Tak lama setelah aku pulang kerja teedengar deru mobil Mas Rizwan, saat ini memang waktunya Mas Rizwan pulang kerja. Kudengar suara sepatunya begitu kentara saat memasuki rumah kontrakan kami. Namun aku sendiri tidak tahu mengapa, perasaanku padanya terasa hambar. Entah rasa cintaku padanya kini perlahan mulai menghilang, bukan karena nafkah saja namun perhatiannya padaku kini sudah tidak ada lagi. Ditambah rencana perjodohannya dengan wanita bernama Shilla membuatku semakin muak.
"Assalamu alaikum," kudengar salam dari Mas Rizwan saat berada di ambang pintu. Aku segera berdiri dan ikut menyambut suamiku meski hati terasa begitu berat."Waalaikum salam," jawaban salam dari ibu mertuaku. Kulihat sikap Ibu mertua begitu berbeda seakan ingin sesuatu kepada Mas Rizwan."Rizwan, belikan Ibu makanan, Ibu belum makan!" Ibu mertua mertua bagai anak kecil meminta Rizwan membelikan makanan. Sungguh tak tahu malu sekali melihat anaknya baru saja pulang kerja sudah minta dibelikan makan malam."Maaf, Bu. Uang Rizwan sudah mepet sekali. Kok, cepet banget uang Ibu habis padahal lima hari yang lalu Rizwan memberi uang ke Ibu lima juta lima ratus," jawab Mas Rizwan dengan nada kesal.Aku terperangah mendengar jika Ibu mertua mendapatkan jatah lebih besar dariku. Nominal yang begitu besar ternyata diberikan kepada Ibunya, itupun tidak sampai satu bulan akan meminta jatah lagi kepada Mas Rizwan.Aku melihat wajahnya begitu pucat dan tidak seperti biasanya. Bahkan kedua matanya begitu sayu seperti orang kelelahan."Anu, emmmm, ya uang segitu mah cepet habis, belum bayar arisan dan lain-lain," tukas ibu mertua yang terlihat gugup namun tetap saja berkilah supaya mendapatkan uang tambahan dari Mas Rizwan."Rizwan tidak punya uang, Bu." ucap Mas Rizwan dengan raut wajah yang tidak memiliki rasa semangat sama sekali. Mas Rizwan duduk di kursi sembari memijid pelipisnya. Aku rasa dugaanku benar jika dirinya sedang sakit."Halah, bilang aja kamu pelit! lemari es juga kosong melompong gitu. Enggak bisa ambil stok makanan deh," ibu mertua terkejut saat membuka isi lemari es kami. Ya, memang jarang sekali terisi bahan makanan karena aku sudah tahu sikap mertua jika kerumah pasti akan membawa stok bahan makanan yang sudah sangat minim.Semua membuatku tidak heran atau terkejut sama sekali karena Mas Rizwan membebaskan Ibunya keluar masuk rumah kontrakan kami. Bahkan kunci cadangan pun diberikan pada Ibu mertua."Beneran, Bu. Rizwan lagi tidak punya uang. Uang Rizwan juga dipinjam Mbak Rina, padahal tiap bulan Rizwan udah beri satu juta lima ratus buat Mbak Rina," jawab Mas Rizwan, aku bahkan baru tahu jika Mbak Rina masih mengganggu nafkah suamiku dan nominalnya sama besarnya dengan yang diberikan padaku. Dan Mbak Rina ternyata melakukan hal yang sama dengan Ibunya meminta atau meminjam uang meskipun sudah diberi jatah masing-masing."Cari pinjaman sana, biar ibu enggak kekurangan!" ibu mertua seenaknya memerintah mencarikan pinjaman. Kulihat Mas Rizwan semakin frustasi dengan sikap Ibunya yang semena-mena padanya bahkan lebih mirip sapi perah."Bu, Rizwan lagi tidak enak badan, ibu bisa tidak sementara diam dulu."Sumpah, aku ingin tertawa saat melihat Mas Rizwan untuk pertama kalinya berkata lebih keras dari pada biasanya. Biasanya