"Baiklah! kuhubungi Shilla, Bu. Kalau dia masih punya peluang untuk bersama Rizwan," ucap Mbak Rina sembari menghubungi Shilla.
Sengaja aku tak masuk dulu ke dalam rumah dan memperhatikan Ibu dan anak denggan segala rencana uniknya. Aku sudah bisa menebak jika ada sesuatu yang direncanakan Ibu dan anak ini.Tuut tuut"Halo Shil, apa kabar?" ucap Mbak Rina melalui sambungan telepon. Aku sengaja menguping sebelum masuk ke rumah. Aku mendengar Mbak Rina sedang menghubungi seseorang, mungkin seseorang yang dimaksud bernama Shilla."......"."Oh gini, Mbak Rina mau tanya sama kamu. Apakah kamu masih mencintai Rizwan?" tanya Mbak Rina, sangat tidak sopan sekali menanyakan perasaan orang lain tanpa basa basi.".....""Oh, tenang saja, semua akan Mbak Rina bantu untuk mendapatkan hati Rizwan. Kamu mau?" tanya Mbak Rina, kulihat ibu mertua tersenyum licik di samping Mbak Rina yang sedang menghubungi wanita bernama Shilla."........"."Ok, Sayang. Boleh kok besok sepulang kerja main kesini," ucap Mbak Rina mempersilahkan tamu perempuan tanpa meminta ijin padaku yang notabene nyonya di rumah kontrakan ini."....""Baik, Shilla. Kami mendukungmu kok tenang aja," ucap Mbak Rina dengan seringai bahagia. Sepertinya dia sangat setuju dengan menjodohkan Mas Rizwan. Jadi rencana mereka mau menjodohkan Mas Rizwan dengan Shilla. Baiklah! aku siap menghadapi semua ini. Aku bukan lagi Laila yang polos dan mudah diperdaya seperti dulu. Kita lihat saja setelah ini, siapa yang menyesal nantinya. Aku jabanin apapun rencana mereka."Assalamu alaikum," salamku saat memasuki rumah. Terlihat wajah biasa saja dari mereka berdua. Pandai sekali menyimpan sesuatu sehingga tak terlihat mencurigakan. Kutunggu sampai mereka berbicara yang sebenarnya."Waalaikum salam, si wanita miskin baru pulang kerja. Paling juga jadi Office Girl dikantornya," ucap mbak Rina.Aku sengaja tak pernah memberitahukan posisiku di perusahaan, takutnya jika posisiku bagus malah akan dimanfaatkan oleh kedua wanita tersebut. Tak masalah jika aku dibilang bekerja sebagai OG."Jadi OG juga tidak masalah Mbak, yang penting kerja dapat duit halal pula," pungkasku sambil berlalu meninggalkan mereka berdua yang mulai tersulut emosi."Belagu amat, Rizwan tidak cocok sama pegawai rendahan kayak kamu," ucapan ibu mertua tak kalah sengit saat mengekoriku masuk ke kamar."Saya tidak belagu, Bu. Saya hanya bicara menurut saya benar," ucapku santai. Kedua bola matanya membulat sempurna ketika aku menanggapinya dengan santai dan tak ada rasa takut sedikitpun."Orang miskin itu tidak ada benernya kalau ngomong, tau!" pungkas Mbak Rina sembari jari telunjuknya mengarah padaku. Benar-benar sakit hati dan gemas sekali padanya yang selalu menghinaku. Entah apa yang mereka pikirkan ketika menghinaku. Mungkin dengan menyingkirkanku akan membuat mereka senang."Apakah berdosa jadi orang miskin, Mbak?" tanyaku pada Mbak Rina. Dengan pongahnya dia berkacak pinggang di depanku setelah menghinaku."Bawa apa itu?" tanya Mbak Rina ketus saat melirik tangan kananku membawa sebuah bungkusan makanan."Cuma makan malamku, Mbak. Mbak sudah tahu bukan, jika aku udah tidak ikut makan hasil kerja Mas Rizwan," jawabku merendahkan diri supaya mereka berdua tak akan mampu lagi merendahkanku."Paling juga cuma lauk tempe, lihat saja bungkusannya kecil," seloroh ibu mertua menghina makanan yang kubawa. Apapun ucapan mereka