Tapi, masa iya Dilan cemburu kepada sahabatnya sendiri?“Oh, iya, Nay. Ini tadi Bunda mengirimkan baju via ojek online buat ganti. Kamu ganti dulu pakaian kamu di dalam kamar mandi, biar saya dan Dilan menunggu di depan pintu kamar. Nanti saya panggilkan suster untuk membantu.” Dokter Ibrahim menyerahkan goodie bag merah yang ada di tangannya dan segera kuambil tas yang terbuat dari kain kanvas tersebut.Setelah kedua laki-laki baik hati yang memiliki gelar dokter itu keluar, gegas aku menukar pakaian yang sedang aku kenakan dengan yang bersih lalu segera menyusul keluar dibantu oleh seorang perawat yang sengaja dipanggil oleh mereka untuk membantuku.“Dia adiknya Gunawan. Korban pelecehan sek*ual juga. Memang Tuhan itu tidak pernah tidur. Dulu Gunawan dengan tega serta kejam merampas kehormatan Kanaya, sekarang adiknya juga mengalami nasib yang sama. Mbak Adel depresi berat. Lebih parah dari yang Naya alami, karena menurut pemeriksaan para dokter, dia dilecehkan oleh lebih dari satu
“Dilan ambekan, ah. Nggak lucu!” Mengerucutkan bibir manja, seperti yang dilakukan Humaira tadi.“Ya sudah kalau begitu, kamu ambil ATM-nya ya. Nomor pinnya tanggal lahir kamu.”“Nanti uang kamu aku abisin, lho!”“Tidak masalah. Aku masih sehat dan masih bisa cari lagi. Yang terpenting saat ini buat aku, kamu tersenyum, bahagia, sembuh dari trauma kamu, karena kebahagiaan kamu itu segalanya buat aku.”Aku mendongak menatap netra dengan iris hitam milik Dilan, hingga pandangan kami saling bertaut menghadirkan gelenyar aneh dalam sanubari. Tidak bisa dipungkiri kalau rasa cinta masih bertakhta di tempatnya, tidak mudah pergi walaupun jurang pemisah tidak akan membuat kami bisa bersatu dalam ikatan suci nan halal.Tapi, bukankah Tuhan maha adil dan bisa mengabulkan segala permintaan hamba-Nya?Salahkah aku jika meminta kepada Sang Maha Rahim untuk menyentuh hati Dilan, memberinya hidayah supaya bisa seiman denganku, agar kita bisa merajut asa bersama hingga maut menjemput dan Tuhan kemb
"Insya Allah bisa. Tapi kita perlu bukti yang kuat, karena kejadian itu sudah terjadi cukup lama."Aku mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa sesak juga sakit kemudian mengembuskannya lewat mulut.Benar semua yang dikatakan oleh Dokter Ibrahim. Aku harus punya bukti yang kuat. Tapi apa? Sedangkan saat itu yang aku lihat hanya mata laki-laki baj*ngan itu, juga tanda lahir di perutnya. Apakah itu cukup menjadi bukti? Ah, pantas saja dulu Mas Gunawan tidak pernah mau melepas pakaian di depanku. Setiap dia meminta haknya sebagai seorang suami juga selalu mematikan lampu, tidak peduli dengan diriku yang sedikit takut dengan kegelapan. Ternyata, dia ingin menyembunyikan tanda lahir itu dariku. Bodohnya aku, selama ini telah dijadikan boneka mainannya dia. Dihancurkan sehancur-hancurnya, lalu pura-pura diangkat dari kubangan kotor nan nista."Aku hanya ingat tanda lahir laki-laki itu, Dok. Karena saat itu dia mengenakan topeng. Aku juga langsung pingsan saat dia .....
