Lagi, ponsel yang tergeletak di lantai kembali berdering. Kali ini segera menjawab panggilan dari Santi, memberi kabar kalau Thalita sudah tiada.
"Ya sudah, Mas. Nanti biarir aku kabari seluruh anggota keluarga. Mas Gunawan yang sabar ya," ucap Santi begitu menyejukkan hati."Terima kasih, Santi." Mengakhiri panggilan, kemudian berjalan terseok menghampiri Kanaya yang masih duduk dalam mode yang sama seperti tadi."Kamu apakan putriku, Naya? Kenapa dia bisa meninggal? Dasar Ibu tidak becus. Ngurus anak satu saja kamu tidak bisa. Makanya dulu aku nggak mau punya anak dulu, karena aku nggak yakin kalau kamu bisa urus keturunan aku!" sentakku sambil menarik kasar baju Thalita yang sedang dia peluk.Dan seperti tadi pagi, Kanaya hanya memindaiku dengan tatapan yang begitu menghunus, menyeramkan. Dia seperti orang sedang dirasuki makhluk halus.Tanpa menjawab pertanyaan dariku, perempuan bertubuh kurus tersebut berjalan melewati diriku. Masuk ke dalam kamar dan duduk memaku di tepi ranjang."Naya! Berani sekarang kamu sama aku yah?"Hening. Jangankan menjawab, menoleh saja dia tidak. Matanya tetap lurus menatap ke depan dengan tatapan kosong."Kanaya!" Menarik kasar lengannya.Dia hanya menoleh. Tidak ada lagi air mata ataupun duka di wajah wanita yang telah menanamkan cinta begitu dalam di dasar sanubari itu.Apa jangan-jangan Kanaya yang membunuh Thalita? Ia berpura-pura baik serta sayang kepada putri kami jika di depanku, padahal sebenarnya Kanaya begitu kejam. Bisa saja 'kan, karena marah kepadaku dia melampiaskan kekesalannya kepada Thalita."Apa yang kamu lakukan kepada dedek, Nay? Apa kamu membunuh dia?""Kamu yang telah membunuh anakku, Mas. Kalau saja kamu mau mengantar kami ke rumah sakit, jika saja kamu mau memberi sedikit uangmu untuk mengobati dedek, semuanya tidak akan seperti ini. Sampai sekarang dedek masih hidup. Tapi gara-gara kamu, sekarang harapan satu-satunya yang aku punya telah tiada. Pembunuh kamu, Mas. Kejam!" Tiba-tiba dia menyerangku hingga terjungkir, naik ke atas tubuhku kemudian mencekik leher ini hingga aku kesulitan untuk bernapas."Heh! Kamu sudah gila ya? Kamu bisa membunuh Gunawan. Apa kamu sudah bosan hidup bebas, pengen dibui?" Ibu dan Delia yang baru saja tiba segera menarik tubuh Kanaya dan mendorongnya hingga dia terjerembap di lantai."Kalian semua pembunuh!" pekik istriku lagi.Aku mengusap leher yang terasa sakit sambil terbatuk-batuk. Kuat juga cengkeraman wanita itu. Hampir saja aku mati jika Ibu dan Adelia tidak segera datang."Sudah, ceraikan saja dia, Gunawan. Untuk apa kamu pertahanan wanita tidak becus seperti itu. Dia sudah membunuh cucuku, sekarang dia malah mau membunuh kamu!" berang perempuan yang telah melahirkan aku tiga puluh dua tahun yang lalu itu.Tidak. Aku tidak mungkin menceraikan Kanaya. Aku sangat mencintai dia, dan dulu dengan mati-matian memperjuangkan cinta Kanaya, merebut dia dari Dilan dengan cara yang begitu keji serta tidak diampuni dosanya oleh Tuhan. Aku menodai wanita itu hingga akhirnya mau tidak mau kedua orang tua Kanaya menerima pinanganku, karena hanya aku satu-satunya laki-laki yang mau menerima wanita tidak utuh seperti dia.Jelas saja aku mau. Lha wong aku yang merenggut paksa kesucian Kanaya? Dan sampai sekarang tidak ada satu orang pun