"Ta--tadi Fizah sudah chat Dady, minta izin ajak Mbak Naya pergi tapi Dady belum balas." Hafizah menjawab pelan. Gadis berkerudung putih itu menundukkan wajah, tidak berani menatap wajah sang ayah yang terlihat begitu marah."Kalau Dady belum balas harusnya kamu jangan pergi. Kamu tahu? Mbak Naya itu lagi sakit dan nggak boleh sembarang bertemu dengan orang. Kamu lihat sendiri 'kan akibatnya?!" Rahang lelaki berusia empat puluh delapan tahun itu terlihat mulai mengeras. Selama beberapa hari berada di rumah ini, baru kali ini aku melihat Dokter Ibrahim marah. Biasanya dia selalu memanjakan putri-putrinya dan selalu sabar menghadapi tingkah manja mereka."Aku minta maaf, Dad. Aku cuma mau pamer ke teman-teman kalau aku mau punya mami baru. Supaya nggak diledek anak kurang kasih sayang terus oleh mereka.""Apa selama ini kamu merasa kurang kasih sayang dari Dady?" Hafizah menggeleng pelan. Tanpa dikomando dua bulir air bening men
Aku menoleh menatap wajah penuh kharisma dokter yang ternyata spesialis menangani penyakit-penyakit seperti itu. Karena kebetulan Adelia juga dia yang menanganinya, dan kata orang-orang di rumah sakit ini, dia termasuk dokter Andalan dan sudah beberapa kali menyembuhkan orang-orang dengan gangguan mental karena trauma yang dialami."Ya sudah, saya permisi dulu." Dia menerbitkan sebuah senyuman lalu segera melangkah pergi meninggalkan diriku yang masih diam membisu mencoba mencerna setiap ucapannya itu.Sepersekian detik. Aku lihat Dilan berjalan tergopoh menuju sebuah lorong. Sepertinya dia ingin menemui seseorang, dan biasanya jika ada Dilan pasti ada istriku di tempat ini. Penasaran, aku mengangkat bokong dari kursi, menyeret langkah mengikuti pria dengan garis wajah tegas tersebut dan mata ini membeliak ketika melihat Kanaya sedang duduk bersandar di atas ranjang rumah sakit dengan wajah pucat serta tubuh bergetar hebat.Hatiku perih melihat perha
“Aku minta maaf, Bu,” lirihku bagai angin yang sedang berkesiur.“Ya sudah. Sekarang kamu pulang saja. Besok sebaiknya kamu buka toko. Adel biar Ibu saja yang jagain. Kalo kita di sini semua, dari mana kita bakal dapat duit untuk membiayai perawatan Adel dan untuk makan. Biaya di rumah sakit ini cukup mahal!” perintah Ibu dan segera kuturuti.Mengambil tangan perempuan berambut sebahu itu, mencium bagian punggungnya lalu segera mengayunkan kaki keluar dari rumah sakit.Saat sedang berada di jalan raya yang letaknya tidak jauh dari rumah, aku menghentikan sejenak kendaraan roda duaku di depan tukang martabak red velvet yang biasa dipinta oleh Thalita juga Kanaya, namun, tidak pernah sekalipun aku membelikan karena harganya yang cukup mahal. Lima puluh lima ribu satu loyang, dan itu menurutku sangat mahal sekali. Tapi entah mengapa jika Adelia dan Ibu meminta dibelikan sesuatu yang harganya fantastis juga menguras dompet, aku tidak pernah m
“Astaga, Ibu. Kenapa Ibu tidak meminta izin dulu sama aku. Terus, sekarang bagaimana dengan toko aku? Aku sudah tidak punya modal sama sekali, Bu?”“Coba kamu minta sama istri kamu. Pasti simpan dia banyak. Masa istri pemilik toko yang omsetnya puluhan juta per minggunya nggak punya simpanan sama sekali!” “Memangnya Ibu pikir Naya punya uang. Selama menikah aku tidak pernah memberi dia uang lebih. Aku hanya menjatahnya lima puluh ribu sehari.”Aku memutus sambungan telepon secara sepihak. Kesal, marah, kecewa, semuanya bercampur menjadi satu. Kenapa Ibu bisa selancang itu menggadaikan sertifikat rumah tanpa seizin dariku. Padahal setiap bulan tidak kurang dari lima belas juta aku menjatahnya, dan untuk sembako, gas dan lainnya dia mengambil di toko. Di kemanakan uang yang aku beri setiap bulan.Shit!Membanting ponsel ke kasur, frustrasi, kacau balau semuanya.Duduk di bibir ranjang, menjambak rambut frus
