Home / Romansa / Aku Menyerah, Mas! / Merasa Kehilangan

Share

Merasa Kehilangan

Author: Ida Saidah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Merogoh saku celana, mengambil gawaiku dan segera menghubungi Ibu. Memberi kabar kalau rumahku telah dimasuki oleh maling.

"Hus! Enak saja Adelia kamu sebut maling. Tadi dia yang ke sana dan ambil beberapa barang milik kamu. Soalnya kata Adel televisi di rumahnya mati. Dulu dia pernah meminta secara baik-baik sama Naya tapi nggak boleh sama istri kamu!"

Jawaban Ibu membuatku mengingat memori beberapa minggu yang lalu, ketika Kanaya mengeluhkan kelakuan Adelia yang katanya ingin mengambil televisi serta lemari es milikku. Tapi aku tidak percaya, sebab lebih mengenal Adel dari pada Kanaya. Aku pikir saat itu dia berbohong dan ingin mengadu domba dengan adik satu-satunya yang aku miliki.

Aku mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa sesak seperti sedang terimpit batu besar. Ingin rasanya pergi menemui Adelia, namun tubuh sudah terasa lelah serta butuh istirahat. Aku takut sampai jatuh sakit karena kelelahan lalu meninggal dalam keadaan belum bertobat seperti ini. Aku juga tidak rela jika pundi-pundi uang yang selama ini aku kumpulkan malah dinikmati orang lain, termasuk Kanaya.

Merebahkan bobot di atas pembaringan, aku segera menarik selimut dan membungkus tubuh ini mencoba memejamkan mata menjemput lelap. Suara tawa Thalita kembali menggema, membuatku penasaran apa sebenarnya yang tengah dia dan Kanaya lakukan di luar sana.

"Heh, kalian kenapa berisik sekali. Apa kalian tidak tahu aku ini sedang istirahat?!" sentakku seraya membuka pintu.

Suasana tiba-tiba berubah hening. Hanya ada suara angin yang berkesiur, juga hawa dingin menusuk-nusuk tubuh.

Kudekati potret Thalita yang tergantung di bilik tembok, menatap lamat-lamat wajah cantiknya sambil mengusap foto tersebut, merasa tiba-tiba merindukan bocah berusia lima tahun itu.

Ya Allah, izinkan aku bertemu dengan putriku sekali saja walau dalam mimpi. Tolong beri aku kesempatan untuk memeluk tubuhnya, karena saat dia hidup aku tidak pernah memberi dia kasih sayang.

Bahkan masih terekam jelas dalam bayang, ketika dengan kasar tangan ini memukul kaki Thalita hanya karena tidak sengaja menyampar kopi yang sedang kunikmati, juga memukul tubuhnya menggunakan gagang sapu hanya karena bocah itu tidak sengaja memecahkan gelas saat meminum susu.

Tanpa dikomando dua bulir air bening mulai mengular di pipi. Tubuhku merosot di lantai. Rasa rindu yang tiba-tiba menggebu membuat diri ini merasa begitu tersiksa. Ribuan penyesalan yang datang menghakimi hati, membuat bayang-bayang kenangan tentang Thalita selalu berkelebat seolah menuntutku untuk meratapi perbuatan buruk yang telah kulakukan selama ini.

Andai saja waktu bisa berputar kembali. Akan kusayangi putriku dengan segenap hati, tidak akan melukai dia walau hanya seujung kuku saja. Namun semuanya sudah terlambat. Thalita telah pergi menghadap Illahi dan tidak akan mungkin kembali.

Denting jam sudah berbunyi. Menandakan malam sudah semakin larut. Aku masih duduk terpekur sendiri, dengan rasa sepi menyelimuti hati. Dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki berjalan menuju halaman rumah, menaiki sepeda motor kemudian kembali pergi menyusuri jalanan komplek untuk mencari Kanaya.

Aku sudah kehilangan Thalita, dan tidak mau kehilangan Kanaya juga.

"Kamu ke mana, Nay? Sudah hampir dua puluh empat jam kamu pergi. Apa kamu tidak lapar, Sayang?" Berbicara sendiri, menoleh ke kanan dan ke kiri tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaan istri.