Mas Rizwan akan memberikan apapun yang diminta Ibunya tanpa memikirkan kebutuhan aku yang istri sahnya. Bukan aku suka melihat Mas Rizwan ribut dengan Ibunya namun sikap tegasnya kali ini yang membuatku sangat terkejut."Kamu membentak Ibu!" aku tak habis pikir ketika Ibu mertua bersiap akan pura-pura menangis namun tak ada air mata yang hendak keluar."Maafkan Rizwan, Bu!" akhirnya Mas Rizwan meminta maaf juga kepada Ibunya setelah melihat Ibunya pasang muka sedih. Aku hanya mencebik sambil melihat tayangan yang akan disandiwarakan Ibu mertua. Ibu mertua kini duduk di samping Mas Rizwan sembari mengusap bahunya."Bu, boleh Rizwan minta bikinkan minuman jahe?" ucap Mas Rizwan pada ibunya akan tetapi ibu mertua terlihat malah bersungut-sungut padahal sang anak sedang sakit dan hanya meminta dibuatkan jahe."Apa, minta bikinkan minuman jahe?" Aku dan Mas Rizwan bahkan tersentak kaget mendengar ucapan Ibu mertua. Aku tak menyangka jika Ibu mertua akan bersikap seperti itu kepada suamiku.Ibu mertua yang tadinya duduk di samping Mas Rizwan kini berdiri tegak seakan ingin menjauhi Mas Rizwan yang sedang sakit sembari berkata, "Minta saja sama istrimu itu. Ibu mau pulang percuma kesini tidak dapat apa-apa!" ucap Ibu mertua dan berlalu. Segera kucegah kepergiannya, enak sekali mengabaikan Mas Rizwan di saat sakit seperti ini.Aku merentangkan tanganku di depan pintu saat mereka berdua akan keluar, "Eitttttsss! mau kemana, Bu? Anaknya sakit kok ditinggal. Lagian aku juga sudah bilang di awal kalau ada apa-apa langsung saja ke Ibu, karena aku tidak ikut makan hasil kerja Mas Rizwan. Kalau Mas Rizwan sakit, Ibu dan Mbak Rina dong yang merawat," aku berkacak pinggang didepan mereka bertiga tanpa ingin membantu beban Mas Rizwan saat ini, semua sengaja kubuat mereka agar menyadari perbuatannya."Kamu kebangetan Lai, durhaka kamu sama suami," Mbak Rina ikut-ikutan menimpali saat aku mencegahnya keluar dari rumah. Ingin sekali aku menarik mulut Mbak Rina karena ucapannya yang suka membolak balikkan fakta."Durhaka mana dengan suami yang tidak memberi nafkah istrinya demi kakak dan Ibunya? hitung-hitung impas lah. Adiknya sakit minta dibikinkan jahe hangat malah kayak gitu. Masa mau enaknya doang, Mbak," saat mendengar ucapanku, terlihat wajah Mbak Rina bersungut dan rahangnya mengeras. Aku hampir saja kehabisan kesabaran kepada mereka berdua."Tidak bisa dong! ini tanggung jawabmu!" ibu mertua juga tak mau mengalah, ingin enaknya saja. Sekilas kulirik ekspresi Mas Rizwan melihat sikap Ibunya saat dirinya sedang sakit dan ternyata ada raut wajah kekecewaan."Mas Rizwan saja lupa sama kewajibannya. Sudahlah cepat bikinkan, nanti kalau Mas Rizwan tidak sembuh-sembuh malah tidak bisa kerja dan gajinya dipotong. Ibu dan Mbak Rina mau jatah bulanannya di potong? Kalau aku mah santai karena aku sudah bekerja," ucapku sambil berlalu meninggalkan mereka di ruang tamu. Kubiarkan dua wanita berpikir sejenak. Mungkin otaknya akan nyambung jika disuruh berfikir setelah sekian lama tidak dipakai berfikir."Rin, segera bikinkan Rizwan minuman jahe hangat dari pada Rizwan tidak sembuh-sembuh," tukas mertua sambil berkacak pinggang.Terlihat ibu mertua begitu khawatir juga jika gaji Rizwan dipotong. Aku terkekeh mendengar