Ada yang tersentil di dalam sanubari mendengar sanjungan dari Bu Septi. Dia itu bukan pekerja keras, tapi melakukannya karena terpaksa. Sebab aku suaminya, Raditya Gunawan yang terkenal kaya raya serta sukses telah mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Aku selalu mementingkan orang lain, gila pujian tapi lupa untuk membahagiakan hati istri.“Bagaimana, Mas Gunawan. Mbak Nayanya ada nggak?”“Em ... Sepertinya dia sudah tidak mau lagi bekerja, Bu. Naya sedang kurang enak badan. Mungkin dia masih terpukul karena kepergian anak semata wayang kami.”“Oh, begitu? Ya sudah. Salam buat Mbak Naya. Sekalian mau nitip gaji minggu kemarin yang belum saya bayarkan.” Dia menyodorkan amplop dan ketika kubuka berisi tiga lembar uang merah dan satu lembar uang biru.Aku meremas amplop berisi uang hasil keringat istri setelah Bu Septi pamit pergi. Hati ini terkoyak. Rasa bersalah terus saja menghakimi hati, apalagi ketika menuntut dia untuk selalu masak makanan enak sementara ternyata ua
“Kenapa Naya bisa pergi sama Dilan, Gunawan? Sebenarnya apa yang terjadi antara kalian berdua?!” Suara bariton Ayah menyentakku dari lamunan.“Dia marah karena menganggap akulah penyebab kematian anak kami, Yah. Dia juga marah karena selama ini diperlakukan seperti pembantu oleh Ibu serta Adelia.” Aku menjawab takut. Ingin menutupi masalah sebenarnya, takut Ayah lebih marah jika mendengar kabar itu dari Arimbi. Lebih baik jujur apa pun risiko yang harus aku tanggung nanti.Buk!Lagi dan lagi, kepalan Ayah mendarat di rahangku. Padahal luka bekas kecelakaan serta luka bekas pukulan di rumah tadi masih terasa sakit. Ini malah ditambah lagi. Tapi aku harus menerima semua itu, karena memang pantas mendapatkannya.Setelah amarah Ayah mulai mereda, dengan perasaan berdebar kulajukan motor yang baru saja kubeli menyusuri jalanan kota menuju rumah Dilan. Tidak lupa juga melaporkan kepada warga serta ketua rukun tetangga kalau di kompleks yang mereka tinggali ada dua orang yang tinggal serumah
Setelah menepikan sepeda motor di parkiran. Buru-buru berjalan menaiki undakan teras pasar menuju ruko tempat dimana aku membuka usaha serta mengais rezeki.Dengan langkah gontai mengayunkan kaki mendekati kios, membuka rolling door dan menelan saliva melihat isi toko yang terlihat berantakan. Semua tabung gas baik yang ukuran kecil maupun yang ukuran terbesar telah raib, pun dengan galon-galon air mineral. Brangkas juga dalam keadaan rusak dan uang hasil penjualan selama dua pekan yang belum sempat aku setor ke bank habis tanpa sisa seperak pun.Aku menjambak rambut sendiri sambil duduk terpekur di pojok ruangan, menangisi nasib buruk yang tengah menimpa diriku."Mas Gunawan yang sabar, ya?" Mengangkat wajah ketika mendengar suara berat Pak Haji Haeroni."Terima kasih, Pak.""Kembali kasih. Insya Allah ada hikmah di balik musibah yang menimpa, Mas!""Iya, Pak!""Ya sudah, saya permisi dulu. Ada yang beli."