Duh, Nay. Perginya jangan terlalu jauh dong. Sayang bahan bakarku kalau harus mengitari kota Jakarta untuk mencari kamu. Lagian, kamu yang kurang bisa menjaga Thalita, kenapa justru kamu sendiri yang marah dan merajuk kepadaku? Bukankah kepergian Thalita itu sudah menjadi bagian dari takdir? Jika pun ada yang marah, seharusnya akulah orangnya, karena kamu telah gagal menjaga buah hati kita.

Ketika berada di ujung jalan, aku melihat Dilan sedang mengendarai sepeda motornya menuju penjual nasi goreng. Sengaja kuikuti lelaki bertubuh atletis itu, karena penasaran serta curiga kalau sebenarnya Kanaya saat ini sedang bersamanya.

"Nasi goreng dua, Bang. Yang satu pedas, yang satunya lagi sedang. Nggak pakai acar juga ya, Bang!" ucap pria dengan mata sipit itu sambil menarik kursi kemudian mengenyakkan bokongnya perlahan.

Tidak salah lagi. Dia memesan dua bungkus nasi goreng. Satu untuk dia, dan yang satunya lagi untuk Kanaya.

"Dilan, di mana kamu sembunyikan Kanaya?" Dokter yang masih magang di pusat kesehatan masyarakat itu terkesiap dengan mata melebar sempurna ketika melihat diriku sudah berdiri di hadapannya.

"Sekarang kamu tidak bisa mungkir lagi. Kamu beli makanan untuk dia 'kan?"

Dilan menyunggingkan bibir. Wajah sok polosnya itu terlihat santai meskipun aku yakin saat ini dia sedang diselimuti ketakutan, sebab kepergok telah menyembunyikan istri orang.

"Kamu itu aneh, Gunawan. Dari tadi pagi nyariin Kanaya terus. Memangnya dia ke mana? Apa dia kabur? Baguslah kalau akhirnya Kanaya pergi dari kehidupan laki-laki tidak bertanggungjawab seperti kamu. Berarti dia cerdas, sebab memilih lepas dari lelaki pec-undang kaya kamu."

"Jaga bicara kamu, Dilan. Siapa bilang saya tidak bertanggung jawab. Saya selalu memenuhi kebutuhan Naya tanpa kekurangan sedikit pun. Saya juga sangat mencintai dia!"

"Kalau cinta tidak akan mungkin menyakiti, Bro!"

"Menyakiti? Aku tidak pernah menyakiti dia!"

"Apa dengan cara lebih mementingkan kesejahteraan adik kamu dan mengabaikan tanggung jawab sebagai suami kamu anggap tidak menyakiti? Apa dalam agama kamu tidak pernah mengajarkan, kalau setelah menikah istri itu prioritas? Setahuku, Islam selalu mengajarkan, jika seorang laki-laki sudah menikahi seorang perempuan, maka dia harus menyediakan sandang, papan juga pangan yang layak. Apa kamu sudah menjalankan tugas kamu dengan benar, Gunawan?"

Aku mendecih dalam hati. Rupanya Kanaya sudah menceritakan semuanya kepada Dilan. Membuka aibku, menelanjangi suaminya sendiri di depan mantan kekasihnya. Dasar perempuan bermuka dua. Jika di depanku dia berpura-pura alim seolah-olah menyembunyikan apa yang tengah terjadi, tapi di belakangku dia berani mengumbar aib suaminya sendiri.

"Saya mementingkan kesejahteraan adik serta ibu saya karena dia itu kewajiban saya. Dia keluarga saya, sedangkan Naya, dia hanya orang lain yang menumpang hidup kepada saya. Masih untung saya mau memberi dia nafkah secara rutin. Tidak pernah lalai dengan kewajibanku memberi makan anak dan istri."

"Lalu, kenapa kamu menikahinya kalau uang yang kamu miliki hanya untuk keluarga kamu. Untuk apa menikahi seorang perempuan jika hanya untuk disakiti dan dianggap orang lain oleh kamu. Wanita yang telah kita nikahi itu bukan orang lain, Gunawan. Dia belahan jiwa kita, tanggung jawab paling utama. Apa kamu menikahi Kanaya hanya untuk dijadikan pemuas nafsu sekaligus pembantu gratisan yang bisa kamu perlakuan dengan sesuka hati?"

"Tahu apa kamu tentang kehidupan saya dan Kanaya?!" sentakku mulai terpancing emosi.

"Aku tahu semuanya, Gunawan. Bahkan aku tahu siapa laki-laki yang telah merenggut kesucian Kanaya dulu."

Kini aku terkesiap mendengar jawaban dari Dilan.

