Share

Merasa Kehilangan

Merogoh saku celana, mengambil gawaiku dan segera menghubungi Ibu. Memberi kabar kalau rumahku telah dimasuki oleh maling.

"Hus! Enak saja Adelia kamu sebut maling. Tadi dia yang ke sana dan ambil beberapa barang milik kamu. Soalnya kata Adel televisi di rumahnya mati. Dulu dia pernah meminta secara baik-baik sama Naya tapi nggak boleh sama istri kamu!"

Jawaban Ibu membuatku mengingat memori beberapa minggu yang lalu, ketika Kanaya mengeluhkan kelakuan Adelia yang katanya ingin mengambil televisi serta lemari es milikku. Tapi aku tidak percaya, sebab lebih mengenal Adel dari pada Kanaya. Aku pikir saat itu dia berbohong dan ingin mengadu domba dengan adik satu-satunya yang aku miliki.

Aku mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa sesak seperti sedang terimpit batu besar. Ingin rasanya pergi menemui Adelia, namun tubuh sudah terasa lelah serta butuh istirahat. Aku takut sampai jatuh sakit karena kelelahan lalu meninggal dalam keadaan belum bertobat seperti ini. Aku juga tidak rela jika pundi-pundi uang yang selama ini aku kumpulkan malah dinikmati orang lain, termasuk Kanaya.

Merebahkan bobot di atas pembaringan, aku segera menarik selimut dan membungkus tubuh ini mencoba memejamkan mata menjemput lelap. Suara tawa Thalita kembali menggema, membuatku penasaran apa sebenarnya yang tengah dia dan Kanaya lakukan di luar sana.

"Heh, kalian kenapa berisik sekali. Apa kalian tidak tahu aku ini sedang istirahat?!" sentakku seraya membuka pintu.

Suasana tiba-tiba berubah hening. Hanya ada suara angin yang berkesiur, juga hawa dingin menusuk-nusuk tubuh.

Kudekati potret Thalita yang tergantung di bilik tembok, menatap lamat-lamat wajah cantiknya sambil mengusap foto tersebut, merasa tiba-tiba merindukan bocah berusia lima tahun itu.

Ya Allah, izinkan aku bertemu dengan putriku sekali saja walau dalam mimpi. Tolong beri aku kesempatan untuk memeluk tubuhnya, karena saat dia hidup aku tidak pernah memberi dia kasih sayang.

Bahkan masih terekam jelas dalam bayang, ketika dengan kasar tangan ini memukul kaki Thalita hanya karena tidak sengaja menyampar kopi yang sedang kunikmati, juga memukul tubuhnya menggunakan gagang sapu hanya karena bocah itu tidak sengaja memecahkan gelas saat meminum susu.

Tanpa dikomando dua bulir air bening mulai mengular di pipi. Tubuhku merosot di lantai. Rasa rindu yang tiba-tiba menggebu membuat diri ini merasa begitu tersiksa. Ribuan penyesalan yang datang menghakimi hati, membuat bayang-bayang kenangan tentang Thalita selalu berkelebat seolah menuntutku untuk meratapi perbuatan buruk yang telah kulakukan selama ini.

Andai saja waktu bisa berputar kembali. Akan kusayangi putriku dengan segenap hati, tidak akan melukai dia walau hanya seujung kuku saja. Namun semuanya sudah terlambat. Thalita telah pergi menghadap Illahi dan tidak akan mungkin kembali.

Denting jam sudah berbunyi. Menandakan malam sudah semakin larut. Aku masih duduk terpekur sendiri, dengan rasa sepi menyelimuti hati. Dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki berjalan menuju halaman rumah, menaiki sepeda motor kemudian kembali pergi menyusuri jalanan komplek untuk mencari Kanaya.

Aku sudah kehilangan Thalita, dan tidak mau kehilangan Kanaya juga.

"Kamu ke mana, Nay? Sudah hampir dua puluh empat jam kamu pergi. Apa kamu tidak lapar, Sayang?" Berbicara sendiri, menoleh ke kanan dan ke kiri tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaan istri.

Duh, Nay. Perginya jangan terlalu jauh dong. Sayang bahan bakarku kalau harus mengitari kota Jakarta untuk mencari kamu. Lagian, kamu yang kurang bisa menjaga Thalita, kenapa justru kamu sendiri yang marah dan merajuk kepadaku? Bukankah kepergian Thalita itu sudah menjadi bagian dari takdir? Jika pun ada yang marah, seharusnya akulah orangnya, karena kamu telah gagal menjaga buah hati kita.

Ketika berada di ujung jalan, aku melihat Dilan sedang mengendarai sepeda motornya menuju penjual nasi goreng. Sengaja kuikuti lelaki bertubuh atletis itu, karena penasaran serta curiga kalau sebenarnya Kanaya saat ini sedang bersamanya.