aku tidak peduli, yang penting aku sekarang sudah punya penghasilan sendiri dan tidak bergantung pada Mas Rizwan. Bergantung pada Mas Rizwan sama saja siap mendapat hinaan dari Ibunya dan Kakaknya."Meskipun lauk tempe saya bersyukur, Bu. yang penting tidak nebeng makan ke orang," sengaja kusindir mereka berdua. Sepertinya mereka berdua tidak suka dengan ucapanku yang sebenarnya menyindir mereka berdua."Udah masuk sana, eneg lihat kamu!" ucap ibu mertua dengan galaknya. Beginilah diriku yang hanya dibesarkan di panti asuhan tanpa tahu kedua orang tuaku. Namun mereka hanya memandang sebelah diriku bahkan dengan mudahnya selalu merendahkan aku."Wajah saya jelek ya, Bu? Maklum Bu, saya tidak ak pernah perawatan karena jatah perawatanku udah diserahkan ke Ibu," ucapku santai membuat mereka semakin geram."Ih! ngomong mulu, udah buruan masuk sana!" celetuk Mbak Rina sembari mendorongku masuk ke dalam.Segera ku masuk ke kamar dan mandi setelah itu makan malam di ruang makan yang sederhana bersatu dengan dapur yang minimalis. Saking minimalisnya aku bahkan meminimalisir keberadaan barang-barang yang berguna saja."Harum amat, siapa yang makan enak nih?"ucap Mbak Rina seperti orang kelaparan setelah mencium aroma nasi padang lengkap dengan rendang dan ayam gorengnya. Bagi orang lapar ini pasti sangat menggoda. Sengaja aku berlama-lama membuka sebungkus nasi padang. Lama sekali aku tak makan nasi kesukaanku."Iya. Wangi amat kayak masakan Padang yang harganya mahal," ucap ibu mertua tak kalah penasaran dengan bungusan nasi yang kubuka."Mbak, Bu. Saya makan dulu ya," ucapku pada mereka berdua yang tiba-tiba masuk ke arah sumber aroma. Mereka saling pandang saat melihat sebungkus nasi padang di depanlu. Heran mereka saat aku makan nasi padang bukan, nasi tempe."Cuma satu aja? Mana cukup buat kami?" tanya Mbak Rina tanpa ada rasa malu setelah menghinaku."Saya memang cuma beli buat saya sendiri. Kalau Mbak Rina mau ya beli dong. Kan jatah sebulan sudah dapat dua kali, dari Mas Danu sama Mas Rizwan. Masa beli nasi padang gak bisa?" sengaja kupelan-pelankan makanku agar mereka semakin iri. Mengerjai mereka berdua kini menjadi hiburanku sekarang."Apa kamu bilang? Siapa bilang gak bisa. Aku bisa beli nasi padang sama tempatnya sekalian," kesombongan Mbak Rina muncul. Padahal dengar-dengar hutanganya ada dimana-mana, bahkan rentenir mingguanpun selalu menagihnya."Kalau mampu, kenapa hutang dua ratus ribu perlu saya tagih dulu ke rumah?" ucapku membuat Mbak Rina marah."Iiih! kamu ini nyebelin banget sih, udah miskin belagu lagi!" Mbak Rina begitu kesal padaku karena membantah ucapannya.'Sengaja loh, biar tambah kesel. hahahahah. Emak-emak pembaca, kesel gak sih punya kakak ipar model begini?"Heh Laila, bentar lagi Rizwan mau Ibu jodohkan sama Shila. Kamu harus menerimanya," ucap Ibu mertua dengan berkacak pinggang di depanku yang sudah makan.Heran saja dengannya, sudah menjadi seorang Ibu tetapi sikapnya sungguh mengerikan. Entahlah, mendengar perjodohan suamiku tak membuatku sakit hati. Apa mungkin memang cintaku padanya sudah menguap seiring dengan sikapnya padaku?"Oh! silahkan Ibu mertua. Aku ikhlas aaja, cuma jangan menyesal suatu saat nanti," ucapku dan melanjutkan makan sembari melihat keduanya terkesiap dengan ucapanku yang membantahnya."Bagus deh kalau kamu nerima, Shila itu kaya dan bisa nyenengin mertua tidak kayak