Bren*sek! Kenapa dia bisa tahu? Kanaya bisa tambah menjauh jika Dilan sampai buka mulut dan membongkar rahasia yang sudah kututup rapat-rapat selama enam tahun itu.

"Kenapa kaget begitu, Gunawan? Apa kamu takut Kanaya sampai tahu kalau kamu lah manusia la*nat yang telah memperkosa dia dulu?!"

Sial!

Mengepal tangan di samping tubuh, ingin menghadiahi dia bogem mentah. Ternyata dia benar-benar ancaman buatku. Akan sangat berbahaya jika dia masih berada di kampung ini. Aku harus membuat dia pergi dengan cara tidak terhormat, supaya dia tidak diterima bekerja di rumah sakit mana pun, dan hidupnya terlunta-lunta karena tidak memiliki pekerjaan.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Dimas Adrian
laki dajal kenapa Tuhan malah kadih rejeki berlimpah pada laki laknat kaya gini.
goodnovel comment avatar
Martin Elisa
Sakit jiwa parah parah parah,, gila
goodnovel comment avatar
Tanpa Nama
dasar suami jahanam... perhitungan pelit dihhh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Aku Menyerah, Mas!   Mengalami Kecelakaan

    Lagi, Dilan menyunggingkan bibir menatapku. Ada kepuasan tersendiri mungkin melihat aku terbakar emosi juga terpojok seperti ini. Awas saja, Dilan. Aku tidak akan tinggal diam. “Lepaskan Kanaya jika kamu merasa terbebani dan tidak mampu menafkahi dia. Biarkan dia bahagia dengan laki-laki yang mencintai dia dengan segenap jiwa dan raga, sebab dia tidak pantas disakiti, apalagi hidup dengan laki-laki tidak berperasaan serta tak bermoral seperti kamu!” Dia berujar sambil membayar nasi yang dia pesan kemudian segera pergi meninggalkan diriku. Aku terus menatap punggung laki-laki keturunan Tionghoa itu, merasa kesal namun tidak berani memberi dia pelajaran. Dilan terlalu kuat, tenaganya lebih besar daripada aku, dan aku yakin dia juga tidak akan tinggal diam jika aku sampai berani menyakiti fisiknya. Malam kian beranjak larut. Aku masih duduk di teras sambil menatap jalanan yang sepi, berharap Kanaya kembali dan meminta maaf karena telah berani keluar rumah tanpa pamit kepada suami. Me

  • Aku Menyerah, Mas!   Bertemu Kanaya

    Aku terus saja mengusap darah yang mengalir melewati mata. Kepala terasa berdenyut, dan tubuh terasa remuk akibat hantaman keras tadi. Kulit juga terasa perih karena memarut aspal.Ya Allah, sakit sekali rasanya. Apalagi tidak ada seorang pun yang mau membantu, atau sekedar mendekat ke tempat kejadian. Bagaima jika aku sampai kehabisan darah dan mati?Suara sirine mobil polisi terdengar mendekati. Aku sedikit bernapas lega, setidaknya akan ada yang membawaku ke rumah sakit. Dua orang polisi akhirnya turun menghampiri, menanyakan keadaanku lalu membantuku untuk masuk ke dalam mobil. Saat hendak masuk ke dalam mobil tersebut tiba-tiba kepala ini terasa pusing. Bumi tempatku berpijak seolah ingin menelanku lalu menenggelamkannya. Semua terasa gelap, hingga ketika membuka mata aku sudah berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan tubuh yang terasa lemas seperti tidak bertenaga.Aku terus menoleh ke arah kanan dan ke kiri, tidak ada seorang pun yang menemani. Berbeda dengan pasien sebe

  • Aku Menyerah, Mas!   Sakit!

    “Nay?” panggilku, membuat dua orang yang sedang saling memandang terkesiap dengan mata membola sempurna. “Ternyata benar ‘kan, selama ini kamu bersembunyi di rumah Dilan?!” Kanaya membuang pandang menghindari tatapanku. Mendekati istri, menggenggam jemarinya akan tetapi dengan sigap Kanaya melepaskan tangannya dari genggamanku. Bibir wanita itu terkatup rapat. Matanya terus menatap tembok tanpa mau memindai wajahku. Tidakkah kamu tahu, Kanaya. Aku begitu merindukan kamu? “Mas minta maaf atas semua yang telah terjadi, Nay. Tolong jangan diamkan Mas seperti ini. Diam kamu itu menghancurkan perasaan Mas.” Perempuan bermata sayu itu bergeming. Bibirnya tetap terkatup enggan mau menjawab. Ya Tuhan, rasanya sakit sekali diabaikan seperti ini. “Tolong jangan ganggu Naya dulu, Gun. Biarkan dia diperiksa oleh dokter!” Dilan berujar seolah dia memiliki hak atas diri Kanaya. “Diam kamu, Dilan. Jangan banyak bacot!” Menarik kerah baju pria bermata sipit tersebut sambil menatap sengit kedu

