[Nay, hari Minggu aku pergi ke Jogja. Apa kamu bisa menemuiku di taman?]
Sekali lagi mengirim pesan melalui short message service, berharap Naya akan membalasnya dan menemuiku kali ini.Aku tidak bisa pergi tanpa pamit kepada perempuan itu, sebab bagiku dia sudah menjadi separuh dari hidupku. Apa jadinya hidup ini tanpa melihat senyuman Kanaya.[Jam berapa, Dil? Insya Allah aku akan datang, mumpung Ayah lagi ke luar kota anter Ibu]Aku bersorak kegirangan membaca balasan dari Kanaya.Puji Tuhan, Engkau masih memberiku kesempatan untuk bertemu dengan dia.[Jam setengah empat, Nay. Sampai jumpa di taman, Sayang][Oke]Kami mengakhiri obrolan karena aku harus segera bersiap-siap. Dandan yang rapi untuk menarik perhatian sang kekasih hati.Memantas diri di depan cermin, menyisir rambut supaya terlihat tampan di depan Kanaya. Tidak lupa juga menyemprotkan parfum di tubuh dan setelah siapBertahun-tahun aku mengasingkan diri di kota tempatku menimba ilmu, berharap bisa melupakan rasa cintaku terhadap Kanaya walaupun nyatanya tetap tidak bisa.Aku terus saja meratapi serta menyesali keteledoranku yang telah mengakibatkan Kanaya kehilangan kehormatan, dan setelah aku mulai bisa melupakan dia, aku malah ditugaskan di sebuah puskesmas yang letaknya tidak jauh dari rumah Kanaya beserta suaminya. Hidupku memang dalam tangan Tuhan, dalam rencananya yang tidak bisa diduga-duga.Rasa sesak kembali merajai hati ketika tanpa sengaja melihat Kanaya sedang berjalan tergopoh sambil menggendong seorang gadis kecil dengan paras cantik seperti dirinya. Wajah wanita itu terlihat sembab serta kuyu, tidak menampakkan kebahagiaan sama sekali.Diam-diam aku mengikutinya, melihat dia diperlakukan tidak baik oleh Gunawan, membuat batin ini ikut merasakan parutan luka yang terus digoreskan oleh laki-laki itu.Setelah bertahun-tahun aku
Naik ke atas motor, mengenakan helmet lalu menyalakan mesin sepeda motor milikku meninggalkan pemakaman tanpa lagi memedulikan ekspresi Gunawan.Dari kejauhan aku melihat Gunawan melempar tentengan yang ada di tangannya, lalu menguyar rambut frustrasi.Selamat menikmati kehancuranmu, Pecundang.***Kanaya sedang duduk sendiri di teras sambil membaca buku. Aku lekas mengayunkan langkah mendekat, menyembunyikan tanganku di belakang tubuh ingin memberi dia kejutan."Hai!" sapaku seraya menyunggingkan bibir."Dil, sudah datang?" Dia membalas senyumanku, membuat dada ini berdegup kian kencang.Ah, Kanaya. Kenapa kamu selalu membuat aku jatuh cinta. Bisakah sedetik saja kamu tidak membuatku terpesona?"Bawa apa? Kok, tangan kamu diumpetin begitu?" dia melongok, ingin tahu apa yang aku bawa."Kamu gendong tuyul ya?" Aku terkekeh mendengar pertanyaan konyol yang terlontar dari mulu
“Iya, Sayang. Ada apa?” sapaku seraya membayangkan wajah cantik Kanaya yang sedang tersenyum ketika berbicara.“Emm ... enggak, Dil. Aku mau minta tolong tapi ngomongnya nggak enak sama kamu.”“Ada apa? Bicara saja, Nay.”“Kamu hari ini off ya?”“Iya. Memangnya kenapa?”“Hari ini jadwalnya aku kontrol kandungan, Dil.”“Terus?” Aku sengaja meledeknya, sebab aku paham betul sifat Kanaya yang suka tidak enak hati jika ingin meminta tolong.“Emm ... enggak deh, nggak jadi. Ya sudah, Dil. Aku mau sarapan dulu. Kamu jangan lupa sarapan juga.”Aku terkekeh. Dasar Kanaya. Tinggal bilang minta diantar saja susah sekali.“Iya. Tunggu aku di situ. Aku mandi dulu, habis itu aku antar kamu ke dokter kandungan.”“Terima kasih, Dil.”“Sama-sama.” Dia menutup sambungan telepon dan aku tersenyum bahagia karena pagi-pagi sudah mendengar indahnya suara wanita yang teram
“Ibu Kanaya!” Asisten dokter memanggil nama Kanaya dari ambang pintu.“Aku masuk dulu, Dil. Kamu tunggu di sini ya?”“Siap. Semangat!”Lagi, dia menerbitkan senyuman lalu segera masuk ke ruang periksa.Aku terus meremas jari jemari mengingat ayat-ayat yang aku dengar tadi. Tubuh ini terasa panas dingin juga merinding.Menyadarkan punggung di tembok. Tidak lama kemudian Kanaya keluar dengan senyum tersungging dan tangan kanannya mengelus perut.Aku langsung berjalan menghampiri, mengelus perut datarnya dan mendaratkan ciuman singkat.“Dil, kamu kok bengong?” Aku terkesiap ketika tiba-tiba Kanaya sudah ada di hadapanku.Ya Tuhan. Ternyata hanya khayalanku saja. Semuanya tidak nyata.“Eh, enggak, Nay. Kamu sudah selesai?” Menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.“Sudah.”“Bagaimana keadaan anak kita?” Kanaya menoleh menatapku cukup lama.“
