Beranda / Romansa / Aku Menyerah, Mas! / Mengalami Kecelakaan

Share

Mengalami Kecelakaan

Penulis: Ida Saidah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Lagi, Dilan menyunggingkan bibir menatapku. Ada kepuasan tersendiri mungkin melihat aku terbakar emosi juga terpojok seperti ini. Awas saja, Dilan. Aku tidak akan tinggal diam.

“Lepaskan Kanaya jika kamu merasa terbebani dan tidak mampu menafkahi dia. Biarkan dia bahagia dengan laki-laki yang mencintai dia dengan segenap jiwa dan raga, sebab dia tidak pantas disakiti, apalagi hidup dengan laki-laki tidak berperasaan serta tak bermoral seperti kamu!” Dia berujar sambil membayar nasi yang dia pesan kemudian segera pergi meninggalkan diriku.

Aku terus menatap punggung laki-laki keturunan Tionghoa itu, merasa kesal namun tidak berani memberi dia pelajaran. Dilan terlalu kuat, tenaganya lebih besar daripada aku, dan aku yakin dia juga tidak akan tinggal diam jika aku sampai berani menyakiti fisiknya.

Malam kian beranjak larut. Aku masih duduk di teras sambil menatap jalanan yang sepi, berharap Kanaya kembali dan meminta maaf karena telah berani keluar rumah tanpa pamit kepada suami.

Mengambil sebatang rokok, menyalakan benda bernikotin itu lalu menghisapnya hingga aku terbatuk karena tidak terbiasa. Semenjak Kanaya pergi hidupku selalu sepi juga hampa. Sekedar memejamkan mata kala malam tiba pun terasa begitu sulit, walaupun badan terasa lelah dan menuntut untuk diistirahatkan. Tapi apalah daya, angan tetap saja berkelana memikirkan keberadaan istri.

Kenapa menjadi seperti ini? Sebenarnya ke mana Kanaya pergi. Kenapa dia tidak kunjung kembali?

Mematikan rokok, beranjak masuk dan menghempaskan tubuh dengan kasar di atas kasur. Ya Tuhan. Aku merindukan Kanaya. Aku butuh dia, apalagi sudah beberapa hari tidak menyalurkan hasrat biologisku kepadanya.

Mencoba memejamkan mata, namun baru beberapa detik aku terlelap, tangis seseorang di ruang tamu membuatku kembali terjaga. Buru-buru aku menyibak selimut, berjalan gontai menuju sumber suara sambil meraba tembok mencari sakelar lampu. Dan seperti biasanya, ruangan dalam keadaan kosong ketika penerangan rumah murah menyala.

Shit!

Menguyar rambut frustrasi, lama-lama bisa gila kalau terus menerus seperti ini. Aku harus bangkit. Melupakan, bahkan mungkin mengikhlaskan jika nantinya Kanaya tidak akan kembali.

Tapi, rasa cinta untuknya masih terlalu besar. Bahkan kecantikan serta kemolekan Santi tidak mampu menggantikan posisinya. Aku mengagumi wanita itu, tetapi tidak bisa mencintai dia seperti aku mencintai Kanaya.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir jika Kanaya mau mempercantik diri, perbedaan antara dirinya dengan Santi bagaikan langit dan bumi. Kanaya itu berkulit putih dengan tubuh tinggi semampai serta body bagai gitar Spanyol. Namun entahlah. Semenjak dia menikah denganku, ia sudah seperti wanita berusia tiga puluh lima tahunan. Selalu kumal dan tidak mau berdandan. Jika aku menyuruhnya memakai bedak, dia malah hanya mengenakan bedak milik Thalita.

“Kalau mau istri kamu cantik ya belikan bedak dan lipstik, Mas. Cantik itu perlu modal, nggak gratis. Kalau kepengen kulit aku seperti saat masih gadis ya dibelikan skincare, dimodalin. Mau istrinya cantik tapi nggak mau mengeluarkan uang. Bagaimana istrinya mau cantik kalau cuci muka saja pakai sabun mandi. Bedakan pakai bedak bayi!” jawab Kanaya panjang lebar jika aku mengingatkan dia untuk berdandan.