  • Aku Menyerah, Mas!   Jangan Sentuh!

    P0V Kanaya.Membuka mata perlahan, lalu menyipitkannya karena cahaya yang menyilaukan. Aku mengedarkan pandang sebab tiba-tiba tiba sudah berbaring di dalam kamar berukuran cukup luas dengan tirai sebagai pembatas. Sepertinya saat ini sedang berada di puskesmas. Tapi, siapa yang membawaku ke sini? Sebab seingatku tadi sedang berjalan menyusuri kota berniat ke makam Thalita yang jaraknya lumayan cukup jauh dari rumah. Tirai pembatas terbuka. Seraut wajah tampan yang selalu membuat hatiku bergetar muncul sambil mengulas senyum terindah yang biasa dia suguhkan."Kenapa aku ada di sini, Dil?" tanyaku dengan suara lemah seperti tidak bertenaga.Laki-laki dengan postur tinggi besar itu menarik kursi lalu mengenyakkan bokongnya perlahan."Tadi ada warga yang menemukan kamu dalam keadaan pingsan di jalan, Nay. Dia lalu membawa kamu ke sini. Kenapa kamu bisa pingsan di jalan, dan setelah aku periksa ternyata kamu dehidrasi juga kelaparan?" ungkapnya dengan mata sudah diselimuti kabut."Aku m

  • Aku Menyerah, Mas!   Trauma

    “Nay, aku Cuma mau mengeringkan baju kamu. Nanti kamu masuk angin.” Dilan berujar dengan nada parau.Aku meremas selimut yang menutupi sebagian tubuhku. Rasa takut serta trauma terus saja menghantui pikiran.“Tolong tinggalkan aku sendiri, Dil,” lirihku tanpa berani menatap netra lawan bicaraku.Dilan mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. “Kamu itu butuh teman, Kanaya. Butuh kawan untuk berbagi. Izinkan aku membantu kamu mengikis luka yang sudah mengarat di dinding hati kamu. Kita masih sahabat ‘kan? Dan selamanya akan begitu, walaupun sebenarnya aku selalu berharap lebih.” Aku mendongak menatap wajah teduh Dilan. Sebenarnya tidak salah dia memiliki perasaan lebih kepadaku. Yang salah, dia masih berharap bisa menikahiku walaupun nyatanya sedari dulu hubungan kami selalu ditentang. Apalagi saat ini statusku masih sebagai istrinya Mas Gunawan. Pasti akan semakin bertambah rumit urusannya.“Tinggalkan aku sendirian, Dil. Aku mohon.”Dilan segera beranjak da

  • Aku Menyerah, Mas!   Aku yang Sudah Menodainya!

    Dokter Fatihah membawaku ke sebuah ruangan bernuansa merah muda dan meminta asistennya untuk membantuku berbaring di atas brankar. Aku menurut saja saat dokter menyuruhku berbaring dengan posisi seperti orang mau melahirkan, memeriksa kandunganku menggunakan alat ultrasonografi transvaginal. Karena menurut prediksinya usia kandunganku baru menginjak minggu ke lima, jadi harus menggunakan alat seperti itu agar hasilnya lebih akurat. Dengan perasaan berdebar memindai layar yang menggantung di dinding, menatap dengan takjub makhluk ciptaan Tuhan yang masih berbentuk janin berukuran sebesar biji wijen itu. Bahkan aku bisa mendengar detak jantungnya yang terdengar seperti laju kuda. Entah harus bahagia atau sedih mendengar kabar ini, karena keadaanku serta rumah tanggaku bersama suami sedang berantakan. Setalah melakukan pemeriksaan dokter kembali membawaku ke ruang rawat inap dan ternyata di sana Dilan sedang menunggu dengan cemas. “Kamu di sini, Dil?” tanyaku karena hari ini dia harus