ucapan Ibu mertua yang akhirnya meminta Mbak Rina membuat jahe hangat untuk Mas Rizwan."Kenapa sih, kalian ribut sekali kalau aku minta jahe hangat, apa karena aku tidak punya uang sehingga Ibu dan Mbak Rina seperti ini? Hampir seluruh gajiku aku berikan kepada kalian berdua. Tapi saat aku sakit kenapa seperti tidak ada yang mau merawatku?" ucapan Mas Rizwan terlihat lebih keras karena kesal.Sepertinya termakan omonganku yang kubuat memanas-manasi kakak dan Ibunya. Ternyata ucapanku berhasil juga sehingga Mas Rizwan kini mengucapkan ucapan yang lebih keras dari biasanya."Bu, bukan begitu Rizwan, Ibu tidak suka bau jahe," ibu mertua berkilah lagi, aku tidak percaya sama sekali dengan ucapan Ibu mertua, memang sudah menjadi kebiasaanya beliau tidak suka di dapur. "Biar Rina saja, Bu, yang membuatkan jahe untuk Rizwan. Rina juga tidak mau jatah Rina dipotong!" Mbak Rina kemudian masuk ke dapurku tanpa permisi.Aku mengintip di balik pintu kamarku dan melihat Mbak Rina mulai membuat jahe hangat untuk Mas Rizwan."Ini, Riz jahenya, segera diminum dan cepat sembuh. Jangan sampai bolos kerja!" tukas Mbak Rina sebelum meninggalkan rumah kontrakan kami. Aku geleng-geleng kepala melihat sikap Mbak Rina memberi peringatan kepada Mas Rizwan yang sedang sakit.Bener - bener ipar somplak, adiknya sakit masih mikirin uang jatah bulanannya supaya tidak dipotong. Ini lagi adiknya, mau banget dimanfaatin Kakaknya."Iya sudah, Ibu dan Rina pulang dulu, besok Ibu kesini lagi ada perlu sama kamu. Ini penting," tukas ibu mertua sebelum pergi meninggalkan rumah kontrakan kami."Baiklah kalau begitu, Bu. Besok Rizwan cuti sehari biar badan Rizwan kembali sehat," jawab Mas Rizwan berharap dirinya bisa kembali sehat dengan cuti satu hari namun entah ada sesuatu yang direncanakan untuk Mas Rizwan. Mungkin saja perjodohan dengan sosok wanita bernama Shilla akan segera dilangsungkan."Baiklah, besok Ibu mau kedatangan tamu spesial," ucap ibu mertua. Aku yang mendengarnya dari kamar membuat hatiku sakit namun tetap kutahan supaya tak berubah menjadi emosi yang tinggi."Siapa, Bu?" tanya Mas Rizwan ingin tahu. Aku bersiap menguping pembicaraan Ibu mertua dengan suamiku."Besok kamu akan tahu siapa," jawab ibu mertua.Aku bergegas kembali keluar kamar dan bergabung kembali dengan mereka. "Shilla kah, Bu?" sengaja ku sebut namanya di depan mas Rizwan. Aku sudah tahu rencana ibu dan mbak Rina di depan mataku sendiri."Kamu nguping ya?" tanya mbak Rina penuh selidik."Enggak nguping mbak, Mbak Rina tadi telpon suaranya kedengeran sampai depan jadinya aku dengar. Telingaku masih normal, Mbak!" sediki kubuat suaraku agak ngegas."Oh! jadi kamu sudah tahu tamu Ibu besok?" aku mengangguk saat Mas Rizwan bertanya."Ibumu mau menjodohkanmu sama Shilla karena Shilla orang kaya jadi bisa memberikan apa yang diinginkan Ibu dan Mbak Rina nanti," ucapku pada Mas Rizwan. Dia sepertinya mulai kebingungan mencerna ucapanku sehingga dengan tiba-tiba Ibu mertua mengambil alih penjelasan mengenai rencana besok."Hmm, gini Rizwan, baktimu masih sama Ibu jadi kamu harus nurut dong jika kamu Ibu jodohkan sama Shilla. Keluarga Shilla sekelas sama kita beda sama istrimu yang orang miskin. Tinggalnya saja dulu di panti asuhan," ucapan ibu mertua terdengar