yang tahu tentang rahasia besar itu."Kenapa malah bengong, Gun? Ayo bawa dia ke gudang! Jangan kasih makan perempuan itu sampai dia mati kelaparan!" perintahnya lagi.Aku menatap lamat-lamat wajah ayu Kanaya. Tidak tega rasanya jika sampai mengurung dia di dalam gudang, apalagi dalam keadaan mentalnya terganggu seperti ini.Karena aku terus saja berdiri memaku, Ibu dan Delia akhirnya menarik paksa tubuh Kanaya, menyeretnya tanpa ampun menuju kamar."Lepaskan, Bu. Jangan lakukan itu. Biar Naya aku yang urus!" cegahku."Kamu kenapa masih peduli dengan dia, Gun. Apa hebatnya dia di mata kamu. Saat menikah dia sudah tidak suci, makanya Ibu tidak pernah setuju kamu menikahi dia, apalagi sampai menafkahi dia!""Sudahlah, Bu. Jangan pernah membahas masa lalu, karena itu bukan ranahnya Ibu. Ibu juga tidak pernah tahu kenapa Kanaya sampai kehilangan kehormatannya, jadi jangan pernah menjudge dia!""Kamu sudah berani melawan Ibu gara-gara perempuan murahan ini? Rasanya percuma saja Ibu dan adik kamu datang untuk ikut berbela sungkawa. Lebih baik Ibu belanja, berpesta pora karena akhirnya benalu kecil yang mengganggu hidup kami meninggal juga!""Jaga bicara kalian. Anakku bukan benalu. Justru kalianlah yang benalu. Kalian boleh terus memaki aku, menyiksa aku lahir batin, tapi jangan pernah menghina Thalita!" Dengan beringas Kanaya menarik rambut Ibu, hingga konde yang sedang dia kenakan terlepas dan rambut wanita yang telah melahirkan aku itu tergerai berantakan.Ya Tuhan, Kanaya. Di mana sifat lemah lembut yang selama ini kamu tunjukkan? Kenapa cepat sekali kamu berubah?"Dasar perempuan gila! Pergi saja kamu menyusul anak kamu ke neraka!"Kanaya menatap sengit wajah Adelia, membuat ibu beranak satu itu beringsut menjauh karena takut dengan pindaiannya yang begitu menusuk."Assalamualaikum!" Terdengar suara seseorang mengucap salam.Wajah istri yang tadinya sudah memerah padam dengan amarah membuncah kini terlihat mulai tenang. sambil mengusap peluh yang menitik di dahi dia berjalan ke arah pintu, mempersilahkan tamu kami masuk dan menangis tergugu ketika Ustazah Fauziah memeluk tubuhnya dengan penuh kasih sayang."Drama banget istri kamu, Gun. Tadi sudah kaya orang kesetanan. Sekarang, giliran ada tamu, dia malah menangis seolah-olah menjadi orang paling merasa kehilangan putri kalian. Padahal Ibu yakin, dia jugalah penyebab kematian Thalita." Ibu berujar sambil membetulkan rambutnya yang berantakan, kemudian pergi begitu saja setelah menjarah uang takziah yang masih tergeletak di dalam baskom."Kamu yang sabar ya, Nay. Mungkin sudah takdirnya. Kamu harus mengikhlaskan kepergian Thalita, supaya kelak bisa menjadi penolong kamu di akhirat." Dengan intonasi sangat lembut ustazah Fauziah berbicara sambil mengusap pipi Kanaya yang basah oleh air mata."Memangnya Lita sakit apa? Kenapa tidak menghubungi saya kalau kamu butuh bantuan?"Kanaya menceritakan kronologi saat Thalita sakit, dari mulai dia mengeluh pusing hingga meninggal. Ada yang tercacah-cacah di dalam hati mendengar cerita istri.Andai saja kemarin lebih memilih mengantar Thalita ke rumah sakit, mungkin saat ini masih bisa menikmati senyum manis bidadari kecilku.Aku menyesal karena telah menyia-nyiakan amanah Tuhan, hanya karena memprotes kepada-Nya sebab diberi keturunan