"Mbak Nay. Sekali-kali kita jalan-jalan yuk!" aku menerbitkan senyuman ketika tiba-tiba Hafizah datang menghampiri kami. Dia menyelamatkan aku dari pertanyaan-pertanyaan Bunda yang tidak mampu aku jawab."Tapi, Fi. Mbak nggak boleh kemana-mana.""Nggak apa-apa. Nanti Fizah yang minta izin sama Dady.""Em..., ya sudah. Kalau Dady mengizinkan Mbak mau. Asal jangan jauh-jauh ya?""Ok!" Hafizah menautkan telunjuk serta ibu jari membentuk huruf O.Dia kemudian terlihat sibuk memainkan ponsel, dan tidak lama setelahnya mengajaknya bersiap-siap karena sudah mendapat izin dari Dokter Ibrahim.Di dalam taksi online Hafizah banyak bercerita tentang sang ayah. Dari makanan kesukaannya, hobinya yang katanya suka ngomel kalo dia telat pulang juga kenangan tentang almarhumah ibunya yang sudah meninggal sejak Humaira berusia tiga tahun."Makanya aku seneng banget pas liat Dady pulang bawa Mbak Nay. Aku itu suka kasihan sama Dady. Dia suka melamun sendiri, suka menangis sendiri jika sedang menatap fo
"Ta--tadi Fizah sudah chat Dady, minta izin ajak Mbak Naya pergi tapi Dady belum balas." Hafizah menjawab pelan. Gadis berkerudung putih itu menundukkan wajah, tidak berani menatap wajah sang ayah yang terlihat begitu marah."Kalau Dady belum balas harusnya kamu jangan pergi. Kamu tahu? Mbak Naya itu lagi sakit dan nggak boleh sembarang bertemu dengan orang. Kamu lihat sendiri 'kan akibatnya?!" Rahang lelaki berusia empat puluh delapan tahun itu terlihat mulai mengeras. Selama beberapa hari berada di rumah ini, baru kali ini aku melihat Dokter Ibrahim marah. Biasanya dia selalu memanjakan putri-putrinya dan selalu sabar menghadapi tingkah manja mereka."Aku minta maaf, Dad. Aku cuma mau pamer ke teman-teman kalau aku mau punya mami baru. Supaya nggak diledek anak kurang kasih sayang terus oleh mereka.""Apa selama ini kamu merasa kurang kasih sayang dari Dady?" Hafizah menggeleng pelan. Tanpa dikomando dua bulir air bening men
Aku menoleh menatap wajah penuh kharisma dokter yang ternyata spesialis menangani penyakit-penyakit seperti itu. Karena kebetulan Adelia juga dia yang menanganinya, dan kata orang-orang di rumah sakit ini, dia termasuk dokter Andalan dan sudah beberapa kali menyembuhkan orang-orang dengan gangguan mental karena trauma yang dialami."Ya sudah, saya permisi dulu." Dia menerbitkan sebuah senyuman lalu segera melangkah pergi meninggalkan diriku yang masih diam membisu mencoba mencerna setiap ucapannya itu.Sepersekian detik. Aku lihat Dilan berjalan tergopoh menuju sebuah lorong. Sepertinya dia ingin menemui seseorang, dan biasanya jika ada Dilan pasti ada istriku di tempat ini. Penasaran, aku mengangkat bokong dari kursi, menyeret langkah mengikuti pria dengan garis wajah tegas tersebut dan mata ini membeliak ketika melihat Kanaya sedang duduk bersandar di atas ranjang rumah sakit dengan wajah pucat serta tubuh bergetar hebat.Hatiku perih melihat perha