"Nasi goreng dua, Bang. Yang satu pedas, yang satunya lagi sedang. Nggak pakai acar juga ya, Bang!" ucap pria dengan mata sipit itu sambil menarik kursi kemudian mengenyakkan bokongnya perlahan.

Tidak salah lagi. Dia memesan dua bungkus nasi goreng. Satu untuk dia, dan yang satunya lagi untuk Kanaya.

"Dilan, di mana kamu sembunyikan Kanaya?" Dokter yang masih magang di pusat kesehatan masyarakat itu terkesiap dengan mata melebar sempurna ketika melihat diriku sudah berdiri di hadapannya.

"Sekarang kamu tidak bisa mungkir lagi. Kamu beli makanan untuk dia 'kan?"

Dilan menyunggingkan bibir. Wajah sok polosnya itu terlihat santai meskipun aku yakin saat ini dia sedang diselimuti ketakutan, sebab kepergok telah menyembunyikan istri orang.

"Kamu itu aneh, Gunawan. Dari tadi pagi nyariin Kanaya terus. Memangnya dia ke mana? Apa dia kabur? Baguslah kalau akhirnya Kanaya pergi dari kehidupan laki-laki tidak bertanggungjawab seperti kamu. Berarti dia cerdas, sebab memilih lepas dari lelaki pec-undang kaya kamu."

"Jaga bicara kamu, Dilan. Siapa bilang saya tidak bertanggung jawab. Saya selalu memenuhi kebutuhan Naya tanpa kekurangan sedikit pun. Saya juga sangat mencintai dia!"

"Kalau cinta tidak akan mungkin menyakiti, Bro!"

"Menyakiti? Aku tidak pernah menyakiti dia!"

"Apa dengan cara lebih mementingkan kesejahteraan adik kamu dan mengabaikan tanggung jawab sebagai suami kamu anggap tidak menyakiti? Apa dalam agama kamu tidak pernah mengajarkan, kalau setelah menikah istri itu prioritas? Setahuku, Islam selalu mengajarkan, jika seorang laki-laki sudah menikahi seorang perempuan, maka dia harus menyediakan sandang, papan juga pangan yang layak. Apa kamu sudah menjalankan tugas kamu dengan benar, Gunawan?"

Aku mendecih dalam hati. Rupanya Kanaya sudah menceritakan semuanya kepada Dilan. Membuka aibku, menelanjangi suaminya sendiri di depan mantan kekasihnya. Dasar perempuan bermuka dua. Jika di depanku dia berpura-pura alim seolah-olah menyembunyikan apa yang tengah terjadi, tapi di belakangku dia berani mengumbar aib suaminya sendiri.

"Saya mementingkan kesejahteraan adik serta ibu saya karena dia itu kewajiban saya. Dia keluarga saya, sedangkan Naya, dia hanya orang lain yang menumpang hidup kepada saya. Masih untung saya mau memberi dia nafkah secara rutin. Tidak pernah lalai dengan kewajibanku memberi makan anak dan istri."

"Lalu, kenapa kamu menikahinya kalau uang yang kamu miliki hanya untuk keluarga kamu. Untuk apa menikahi seorang perempuan jika hanya untuk disakiti dan dianggap orang lain oleh kamu. Wanita yang telah kita nikahi itu bukan orang lain, Gunawan. Dia belahan jiwa kita, tanggung jawab paling utama. Apa kamu menikahi Kanaya hanya untuk dijadikan pemuas nafsu sekaligus pembantu gratisan yang bisa kamu perlakuan dengan sesuka hati?"

"Tahu apa kamu tentang kehidupan saya dan Kanaya?!" sentakku mulai terpancing emosi.

"Aku tahu semuanya, Gunawan. Bahkan aku tahu siapa laki-laki yang telah merenggut kesucian Kanaya dulu."

Kini aku terkesiap mendengar jawaban dari Dilan.

Bren*sek! Kenapa dia bisa tahu? Kanaya bisa tambah menjauh jika Dilan sampai buka mulut dan membongkar rahasia yang sudah kututup rapat-rapat selama enam tahun itu.

"Kenapa kaget begitu, Gunawan? Apa kamu takut Kanaya sampai tahu kalau kamu lah manusia la*nat yang telah memperkosa dia dulu?!"

Sial!

Mengepal tangan di samping tubuh, ingin menghadiahi dia bogem mentah. Ternyata dia benar-benar ancaman buatku. Akan sangat berbahaya jika dia masih berada di kampung ini. Aku harus membuat dia pergi dengan cara tidak terhormat, supaya dia tidak diterima bekerja di rumah sakit mana pun, dan hidupnya terlunta-lunta karena tidak memiliki pekerjaan.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Dimas Adrian
laki dajal kenapa Tuhan malah kadih rejeki berlimpah pada laki laknat kaya gini.
goodnovel comment avatar
Martin Elisa
Sakit jiwa parah parah parah,, gila
goodnovel comment avatar
Tanpa Nama
dasar suami jahanam... perhitungan pelit dihhh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status