Hari pertama di mulai hari ini, pagi ini aku berkutat di dapur memasak sarapan untukku dan Mas Rizwan. Anggap saja kita berdua mulai memperbaiki hubungan sampai emoat belas hari seperti yang diucapkan Mas Rizwan.
"Masak apa, Lai?" tanya Mas Rizwan usai mandi dan menuju ke dapur saat aku sedang memasak."Hanya masak ayam balado saja," ucapku singkat sambil mengaduk campuran ayam goreng dan bumbu balado. Ayam balado yang lama sekali tak kunikmati karena harganya tak mampu aku belim"Aku makan ya?" tanya Mas Rizwan sembari berkedip mata ke arahku. Sepertinya Mas Rizwan tergoda dengan aroma balado ayam buatanku."Ini memang menu sarapan kita, Mas. Lagian juga kamu tidak perlu minta ijin untuk sarapan." Kulihat ayam balado sudah matang dan aku segera menyajikannya ke meja makan."Em, Lai. Ini ada uang lemburku satu juta lima ratus untuk belanja sampai empat belas hari dan tolong rahasiakan ini pada Ibu dan Mbak Rina," ucapan Mas Rizwan membuatku terperangah. Ada baiknya juga ternyata membuat perjanjian dengannya. Ada raut wajah puas darinya ketika memberikan uang lemburnya padaku."Maksudnya apa Mas? Kamu tak sedang membujukku kan?" tanyaku penuh kecurigaan dengan sikap Mas Rizwan yang tiba-tiba baik."Aku tidak ada maksud tertentu, Lai. Aku ingin menjadi suami yang bertanggung jawab sebelum kita berpisah." meski ada rasa nyeri di hati namun aku harus tetap rela jika hubungaku dengannya tidak berjodoh."Oh," aku hanya menjawab sekenanya sembari menahan luka yang teramat sakit."Kok hanya Oh saja, Lai?" tanya Mas Rizwan melihatku biasa saja meski hati ingin kembali bersama."Terus?" "Hm, tidak apa-apa, Lai. Maaf atas perbuatan Mas selama ini. Mas mohon empat belas hari ke depan, kamu perlakukan Mas selayaknya suami," Mas Rizwan menatap nanar saat memandangku. Antara rela berpisah dan tidak namun aku tidak boleh terbujuk oleh sikapnya saat ini. Aku harus tegas dan merelakan Mas Rizwan menjadi milik jodoh pilihan Ibunya."Terus selama ini apa Mas Rizwan tidak kuanggap suami? Gimana sih, Mas?" tanyaku sengaja memancing Mas Rizwan."Bu, bukan seperti itu Lai, empat belas hari kedepan tetaplah bersamaku, Lai. Mas ragu dengan Shilla.""Ragu kenapa? keluarga Mas dan Shilla sudah setuju. Ingat Mas, baktimu masih pada Ibumu!""Tapi Lai, Mas tak bisa menikahi Shilla." "Kalau tidak bisa, kenapa Mas Rizwan tidak bisa tegas dengan keputusan sendiri?" tanyaku membuat nyali Mas Rizwan mengkerut. Jika memanga ragu, harusnya dia tegas dan menolak jika dijodohkan dengan Shilla."Em, anu Lai, Mas...," seperti bingung mau mengungkapkan."Begini saja, jika dalam empat belas hari ke depan Mas Rizwan tetap mempertahankan aku sebagai istrimu maka kita tetap akan menjadi suami istri. Tapi jika Mas Rizwan tidak bisa mempertahankan aku, ya apa boleh buat? Kita harus berpisah." "Kamu kok enteng banget, Lai, kalau ngomong.""Keluargamu saja enteng banget juga kalau menghina dan memaksamu menceraikan aku, apalagi nafkahmu sampai diatur juga," pungkasku."Iya, iya Lai, Mas paham.""Baiklah jadi deal ya, Mas," sedikit ada rasa bahagia ketika Mas Rizwan bersedia dengan persyaratan yang kuberikan. Semoga saja mendapatkan keputusan yang baik."Mas berangkat dulu Lai," pamit Mas Rizwan."Hati - hati Mas."************Aku berangkat lebih pagi dari biasanya, aku begitu bersemangat sekali setelah membuat Mas Rizwan ragu atas keinginan dan perintah orang tuanya. Bukan karena aku jahat namun aku ingin membuat sedikit pelajaran kepada Mas Rizwan."Selamat pagi Pak," salamku saat melihat Pak Doni ada di depanku."Hmmm.""Lai, tolong ini habiskan," Ucapan Pak Doni membuatku terperangah."Baik Pak, tapi apa boleh saya habiskan nanti saat makan siang? Saya sudah sarapan.""Terserah," ketus Pak Doni dan masuk ke ruangannya. Baru kali ini aku melihatnya bicara ketus padaku, tidak seperti biasanya. Wajahnya terlihat kurang bersemangat sekali saat aku datang."Bawa apa Lai, kayaknya enak nih