapur, halaman belakang juga di tukang sayur, akan tetapi tidak jua kutemukan wanita itu. Saat memeriksa isi lemari juga seluruh bajunya masih utuh dan tersusun rapi. Pun dengan dompet serta barang-barang milik Kanaya lainnya. Penasaran, membuka dompet tersebut, lalu memeriksa isinya. Kosong. Hanya ada uang pecahan lima ribu selembar saja, beserta tanda pengenal yang terselip di kantung kecil.Ya Tuhan, Kanaya. Ke mana uang yang selalu aku berikan. Harusnya lima puluh ribu sehari itu masih tersisa banyak. Apalagi segala kebutuhan seperti gas, air, beras, semuanya tinggal mengambil saja di toko. Ternyata benar kata saudara-saudaraku. Kanaya itu begitu boros, tidak bisa mengolah keuangan dengan benar.Segera menyambar jaket yang menggantung di belakang pintu, berjalan setengah berlari menuju parkiran kemudian mendorong sepeda motorku keluar dari halaman rumah. Aku ingin mencari Kanaya di rumah Dilan, karena aku yakin pasti dia bersembunyi di sana.Ketika sa
Merogoh saku celana, mengambil gawaiku dan segera menghubungi Ibu. Memberi kabar kalau rumahku telah dimasuki oleh maling. "Hus! Enak saja Adelia kamu sebut maling. Tadi dia yang ke sana dan ambil beberapa barang milik kamu. Soalnya kata Adel televisi di rumahnya mati. Dulu dia pernah meminta secara baik-baik sama Naya tapi nggak boleh sama istri kamu!" Jawaban Ibu membuatku mengingat memori beberapa minggu yang lalu, ketika Kanaya mengeluhkan kelakuan Adelia yang katanya ingin mengambil televisi serta lemari es milikku. Tapi aku tidak percaya, sebab lebih mengenal Adel dari pada Kanaya. Aku pikir saat itu dia berbohong dan ingin mengadu domba dengan adik satu-satunya yang aku miliki. Aku mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa sesak seperti sedang terimpit batu besar. Ingin rasanya pergi menemui Adelia, namun tubuh sudah terasa lelah serta butuh istirahat. Aku takut sampai jatuh sakit karena kelelahan lalu meninggal dalam keadaan belum bertobat seperti ini. Aku
Lagi, Dilan menyunggingkan bibir menatapku. Ada kepuasan tersendiri mungkin melihat aku terbakar emosi juga terpojok seperti ini. Awas saja, Dilan. Aku tidak akan tinggal diam. “Lepaskan Kanaya jika kamu merasa terbebani dan tidak mampu menafkahi dia. Biarkan dia bahagia dengan laki-laki yang mencintai dia dengan segenap jiwa dan raga, sebab dia tidak pantas disakiti, apalagi hidup dengan laki-laki tidak berperasaan serta tak bermoral seperti kamu!” Dia berujar sambil membayar nasi yang dia pesan kemudian segera pergi meninggalkan diriku. Aku terus menatap punggung laki-laki keturunan Tionghoa itu, merasa kesal namun tidak berani memberi dia pelajaran. Dilan terlalu kuat, tenaganya lebih besar daripada aku, dan aku yakin dia juga tidak akan tinggal diam jika aku sampai berani menyakiti fisiknya. Malam kian beranjak larut. Aku masih duduk di teras sambil menatap jalanan yang sepi, berharap Kanaya kembali dan meminta maaf karena telah berani keluar rumah tanpa pamit kepada suami. Me