  • Aku Menyerah, Mas!   Aku yang telah menodainya 2

    Ada yang tersentil di dalam sanubari mendengar sanjungan dari Bu Septi. Dia itu bukan pekerja keras, tapi melakukannya karena terpaksa. Sebab aku suaminya, Raditya Gunawan yang terkenal kaya raya serta sukses telah mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Aku selalu mementingkan orang lain, gila pujian tapi lupa untuk membahagiakan hati istri.“Bagaimana, Mas Gunawan. Mbak Nayanya ada nggak?”“Em ... Sepertinya dia sudah tidak mau lagi bekerja, Bu. Naya sedang kurang enak badan. Mungkin dia masih terpukul karena kepergian anak semata wayang kami.”“Oh, begitu? Ya sudah. Salam buat Mbak Naya. Sekalian mau nitip gaji minggu kemarin yang belum saya bayarkan.” Dia menyodorkan amplop dan ketika kubuka berisi tiga lembar uang merah dan satu lembar uang biru.Aku meremas amplop berisi uang hasil keringat istri setelah Bu Septi pamit pergi. Hati ini terkoyak. Rasa bersalah terus saja menghakimi hati, apalagi ketika menuntut dia untuk selalu masak makanan enak sementara ternyata ua

  • Aku Menyerah, Mas!   Tidak Pernah Memedulikan Perasaannya

    “Kenapa Naya bisa pergi sama Dilan, Gunawan? Sebenarnya apa yang terjadi antara kalian berdua?!” Suara bariton Ayah menyentakku dari lamunan.“Dia marah karena menganggap akulah penyebab kematian anak kami, Yah. Dia juga marah karena selama ini diperlakukan seperti pembantu oleh Ibu serta Adelia.” Aku menjawab takut. Ingin menutupi masalah sebenarnya, takut Ayah lebih marah jika mendengar kabar itu dari Arimbi. Lebih baik jujur apa pun risiko yang harus aku tanggung nanti.Buk!Lagi dan lagi, kepalan Ayah mendarat di rahangku. Padahal luka bekas kecelakaan serta luka bekas pukulan di rumah tadi masih terasa sakit. Ini malah ditambah lagi. Tapi aku harus menerima semua itu, karena memang pantas mendapatkannya.Setelah amarah Ayah mulai mereda, dengan perasaan berdebar kulajukan motor yang baru saja kubeli menyusuri jalanan kota menuju rumah Dilan. Tidak lupa juga melaporkan kepada warga serta ketua rukun tetangga kalau di kompleks yang mereka tinggali ada dua orang yang tinggal serumah

Latest chapter

  • Aku Menyerah, Mas!   Ending

    Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari halaman pusat perbelanjaan. Salwa kembali memejamkan mata, sementara aku berusaha untuk tetap fokus mengemudi.Sesampainya di rumah kembali kugendong perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu, merebahkannya di atas pembaringan kemudian membantunya melepaskan hijab yang menutup kepala.“Mas buatkan teh hangat mau?” tawarku dengan intonasi dibuat selembut mungkin.“Kalau tidak merepotkan. Aku mau salat isya dulu tapi.” Dia menjawab dengan nada pelan, persis seperti orang sedang berbisik.“Mas tidak pernah merasa direpotkan oleh kamu.” Beranjak dari bibir ranjang, mengayunkan kaki perlahan menuju dapur kemudian lekas menjerang air dan membuat segelas teh manis hangat untuk istri.Saat kembali ke dalam kamar aku lihat wanita yang selalu kulukai hatinya itu tengah melakukan ibadah wajib empat rakaat, lalu bermunajat serta berzikir sebelum akhirnya menghampiri diriku yang sedang duduk d

  • Aku Menyerah, Mas!   Menghabiskan Waktu Bersama

    Sesuai janji, selepas magrib aku mendatangi tempat yang sudah kami janjikan. Aku sengaja datang terlebih dahulu, supaya nantinya Dilan serta Kanaya tidak perlu menunggu lama-lama. Tidak enak karena semua masalah ini berasal dari Salwa, dan mereka harus membuang-buang waktu berharga mereka untuk menemui kami. “Assalamualaikum!” Aku menoleh mendengar suara berat seorang laki-laki mengucapkan salam. Dilan berdiri sambil menggandeng tangan mantan istriku, menampakkan kemesraan serta keserasian antara keduanya. “Waalaikumussalam, silakan duduk, Dil, Nay.” Mempersilakan mereka untuk duduk. Salwa menundukkan wajah ketika melihat sepasang suami istri itu datang. Sementara aku terus berusaha menahan degup jantung yang terasa semakin tidak karuan saat menatap ke arah Kanaya yang terlihat semakin memesona. Dia begitu anggun, cantik meski tanpa polesan. “Mbak Salwa apa kabar?” Perempuan di sebelahku terlihat gugup ketika Kanaya menyapanya.