seorang anak perempuan.Ampuni hambamu ini, Rabb.Meraup wajah kasar, terus menatap wajah Kanaya yang sedang mencurahkan segala perasaannya, mengungkapkan segala luka yang tidak pernah dibagi denganku. Namun hebatnya Kanaya, dia tidak menceritakan kejelekanku di depan orang lain, menjunjung tinggi nama baikku dan mengatakan kalau aku sedang berada di luar kota saat Thalita pergi menghadap Illahi.Padahal, saat itu aku sedang berada di rumah sakit menemani Tante Karisa, dan siangnya mengajak keluarga berjalan-jalan di sebuah taman margasatwa.Bodoh! Aku lelaki kejam tanpa perasaan yang sudah menghancurkan hidup Kanaya, dan sekarang menjadi penyebab kematian Thalita.Tanpa terasa dua butir kristal bening mengalir begitu saja membasahi pipi. Bayang-bayang ketika Thalita bergelayut di tangan dan aku singkirkan tangannya dengan kasar terus saja menari-nari, seolah menghukum diriku dalam perasaan bersalah yang terus saja menyelimuti."Maafkan Papa, Nak. Papa baru menyadari, ternyata kamu begitu berarti di hidup Papa."***Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Menggeser tangan ke sebelah kiri, aku menelan saliva ketika kasur di sebelahku masih terlihat rapi seperti tidak ditiduri. Sepertinya Kanaya tidak tidur di kamar malam ini. Mungkin dia masih marah kepadaku.Ah, sudahlah. Lebih baik kuhampiri dia di dalam kamar Thalita dan membicarakan masalah ini baik-baik. Aku ingin meminta maaf kepada istri karena telah menjadi suami serta ayah yang lalai. Semoga saja masih ada kesempatan untuk diriku memperbaiki diri."Nay, Sayang?" Memutar hendel pintu, meraba sakelar menyalakan lampu kamar Thalita. Kosong. Ke mana Kanaya? Kenapa dia tidak ada di kamar anak kami?Tuhan, jangan biarkan dia berpaling dari diriku dan pergi. Aku tidak sanggup jika harus kehilangan dirinya. Aku mencintai istriku, ya Rabb.Buru-buru mencari Kanaya di dapur, halaman belakang juga di tukang sayur, akan tetapi tidak jua kutemukan wanita itu. Saat memeriksa isi lemari juga seluruh bajunya masih utuh dan tersusun rapi. Pun dengan dompet serta barang-barang milik Kanaya lainnya. Penasaran, membuka dompet tersebut, lalu memeriksa isinya. Kosong. Hanya ada uang pecahan lima ribu selembar saja, beserta tanda pengenal yang terselip di kantung kecil.Ya Tuhan, Kanaya. Ke mana uang yang selalu aku berikan. Harusnya lima puluh ribu sehari itu masih tersisa banyak. Apalagi segala kebutuhan seperti gas, air, beras, semuanya tinggal mengambil saja di toko. Ternyata benar kata saudara-saudaraku. Kanaya itu begitu boros, tidak bisa mengolah keuangan dengan benar.Segera menyambar jaket yang menggantung di belakang pintu, berjalan setengah berlari menuju parkiran kemudian mendorong sepeda motorku keluar dari halaman rumah. Aku ingin mencari Kanaya di rumah Dilan, karena aku yakin pasti dia bersembunyi di sana.Ketika sa