Arghh ...!"Aku laki-laki bre*gsek. Tidak bermoral. Kotor!" Melempar semua benda yang ada di depan mata, melampiaskan segala amarah serta bayang-bayang kelam yang kian menyiksa.Setelah lelah meratap juga menangis, kuhempaskan bobot ini dengan kasar di atas kasur. Mengusap seprai yang kujadikan alas tidur sambil menghirup aroma tubuh Kanaya yang masih menempel."Tidakkah kamu tahu, Sayang. Aku begitu merindukan dirimu?" ucapku sambil terus menghirup wangi tubuh Kanaya, berharap rasa rindu di hati akan pergi, walaupun nyatanya rasa itu semakin menggebu dalam kalbu.Mengapa setelah dia tidak ada aku baru merasakan bahwa dirinya begitu berarti di hidupku? Sanggupkah aku melewati hari-hari tanpa dia, karena terlalu banyak kenangan yang dia tinggalkan di dalam rumah ini?***Rintik hujan yang turun dari langit sejak subuh tadi dengan mesra mengecup dedaunan. Aku duduk sendiri di teras rumah, berteman sepi tanpa satu orang
Sambil menahan napas yang mulai tidak beraturan, kuberanikan diri menghadapi dua orang berseragam tersebut. Siap menanggung risiko, apa pun yang akan terjadi.“Apa benar ini kediamannya Bapak Raditya Gunawan?” tanya salah seorang dari mereka seraya menatap tajam, membuat nyaliku menciut karena takut.“I—iya. Ada apa ya, Pak?” Bahkan sampai menjawab dengan tergagap.“Apa Bapak kenal dengan saudari Adelia Puspita?” Kini dahiku berkerut-kerut karena ternyata polisi itu malah menyebut nama adikku.“Dia adik saya, Pak.”“Kalau begitu, silakan bapak ikut kami ke rumah sakit. Saudari Adelia menjadi korban pemerkosaan dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit Bhakti Husada.”Lututku mendadak lemas seakan tak mampu menopang badan mendengar kabar tersebut. Bumi tempatku berpijak seperti berhenti berputar. Langit seakan runtuh menimpaku hingga terasa pukulan yang teramat dahsyat di kepala.Adelia menjadi korban rudapaksa? Tuhan, apakah ini sebuah karma? “Apa Bapak baik-baik saja?!” Pundakku
Penasaran. Aku mengikuti perempuan tersebut masuk ke dalam poli yang dituju. “Saya permisi ke dalam sebentar ya, Bu. Kalau Bu Naya butuh sesuatu jangan sungkan menghubungi nomor ponsel saya, atau langsung ketuk saja pintu ruangan Dokter Aris,” ucap si lelaki yang kutafsir usianya sudah lebih dari empat puluh tahun itu sambil menatap wajah perempuan itu.Entah mengapa dari cara si pria memandang, seperti ada kekaguman yang berusaha dia sembunyikan. Dan, tunggu. Dia memanggilnya Bu Naya? Apa wanita yang ada di depanku ini benar-benar Kanaya istriku? Kenapa dia berubah menjadi cantik sekali?“Nay!” Memberanikan diri untuk memanggil namanya.Dan siapa sangka wanita tersebut benar-benar menoleh. Dia menatapku dengan pindaian aneh. Kilat keterkejutan tergambar jelas di matanya, mungkin karena tiba-tiba bisa bertemu denganku di rumah sakit yang letaknya lumayan cukup jauh dari kota tempat tinggalku.“Mas Gunawan?” Mata bulat nan indahnya kini terlihat basah.“Iya, Nay. Ini aku, suami kamu.
“Orang yang telah apa, Dokter?” “Emm .... sudahlah. Kamu istirahat saja. Nanti kalau keadaan kamu sudah mulai membaik, saya akan menceritakan semuanya bersama Dilan. Sekarang kamu rileks ya. Nanti sore kita pulang ke rumah. Humaira sudah nanyain kamu terus. Katanya dia ada hadiah buat kamu.”“Iya, Dok. Terima kasih. Maaf sudah merepotkan.”“Saya tidak pernah merasa direpotkan oleh kamu. Dilan itu sudah saya anggap seperti putra saya sendiri. Makanya saya tidak keberatan saat dia meminta tolong untuk membantu mengobati kamu, dan meminta saya untuk mencarikan tempat tinggal sementara buat kamu. Eh, malahan sekarang anak-anak saya seneng ada kamu tinggal di rumah. Kata mereka, berasa ada almarhumah maminya.” Lagi, senyum tipis menghiasi bibir dokter beranak dua tersebut.Aku ingat betul ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah Dokter Ibrahim. Kedua putrinya yang sudah menginjak dewasa mengira kalau aku ini istri barunya Dokter.“Ini mami baru buat kita, Dad?” tanya Humairah—putri
Tapi, masa iya Dilan cemburu kepada sahabatnya sendiri?“Oh, iya, Nay. Ini tadi Bunda mengirimkan baju via ojek online buat ganti. Kamu ganti dulu pakaian kamu di dalam kamar mandi, biar saya dan Dilan menunggu di depan pintu kamar. Nanti saya panggilkan suster untuk membantu.” Dokter Ibrahim menyerahkan goodie bag merah yang ada di tangannya dan segera kuambil tas yang terbuat dari kain kanvas tersebut.Setelah kedua laki-laki baik hati yang memiliki gelar dokter itu keluar, gegas aku menukar pakaian yang sedang aku kenakan dengan yang bersih lalu segera menyusul keluar dibantu oleh seorang perawat yang sengaja dipanggil oleh mereka untuk membantuku.“Dia adiknya Gunawan. Korban pelecehan sek*ual juga. Memang Tuhan itu tidak pernah tidur. Dulu Gunawan dengan tega serta kejam merampas kehormatan Kanaya, sekarang adiknya juga mengalami nasib yang sama. Mbak Adel depresi berat. Lebih parah dari yang Naya alami, karena menurut pemeriksaan para dokter, dia dilecehkan oleh lebih dari satu