“Aku minta maaf, Bu,” lirihku bagai angin yang sedang berkesiur.“Ya sudah. Sekarang kamu pulang saja. Besok sebaiknya kamu buka toko. Adel biar Ibu saja yang jagain. Kalo kita di sini semua, dari mana kita bakal dapat duit untuk membiayai perawatan Adel dan untuk makan. Biaya di rumah sakit ini cukup mahal!” perintah Ibu dan segera kuturuti.Mengambil tangan perempuan berambut sebahu itu, mencium bagian punggungnya lalu segera mengayunkan kaki keluar dari rumah sakit.Saat sedang berada di jalan raya yang letaknya tidak jauh dari rumah, aku menghentikan sejenak kendaraan roda duaku di depan tukang martabak red velvet yang biasa dipinta oleh Thalita juga Kanaya, namun, tidak pernah sekalipun aku membelikan karena harganya yang cukup mahal. Lima puluh lima ribu satu loyang, dan itu menurutku sangat mahal sekali. Tapi entah mengapa jika Adelia dan Ibu meminta dibelikan sesuatu yang harganya fantastis juga menguras dompet, aku tidak pernah m
“Astaga, Ibu. Kenapa Ibu tidak meminta izin dulu sama aku. Terus, sekarang bagaimana dengan toko aku? Aku sudah tidak punya modal sama sekali, Bu?”“Coba kamu minta sama istri kamu. Pasti simpan dia banyak. Masa istri pemilik toko yang omsetnya puluhan juta per minggunya nggak punya simpanan sama sekali!” “Memangnya Ibu pikir Naya punya uang. Selama menikah aku tidak pernah memberi dia uang lebih. Aku hanya menjatahnya lima puluh ribu sehari.”Aku memutus sambungan telepon secara sepihak. Kesal, marah, kecewa, semuanya bercampur menjadi satu. Kenapa Ibu bisa selancang itu menggadaikan sertifikat rumah tanpa seizin dariku. Padahal setiap bulan tidak kurang dari lima belas juta aku menjatahnya, dan untuk sembako, gas dan lainnya dia mengambil di toko. Di kemanakan uang yang aku beri setiap bulan.Shit!Membanting ponsel ke kasur, frustrasi, kacau balau semuanya.Duduk di bibir ranjang, menjambak rambut frus
Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari halaman pusat perbelanjaan. Salwa kembali memejamkan mata, sementara aku berusaha untuk tetap fokus mengemudi.Sesampainya di rumah kembali kugendong perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu, merebahkannya di atas pembaringan kemudian membantunya melepaskan hijab yang menutup kepala.“Mas buatkan teh hangat mau?” tawarku dengan intonasi dibuat selembut mungkin.“Kalau tidak merepotkan. Aku mau salat isya dulu tapi.” Dia menjawab dengan nada pelan, persis seperti orang sedang berbisik.“Mas tidak pernah merasa direpotkan oleh kamu.” Beranjak dari bibir ranjang, mengayunkan kaki perlahan menuju dapur kemudian lekas menjerang air dan membuat segelas teh manis hangat untuk istri.Saat kembali ke dalam kamar aku lihat wanita yang selalu kulukai hatinya itu tengah melakukan ibadah wajib empat rakaat, lalu bermunajat serta berzikir sebelum akhirnya menghampiri diriku yang sedang duduk d
Sesuai janji, selepas magrib aku mendatangi tempat yang sudah kami janjikan. Aku sengaja datang terlebih dahulu, supaya nantinya Dilan serta Kanaya tidak perlu menunggu lama-lama. Tidak enak karena semua masalah ini berasal dari Salwa, dan mereka harus membuang-buang waktu berharga mereka untuk menemui kami. “Assalamualaikum!” Aku menoleh mendengar suara berat seorang laki-laki mengucapkan salam. Dilan berdiri sambil menggandeng tangan mantan istriku, menampakkan kemesraan serta keserasian antara keduanya. “Waalaikumussalam, silakan duduk, Dil, Nay.” Mempersilakan mereka untuk duduk. Salwa menundukkan wajah ketika melihat sepasang suami istri itu datang. Sementara aku terus berusaha menahan degup jantung yang terasa semakin tidak karuan saat menatap ke arah Kanaya yang terlihat semakin memesona. Dia begitu anggun, cantik meski tanpa polesan. “Mbak Salwa apa kabar?” Perempuan di sebelahku terlihat gugup ketika Kanaya menyapanya.