Padahal, mempercantik diri di depan suami itu wajib dan mendapatkan pahala. Tapi tidak untuk istriku. Dia tidak pernah mau menuruti apa kataku dan malah merongrong uangku jika diingatkan. Padahal jika dia bisa menghemat uang yang aku berikan, maka dia bisa membeli apa saja yang dia mau termasuk kosmetik. Tapi Kanaya begitu boros. Uang yang aku berikan selalu saja habis tak tersisa seperak pun.

“Kamu pikir uang lima puluh ribu itu banyak banget, Mas. Buat belanja sayuran dan bumbunya saja sudah habis. Belum nanti jika dedek minta jajan!” sungutnya jika diingatkan untuk berhemat.

Kanaya memang keras kepala. Untung saja cantik dan aku sangat mencintai dia. Kalau tidak, sudah aku tendang sejak pertama kami menikah, apalagi setelah fisiknya mulai berubah.

Duduk di tepi ranjang, aku mengusap wajah kasar sambil menatap lemari baju yang berdiri tegak di samping ranjang. Sekali lagi memeriksa baju Kanaya, dan memang tidak ada yang dia bawa walau hanya sepotong saja. Aku hafal betul bentuk baju Kanaya yang hanya itu-itu saja, bahkan semuanya model lama. Baju yang dia bawa saat dia baru menjejakkan kaki di rumah ini. Makanya aku malas membawa dia ke acara-acara penting. Malu sama teman-teman karena dandanan Kanaya selalu kampungan.

Istri pemilik toko kelontong yang terkenal banyak uang kok bajunya itu-itu saja. Tidak menghargai status suami yang dipandang hebat oleh para tetangga, karena sudah sukses walaupun masih muda.

“Mas Gunawan. Bagaimana kabar Mbak Naya. Sudah dua hari saya tidak bertemu sama dia. Apa dia sakit?” sapa Ustazah Fauziah ketika aku hendak berangkat ke toko.

“Alhamdulillah sehat, Ustazah. Cuma dia belum mau keluar. Masih syok karena kehilangan putri kami,” dustaku. Padahal aku sendiri juga tidak tahu bagaimana kabar istri saat ini.

“Maaf, Mas Gunawan. Kalau bisa, setiap habis magrib diadakan tahlilan. Kalau di rumah nggak bisa, kita adakan di musala juga nggak apa-apa.”

“Saya ngadain tahlilan di rumah Ibu, Ustazah.”

Dahi guru ngaji anak serta istriku itu berkerut-kerut.

“Tapi, di rumah Bu Purwanti tidak pernah mengadakan tahlilan loh, Mas. Saya pernah memberi usul tapi Bu Pur malah marah-marah dan katanya tidak perlu. Dia bilang Cuma buang-buang uang saja, begitu, Mas.”

Kini giliran dahiku yang mengernyit. Bukankah semalam dia mengadakan tahlilan, bahkan sampai menghabiskan dana sebesar lima belas juta?

“Ya sudah, Ustazah. Nanti tolong diatur saja untuk masalah tahlilan. Soal biaya biar saya yang tanggung. Ustazah tinggal catat apa yang sudah dibeli, nanti uangnya saya ganti. Ustazah tahu ‘kan, kalau uang saya banyak dan tidak akan pernah habis tujuh turunan.”

“Baik, Mas Gunawan.” Dia menerbitkan senyuman.

Kami mengakhiri obrolan karena dia hendak mengisi tausiah di masjid komplek. Pun dengan diriku yang harus segera pergi bekerja, mengumpulkan pundi-pundi rupiah supaya semua orang yang ada di sisiku hidup bahagia.

Sebelum pergi ke toko, aku menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Ibu, berniat mengklarifikasi ucapan Ustadah Fauziah tadi. Jika ternyata di rumah Ibu mengadakan tahlilan, berarti ustazah bohong. Tapi jika memang benar Ibu tidak mengadakannya, maka aku tidak akan lagi percaya kepada Ibu, walaupun dia wanita yang telah melahirkan diriku.

Memarkirkan sepeda motor, berjalan mengendap masuk tidak mau mengucap salam. Ingin tahu apa yang sedang Ibu lakukan jika sedang berada di rumah.

