Aku masih duduk terpaku ketika hampir semua orang yang ada di dalam ruangan keluar. Saat aku menoleh ke tempat Kanaya duduk pun ternyata perempuan itu sudah tidak ada di tempatnya.
Ya Rabb ... Bahkan keluar saja dia tidak ada basa basinya sama sekali kepadaku. Aku dianggap seonggok patung yang tidak memiliki perasaan.“Saya permisi juga, Pak!” menyalami dua orang petugas yang tadi menginterogasi lalu berjalan terseok keluar dari ruangan.Suasana sudah terlihat sepi di luar kantor polisi, karena sepertinya Kanaya beserta rombongan sudah meninggalkan tempat ini. Padahal, aku ingin sekali berbicara empat mata dengan mantan istri, melihat wajahnya walau hanya sekejap saja untuk melepas rasa rindu yang sudah bertakhta dalam kalbu.Menstater motor dengan tangan gemetar, aku terus saja memikirkan bagaimana nasib Ibu kedepannya jika aku sampai ditahan. Dia pasti bertambah depresi karena masalah ini.Ibu sedang duduk sendiri di teLamat-lamat terdengar suara Sang Muadzin mengumandangkan azan subuh. Alhamdulillah ternyata Allah masih memberiku kesempatan untuk menatap indahnya pagi hari, memberiku waktu memperbaiki diri sebelum malaikat Israil benar-benar diutus untuk mencabut nyawaku.Lekas menyibak selimut, turun dari tempat tidur dan segera melaksanakan ibadah wajib dua rakaat.Siang harinya, aku menyempatkan diri untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari yang tidak ada di toko, sekaligus ingin membeli buku tentang pelajaran Islam untuk aku bawa nanti selama aku mendekam dalam sel tahanan. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar tengah berdiri sambil membaca buku dengan mimik begitu serius, sampai-sampai tidak menyadari kehadiranku di sebelahnya.Alisku bertaut ketika dia malah tengah membaca buku yang sedang aku cari, bahkan di tangannya sudah ada beberapa buku sejarah Islam lainnya yang sepertinya hendak dia beli.“Kamu ngapain di tempat seperti ini, Di
“Bu, hati-hati jalan-jalannya ya. Aku sangat menyayangi Ibu, walaupun Ibu bukan orang tua kandungku!” mendaratkan ciuman singkat di pipinya, dan tanpa dikomando dua bulir air bening lolos begitu saja membasahi pipi.“Kenapa kamu menangis? Kamu mau ikut jalan-jalan juga?” “Ibu jalannya berdua saja sama Adel.” “Ya sudah. Dah ....” Ibu melambaikan tangan kegirangan. Padahal semalam, saat penyakitnya sedang tidak kambuh dia menolak untuk dibawa ke yayasan.Kini, tinggal aku sendiri, bersiap-siap untuk pergi memenuhi panggilan polisi karena besok sidang pertamaku akan digelar.Bismillah...semoga saja hukuman yang akan aku terima nanti akan menjadi penebus dosa serta memperkuat benteng keimanan yang sedang aku bangun secara perlahan.#Kanaya.Hakim telah mengetuk palu dan Mas Gunawan dijatuhi hukuman selama tujuh tahun dalam kurungan. Sebenarnya tidak puas dengan putusan hakim yang hanya menghukum mantan suami seringan itu. Aku maunya dia dihukum seumur hidup karena trauma yang dia torehk
Aku menghela napas dalam-dalam kemudian membuangnya secara perlahan. Sebenarnya aku sudah merasa kurang nyaman tinggal di rumah Dokter Ibrahim. Selain tidak mau terus merepotkan, aku juga merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan di balik sikap baik serta perhatiannya kepadaku. Aku merasa sepertinya dia memiliki perasaan lebih, dan aku takut menjadi terlalu banyak berhutang budi kepadanya hingga akhirnya mau tidak mau harus menerima pinangan darinya juga menjadi ibu sambung untuk anak-anaknya. Astagfirullah ....Kenapa pikiranku malah jadi ngelantur seperti ini?“Tuh, ‘kan, melamun lagi?” protes Dilan.“Ayo kita pulang. Atau, mau aku anter ke rumah orang tua kamu?”Aku terenyak sesaat. Tidak mungkin juga aku pulang ke rumah Ayah, karena aku masih trauma dengan tempat itu. Semuanya kini benar-benar menjadi dilema untukku. Ingin meminta dicarikan kontrakan, aku takut tambah merepotkan Dilan, karena aku tidak memiliki uang sama seka