kamu," Ibu mertua begitu bangganya memamerkan harta orang lain. Semoga saja pembaca tidak punya mertua model begini."Aku kenapa, Bu? Miskin? Hinaan miskin udah membuatku kebal, Bu. Apa, Shila tau kalau Mas Rizwan tak bisa memberi keturunan?" Mereka terlihat mulai berpikir dengan keadaan Mas Rizwan."Apakah keluarga Shilla menyetujui jika mengetahui yang sebenarnya? Kalau aku jadi orang tuanya mah, ogah kawin sama orang mandul," sengaja kupanasi mereka karena ingin membuat mereka marah. Mbak Rina seperti kehabisan akal untuk melawan ucapanku."Asal kamu tak cerita aja yang sebenarnya. Awas kalau kamu cerita!" ancam ibu mertua padaku."Aku tidak akan cerita, Bu. Tenang saja, cuma yang namanya bangkai disimpan di manapun masih aja bau, Bu," ucapku."Jawab terus sih kamu ini. Dasar menantu gila! nyesel aku nikahin Rizwan sama kamu," ucap ibu mertua."Aku juga nyesel Bu nikah sama orang pelit seperti Mas Rizwan," ucapku tak mau kalah. Udah saatnya aku melawan mereka. selama menikah aku terus saja dihina dengan alasan aku orang miskin dan tinggal di Panti asuhan."Rizwan itu tidak pelit buktinya kita semua dikasi jatah bulanan," ucap Mbak Rina tanpa dosa."Pelit untuk istri dan loyal buat keluarganya. Jadi kalau nanti ada apa - apa dengan Mas Rizwan tolong dibantu ya," ucapku dan segera berlalu ke kamar.Heran deh ada Ibu mertua dan kakak Ipar kek gitu. Huh! tenang aja aku bakal kerjain kalian.'Oh ya aku ingat amplop putih pemberian Pak Doni. ku buka amplop putih dan ternyata isinya sekitar dua puluh lima lembar uang pecahan seratus ribuan. Banyak sekali, gegas kukirimkan pesan untuk Pak Doni. "|Pak, terimakasih bonusnya. Bukankah ini terlalu banyak? padahal saya bekerja baru sehari.|" pesan yang ku kirim ke Pak Doni."|Itu setimpal dengan hasil yang kamu kerjakan, Lai. Jangan pernah tinggalkan perusahaan lagi.|" balasan pesan dari Pak Doni."|Insyaallah, Pak. Saya akan bertahan.|balasku.Segera ku mandi dan istirahat, iseng - iseng kubuka media sosial. Status Mbak Rina yang sok kaya membuatku ingin tertawa. padahal aslinya, Hahahahahagimana emakkkk pembacaku?Gemes apa gak nih sama Mbak Rina dan mertua?Tak lama setelah aku pulang kerja teedengar deru mobil Mas Rizwan, saat ini memang waktunya Mas Rizwan pulang kerja. Kudengar suara sepatunya begitu kentara saat memasuki rumah kontrakan kami. Namun aku sendiri tidak tahu mengapa, perasaanku padanya terasa hambar. Entah rasa cintaku padanya kini perlahan mulai menghilang, bukan karena nafkah saja namun perhatiannya padaku kini sudah tidak ada lagi. Ditambah rencana perjodohannya dengan wanita bernama Shilla membuatku semakin muak."Assalamu alaikum," kudengar salam dari Mas Rizwan saat berada di ambang pintu. Aku segera berdiri dan ikut menyambut suamiku meski hati terasa begitu berat."Waalaikum salam," jawaban salam dari ibu mertuaku. Kulihat sikap Ibu mertua begitu berbeda seakan ingin sesuatu kepada Mas Rizwan."Rizwan, belikan Ibu makanan, Ibu belum makan!" Ibu mertua mertua bagai anak kecil meminta Rizwan membelikan makanan. Sungguh tak tahu malu sekali melihat anaknya baru saja pulang kerja sudah minta dibelikan makan malam."Ma