“Enak ya, punya anak bisa diporotin. Bodoh lagi. Gampang ditipu. Makanya Ibu seneng banget pas Gunawan ngasih kabar kalau Kanaya pergi. Akhirnya wanita benalu itu pergi. Mudah-mudahan orang-orangnya Ibu bisa menemukan Kanaya dan menghabisi dia. Nggak mau Ibu kalau harta warisan Gunawan sampai jatuh ke tangan Kanaya dan anak-anaknya. Enak saja, Ibu yang sudah mengurusnya dari kecil, orang lain yang menikmati.” Entah dengan siapa Ibu sedang berbicara, tapi kata-kata yang keluar dari mulut wanita itu benar-benar mampu membuat hati ini terasa panas.

Sebenci itukah Ibu kepada Kanaya, hanya karena saat menikah dengan diriku dia dalam keadaan tidak suci. Jika saja Ibu tahu laki-laki yang sudah menodai Kanaya itu aku, apakah penilaiannya terhadap istri akan berubah?

Ehem!

Ibu menoleh dan terkesiap ketika aku berdeham. Wajah perempuan berkulit kuning langsat itu berubah pias dan segera mengakhiri obrolannya.

Mataku menyipit ketika melihat kalung emas yang menggantung di leher Ibu. Ya, kalung itu adalah mas kawin yang aku berikan kepada Kanaya. Satu-satunya bukti penyatuan hubungan kami, dan Kanaya pernah bilang kepadaku kalau Ibu merebut paksa kalung emas itu dari dirinya. Tapi seperti biasa, aku tidak mempercayai ucapan Kanaya.

“Bu, siapa yang Ibu suruh untuk menghabisi Kanaya? Dan, kenapa kalung emas yang aku berikan sebagai mas kawin untuk Kanaya ada sama Ibu?” tanyaku berusaha menahan emosi.

“Ka—kamu salah dengar mungkin, Gun. Ibu tidak mungkin setega itu!” gagapnya.

“Tapi telinga aku tidak tuli, Bu. Sebenci itukah Ibu kepada istriku, sampai-sampai berniat menghabisi dia?!” sentakku. Untuk pertama kalinya aku meninggikan nada bicara di depan Ibu.

“Gun, Ibu cuma mau kamu bahagia. Ibu tidak sudi mempunyai menantu sudah tidak suci seperti dia. Memalukan!”

“Dan Ibu mau menguasai hartaku, Ibu juga mengatakan kalau aku ini bodoh!”

Mata Ibu membulat sempurna.

“Aku sudah mendengar semuanya, Bu. Ibu juga sudah mengambil secara paksa kalung itu ‘kan?” menunjuk leher Ibu, dimana kalung emas yang aku jadikan sebagai mas kawin sedang menggantung.

“Kanaya tidak pantas menggunakannya. Dia tidak pantas mendapatkan mahar dari kamu. Dia sudah tidak perawan saat menikah dengan kamu, Gunawan. Jadi kamu tidak perlu memberikan mas kawin sama dia, apalagi sampai membelikan kalung semahal ini!”

“Tapi aku yang mengambil kehormatannya secara paksa, Bu. Aku yang sudah memperkosa dia, demi obsesiku mendapatkan Kanaya!”

“Halah, nggak usah mengada-ada.”

“Terserah, Ibu mau percaya atau tidak.” Memutar badan, berjalan keluar tidak jadi mampir ke rumah.

“Pokoknya kalau sampai terjadi sesuatu kepada Kanaya, aku tidak akan segan-segan memperkarakan Ibu!” ancamku tanpa menoleh.

Kenapa keluargaku tiba-tiba berubah jahat seperti ini, Tuhan!

Menstater motor, melajukan kendaraan roda duaku membelah jalanan kota dengan kecepatan maksimal, sambil terus memikirkan ucapan Ibu juga keadaan istri.

Brak!