[Assalamualaikum, Dil. Bisa ketemuan nggak? Ada hal penting yang ingin saya dan istri bicarakan] Segera mengirimkan pesan kepada Dilan, berniat mengajak dia bertabayyun agar masalahku dengan istri tidak berlarut-larut.[Waalaikumussalam, ada apa? Kebetulan besok saya off. Insya Allah bisa.] Balas pria keturunan Tionghoa itu.[Jangan lupa ajak Kanaya juga.][Loh, memangnya ada keperluan apa dengan istri saya?][Pengen meluruskan masalah antara saya dan dia. Biar Salwa istri saya tidak terus menerus curiga.][Oh, baik kalau begitu. Nanti biar saya sampaikan kepada istri.][Terima kasih atas pengertiannya. Maaf mengganggu waktunya.][Sama-sama.]Aku segera meletakkan ponsel di atas nakas, kemudian kembali berbaring di sebelah Salwa yang sepertinya sudah terlelap. Semoga saja besok tidak ada halangan, dan semua masalah serta kecurigaan Salwa lekas pergi dari hidupku ini.Samar-samar
Aku segera menyalami tangan mertua dan mencium bagian punggungnya dengan takzim ketika melihat dia beranjak dari kursi. Pun dengan Salwa.“Titip Salwa, Gunawan. Assalamualaikum!” ucapnya lagi, sembari menepuk pelan pundakku ini.Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, sambil melirik ke arah istri yang tengah berdiri di sisiku.“Dek ...,” panggilku pelan, seraya berjalan menghampiri istri.“Maaf, Mas. Aku mau istirahat. Dan perlu kamu tahu, aku tidak pernah selingkuh dengan siapa pun. Aku masih tau batasan juga takut dengan dosa. Walaupun aku tahu suamiku tidak mencintai aku, tetapi aku akan selalu berusaha setia.” Dia berujar sambil berjalan menuju kamar tamu.“Salwa dengerin Mas dulu. Mas tahu kamu tidak pernah membagi cinta dengan siapa pun. Begitu juga dengan Mas. Mas percaya sama kamu, dan aku mohon, agar kamu juga percaya sama Mas!” Mencekal lengannya lalu menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukan. Dia berusaha member
Tuhan, di mana pun dia berada, tolong lindungilah Salwa. Dia pergi karena mungkin sudah tidak bisa memendam lagi amarahnya kepadaku. Meskipun dia wanita sholehah serta taat, tetapi Salwa juga manusia yang tidak pernah luput dari dosa. Hatinya juga hanya terbuat dari sebongkah daging yang mudah sekali terluka.“Abah sama ummi juga sudah mencari Salwa ke rumah-rumah saudara, tapi dia tidak ada di sana. Kemarin ponselnya sempat aktif, sekarang nomor sudah tidak bisa lagi dihubungi.” Abah kembali berujar, dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca. Gurat kekhawatiran terlihat jelas di kedua sorot netranya, membuat diri ini semakin bertambah merasa bersalah.“Saya janji, secepatnya akan menemukan Salwa dan membawa dia pulang, Bah!”“Terima kasih, Gunawan. Kamu memang seorang suami yang baik.” Lelaki berkemeja biru tua itu menepuk pundakku. “Abah juga akan membantu mencari Salwa semampu Abah. Semoga anak itu segera ditemukan. Abah sangat khawatir dengan keadaann
