Setelah Ibu mertua pulang, kulihat raut wajah Mas Rizwan seperti sedang gelisah. Dia sepertinya tertampar dengan semua keberanianku padanya barusan. Kubiarkan dia sementara untuk berfikir, mungkin dengan berfikir sejenak otaknya bisa kembali normal.
"Laila buatkan aku makan malam!" kesal sekali saat Mas Rizwan memintaku membuatkan makan malam. Padahal sudah jelas jika aku meminta semua kepada Ibu mertua untuk merawat Mas Rizwan. Enak saja minta buatkan makan, memberi nafkah sebagai kewajibannya saja pelit."Aku tidak pegang uang, Mas. Minta saja sama ibumu! Masa sih kamu tidak punya uang untuk beli makanan dan kalau tidak ada makanan, beli dong!" jawabku saat melihat Mas Rizwan nampak gusar.Mungkin dia akan semakin pusing mendengar pertanyaan bertubi-tubi padanya. Baru kali ini aku melihatnya gusar seperti ini. Biasanya lagaknya kayak orang kaya dan tak butuh siapapun meski saat ini aku benar-benar ingin tertawa melihatnya dilanda rasa gundah."Belikan nasi ayam dan ini uangnya!" Mas Rizwan memberikanku uang dan menyuruhku pergi membelikan dia makanan."Yaelah! uang sepuluh ribu dapat apa, Mas? tempe penyet saja dua belas ribu. Beli sendiri sana, aku mau tidur! Lelah dihina kamu sama ibumu terus," ucapku dan segera menutup kamar. Kuambil selimut untuk membungkus tubuhku supaya segera terlelap dalam keheningan malam meski saat ini masih sore.Tok tok tok"Kamu tidak makan?" tanya Mas Rizwan sambil mengetuk pintu kamarku. Enggan sekali aku membuka pintu kamar namun aku juga tak bisa membiarkan suamiku di luar. Akhirnya dengan terpaksa aku berjingkat untuk membuka pintu kamarCeklek"Aku sudah kenyang dan tidak lapar karena sudah kenyang dengan hinaanmu! belanjakan saja uangmu untuk dirimu sendiri dan juga ibumu, asal jangan merepotkanku" ucapku dengan ketus. Segera kututup kembali pintu kamarku daripada harus melihat suamiku dan membuatku sangat kesal. Baru mau menutup pintu, Mas Rizwan menahan supaya tidak tertutup."Kamu kenapa jadi begini sih? kamu tau apa, capeknya mencari uang," ucap Mas Rizwan sepertinya ingin mengungkit lelahnya mencari uang padahal menjadi Ibu rumah tangga bagiku sudah cukup melelahkan."Mas Rizwan yang baik hati dan sangat dermawan. Apa kamu tidak ingat aku berhenti bekerja karena perintahmu. Asal kamu tahu, gajiku dulu lebih banyak dari pada gajimu tetapi aku bersedia berhenti bekerja karena aku mengabdikan diri padamu. Dan mulai besok, jangan lagi menyuruhku berhenti kerja karena kamu sendiri tak memberiku nafkah yang layak!""Ayo sini kutunjukkan. Lihat isi lemariku!" kuajak suamiku menghadap ke lemari kayu jati. Lemari yang menjadi saksi ketidak adilan atas perlakuan Mas Rizwan padaku."Semua bajuku terlihat seperti gembel, beda denganmu dan ibumu yang selalu berpenampilan serba bagus dan baru. Jika aku mendapatkan nafkah yang layak, tidak mungkin bajuku seperti gembel begini," pungkasku sambil memperlihatkan isi lemariku. Kuambil satu dasterku yang sudah robek di bagian ketiaknya dan kutunjukkan padanya."Laila berani sekali kamu denganku!" bentak Mas Rizwan. Aku memutar bola mataku dengan malas ke arahnya, dia belum paham juga rasanya. Andai saja ada centong nasi, pasti aku sudah getok kepalanya biar tidak lama-lama konsletnya."Kamu saja bisa sesukanya padaku, masa aku gak bisa. Kalau tidak terima, silahkan ditalak, aku udah siap kok. Aku juga tidak akan minta harta gono gini dari suami pelit sepertimu!" ucapku menantang Mas Rizwan. Dia saja rumah memilih ngontrak, padahal aku sudah menyarankan dari dulu untuk menyisihkan sebagian uangnya yang nantinya bisa digunakan membeli rumah impian kami."Aku tak akan menceraikanmu!" bentak Mas Rizwan."Ya sudah kalau kamu masih tetap seperti ini sekalian genapkan tiga bulan, biar aku bisa gugat kamu," ucapku sambil berlalu.Segera beranjak ke kamar dan membuka aplikasi hijauku. Gemes aku rasanya punya lelaki modelam begini. Selalu tak pernah berpikir pakai otak. Entah dipakai untuk apa otaknya."