Tubuh ini terpental beberapa meter ketika sepeda motor yang sedang kukemudikan tiba-tiba menghantam pengendara lain yang sedang melintas. Tubuh ini berguling di atas aspal, darah segar terus mengucur dari pelipis serta hidung. Aku mengerang kesakitan akan tetapi tidak ada seorang pun yang berinisiatif menolong. Mereka hanya menonton dari kejauhan dan sibuk mengambil gambar, padahal cairan merah nan hangat terus saja mengucur hingga baju yang sedang kukenakan basah oleh darah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dimas Adrian
m*mpus lu apa yang lu tabur itulah yang lu tuai.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Aku Menyerah, Mas!   Bertemu Kanaya

    Aku terus saja mengusap darah yang mengalir melewati mata. Kepala terasa berdenyut, dan tubuh terasa remuk akibat hantaman keras tadi. Kulit juga terasa perih karena memarut aspal.Ya Allah, sakit sekali rasanya. Apalagi tidak ada seorang pun yang mau membantu, atau sekedar mendekat ke tempat kejadian. Bagaima jika aku sampai kehabisan darah dan mati?Suara sirine mobil polisi terdengar mendekati. Aku sedikit bernapas lega, setidaknya akan ada yang membawaku ke rumah sakit. Dua orang polisi akhirnya turun menghampiri, menanyakan keadaanku lalu membantuku untuk masuk ke dalam mobil. Saat hendak masuk ke dalam mobil tersebut tiba-tiba kepala ini terasa pusing. Bumi tempatku berpijak seolah ingin menelanku lalu menenggelamkannya. Semua terasa gelap, hingga ketika membuka mata aku sudah berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan tubuh yang terasa lemas seperti tidak bertenaga.Aku terus menoleh ke arah kanan dan ke kiri, tidak ada seorang pun yang menemani. Berbeda dengan pasien sebe

  • Aku Menyerah, Mas!   Sakit!

    “Nay?” panggilku, membuat dua orang yang sedang saling memandang terkesiap dengan mata membola sempurna. “Ternyata benar ‘kan, selama ini kamu bersembunyi di rumah Dilan?!” Kanaya membuang pandang menghindari tatapanku. Mendekati istri, menggenggam jemarinya akan tetapi dengan sigap Kanaya melepaskan tangannya dari genggamanku. Bibir wanita itu terkatup rapat. Matanya terus menatap tembok tanpa mau memindai wajahku. Tidakkah kamu tahu, Kanaya. Aku begitu merindukan kamu? “Mas minta maaf atas semua yang telah terjadi, Nay. Tolong jangan diamkan Mas seperti ini. Diam kamu itu menghancurkan perasaan Mas.” Perempuan bermata sayu itu bergeming. Bibirnya tetap terkatup enggan mau menjawab. Ya Tuhan, rasanya sakit sekali diabaikan seperti ini. “Tolong jangan ganggu Naya dulu, Gun. Biarkan dia diperiksa oleh dokter!” Dilan berujar seolah dia memiliki hak atas diri Kanaya. “Diam kamu, Dilan. Jangan banyak bacot!” Menarik kerah baju pria bermata sipit tersebut sambil menatap sengit kedu

  • Aku Menyerah, Mas!   Jangan Sentuh!

    P0V Kanaya.Membuka mata perlahan, lalu menyipitkannya karena cahaya yang menyilaukan. Aku mengedarkan pandang sebab tiba-tiba tiba sudah berbaring di dalam kamar berukuran cukup luas dengan tirai sebagai pembatas. Sepertinya saat ini sedang berada di puskesmas. Tapi, siapa yang membawaku ke sini? Sebab seingatku tadi sedang berjalan menyusuri kota berniat ke makam Thalita yang jaraknya lumayan cukup jauh dari rumah. Tirai pembatas terbuka. Seraut wajah tampan yang selalu membuat hatiku bergetar muncul sambil mengulas senyum terindah yang biasa dia suguhkan."Kenapa aku ada di sini, Dil?" tanyaku dengan suara lemah seperti tidak bertenaga.Laki-laki dengan postur tinggi besar itu menarik kursi lalu mengenyakkan bokongnya perlahan."Tadi ada warga yang menemukan kamu dalam keadaan pingsan di jalan, Nay. Dia lalu membawa kamu ke sini. Kenapa kamu bisa pingsan di jalan, dan setelah aku periksa ternyata kamu dehidrasi juga kelaparan?" ungkapnya dengan mata sudah diselimuti kabut."Aku m