“Ummi serius?” tanyaku memastikan.“Serius lah, Gun. Untuk apa Ummi berbohong. Memangnya kalian sedang ada masalah?” Ibu mertua menatap menyelidik.“Eh, ada Nak Gunawan. Ummi ini bagaimana, sih. Masa ada tamu malah nggak disuruh masuk?” Tiba-tiba abah sudah berada diantara kami. Dia lalu menyuruhku masuk, mempersilakan duduk serta menawarkan minuman.“Sebenarnya ada apa, Gun? Tadi kalau nggak salah denger, kamu nanyain Salwa. Memangnya dia ke mana?” tanya lelaki berkoko putih itu seraya menatap lamat-lamat wajahku.“Tadi dia pamit mau ke sini, Bah. Makanya saya susul, eh, ternyata malah nggak ada.” Aku menjawab takut, khawatir Abah marah dan menyalahkan diriku.Bapak mertua terlihat menghela napas perlahan. Dia lalu membuang pandang keluar jendela, seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin khawatir dengan putrinya juga kecewa kepadaku.“Saya minta maaf karena belum bisa menjadi suami yang baik buat Salwa, Bah!” ucapk
Selesai mendengarkan ceramah, aku bergegas pulang dan mendapati Salwa sedang duduk di sofa, dan di dekat kakinya ada sebuah tas besar yang entah apa itu isinya. Apa dia dia benar-benar ingin pergi seperti perkiraanku?“Mas, aku mau minta izin pulang ke rumah Abah!” ucapnya pelan, bagai angin sedang berbisik.“Pulang ke rumah Abah? Maksud kamu apa, Dek?” Mataku membulat sempurna sekarang.“Sepertinya kita memang butuh waktu buat sendiri-sendiri dulu. Supaya kita bisa memahami letak kesalahan kita masing-masing!”“Kamu itu ngawur? Kenapa musti pulang ke rumah orang tua kamu? Kalau ada masalah itu diselesaikan dengan cara dewasa, Dek. Jangan dikit-dikit minggat. Dikit-dikit minggat. Aku nggak ngizinin kamu pergi!”Salwa menggigit bibir bawah. Matanya mengembun dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening meluncur melewati pipi putihnya.Duh, kenapa pakai acara nangis segala? Kan jadi nggak tega.“D
Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas membuka mata, dan ternyata Dilan serta anak-anak sudah bersiap pergi ke mushola untuk melaksanakan sholat berjamaah. Kurang bahagia apa aku jika memiliki keluarga mendekati sempurna seperti ini. Masa iya harus menggoda mantan suami seperti yang dituduhkan Mbak Salwa? Rasanya sedikit lucu jika mengingat tuduhan tidak beralasan wanita itu.Selesai mandi, aku segera melaksanakan ibadah wajib dua rakaat, lalu berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta anak-anak. Menu nasi goreng campur sosis, telur serta ayam menjadi favorit semuanya, termasuk Dilan suamiku. Kalau memasak menu seperti itu, tidak akan tersisa walau hanya sesendok saja. Makanya aku paling semangat memasak hidangan tersebut."Ada yang bisa Cici bantu, Ma?" tanya Aisyah putriku seraya berjalan menghampiri."Cici potong-potong sosis sama suir ayamnya bisa?" "Bisa dong ...
“Maaf, Mbak? Maksud Mbaknya apa ya? Kok tiba-tiba datang ke rumah dan berkata seperti itu kepada saya?” tanyaku tetap berusaha santai, walaupun sebenarnya sedikit terkejut dengan pertanyaan perempuan di hadapanku ini.“Mbak paham lah, maksud saya apa!” Dia menjawab sambil menunduk.Aku semakin bingung. Bertemu dengan Mas Gunawan saja hanya beberapa kali, dan itu pun secara tidak sengaja. Masa iya mau mengganggu rumah tangga orang, sedangkan berbicara dengan mantan suami saja hampir tidak pernah. Lagian, aku sudah melupakan dia dan hidup bahagia bersama Dilan serta putra putri kami.“Jujur saya tidak mengerti maksud Mbak Salwa itu apa. Karena saya juga merasa tidak pernah mengganggu rumah tangga siapapun,” ujarku lagi, seraya menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya Mas Gunawan.Apa iya diam-diam mantan suamiku mengkhianati istrinya, dan Mbak Salwa mengira akulah wanita penggoda itu.Astaghfirullahaladzim...Tuh, kan,