|Kak penjualan online kamu banyak banget bulan ini. Besok aku transfer komisimu ditambah bonusnya|" pesan dari Lika adik kelasku dulu. Lumayan buatku bisa sedikit punya tabungan dari berjualan online tanpa menyetok barang atau bahsa kerennya dropship."|Wah, Lika. Terimakasih banyak. Semoga semakin lancar saja usahamu|" balasku."|Amin|" balas Lika.Lega rasanya usaha jualan onlineku laris manis, segera keluar kamar dan menuju dapur. Perutku lapar dan perlu di isi, untung saja aku tadi beli mie instan telur sama sawi, lumayan untuk pengganjal perut malam ini. Sebenarnya ada uang, cuma malas saja keluar, nanti Mas Rizwan bisa curiga denganku."Masak apa kamu?" tanya Mas Rizwan."Mie Instan, kenapa?" tanyaku balik."Bikinkan aku juga dong!" ucap Mas Rizwan. Benar-benar tidak tahu malu dan tidak tahu diri sama sekali."Mie Instan cuma satu bungkus, telur juga satu tidak cukup kalau dimakan berdua. Lagian kamu habis gajian, masa tidak mampu beli makanan. Tadi uangnya sudah aku berikan kamu semua padamu, Mas. Kalau lapar minta ibu sana, jangan merepotkan aku!" pungkasku sambil mengaduk mie instan yang mulai melemas di panci."Uangnya dipinjam Mbak Rina jadi tinggal uang bensin buat satu bulan," ucap Mas Rizwan dengan entengnya mengatakan jika uangnya dipinjam saudaranya."Ya sudah! itu resiko kamu. Lagian kamu juga tidak berpikir dulu kebutuhan kamu. Main memberi saja, kamu sendiri yang repot kan?""Kamu tidak ada uang?" tanya Mas Rizwan. Benar - benar lelaki tau malu, bahkan makan malam saja minta padaku."Tidak ada, kalau ada uang pasti aku makan yang enak - enak lah, bukan malah makan mie instan. Lagian ya, kamu seorang manager. Masa minta uang ke aku yang cuma buruh cuci, sehari dapatnya lima belas ribu," ucapku pura - pura tidak punya uang meski aku memiliki tabungan yang kusimpan dalam rekening yang kurahasiakan. Menjadi Dropshiper membawa keberuntungan padaku.Di waktu senggang aku menerima jasa mencuci pakaian dari tetangga. Meski tidak besar tapi aku bersyukur masih bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari."Ya sudah, aku makan ke Ibu saja malam ini," Mas Rizwan mengalah juga akhirnya. Mas Rizwan berdiri dan merapikan beberapa hwlai rambut yang dirasa berantakan."Jangan malam ini aja, kalau bisa seterusnya karena penghasilanku sehari cumal lima belas ribu dan tidak cukup untuk makan berdua," pungkasku."Tapi aku tidak bisa bawakan makanan buat kamu ya," ucap Mas Rizwan membuatku tertawa. Sama sekali aku tidak ingin makan masakan Ibu mertuaku."Mas, apa aku pernah minta apapun ke ibumu? Ya sudah pergi saja kesana, aku tidak minta makanan juga. Mending lima belas ribu perhari tapi tenang," heran deh punya suami pelit amat."Oh ya, sekalian tanyakan Mbak Rina kapan uangku dikembalikan. Memang tidak besar, cuma dua ratus ribu. Tapi itu bisa buat aku makan satu minggu. Ngakunya kaya tapi utangnya tidak dibayar-bayar," ucapku sambil melirik Mas Rizwan yang hanya terdiam menatapku bicara tanpa henti."Mbak Rina punya utang ke kamu?" tanya Mas Rizwan. Sepertinya dia terkejut saat aku bilang padanya atas kelakuan cantik kakaknya. Ah! apa peduliku."Iya Mas, tolong tagih, karena aku juga butuh makan," ucapku pura-pura memelas supaya uangku segera dikembalikan. 