  • Aku Menyerah, Mas!   Trauma

    “Nay, aku Cuma mau mengeringkan baju kamu. Nanti kamu masuk angin.” Dilan berujar dengan nada parau.Aku meremas selimut yang menutupi sebagian tubuhku. Rasa takut serta trauma terus saja menghantui pikiran.“Tolong tinggalkan aku sendiri, Dil,” lirihku tanpa berani menatap netra lawan bicaraku.Dilan mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. “Kamu itu butuh teman, Kanaya. Butuh kawan untuk berbagi. Izinkan aku membantu kamu mengikis luka yang sudah mengarat di dinding hati kamu. Kita masih sahabat ‘kan? Dan selamanya akan begitu, walaupun sebenarnya aku selalu berharap lebih.” Aku mendongak menatap wajah teduh Dilan. Sebenarnya tidak salah dia memiliki perasaan lebih kepadaku. Yang salah, dia masih berharap bisa menikahiku walaupun nyatanya sedari dulu hubungan kami selalu ditentang. Apalagi saat ini statusku masih sebagai istrinya Mas Gunawan. Pasti akan semakin bertambah rumit urusannya.“Tinggalkan aku sendirian, Dil. Aku mohon.”Dilan segera beranjak da

  • Aku Menyerah, Mas!   Aku yang Sudah Menodainya!

    Dokter Fatihah membawaku ke sebuah ruangan bernuansa merah muda dan meminta asistennya untuk membantuku berbaring di atas brankar. Aku menurut saja saat dokter menyuruhku berbaring dengan posisi seperti orang mau melahirkan, memeriksa kandunganku menggunakan alat ultrasonografi transvaginal. Karena menurut prediksinya usia kandunganku baru menginjak minggu ke lima, jadi harus menggunakan alat seperti itu agar hasilnya lebih akurat. Dengan perasaan berdebar memindai layar yang menggantung di dinding, menatap dengan takjub makhluk ciptaan Tuhan yang masih berbentuk janin berukuran sebesar biji wijen itu. Bahkan aku bisa mendengar detak jantungnya yang terdengar seperti laju kuda. Entah harus bahagia atau sedih mendengar kabar ini, karena keadaanku serta rumah tanggaku bersama suami sedang berantakan. Setalah melakukan pemeriksaan dokter kembali membawaku ke ruang rawat inap dan ternyata di sana Dilan sedang menunggu dengan cemas. “Kamu di sini, Dil?” tanyaku karena hari ini dia harus

  • Aku Menyerah, Mas!   Aku yang telah menodainya 2

    Ada yang tersentil di dalam sanubari mendengar sanjungan dari Bu Septi. Dia itu bukan pekerja keras, tapi melakukannya karena terpaksa. Sebab aku suaminya, Raditya Gunawan yang terkenal kaya raya serta sukses telah mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Aku selalu mementingkan orang lain, gila pujian tapi lupa untuk membahagiakan hati istri.“Bagaimana, Mas Gunawan. Mbak Nayanya ada nggak?”“Em ... Sepertinya dia sudah tidak mau lagi bekerja, Bu. Naya sedang kurang enak badan. Mungkin dia masih terpukul karena kepergian anak semata wayang kami.”“Oh, begitu? Ya sudah. Salam buat Mbak Naya. Sekalian mau nitip gaji minggu kemarin yang belum saya bayarkan.” Dia menyodorkan amplop dan ketika kubuka berisi tiga lembar uang merah dan satu lembar uang biru.Aku meremas amplop berisi uang hasil keringat istri setelah Bu Septi pamit pergi. Hati ini terkoyak. Rasa bersalah terus saja menghakimi hati, apalagi ketika menuntut dia untuk selalu masak makanan enak sementara ternyata ua