Merogoh saku celana, mengambil gawaiku dan segera menghubungi Ibu. Memberi kabar kalau rumahku telah dimasuki oleh maling. "Hus! Enak saja Adelia kamu sebut maling. Tadi dia yang ke sana dan ambil beberapa barang milik kamu. Soalnya kata Adel televisi di rumahnya mati. Dulu dia pernah meminta secara baik-baik sama Naya tapi nggak boleh sama istri kamu!" Jawaban Ibu membuatku mengingat memori beberapa minggu yang lalu, ketika Kanaya mengeluhkan kelakuan Adelia yang katanya ingin mengambil televisi serta lemari es milikku. Tapi aku tidak percaya, sebab lebih mengenal Adel dari pada Kanaya. Aku pikir saat itu dia berbohong dan ingin mengadu domba dengan adik satu-satunya yang aku miliki. Aku mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa sesak seperti sedang terimpit batu besar. Ingin rasanya pergi menemui Adelia, namun tubuh sudah terasa lelah serta butuh istirahat. Aku takut sampai jatuh sakit karena kelelahan lalu meninggal dalam keadaan belum bertobat seperti ini. Aku
Lagi, Dilan menyunggingkan bibir menatapku. Ada kepuasan tersendiri mungkin melihat aku terbakar emosi juga terpojok seperti ini. Awas saja, Dilan. Aku tidak akan tinggal diam. “Lepaskan Kanaya jika kamu merasa terbebani dan tidak mampu menafkahi dia. Biarkan dia bahagia dengan laki-laki yang mencintai dia dengan segenap jiwa dan raga, sebab dia tidak pantas disakiti, apalagi hidup dengan laki-laki tidak berperasaan serta tak bermoral seperti kamu!” Dia berujar sambil membayar nasi yang dia pesan kemudian segera pergi meninggalkan diriku. Aku terus menatap punggung laki-laki keturunan Tionghoa itu, merasa kesal namun tidak berani memberi dia pelajaran. Dilan terlalu kuat, tenaganya lebih besar daripada aku, dan aku yakin dia juga tidak akan tinggal diam jika aku sampai berani menyakiti fisiknya. Malam kian beranjak larut. Aku masih duduk di teras sambil menatap jalanan yang sepi, berharap Kanaya kembali dan meminta maaf karena telah berani keluar rumah tanpa pamit kepada suami. Me
Aku terus saja mengusap darah yang mengalir melewati mata. Kepala terasa berdenyut, dan tubuh terasa remuk akibat hantaman keras tadi. Kulit juga terasa perih karena memarut aspal.Ya Allah, sakit sekali rasanya. Apalagi tidak ada seorang pun yang mau membantu, atau sekedar mendekat ke tempat kejadian. Bagaima jika aku sampai kehabisan darah dan mati?Suara sirine mobil polisi terdengar mendekati. Aku sedikit bernapas lega, setidaknya akan ada yang membawaku ke rumah sakit. Dua orang polisi akhirnya turun menghampiri, menanyakan keadaanku lalu membantuku untuk masuk ke dalam mobil. Saat hendak masuk ke dalam mobil tersebut tiba-tiba kepala ini terasa pusing. Bumi tempatku berpijak seolah ingin menelanku lalu menenggelamkannya. Semua terasa gelap, hingga ketika membuka mata aku sudah berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan tubuh yang terasa lemas seperti tidak bertenaga.Aku terus menoleh ke arah kanan dan ke kiri, tidak ada seorang pun yang menemani. Berbeda dengan pasien sebe
“Nay?” panggilku, membuat dua orang yang sedang saling memandang terkesiap dengan mata membola sempurna. “Ternyata benar ‘kan, selama ini kamu bersembunyi di rumah Dilan?!” Kanaya membuang pandang menghindari tatapanku. Mendekati istri, menggenggam jemarinya akan tetapi dengan sigap Kanaya melepaskan tangannya dari genggamanku. Bibir wanita itu terkatup rapat. Matanya terus menatap tembok tanpa mau memindai wajahku. Tidakkah kamu tahu, Kanaya. Aku begitu merindukan kamu? “Mas minta maaf atas semua yang telah terjadi, Nay. Tolong jangan diamkan Mas seperti ini. Diam kamu itu menghancurkan perasaan Mas.” Perempuan bermata sayu itu bergeming. Bibirnya tetap terkatup enggan mau menjawab. Ya Tuhan, rasanya sakit sekali diabaikan seperti ini. “Tolong jangan ganggu Naya dulu, Gun. Biarkan dia diperiksa oleh dokter!” Dilan berujar seolah dia memiliki hak atas diri Kanaya. “Diam kamu, Dilan. Jangan banyak bacot!” Menarik kerah baju pria bermata sipit tersebut sambil menatap sengit kedu