Pagi hari saat akan berangkat kerja, kulihat Mas Rizwan termenung di ruang tamu. Sepertinya dia memikirkan permintaan Ibu dan Kakaknya semalam. Semalam tidak ada percakapan apapun saat di kamar karena aku lebih memilih tidur lebih dulu. Aku tak mau terbebani dengan masalab perjodohan suamiku."Nih, Mas! Diminum jahenya dan aku berangkat kerja dulu," sebelum berangkat aku terlebih dahulu mencium takdzim punggung tangan Mas Rizwan. "Kamu tidak mau menemani aku di rumah Lai?" sepertinya Mas Rizwan mau aku tinggal di rumah dan menemaninya di saat sedang sakit. Ingin sekali aku menemaninya hanya saja akan menambah sakit hatiku karena hari ini adalah perjodohan suamiku."Kalau sakit ingat aku kalau banyak uang ingat sama saudara dan ibunya. Aku telpon ibu sama mbak Rina saja. Biar ada yang jaga kamu, Mas. Masa mau enaknya doang," ucapku dan segera menelpon mereka berdua supaya segera datang. Sebenarnya aku tidak tega namun aku juga harus bersikap tegas supaya Mas Rizwan bisa berfikir."Kamu
Pekerjaan hari ini sungguh melelahkan, namun aku tidak boleh mengeluh atas semua nikmat yang sudah diberikan kepadaku, Bekerja sama saja membuatku melupakan masalah rumah tangga sejenak apalagi diberikan circle pertemanan yang cukup baik. Saat pulang kerja, terlihat rumah begitu ramai dengan obrolan para wanita. Pastinya aku sudah bisa menebaknya, aku rasa acara perjodohan belum selesai. Mungkin memang sangat berbahagia karena perjodohan ini adalah perjodohan yang sangat dinantikan oleh pihak suamiku."Assalamu alaikum," salamku saat akan memasuki rumah kontrakanku."Waalaikum salam." jawaban dari mereka serempak termasuk sosok wanita yang pernah mencintai suamiku yaitu Shilla. Shilla, sosok yang diinginkan Ibu mertuaku untuk menjadi pendamping Rizwan karena status keluarganya termasuk orang berada. Wanita berkulit putih terawat serta wajah yang menunjukkan senyum manisnya membuat siapa saja akan jatuh cinta padanya. Namun siapa sangka jika gadis ini lebih mencintai suamiku dan mener
Hari pertama di mulai hari ini, pagi ini aku berkutat di dapur memasak sarapan untukku dan Mas Rizwan. Anggap saja kita berdua mulai memperbaiki hubungan sampai emoat belas hari seperti yang diucapkan Mas Rizwan."Masak apa, Lai?" tanya Mas Rizwan usai mandi dan menuju ke dapur saat aku sedang memasak."Hanya masak ayam balado saja," ucapku singkat sambil mengaduk campuran ayam goreng dan bumbu balado. Ayam balado yang lama sekali tak kunikmati karena harganya tak mampu aku belim"Aku makan ya?" tanya Mas Rizwan sembari berkedip mata ke arahku. Sepertinya Mas Rizwan tergoda dengan aroma balado ayam buatanku."Ini memang menu sarapan kita, Mas. Lagian juga kamu tidak perlu minta ijin untuk sarapan." Kulihat ayam balado sudah matang dan aku segera menyajikannya ke meja makan. "Em, Lai. Ini ada uang lemburku satu juta lima ratus untuk belanja sampai empat belas hari dan tolong rahasiakan ini pada Ibu dan Mbak Rina," ucapan Mas Rizwan membuatku terperangah. Ada baiknya juga ternyata memb
Aku kecewa dengan sikapnya kemarin yang katanya ingin bersamaku sebelum perceraian, namun ternyata mulutnya hanya sekedar janji belaka."Kamu tidak masak, Lai?" tanya Mas Rizwan saat membuka tudung saji dan tidak ada isi di dalamnya."Makan di luar saja, Mas," jawabku datar tanpa memperhatikan Mas Rizwan dan aku menyibukkan sendiri menyemir sepatu kerjaku yang berwarna hitam."Bukannya kemarin aku sudah memberi uang belanja, Lai?" protes Mas Rizwan atas sikapku yang acuh padanya. Aku benar-benar sudah kecewa dengannya, rasa percaya menguap sempurna."Nih, Mas! kukembalikan uangmu. Lagian juga kamu sebentar lagi menikah dengan Shilla jadi kamu harus menjaga Shilla mulai dari sekarang.""Lai, kok kamu berubah?" "Yang berubah itu kamu, kamu yang menghianati perjanjian kita kan? Ya sudah nikmati saja." aku beranjak meninggalkannya namun tangannya mencekal tanganku. Sudah berselingkuh masih saja mengelak ternyata."Menghianati bagaimana, Lai?" aku memutar bola mataku dengan malas ke arahn