  • Aku Menyerah, Mas!   Tidak Pernah Memedulikan Perasaannya

    “Kenapa Naya bisa pergi sama Dilan, Gunawan? Sebenarnya apa yang terjadi antara kalian berdua?!” Suara bariton Ayah menyentakku dari lamunan.“Dia marah karena menganggap akulah penyebab kematian anak kami, Yah. Dia juga marah karena selama ini diperlakukan seperti pembantu oleh Ibu serta Adelia.” Aku menjawab takut. Ingin menutupi masalah sebenarnya, takut Ayah lebih marah jika mendengar kabar itu dari Arimbi. Lebih baik jujur apa pun risiko yang harus aku tanggung nanti.Buk!Lagi dan lagi, kepalan Ayah mendarat di rahangku. Padahal luka bekas kecelakaan serta luka bekas pukulan di rumah tadi masih terasa sakit. Ini malah ditambah lagi. Tapi aku harus menerima semua itu, karena memang pantas mendapatkannya.Setelah amarah Ayah mulai mereda, dengan perasaan berdebar kulajukan motor yang baru saja kubeli menyusuri jalanan kota menuju rumah Dilan. Tidak lupa juga melaporkan kepada warga serta ketua rukun tetangga kalau di kompleks yang mereka tinggali ada dua orang yang tinggal serumah

  • Aku Menyerah, Mas!   Hukuman dari Tuhan

    Setelah menepikan sepeda motor di parkiran. Buru-buru berjalan menaiki undakan teras pasar menuju ruko tempat dimana aku membuka usaha serta mengais rezeki.Dengan langkah gontai mengayunkan kaki mendekati kios, membuka rolling door dan menelan saliva melihat isi toko yang terlihat berantakan. Semua tabung gas baik yang ukuran kecil maupun yang ukuran terbesar telah raib, pun dengan galon-galon air mineral. Brangkas juga dalam keadaan rusak dan uang hasil penjualan selama dua pekan yang belum sempat aku setor ke bank habis tanpa sisa seperak pun.Aku menjambak rambut sendiri sambil duduk terpekur di pojok ruangan, menangisi nasib buruk yang tengah menimpa diriku."Mas Gunawan yang sabar, ya?" Mengangkat wajah ketika mendengar suara berat Pak Haji Haeroni."Terima kasih, Pak.""Kembali kasih. Insya Allah ada hikmah di balik musibah yang menimpa, Mas!""Iya, Pak!""Ya sudah, saya permisi dulu. Ada yang beli."

Bab terbaru

  • Aku Menyerah, Mas!   Ending

    Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari halaman pusat perbelanjaan. Salwa kembali memejamkan mata, sementara aku berusaha untuk tetap fokus mengemudi.Sesampainya di rumah kembali kugendong perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu, merebahkannya di atas pembaringan kemudian membantunya melepaskan hijab yang menutup kepala.“Mas buatkan teh hangat mau?” tawarku dengan intonasi dibuat selembut mungkin.“Kalau tidak merepotkan. Aku mau salat isya dulu tapi.” Dia menjawab dengan nada pelan, persis seperti orang sedang berbisik.“Mas tidak pernah merasa direpotkan oleh kamu.” Beranjak dari bibir ranjang, mengayunkan kaki perlahan menuju dapur kemudian lekas menjerang air dan membuat segelas teh manis hangat untuk istri.Saat kembali ke dalam kamar aku lihat wanita yang selalu kulukai hatinya itu tengah melakukan ibadah wajib empat rakaat, lalu bermunajat serta berzikir sebelum akhirnya menghampiri diriku yang sedang duduk d

  • Aku Menyerah, Mas!   Menghabiskan Waktu Bersama

    Sesuai janji, selepas magrib aku mendatangi tempat yang sudah kami janjikan. Aku sengaja datang terlebih dahulu, supaya nantinya Dilan serta Kanaya tidak perlu menunggu lama-lama. Tidak enak karena semua masalah ini berasal dari Salwa, dan mereka harus membuang-buang waktu berharga mereka untuk menemui kami. “Assalamualaikum!” Aku menoleh mendengar suara berat seorang laki-laki mengucapkan salam. Dilan berdiri sambil menggandeng tangan mantan istriku, menampakkan kemesraan serta keserasian antara keduanya. “Waalaikumussalam, silakan duduk, Dil, Nay.” Mempersilakan mereka untuk duduk. Salwa menundukkan wajah ketika melihat sepasang suami istri itu datang. Sementara aku terus berusaha menahan degup jantung yang terasa semakin tidak karuan saat menatap ke arah Kanaya yang terlihat semakin memesona. Dia begitu anggun, cantik meski tanpa polesan. “Mbak Salwa apa kabar?” Perempuan di sebelahku terlihat gugup ketika Kanaya menyapanya.