P0V Kanaya.Membuka mata perlahan, lalu menyipitkannya karena cahaya yang menyilaukan. Aku mengedarkan pandang sebab tiba-tiba tiba sudah berbaring di dalam kamar berukuran cukup luas dengan tirai sebagai pembatas. Sepertinya saat ini sedang berada di puskesmas. Tapi, siapa yang membawaku ke sini? Sebab seingatku tadi sedang berjalan menyusuri kota berniat ke makam Thalita yang jaraknya lumayan cukup jauh dari rumah. Tirai pembatas terbuka. Seraut wajah tampan yang selalu membuat hatiku bergetar muncul sambil mengulas senyum terindah yang biasa dia suguhkan."Kenapa aku ada di sini, Dil?" tanyaku dengan suara lemah seperti tidak bertenaga.Laki-laki dengan postur tinggi besar itu menarik kursi lalu mengenyakkan bokongnya perlahan."Tadi ada warga yang menemukan kamu dalam keadaan pingsan di jalan, Nay. Dia lalu membawa kamu ke sini. Kenapa kamu bisa pingsan di jalan, dan setelah aku periksa ternyata kamu dehidrasi juga kelaparan?" ungkapnya dengan mata sudah diselimuti kabut."Aku m
“Nay, aku Cuma mau mengeringkan baju kamu. Nanti kamu masuk angin.” Dilan berujar dengan nada parau.Aku meremas selimut yang menutupi sebagian tubuhku. Rasa takut serta trauma terus saja menghantui pikiran.“Tolong tinggalkan aku sendiri, Dil,” lirihku tanpa berani menatap netra lawan bicaraku.Dilan mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. “Kamu itu butuh teman, Kanaya. Butuh kawan untuk berbagi. Izinkan aku membantu kamu mengikis luka yang sudah mengarat di dinding hati kamu. Kita masih sahabat ‘kan? Dan selamanya akan begitu, walaupun sebenarnya aku selalu berharap lebih.” Aku mendongak menatap wajah teduh Dilan. Sebenarnya tidak salah dia memiliki perasaan lebih kepadaku. Yang salah, dia masih berharap bisa menikahiku walaupun nyatanya sedari dulu hubungan kami selalu ditentang. Apalagi saat ini statusku masih sebagai istrinya Mas Gunawan. Pasti akan semakin bertambah rumit urusannya.“Tinggalkan aku sendirian, Dil. Aku mohon.”Dilan segera beranjak da
Dokter Fatihah membawaku ke sebuah ruangan bernuansa merah muda dan meminta asistennya untuk membantuku berbaring di atas brankar. Aku menurut saja saat dokter menyuruhku berbaring dengan posisi seperti orang mau melahirkan, memeriksa kandunganku menggunakan alat ultrasonografi transvaginal. Karena menurut prediksinya usia kandunganku baru menginjak minggu ke lima, jadi harus menggunakan alat seperti itu agar hasilnya lebih akurat. Dengan perasaan berdebar memindai layar yang menggantung di dinding, menatap dengan takjub makhluk ciptaan Tuhan yang masih berbentuk janin berukuran sebesar biji wijen itu. Bahkan aku bisa mendengar detak jantungnya yang terdengar seperti laju kuda. Entah harus bahagia atau sedih mendengar kabar ini, karena keadaanku serta rumah tanggaku bersama suami sedang berantakan. Setalah melakukan pemeriksaan dokter kembali membawaku ke ruang rawat inap dan ternyata di sana Dilan sedang menunggu dengan cemas. “Kamu di sini, Dil?” tanyaku karena hari ini dia harus