'sekeluarga pada doyan duit semua'Yuk saksikan kisah part selanjutnya dan jangan lupa follow cerita ini!Sepulang dari rumah Ibu mertua, wajah Mas Rizwan tampak lesu. Entah apa yang membuatnya lesu dan tak bergairah seperti itu. Tapi tidak munafik jika aku bahagia melihatnya seperti itu, kali aja dia sadar dan tidak konslet lagi."Gimana, Mas?" tanyaku dan menghampirinya yang sedang duduk dengan wajah lesu. Kukira dia akan berubaha bahagia setelah dari rumah ibunya namun ini malah sebaliknya."Katanya besok dibayar," ucapnya tanpa melihatku di sampingnya. Benar-benar aku disamakan dengan hantu yang tidak bisa dilihat."Oh, ya sudah, besok aku tunggu. Kalau tidak dibayar, biar aku samperin saja ke rumahnya," pungkasku dipenuhi rasa emosiku. Rasa emosiku sepertinya sudah mulai mendarah daging seperti ini. Biarkan jika nantinya aku dibilang seperti Mak Lampir yang penting bisa mengalahkan dan menyadarkan keluarga toxic ini."Kamu kenapa sih, uang dua ratus ribu aja diributin?" tanya Mas Rizwan saat melihatku sudah menggebu-gebu seperti Mak Lampir."Dua ratus ribu itu hasil menabungku selam
Hari ini aku mulai bekerja ketika semua pekerjaan rumah sudah kuselesaikan semua. Sementara asebekum berangkat, aku pergi ke rumah Mbak Rina untuk menagih uang dua ratus ribu yang dia pinjam. Aku sangat membutuhkan uang itu untuk perjalanan ke tempat kerja."Mbak Rina, Mbak Rina!" sengaja aku teriak-teriak memanggil Mbak Rina di depan rumahnya. Sengaja memang, biar suaminya tahu kelakuan istrinya padaku. CeklekAku tersenyum ketika seseorang yang aku tunggu dari kemarin sudah menunjukkan batang hidungnya, siapa lagi kalau bukan Mbak Rina. Heran aku, pagi-pagi tetapi penampilannya seperti kuntilanak bangun tidur. "Kamu ada apa sih, pagi- pagi sudah teriak seperti orang kesurupan!" Mbak Rina keluar seperti tak ada beban, rambutnya masih acak-acakan seperti penampakan wewe gombel. Bekas air ilur bahkan masih menempel di samping bibirnya. Benar-benar jorok kakak iparku ini. Aku saja jijik melihat penampilannya pagi ini."Mbak, aku kesini mau nagih uangku yang dua ratus ribu itu. Katanya
Lega sekali melihat Pak Doni kembali masuk ke ruangannya. Ketika dia datang suasana seakan mencekam lebih tepatnya tatapannya sangat kaku sekali. Lelaki bijak dan kaku namun bisa merintis perusahannya yang dulunya kecil dan kini berubah menjadi perusahaan besar. 'Berat amat pekerjaanku. Tak apalah aku menikmatinya. Kangen juga dengan bekerja seprti dulu' Pekerjaan sudah selesai dan aku segera ke ruangan Pak Doni. Baru sampai di depan pintu, degub jantung mulai.berdetak tak beraturan, tapi kucoba kembali menenangkan diriku sendiri dan berharal semoga hasilnya memuaskan. Aku takut jika berakhir membuatnya kecewa karena hasil pekerjaanku.Tok tok tok"Masuk!" suaranya saja sudah terdengar begitu dingin.Aku membuka pintu ruangannya, dan terlihat Pak Doni serius dengan laptopnya sepertinya banyak pekerjaan yang harus dikerjakan, bisa dilihat beberapa berkas menumpuk di meja kerjanya."Kamu kenapa, kembali bekerja?" tanya Pak Doni dingin.'Tanya kok seperti orang yang mau menginterogasi
"Baiklah! kuhubungi Shilla, Bu. Kalau dia masih punya peluang untuk bersama Rizwan," ucap Mbak Rina sembari menghubungi Shilla.Sengaja aku tak masuk dulu ke dalam rumah dan memperhatikan Ibu dan anak denggan segala rencana uniknya. Aku sudah bisa menebak jika ada sesuatu yang direncanakan Ibu dan anak ini.Tuut tuut"Halo Shil, apa kabar?" ucap Mbak Rina melalui sambungan telepon. Aku sengaja menguping sebelum masuk ke rumah. Aku mendengar Mbak Rina sedang menghubungi seseorang, mungkin seseorang yang dimaksud bernama Shilla."......"."Oh gini, Mbak Rina mau tanya sama kamu. Apakah kamu masih mencintai Rizwan?" tanya Mbak Rina, sangat tidak sopan sekali menanyakan perasaan orang lain tanpa basa basi.".....""Oh, tenang saja, semua akan Mbak Rina bantu untuk mendapatkan hati Rizwan. Kamu mau?" tanya Mbak Rina, kulihat ibu mertua tersenyum licik di samping Mbak Rina yang sedang menghubungi wanita bernama Shilla."........"."Ok, Sayang. Boleh kok besok sepulang kerja main kesini," uc