Usai makan siang, Pak Doni mengemudikan mobilnya menuju ke galeri sepatu. Aku jadi grogi jika berdua bersamanya, entah karena lama tidak bertemu atau bagaimana, yang jelas aku tidak percaya diri sama sekali. Dulu berdua seperti tak membuatku gugup sama sekali. Malah aku bisa cerita banyak sekali padanya meski tanggapannya sangatlah kaku."Kamu kenapa, Lai?" dia memperhatikanku ternyata saat mengingat kenangan saat menjadi sekretaris pertamanya dulu."Oh, tidak apa-apa, Pak!" aku sedikit lega ketika mobil yang dikendarai Pak Doni sudah sampai di sebuah galeri sepatu yang cukup menguras kantong bagiku. Meski dulu gajiku besar namun aku hanya membeli sepatu yang harganya tiga ratus ribuan. Bagiku sayang sekali jika hanya menghambur-hamburkan uang untuk sepatu yang harganya jutaan. Aku dan Pak Doni kini masuk ke galeri sepatu, segera aku ke bagian sepatu khusus pantofel."Silahkan pilih sepatu yang kamu suka, anggap hari ini aku memberikan hadiah untuk sekretarisku yang berprestasi!" Sun
Kulihat pagi ini Mas Rizwan membuka tudung saji, dia sepertinya lapar pagi ini. Bisa dilihat dari wajahnya yang lapar."Kamu beberapa hari ini enggak pernah masak untuk sarapan, Lai," ujar Mas Rizwan yang sudah tidak masak beberapa hari ini. Aku terpaksa melakukannya, percuma saja aku menuruti permintaannya namun dia tak pernah menghargaiku."Uangnya udah aku balikin ke kamu, Mas." aku sibuk merapikan rambutku yang akan kucepol ke atas karena membuatku lebih nyaman dan tidak gerah."Iya, tapi udah habis." Yang benar saja, baru beberapa hari, uang sebanyak itu sudah habis. Jika aku yang mengatur pasti cukup untuk sebulan, hanya saja aku sudah tak mau lagi. "Iya itu masalah kamu, Mas! Lagian kamu udah berhak menalakku sekarang juga.""Maksudmu apa, Lai?" sungguh, saat ini aku benar-benar ingin mencakar wajahnya."Kamu sudah mengingkari perjanjian kita, jadi kamu sudah boleh menalakku, Mas!""Tunggu sampai empat belas hari, Lai.""Empat belas hari untuk mengingkari janjimu, Mas? Untuk ap
Sejak Laila memutuskan kembali bergabung di perusahaanku, tentu saja hal ini membuatku semangat bekerja kembali. Tak ada hari terlewatkan untuk tetap masuk kerja. Laila adalah wanita yang tangguh. Adanya Laila di perusahaanku membuat perubahan yang gemilang. Sengaja kuhadiahkan sebuah apartemen mewah dengan fasilitas lengkap. Hanya saja sebelum kuberikan, ternyata Laila tiba-tiba mengundurkan diri. Akhirnya kubiarkan saja apartemen ini, berharap bisa memberikannya kepada Laila suatu hari nanti.Semenjak Laila mengundurkan diri, segera kucari pengganti Laila. Ternyata penampilan mereka tak sepadan dengan kecerdasan Laila. Penampilan Laila sangat sederhana tetapi memiliki otak yang cerdas.Mencari pengganti Laila, aku berharap akan membawa kesuskesan untuk perusahaanku. Tapi ternyata bukan itu yang kudapatkan dan tidak sesuai kenyataan. Berkali - kali aku berganti sekretaris dan semua tak sesuai dengan ekspektasiku. Beberapa tahun kemudian Laila datang kembali untuk melamar pekerjaan. H