  • Aku Menyerah, Mas!   Tabayun

    [Assalamualaikum, Dil. Bisa ketemuan nggak? Ada hal penting yang ingin saya dan istri bicarakan] Segera mengirimkan pesan kepada Dilan, berniat mengajak dia bertabayyun agar masalahku dengan istri tidak berlarut-larut.[Waalaikumussalam, ada apa? Kebetulan besok saya off. Insya Allah bisa.] Balas pria keturunan Tionghoa itu.[Jangan lupa ajak Kanaya juga.][Loh, memangnya ada keperluan apa dengan istri saya?][Pengen meluruskan masalah antara saya dan dia. Biar Salwa istri saya tidak terus menerus curiga.][Oh, baik kalau begitu. Nanti biar saya sampaikan kepada istri.][Terima kasih atas pengertiannya. Maaf mengganggu waktunya.][Sama-sama.]Aku segera meletakkan ponsel di atas nakas, kemudian kembali berbaring di sebelah Salwa yang sepertinya sudah terlelap. Semoga saja besok tidak ada halangan, dan semua masalah serta kecurigaan Salwa lekas pergi dari hidupku ini.Samar-samar

  • Aku Menyerah, Mas!   Mengajaknya Tabayun

    Aku segera menyalami tangan mertua dan mencium bagian punggungnya dengan takzim ketika melihat dia beranjak dari kursi. Pun dengan Salwa.“Titip Salwa, Gunawan. Assalamualaikum!” ucapnya lagi, sembari menepuk pelan pundakku ini.Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, sambil melirik ke arah istri yang tengah berdiri di sisiku.“Dek ...,” panggilku pelan, seraya berjalan menghampiri istri.“Maaf, Mas. Aku mau istirahat. Dan perlu kamu tahu, aku tidak pernah selingkuh dengan siapa pun. Aku masih tau batasan juga takut dengan dosa. Walaupun aku tahu suamiku tidak mencintai aku, tetapi aku akan selalu berusaha setia.” Dia berujar sambil berjalan menuju kamar tamu.“Salwa dengerin Mas dulu. Mas tahu kamu tidak pernah membagi cinta dengan siapa pun. Begitu juga dengan Mas. Mas percaya sama kamu, dan aku mohon, agar kamu juga percaya sama Mas!” Mencekal lengannya lalu menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukan. Dia berusaha member

  • Aku Menyerah, Mas!   Malu

    Tuhan, di mana pun dia berada, tolong lindungilah Salwa. Dia pergi karena mungkin sudah tidak bisa memendam lagi amarahnya kepadaku. Meskipun dia wanita sholehah serta taat, tetapi Salwa juga manusia yang tidak pernah luput dari dosa. Hatinya juga hanya terbuat dari sebongkah daging yang mudah sekali terluka.“Abah sama ummi juga sudah mencari Salwa ke rumah-rumah saudara, tapi dia tidak ada di sana. Kemarin ponselnya sempat aktif, sekarang nomor sudah tidak bisa lagi dihubungi.” Abah kembali berujar, dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca. Gurat kekhawatiran terlihat jelas di kedua sorot netranya, membuat diri ini semakin bertambah merasa bersalah.“Saya janji, secepatnya akan menemukan Salwa dan membawa dia pulang, Bah!”“Terima kasih, Gunawan. Kamu memang seorang suami yang baik.” Lelaki berkemeja biru tua itu menepuk pundakku. “Abah juga akan membantu mencari Salwa semampu Abah. Semoga anak itu segera ditemukan. Abah sangat khawatir dengan keadaann