Tidak lama kemudian dokter yang menangani Adelia keluar dari ruangannya. Wajah lelaki bertubuh tegap itu terlihat muram, menandakan kalau Adelia dalam keadaan tidak baik-baik saja.Aku segera menghampiri lelaki berkemeja biru serta almamater putih tersebut, menanyakan keadaan Adelia namun dia tetap diam membisu.“Jangan diam saja, Dokter. Bagaimana keadaan adik saya sekarang?!” Spontan aku mengguncang tangan pria berjambang tipis itu, karena penasaran ingin mengetahui keadaan Adelia.“Maaf, Pak. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi sepertinya Tuhan lebih sayang sama adik Bapak. Saya turut berdukacita cita ya, Pak.” Langit bagaikan runtuh seketika. Bumi tempatku berpijak seakan berhenti berputar. Lututku lemas seolah tidak memiliki tenaga, sehingga tidak mampu lagi menopang tubuh. Aku duduk bersimpuh sambil menangis, meratapi kepergian Adelia yang terasa begitu cepat serta mendadak. Padahal, beberapa hari yang lalu dia
"Bu, jangan begini, dong. Ikhlaskan Adel." Mengambil tangan Ibu, menggenggam erat jemarinya seraya menatap lamat-lamat wajah senjanya sambil menahan air mata yang sudah hampir tumpah ruah."Pindahkan Adel ke kamar, Gun. Kasihan dia nanti masuk angin." Dia membungkuk, mencoba mengangkat tubuh Adelia sambil menangis tergugu membuat semua pelayat yang ada ikut terbawa suasana."Bu Adel. Ibu yang sabar, kasihan Adelia kalau Ibu begini." Salah seorang pelayat berusaha menenangkan hati Ibu."Tapi anak saya sedang tidur, Bu Salma. Dia nanti masuk angin kalau tidur di lantai. Aku mau mindahin dia ke dalam kamar!" pekik wanita yang sudah bersusah payah membesarkan aku tanpa seorang suami itu."Ya sudah. Nanti biar Gunawan yang pindahin Adel ke dalam kamar. Ibu ikut saya dulu, ya. Soalnya Adel mau dimandiin. Biar bersih. Nanti kalau dia sudah bersih dan siap, kita balik lagi ke sini." Bu Salma merangkul pundak Ibu, membawa wanita itu keluar entah ke mana sebelum akhirnya para pemandi jenazah m
Kedua bola mata wanita berambut sebahu itu membeliak menatapku, lalu dia menangis meraung-raung membuat api amarah kian berkobar.Stres menghadapi sifatnya yang sudah seperti orang tidak waras. Bisa ikut gila aku kalau begini terus."Sudahlah, Bu. Jangan ditangisi seperti itu. Adel sudah mati. Dia sudah menyusul Dedek!" sentakku lagi.Ibu menggeleng. Dia tetap saja tidak mau berhenti menangis, malah kian menjadi dan terus saja memanggil nama Adelia.Hingga akhirnya aku lebih memilih pergi meninggalkan dia yang sedang menangis sendirian, mencari ketenangan jiwa juga kepingin istirahat, dan kembali ke rumah setelah pagi hari.Tok! Tok!Tok! "Assalamu'alaikum!" Baru saja hendak mengenyakkan bokong di sofa, terdengar suara ramai-ramai orang mengucap salam. Sepertinya masih banyak tamu yang ingin melayat meski jenazah Adelia sudah dikebumikan. Segera keluar untuk membukakan pintu, mempersilahkan rombongan ibu-ibu berdandan cetar membahana itu masuk dan mempersilahkan mereka duduk."Say
Ya Allah, Kanaya. Kamu benar-benar tidak mau memberi suamimu ini kesempatan kedua, walaupun aku telah berjanji akan berubah dan memberikan segala yang aku punya untuk kamu. Apakah cinta yang kamu rasa sudah sirna, Kanaya?Ini semua tidak boleh terjadi. Aku akan datang untuk mediasi dan mengatakan kepada mediator, bahwa aku masih sangat mencintai istriku dan ingin mempertahankan biduk rumah tangga yang telah kubangun selama enam tahun ini. Aku tidak mau berpisah. Aku tidak akan sanggup jika benar-benar harus melepaskan Kanaya dan melihat dia hidup bahagia bersama laki-laki lain selain diriku.Tuhan, tolong aku. Bantu hamba-Mu untuk menyelesaikan masalah ini, dan jangan biarkan Kanaya berpaling dariku. Tolong sentuh hatinya dan lembutkanlah dia, ya Rabb. Buat istriku agar mengubah keputusannya untuk berpisah denganku.Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap-siap untuk datang ke pengadilan agama. Tidak boleh terlambat apalagi sampai tidak mengikuti sidang mediasi. Akan kuperjuangkan lagi is