  • Aku Menyerah, Mas!   Tabayun

    [Assalamualaikum, Dil. Bisa ketemuan nggak? Ada hal penting yang ingin saya dan istri bicarakan] Segera mengirimkan pesan kepada Dilan, berniat mengajak dia bertabayyun agar masalahku dengan istri tidak berlarut-larut.[Waalaikumussalam, ada apa? Kebetulan besok saya off. Insya Allah bisa.] Balas pria keturunan Tionghoa itu.[Jangan lupa ajak Kanaya juga.][Loh, memangnya ada keperluan apa dengan istri saya?][Pengen meluruskan masalah antara saya dan dia. Biar Salwa istri saya tidak terus menerus curiga.][Oh, baik kalau begitu. Nanti biar saya sampaikan kepada istri.][Terima kasih atas pengertiannya. Maaf mengganggu waktunya.][Sama-sama.]Aku segera meletakkan ponsel di atas nakas, kemudian kembali berbaring di sebelah Salwa yang sepertinya sudah terlelap. Semoga saja besok tidak ada halangan, dan semua masalah serta kecurigaan Salwa lekas pergi dari hidupku ini.Samar-samar

  • Aku Menyerah, Mas!   Mengajaknya Tabayun

    Aku segera menyalami tangan mertua dan mencium bagian punggungnya dengan takzim ketika melihat dia beranjak dari kursi. Pun dengan Salwa.“Titip Salwa, Gunawan. Assalamualaikum!” ucapnya lagi, sembari menepuk pelan pundakku ini.Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, sambil melirik ke arah istri yang tengah berdiri di sisiku.“Dek ...,” panggilku pelan, seraya berjalan menghampiri istri.“Maaf, Mas. Aku mau istirahat. Dan perlu kamu tahu, aku tidak pernah selingkuh dengan siapa pun. Aku masih tau batasan juga takut dengan dosa. Walaupun aku tahu suamiku tidak mencintai aku, tetapi aku akan selalu berusaha setia.” Dia berujar sambil berjalan menuju kamar tamu.“Salwa dengerin Mas dulu. Mas tahu kamu tidak pernah membagi cinta dengan siapa pun. Begitu juga dengan Mas. Mas percaya sama kamu, dan aku mohon, agar kamu juga percaya sama Mas!” Mencekal lengannya lalu menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukan. Dia berusaha member

  • Aku Menyerah, Mas!   Malu

    Tuhan, di mana pun dia berada, tolong lindungilah Salwa. Dia pergi karena mungkin sudah tidak bisa memendam lagi amarahnya kepadaku. Meskipun dia wanita sholehah serta taat, tetapi Salwa juga manusia yang tidak pernah luput dari dosa. Hatinya juga hanya terbuat dari sebongkah daging yang mudah sekali terluka.“Abah sama ummi juga sudah mencari Salwa ke rumah-rumah saudara, tapi dia tidak ada di sana. Kemarin ponselnya sempat aktif, sekarang nomor sudah tidak bisa lagi dihubungi.” Abah kembali berujar, dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca. Gurat kekhawatiran terlihat jelas di kedua sorot netranya, membuat diri ini semakin bertambah merasa bersalah.“Saya janji, secepatnya akan menemukan Salwa dan membawa dia pulang, Bah!”“Terima kasih, Gunawan. Kamu memang seorang suami yang baik.” Lelaki berkemeja biru tua itu menepuk pundakku. “Abah juga akan membantu mencari Salwa semampu Abah. Semoga anak itu segera ditemukan. Abah sangat khawatir dengan keadaann