“Maaf, Bunda. Tapi saya tidak mencintai Dokter Ibra. Saya juga masih kepingin sendiri dulu, belum berpikir untuk mencari pengganti Mas Gunawan!” tolakku secara halus, tidak berani menatap wajah Bunda.“Witing tresno jalaran soko kulino. Wes, Bunda nggak mau tau. Pokoke setelah melahirkan kalian nikah!”Ya Allah ... kenapa malah jadi seperti ini? Aku tidak mau menikah dengan Dokter Ibrahim, karena memang tidak ada rasa cinta sama sekali kepadanya. Memang cinta bisa datang kapan saja jika kita sudah hidup bersama. Tapi, bagaimana dengan perasaan Dilan? Dia yang sudah menjagaku dari kami remaja selama bertahun-tahun lamanya. Masa iya aku harus kembali menikah dengan laki-laki lain dan mematahkan hatinya?“Sekarang kamu pikirkan baik-baik, Kanaya. Hidup kamu akan terjamin jika menikah dengan anak saya. Kamu tidak akan disakiti seperti saat hidup dengan mantan suami kamu itu!” Bunda menarik kruk lalu berjalan tertatih menuju kamarnya meninggal
“Enggak, Dok. Saya tidak kepengen apa-apa. Saya makan yang ada saja.”Buru-buru mengambil piring, menyendok nasi lalu menyantapnya setelah membaca doa.Dokter Ibrahim tersenyum melihat aku makan dengan lahap sampai menjilati sisa-sisa makanan yang tertinggal di jari-jari.“Kalau lapar jangan ditahan-tahan, Nay. Kamu sendang hamil dan butuh asupan gizi yang banyak. Kalau kepengen sesuatu juga jangan segan meminta sama saya. Insya Allah saya belikan.”Aku menertibkan senyuman, mencoba menghilangkan kecanggungan yang sedang aku rasakan.“Terima kasih, Dokter.”“Kembali kasih. Sudah, makan lagi yang banyak!” “Dok, sepertinya besok saya akan pulang ke rumah orang tua saya.”Mata si pemilik rahang tegas itu membola. Dia menghentikan aktivitas menyantap kue nastar dan menatap wajahku sekilas.“Ada apa? Kenapa tiba-tiba kamu mau pergi dari rumah ini, Nay? Apa diantara kami ada yang menyakiti
“Dilan? Ya Allah ...!” Segera melepas sabuk pengaman, membuka pintu mobil kemudian berjalan setengah berlari masuk ingin tahu apa yang terjadi.“Hati-hati, Nay. Kamu jangan lari-larian seperti itu. Kamu sedang hamil!” seru Dokter Ibrahim seraya berlari mengejarku.Langkahku terayun cepat membelah orang-orang yang sedang menyemut, hingga kaki ini terhenti ketika melihat sesosok laki-laki sedang duduk terpekur sambil menangis di samping peti jenazah. Jantungku juga berdenyut nyeri saat seorang perempuan berambut panjang terus saja mengusap punggung si lelaki, menatapnya dengan penuh kekaguman serta cinta.Ah, mungkin seperti ini yang dia rasakan ketika melihat aku bersama mantan suami dulu. Sakit, perih hingga meresap ke pori-pori.“Dilan?” Bibir ini mengucap pelan, memanggil nama pria yang begitu aku cintai.Tuhan, terima kasih karena Engkau masih memberiku kesempatan untuk melihat dia. Tadinya aku pikir dia terlah pergi meninggalkan dunia juga diriku. Bisa apa aku jika tidak ada Dilan
Aku hanya diam tidak tahu harus menjawab apa. Rasanya malu jika harus mengumbar perasaanku kepadanya, sementara statusku ini hanyalah seorang janda yang baru saja bercerai dengan sang suami. Pasti jika ada orang lain mendengar dan tidak tahu perjalanan hidupku bersama Mas Gunawan, mereka akan menganggap kalau Dilan sebagai perusak rumah tangga orang, ataupun sebaliknya. Mereka akan mengira kalau aku diceraikan gara-gara ada pria idaman lain yang sudah menggoyahkan perasaanku terhadap mantan suami.“Oke. Diam kamu saya artikan iya. Saya akan mendukung kamu dan ikut mendoakan supaya Dilan lekas mendapatkan hidayah dari Allah, Nay. Biar kalian bisa bersatu. Aku merasa kasian melihat kalian berdua terus menerus seperti ini. Saling mencintai, tapi tidak bisa saling memiliki karena ada jurang yang memisahkan.”“Aamiin ....” Mengaminkan segala doa-doanya.“Saya juga salut dengan kesetiaan Dilan!” pujinya lagi.Aku kembali mengusap perut, karena t
“Kamu mau apa, Dilan?!” sentakku sedikit takut.“Memangnya aku mau apa, Nay? Sejak tadi aku duduk nggak ngapa-ngapain, Cuma liatin kamu yang terlihat sedang bertingkah aneh!” sanggahnya.Aku menajamkan mata, menatap pria tampan yang sedang bersedekap sambil menyandarkan punggungnya di penopang kursi.Ya Allah ... ternyata imanku begitu lemah, bahkan sampai membayangkan hal yang tidak-tidak. Padahal aku sangat yakin kalau lelaki yang sedang duduk di sebelahku itu tidak akan pernah berbuat macam-macam terhadap diriku."Kamu piktor, ya?" Dia terkekeh, membuat wajah ini mungkin sudah bersemu merah seperti tomat ranum."Nikah, yuk! Biar kamu nggak pernah berpikir macam-macam sama aku!""Sekarang?""Kalo kamu mau!""Nggak bisa, Dilan. Masa idah aku belum habis, karena wanita yang baru dicerai oleh suaminya itu bisa menikah lagi setelah masa idahnya selesai.""Sampai kapan?""Samp