merendahkanku. Tak masalah saat ini aku direndahkan, suatu saat aku bisa membuatnya tak bisa lagi merendahkan aku."Dengan Shilla? Apa Ibu yakin Shilla bisa menerimaku?" Aku berharap dia menolaknya dan berubah memperbaiki hubungan rumah tanggaku dengannya. Semoga saja harapanku menjadi kenyataan."Lalu bagaimana dengan Laila?" Mas Rizwan bertanya keadaanku dan melihat ke arahku. Meski sakit namun aku tetap berusaha bersabar. Ternyata harapanku meleset sempurna, dia tidak memikirkan perasaanku sama sekali."Ya ceraikan saja, kalau tidak mau ya harus bersedia dimadu. Lagian mau hidup di mana kalau tidak dikontrakan kamu!" ibu mertua terlihat masih memandang rendah diriku dan beranggapan jika aku akan menempel pada Mas Rizwan."Terima sajalah Mas, perintah Ibumu loh. Nanti dikira anak durhaka lagi. Cuma ceraikan aku sekarang kalau kamu setuju dengan perjodohan ini," ucapku santai tanpa ingin menitikkan air mata sedikitpun. Kutahan semua rasa sakit ini demi harga diriku yang semakin diinjak-injak. Hanya harga diri yang sanggup aku lindungi."Laila saja setuju, Riz. Kamu bisa kabulkan keinginannya saat ini juga untuk menceraikannya," timpal Mbak Rina dengan sok anggun dengan mengibaskan rambutnya di depanku memberikan tanda kemenangannya di depanku."Biar kupikir besok, aku sakit dan ingin istirahat," Mas Rizwan berlalu meninggalkan mereka berdua."Ya sudah Ibu tunggu keputusanmu besok!" ucap ibu mertua saat akan meninggalkan rumah kami tanpa berpamitan, akupun dianggap seperti patung yang tidak berguna."Dan kamu Laila! siap - siap aja kamu akan jadi janda," aku tak takut dengan ancaman menjadi janda sekalipun."Yuk, Rin! kita pulang, ibu males di sini gak ada apapun yang bisa dimakan," tukas ibu mertua. Mbak Rina dan ibu mertua akhirnya pulang.Pagi hari saat akan berangkat kerja, kulihat Mas Rizwan termenung di ruang tamu. Sepertinya dia memikirkan permintaan Ibu dan Kakaknya semalam. Semalam tidak ada percakapan apapun saat di kamar karena aku lebih memilih tidur lebih dulu. Aku tak mau terbebani dengan masalab perjodohan suamiku."Nih, Mas! Diminum jahenya dan aku berangkat kerja dulu," sebelum berangkat aku terlebih dahulu mencium takdzim punggung tangan Mas Rizwan. "Kamu tidak mau menemani aku di rumah Lai?" sepertinya Mas Rizwan mau aku tinggal di rumah dan menemaninya di saat sedang sakit. Ingin sekali aku menemaninya hanya saja akan menambah sakit hatiku karena hari ini adalah perjodohan suamiku."Kalau sakit ingat aku kalau banyak uang ingat sama saudara dan ibunya. Aku telpon ibu sama mbak Rina saja. Biar ada yang jaga kamu, Mas. Masa mau enaknya doang," ucapku dan segera menelpon mereka berdua supaya segera datang. Sebenarnya aku tidak tega namun aku juga harus bersikap tegas supaya Mas Rizwan bisa berfikir."Kamu