  • Aku Menyerah, Mas!   Mencari Salwa

    “Ummi serius?” tanyaku memastikan.“Serius lah, Gun. Untuk apa Ummi berbohong. Memangnya kalian sedang ada masalah?” Ibu mertua menatap menyelidik.“Eh, ada Nak Gunawan. Ummi ini bagaimana, sih. Masa ada tamu malah nggak disuruh masuk?” Tiba-tiba abah sudah berada diantara kami. Dia lalu menyuruhku masuk, mempersilakan duduk serta menawarkan minuman.“Sebenarnya ada apa, Gun? Tadi kalau nggak salah denger, kamu nanyain Salwa. Memangnya dia ke mana?” tanya lelaki berkoko putih itu seraya menatap lamat-lamat wajahku.“Tadi dia pamit mau ke sini, Bah. Makanya saya susul, eh, ternyata malah nggak ada.” Aku menjawab takut, khawatir Abah marah dan menyalahkan diriku.Bapak mertua terlihat menghela napas perlahan. Dia lalu membuang pandang keluar jendela, seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin khawatir dengan putrinya juga kecewa kepadaku.“Saya minta maaf karena belum bisa menjadi suami yang baik buat Salwa, Bah!” ucapk

  • Aku Menyerah, Mas!   Aku Menyerah, Mas!

    Selesai mendengarkan ceramah, aku bergegas pulang dan mendapati Salwa sedang duduk di sofa, dan di dekat kakinya ada sebuah tas besar yang entah apa itu isinya. Apa dia dia benar-benar ingin pergi seperti perkiraanku?“Mas, aku mau minta izin pulang ke rumah Abah!” ucapnya pelan, bagai angin sedang berbisik.“Pulang ke rumah Abah? Maksud kamu apa, Dek?” Mataku membulat sempurna sekarang.“Sepertinya kita memang butuh waktu buat sendiri-sendiri dulu. Supaya kita bisa memahami letak kesalahan kita masing-masing!”“Kamu itu ngawur? Kenapa musti pulang ke rumah orang tua kamu? Kalau ada masalah itu diselesaikan dengan cara dewasa, Dek. Jangan dikit-dikit minggat. Dikit-dikit minggat. Aku nggak ngizinin kamu pergi!”Salwa menggigit bibir bawah. Matanya mengembun dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening meluncur melewati pipi putihnya.Duh, kenapa pakai acara nangis segala? Kan jadi nggak tega.“D

  • Aku Menyerah, Mas!   POV Gunawan

    Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas membuka mata, dan ternyata Dilan serta anak-anak sudah bersiap pergi ke mushola untuk melaksanakan sholat berjamaah. Kurang bahagia apa aku jika memiliki keluarga mendekati sempurna seperti ini. Masa iya harus menggoda mantan suami seperti yang dituduhkan Mbak Salwa? Rasanya sedikit lucu jika mengingat tuduhan tidak beralasan wanita itu.Selesai mandi, aku segera melaksanakan ibadah wajib dua rakaat, lalu berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta anak-anak. Menu nasi goreng campur sosis, telur serta ayam menjadi favorit semuanya, termasuk Dilan suamiku. Kalau memasak menu seperti itu, tidak akan tersisa walau hanya sesendok saja. Makanya aku paling semangat memasak hidangan tersebut."Ada yang bisa Cici bantu, Ma?" tanya Aisyah putriku seraya berjalan menghampiri."Cici potong-potong sosis sama suir ayamnya bisa?" "Bisa dong ...

  • Aku Menyerah, Mas!   Aku Mencintai Kamu

    “Maaf, Mbak? Maksud Mbaknya apa ya? Kok tiba-tiba datang ke rumah dan berkata seperti itu kepada saya?” tanyaku tetap berusaha santai, walaupun sebenarnya sedikit terkejut dengan pertanyaan perempuan di hadapanku ini.“Mbak paham lah, maksud saya apa!” Dia menjawab sambil menunduk.Aku semakin bingung. Bertemu dengan Mas Gunawan saja hanya beberapa kali, dan itu pun secara tidak sengaja. Masa iya mau mengganggu rumah tangga orang, sedangkan berbicara dengan mantan suami saja hampir tidak pernah. Lagian, aku sudah melupakan dia dan hidup bahagia bersama Dilan serta putra putri kami.“Jujur saya tidak mengerti maksud Mbak Salwa itu apa. Karena saya juga merasa tidak pernah mengganggu rumah tangga siapapun,” ujarku lagi, seraya menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya Mas Gunawan.Apa iya diam-diam mantan suamiku mengkhianati istrinya, dan Mbak Salwa mengira akulah wanita penggoda itu.Astaghfirullahaladzim...Tuh, kan,

DMCA.com Protection Status