Tak lama setelah aku pulang kerja teedengar deru mobil Mas Rizwan, saat ini memang waktunya Mas Rizwan pulang kerja. Kudengar suara sepatunya begitu kentara saat memasuki rumah kontrakan kami. Namun aku sendiri tidak tahu mengapa, perasaanku padanya terasa hambar. Entah rasa cintaku padanya kini perlahan mulai menghilang, bukan karena nafkah saja namun perhatiannya padaku kini sudah tidak ada lagi. Ditambah rencana perjodohannya dengan wanita bernama Shilla membuatku semakin muak."Assalamu alaikum," kudengar salam dari Mas Rizwan saat berada di ambang pintu. Aku segera berdiri dan ikut menyambut suamiku meski hati terasa begitu berat."Waalaikum salam," jawaban salam dari ibu mertuaku. Kulihat sikap Ibu mertua begitu berbeda seakan ingin sesuatu kepada Mas Rizwan."Rizwan, belikan Ibu makanan, Ibu belum makan!" Ibu mertua mertua bagai anak kecil meminta Rizwan membelikan makanan. Sungguh tak tahu malu sekali melihat anaknya baru saja pulang kerja sudah minta dibelikan makan malam."Ma
Pagi hari saat akan berangkat kerja, kulihat Mas Rizwan termenung di ruang tamu. Sepertinya dia memikirkan permintaan Ibu dan Kakaknya semalam. Semalam tidak ada percakapan apapun saat di kamar karena aku lebih memilih tidur lebih dulu. Aku tak mau terbebani dengan masalab perjodohan suamiku."Nih, Mas! Diminum jahenya dan aku berangkat kerja dulu," sebelum berangkat aku terlebih dahulu mencium takdzim punggung tangan Mas Rizwan. "Kamu tidak mau menemani aku di rumah Lai?" sepertinya Mas Rizwan mau aku tinggal di rumah dan menemaninya di saat sedang sakit. Ingin sekali aku menemaninya hanya saja akan menambah sakit hatiku karena hari ini adalah perjodohan suamiku."Kalau sakit ingat aku kalau banyak uang ingat sama saudara dan ibunya. Aku telpon ibu sama mbak Rina saja. Biar ada yang jaga kamu, Mas. Masa mau enaknya doang," ucapku dan segera menelpon mereka berdua supaya segera datang. Sebenarnya aku tidak tega namun aku juga harus bersikap tegas supaya Mas Rizwan bisa berfikir."Kamu
Pekerjaan hari ini sungguh melelahkan, namun aku tidak boleh mengeluh atas semua nikmat yang sudah diberikan kepadaku, Bekerja sama saja membuatku melupakan masalah rumah tangga sejenak apalagi diberikan circle pertemanan yang cukup baik. Saat pulang kerja, terlihat rumah begitu ramai dengan obrolan para wanita. Pastinya aku sudah bisa menebaknya, aku rasa acara perjodohan belum selesai. Mungkin memang sangat berbahagia karena perjodohan ini adalah perjodohan yang sangat dinantikan oleh pihak suamiku."Assalamu alaikum," salamku saat akan memasuki rumah kontrakanku."Waalaikum salam." jawaban dari mereka serempak termasuk sosok wanita yang pernah mencintai suamiku yaitu Shilla. Shilla, sosok yang diinginkan Ibu mertuaku untuk menjadi pendamping Rizwan karena status keluarganya termasuk orang berada. Wanita berkulit putih terawat serta wajah yang menunjukkan senyum manisnya membuat siapa saja akan jatuh cinta padanya. Namun siapa sangka jika gadis ini lebih mencintai suamiku dan mener
Hari pertama di mulai hari ini, pagi ini aku berkutat di dapur memasak sarapan untukku dan Mas Rizwan. Anggap saja kita berdua mulai memperbaiki hubungan sampai emoat belas hari seperti yang diucapkan Mas Rizwan."Masak apa, Lai?" tanya Mas Rizwan usai mandi dan menuju ke dapur saat aku sedang memasak."Hanya masak ayam balado saja," ucapku singkat sambil mengaduk campuran ayam goreng dan bumbu balado. Ayam balado yang lama sekali tak kunikmati karena harganya tak mampu aku belim"Aku makan ya?" tanya Mas Rizwan sembari berkedip mata ke arahku. Sepertinya Mas Rizwan tergoda dengan aroma balado ayam buatanku."Ini memang menu sarapan kita, Mas. Lagian juga kamu tidak perlu minta ijin untuk sarapan." Kulihat ayam balado sudah matang dan aku segera menyajikannya ke meja makan. "Em, Lai. Ini ada uang lemburku satu juta lima ratus untuk belanja sampai empat belas hari dan tolong rahasiakan ini pada Ibu dan Mbak Rina," ucapan Mas Rizwan membuatku terperangah. Ada baiknya juga ternyata memb