  • Aku Menyerah, Mas!   Mencari Salwa

    “Ummi serius?” tanyaku memastikan.“Serius lah, Gun. Untuk apa Ummi berbohong. Memangnya kalian sedang ada masalah?” Ibu mertua menatap menyelidik.“Eh, ada Nak Gunawan. Ummi ini bagaimana, sih. Masa ada tamu malah nggak disuruh masuk?” Tiba-tiba abah sudah berada diantara kami. Dia lalu menyuruhku masuk, mempersilakan duduk serta menawarkan minuman.“Sebenarnya ada apa, Gun? Tadi kalau nggak salah denger, kamu nanyain Salwa. Memangnya dia ke mana?” tanya lelaki berkoko putih itu seraya menatap lamat-lamat wajahku.“Tadi dia pamit mau ke sini, Bah. Makanya saya susul, eh, ternyata malah nggak ada.” Aku menjawab takut, khawatir Abah marah dan menyalahkan diriku.Bapak mertua terlihat menghela napas perlahan. Dia lalu membuang pandang keluar jendela, seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin khawatir dengan putrinya juga kecewa kepadaku.“Saya minta maaf karena belum bisa menjadi suami yang baik buat Salwa, Bah!” ucapk

  • Aku Menyerah, Mas!   Aku Menyerah, Mas!

    Selesai mendengarkan ceramah, aku bergegas pulang dan mendapati Salwa sedang duduk di sofa, dan di dekat kakinya ada sebuah tas besar yang entah apa itu isinya. Apa dia dia benar-benar ingin pergi seperti perkiraanku?“Mas, aku mau minta izin pulang ke rumah Abah!” ucapnya pelan, bagai angin sedang berbisik.“Pulang ke rumah Abah? Maksud kamu apa, Dek?” Mataku membulat sempurna sekarang.“Sepertinya kita memang butuh waktu buat sendiri-sendiri dulu. Supaya kita bisa memahami letak kesalahan kita masing-masing!”“Kamu itu ngawur? Kenapa musti pulang ke rumah orang tua kamu? Kalau ada masalah itu diselesaikan dengan cara dewasa, Dek. Jangan dikit-dikit minggat. Dikit-dikit minggat. Aku nggak ngizinin kamu pergi!”Salwa menggigit bibir bawah. Matanya mengembun dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening meluncur melewati pipi putihnya.Duh, kenapa pakai acara nangis segala? Kan jadi nggak tega.“D

  • Aku Menyerah, Mas!   POV Gunawan

    Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas membuka mata, dan ternyata Dilan serta anak-anak sudah bersiap pergi ke mushola untuk melaksanakan sholat berjamaah. Kurang bahagia apa aku jika memiliki keluarga mendekati sempurna seperti ini. Masa iya harus menggoda mantan suami seperti yang dituduhkan Mbak Salwa? Rasanya sedikit lucu jika mengingat tuduhan tidak beralasan wanita itu.Selesai mandi, aku segera melaksanakan ibadah wajib dua rakaat, lalu berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta anak-anak. Menu nasi goreng campur sosis, telur serta ayam menjadi favorit semuanya, termasuk Dilan suamiku. Kalau memasak menu seperti itu, tidak akan tersisa walau hanya sesendok saja. Makanya aku paling semangat memasak hidangan tersebut."Ada yang bisa Cici bantu, Ma?" tanya Aisyah putriku seraya berjalan menghampiri."Cici potong-potong sosis sama suir ayamnya bisa?" "Bisa dong ...

  • Aku Menyerah, Mas!   Aku Mencintai Kamu

    “Maaf, Mbak? Maksud Mbaknya apa ya? Kok tiba-tiba datang ke rumah dan berkata seperti itu kepada saya?” tanyaku tetap berusaha santai, walaupun sebenarnya sedikit terkejut dengan pertanyaan perempuan di hadapanku ini.“Mbak paham lah, maksud saya apa!” Dia menjawab sambil menunduk.Aku semakin bingung. Bertemu dengan Mas Gunawan saja hanya beberapa kali, dan itu pun secara tidak sengaja. Masa iya mau mengganggu rumah tangga orang, sedangkan berbicara dengan mantan suami saja hampir tidak pernah. Lagian, aku sudah melupakan dia dan hidup bahagia bersama Dilan serta putra putri kami.“Jujur saya tidak mengerti maksud Mbak Salwa itu apa. Karena saya juga merasa tidak pernah mengganggu rumah tangga siapapun,” ujarku lagi, seraya menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya Mas Gunawan.Apa iya diam-diam mantan suamiku mengkhianati istrinya, dan Mbak Salwa mengira akulah wanita penggoda itu.Astaghfirullahaladzim...Tuh, kan,

DMCA.com Protection Status