Pekerjaan hari ini sungguh melelahkan, namun aku tidak boleh mengeluh atas semua nikmat yang sudah diberikan kepadaku, Bekerja sama saja membuatku melupakan masalah rumah tangga sejenak apalagi diberikan circle pertemanan yang cukup baik. Saat pulang kerja, terlihat rumah begitu ramai dengan obrolan para wanita. Pastinya aku sudah bisa menebaknya, aku rasa acara perjodohan belum selesai. Mungkin memang sangat berbahagia karena perjodohan ini adalah perjodohan yang sangat dinantikan oleh pihak suamiku."Assalamu alaikum," salamku saat akan memasuki rumah kontrakanku."Waalaikum salam." jawaban dari mereka serempak termasuk sosok wanita yang pernah mencintai suamiku yaitu Shilla. Shilla, sosok yang diinginkan Ibu mertuaku untuk menjadi pendamping Rizwan karena status keluarganya termasuk orang berada. Wanita berkulit putih terawat serta wajah yang menunjukkan senyum manisnya membuat siapa saja akan jatuh cinta padanya. Namun siapa sangka jika gadis ini lebih mencintai suamiku dan mener
Hari pertama di mulai hari ini, pagi ini aku berkutat di dapur memasak sarapan untukku dan Mas Rizwan. Anggap saja kita berdua mulai memperbaiki hubungan sampai emoat belas hari seperti yang diucapkan Mas Rizwan."Masak apa, Lai?" tanya Mas Rizwan usai mandi dan menuju ke dapur saat aku sedang memasak."Hanya masak ayam balado saja," ucapku singkat sambil mengaduk campuran ayam goreng dan bumbu balado. Ayam balado yang lama sekali tak kunikmati karena harganya tak mampu aku belim"Aku makan ya?" tanya Mas Rizwan sembari berkedip mata ke arahku. Sepertinya Mas Rizwan tergoda dengan aroma balado ayam buatanku."Ini memang menu sarapan kita, Mas. Lagian juga kamu tidak perlu minta ijin untuk sarapan." Kulihat ayam balado sudah matang dan aku segera menyajikannya ke meja makan. "Em, Lai. Ini ada uang lemburku satu juta lima ratus untuk belanja sampai empat belas hari dan tolong rahasiakan ini pada Ibu dan Mbak Rina," ucapan Mas Rizwan membuatku terperangah. Ada baiknya juga ternyata memb
Aku kecewa dengan sikapnya kemarin yang katanya ingin bersamaku sebelum perceraian, namun ternyata mulutnya hanya sekedar janji belaka."Kamu tidak masak, Lai?" tanya Mas Rizwan saat membuka tudung saji dan tidak ada isi di dalamnya."Makan di luar saja, Mas," jawabku datar tanpa memperhatikan Mas Rizwan dan aku menyibukkan sendiri menyemir sepatu kerjaku yang berwarna hitam."Bukannya kemarin aku sudah memberi uang belanja, Lai?" protes Mas Rizwan atas sikapku yang acuh padanya. Aku benar-benar sudah kecewa dengannya, rasa percaya menguap sempurna."Nih, Mas! kukembalikan uangmu. Lagian juga kamu sebentar lagi menikah dengan Shilla jadi kamu harus menjaga Shilla mulai dari sekarang.""Lai, kok kamu berubah?" "Yang berubah itu kamu, kamu yang menghianati perjanjian kita kan? Ya sudah nikmati saja." aku beranjak meninggalkannya namun tangannya mencekal tanganku. Sudah berselingkuh masih saja mengelak ternyata."Menghianati bagaimana, Lai?" aku memutar bola mataku dengan malas ke arahn
Usai makan siang, Pak Doni mengemudikan mobilnya menuju ke galeri sepatu. Aku jadi grogi jika berdua bersamanya, entah karena lama tidak bertemu atau bagaimana, yang jelas aku tidak percaya diri sama sekali. Dulu berdua seperti tak membuatku gugup sama sekali. Malah aku bisa cerita banyak sekali padanya meski tanggapannya sangatlah kaku."Kamu kenapa, Lai?" dia memperhatikanku ternyata saat mengingat kenangan saat menjadi sekretaris pertamanya dulu."Oh, tidak apa-apa, Pak!" aku sedikit lega ketika mobil yang dikendarai Pak Doni sudah sampai di sebuah galeri sepatu yang cukup menguras kantong bagiku. Meski dulu gajiku besar namun aku hanya membeli sepatu yang harganya tiga ratus ribuan. Bagiku sayang sekali jika hanya menghambur-hamburkan uang untuk sepatu yang harganya jutaan. Aku dan Pak Doni kini masuk ke galeri sepatu, segera aku ke bagian sepatu khusus pantofel."Silahkan pilih sepatu yang kamu suka, anggap hari ini aku memberikan hadiah untuk sekretarisku yang berprestasi!" Sun