Rekaman CCTV di pasar juga menunjukkan kalau Adelia dan Erwin yang datang ke toko dan menjarah barang-barang daganganku kemudian mereka jual ke penadah yang sekarang ini menjadi buronan polisi juga.Aku heran, kenapa Adel bisa setega itu terhadap kakaknya sendiri, padahal segala yang dia punya bersumber dari toko milikku.Meraup wajah kasar, menghempaskan tubuh di atas kasur sambil meratapi nasib diri sekarang ini. Ternyata aku tidak bisa apa-apa jika hidup tanpa Kanaya. Semuanya terasa sulit. Pintu rezekiku menyempit karena tidak ada yang mau mendoakan.Hari ini. Setelah sekian lama toko tidak beroperasi karena tidak ada barang maupun modal, akhirnya aku bisa kembali lagi berjualan setelah menjual rumah Adelia. Niat hati ingin menjual mobil, tapi karena polisi masih membutuhkan mobil tersebut untuk dijadikan barang bukti, jadi aku memutuskan untuk menjual rumah Adelia. Semoga saja usahaku bertambah maju dan hiduku
Aku lekas menepikan sepeda motorku di teras, berjalan setengah berlari menghampiri Ibu yang sedang berteriak histeris sambil membentur-benturkan kepalanya di tembok.“Ya Allah, Bu. Tolong jangan menyakiti diri sendiri seperti ini, Bu.” Menarik tubuh Ibu ke dalam pelukan berusaha menenangkan dia.“Sebenarnya ada apa, Bu Endang?” tanyaku penasaran.“Tadi Ibu keluar, ikut nimbrung sama ibu-ibu kompleks. Nah, katanya sama ibu-ibu disinggung masalah ....” Bu Endang menggantung kalimat.“Masalah apa, Bu?”“Masalah kasus pelecehan yang dilakukan Mas Gunawan dulu, juga karena tadi ada polisi datang mau nangkep Mas Gun.”Aku mengusap wajah kasar. Pusing, bingung harus bagaimana menghadapi masalah yang datang silih berganti ini.Tuhan. Terlalu berat hukuman yang Engkau jatuhkan kepadaku. Bolehkah aku menyerah, ya Rabb.“Ya sudah Bu Endang. Terima kasih sudah membantu saya. Ini, ada sedikit rezeki buat Ibu.” Menyodorkan selembar uang merah kepadanya dan perempuan bertubuh gempal itu lekas pulang
Spontan aku menatap wajah Ibu. “Nggak usah liatin Ibu seperti itu, memangnya Ibu setan? Ibu lapar. Belikan Ibu makanan!” perintahnya lagi. “Ibu goreng telur saja, Bu. Kalau nggak masak mie instan.” “Nggak mau. Ibu maunya makan lontong sayur yang pedes, kalau nggak soto Tegal yang ada di ujung jalan. Aku menghela napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Sabar, Gunawan. Ibu kamu sedang sakit. Pikirannya juga sudah kembali seperti anak kecil. Jadi kamu tidak boleh marah dan turuti saja apa yang dia mau. Mengambil dompet, berjalan keluar rumah sekalian olahraga pagi. “Assalamualaikum, selamat pagi, Pak Herman?” sapaku kepada tetangga sebelah yang sedang menyapu halaman. Dia hanya menoleh, tanpa menjawab sapaan dariku. Padahal setahuku, menjawab salam itu hukumnya wajib. Dan dia pasti lebih tahu akan hal itu. Pun dengan tetangga lainnya yang biasanya ramah, mereka tidak ada lagi yang mau bicara ataupun sekedar menyapa. Selain nantinya mendapatkan sanksi hukum, kini ak
Ayah melewatiku sambil menatap sinis kemudian duduk bersama orang tersebut. Pihak penyidik terus saja memberondong pertanyaan kepada kami satu persatu, bahkan mereka menanyakan kepada kanaya ciri-ciri orang yang melecehkannya dulu.Wajah perempuan berusia tiga puluh tahun itu terlihat pias, tapi dengan lancar mulutnya menjabarkan apa yang dia ingat.“Saya melihat ada tanda lahir di bagian pinggang pelaku, Pak!” katanya di akhir jawaban.“Tapi itu tidak bisa dijadikan bukti yang kuat, Bu.”“Saya melihat dia membekap Mbak Naya dari belakang, menyeretnya ke dalam bangunan kosong lalu melecehkan Mbak Kanaya. Saya sempat mau melaporkan kepada warga dan aparat setempat tapi tubuh saya gemetar sampai saya sakit selama lebih dari dua pekan saking syoknya melihat kejadian itu, sebab saya mempunyai anak sepantaran dengan Mbak Naya dan saya membayangkan jika itu terjadi kepada anak saya.Setelah saya sembuh, saya mendatangi rumah Pak Heru