Kulihat pagi ini Mas Rizwan membuka tudung saji, dia sepertinya lapar pagi ini. Bisa dilihat dari wajahnya yang lapar."Kamu beberapa hari ini enggak pernah masak untuk sarapan, Lai," ujar Mas Rizwan yang sudah tidak masak beberapa hari ini. Aku terpaksa melakukannya, percuma saja aku menuruti permintaannya namun dia tak pernah menghargaiku."Uangnya udah aku balikin ke kamu, Mas." aku sibuk merapikan rambutku yang akan kucepol ke atas karena membuatku lebih nyaman dan tidak gerah."Iya, tapi udah habis." Yang benar saja, baru beberapa hari, uang sebanyak itu sudah habis. Jika aku yang mengatur pasti cukup untuk sebulan, hanya saja aku sudah tak mau lagi. "Iya itu masalah kamu, Mas! Lagian kamu udah berhak menalakku sekarang juga.""Maksudmu apa, Lai?" sungguh, saat ini aku benar-benar ingin mencakar wajahnya."Kamu sudah mengingkari perjanjian kita, jadi kamu sudah boleh menalakku, Mas!""Tunggu sampai empat belas hari, Lai.""Empat belas hari untuk mengingkari janjimu, Mas? Untuk ap
Sejak Laila memutuskan kembali bergabung di perusahaanku, tentu saja hal ini membuatku semangat bekerja kembali. Tak ada hari terlewatkan untuk tetap masuk kerja. Laila adalah wanita yang tangguh. Adanya Laila di perusahaanku membuat perubahan yang gemilang. Sengaja kuhadiahkan sebuah apartemen mewah dengan fasilitas lengkap. Hanya saja sebelum kuberikan, ternyata Laila tiba-tiba mengundurkan diri. Akhirnya kubiarkan saja apartemen ini, berharap bisa memberikannya kepada Laila suatu hari nanti.Semenjak Laila mengundurkan diri, segera kucari pengganti Laila. Ternyata penampilan mereka tak sepadan dengan kecerdasan Laila. Penampilan Laila sangat sederhana tetapi memiliki otak yang cerdas.Mencari pengganti Laila, aku berharap akan membawa kesuskesan untuk perusahaanku. Tapi ternyata bukan itu yang kudapatkan dan tidak sesuai kenyataan. Berkali - kali aku berganti sekretaris dan semua tak sesuai dengan ekspektasiku. Beberapa tahun kemudian Laila datang kembali untuk melamar pekerjaan. H
Seperti biasa pukul delapan pagi aku sudah sampai di tempat kerjaku. Aku melihat sosok wanita berpakaian kurang bahan terkesan seksi berdiri di depan pintu ruangan Pak Doni. Wajahnya bahkan terlihat kurang bersahabat sama sekali dan terkesan sombong."Kamu tidak mengucapkan selamat pagi padaku?" terlihat sekali dia sangat angkuh, bahkan memintaku mengucapkan selamat lagi padanya. Padahal sama sekali aku tidak mengenalnya."Maaf, anda siapa? saya baru melihat hari ini," tanyaku membuat wanita itu terperanjat dan kedua matanya membulat sempurna ke arahku."Oh, pasti kamu pegawai baru, Kenalkan aku Alexandra tunangannya atasan kamu. Jadi jika bertemu aku kamu harus salam selayaknya aku atasan kamu?" ketus wanita itu. Baru saja tunangan, layaknya sudah menjadi bos besar di perusahaan Pak Doni. Ternyata Pak Doni sudah punya tunangan macam wanita sombong yang ada di depanku. "Baik, Nyonya." Segera menuju ke meja kerjaku dan menyiapkan berkas untuk hari ini."Jam berapa atasanmu datang ke ka