sarapan Croffel pagi-pagi," celetuk Rosi tiba - tiba di sebelahku."Dari Pak Doni barusan, Ros. Memberi makanan tanpa ada ekspresi rasanya aneh," jawabku membuat Rosi nyengir."Punya atasan kaku amat ya, Lai.""Tau ah Ros! Pokoknya fokus berkarir aja," ungkapku mengedikkan pundakku."Eh Lai, aku boleh cerita denganmu?" Tanya Rosi. Wajah Rosi begitu serius saat ingin menceritakan sesuatu padaku, tentu saja aku penasaran."Cerita apa?""Setiap ada rapat Pak Doni selalu memandangmu.""Maksudnya apa? Aku tidak mengerti deh Ros.""Kamu tuh, gak nyadar sama sekali ya dengan tingkah Pak Doni?" Rosi semakin kesal denganku."Ros, inget aku kesini kerja dan tidak mungkin juga aku bersama dengan Pak Doni, kamu tidak kasihan denganku jika aku harus bersuami dengan manusia robot? Sudah jangan bahas lagi! Lagian Pak Doni kan punya pacar juga," terangku mengalihkan pembahasan mereka mengenai Pak Doni."Tapi Pak Doni tidak suka dengan wanita itu, wanita itu yang ngejar Pak Doni. Ya sudah, jika keputusanmu seperti itu, semoga saja kamu kena omonganmu sendiri, Lai.""Huh Rosi, sudah tolong jangan bahas itu lagi. Statusku masih istri Mas Rizwan!" tegasku pada Rosi. Aku masih istri Mas Rizwan dan harusnya mereka tak menjodohkanku dengan Pak Doni."Eh ada Croffle yang enak dan terkenal nih," tiba Dini datang menyela."Makan aja, tapi ingat jangan tinggalkan bekas jika kalian yang makan, oke," peringatan dariku. Jika mereka makan dan meninggalkan bekas, maka Pak Doni akan mengira jika aku tidak menyukai makanan yang diberinya."Kenapa?" tanya Dini."Croffle dari manusia Robot.""Semoga aja nanti jika udah resmi diganti dengan cincin," celetuk Dini."Hus, kerja yok jangan ngobrol aja!" perintahku kepada mereka.Segera kuselesaikan Proposal hari ini karena siang nanti aku harus mendampingi Pak Doni metting dengan Vendor besar.Empat jam akhirnya selesai juga dan segera ku makan Croffle pemberian Pak Doni. Meskipun tinggal sisa beberapa setelah dimakan teman - teman, tak apalah untuk mengganjal perut sebelum jam makan siang tiba.CeklekSelalu saja jantungku akan berdegung kencang jika terdengar pintu dibuka. Jika harus berdua dengannya selalu saja membuatku grogi."Proposal sudah selesai, Lai?" tanya Pak Doni saat melihatku makan Croffle yang tersisa."Ma, maaf Pak, Proposal selesai," gelagapan saat kepergok makan di jam kerja."Baiklah, segera siap-siap ikut saya ke rapat penting," ucap Pak Doni dan kembali ke ruangannya."Aku pergi dulu ya teman - teman, mau dampingi manusia robot dulu," pamitku kepada teman seruanganku. Segera kurapikan meja kerjaku sebelum pergi.Pak Doni keluar dan aku mengekor di belakangnya bak ajudan. Hening saat berada di dalam mobil. Kebetulan hari ini tidak memakai sopir jadi aku terpaksa duduk di depan bersama Pak Doni."Makan siang dulu, Lai," tiba-tiba Pak Doni mengarahkan mobilnya ke restoran terkenal dan mahal."Iya Pak, apa tidak makan di tempat lain saja, Pak?" tanyaku, takut jika disuruh bayar sendiri."Jangan banyak protes, saya ingin makan Steak wagyu mengingat kenangan saya dengan mantan tunangan saya yang telah tiada."Deg....Entah kenapa perasaan ini tidak nyaman ketika Pak Doni mengenang mantan tunangannya. Sungguh aku kasihan mendengar kisahnya."Baik Pak," ucapku tanpa banyak tanya. Kembali aku mengekor di belakangnya, jika aku berjalan bersisihan maka aku takut dibilang pegawai tak tahu diri."Bisakah berjalan bersisihan? Seperti ajudan saja berjalan di belakangku.""Maaf Pak," jawabku grogi bersisihan dengan manusia robot.Saat duduk netraku menangkap sosok yang kukenal, Mas Rizwan bersama dengan Shilla. Seketika air mata jatuh melihatnya bersama dengan Shilla, padahal baru saja dia ingin mundur. Rasanya ingin tidak percaya dengan kejadian di depanku namun ini nyata dan membuatku hatus percaya."Jangan lihat jika tidak ingin sakit hati," tegas Pak Doni saat melihatku. Wajahnya datar melihatku menangis, dia juga mengulurkan tisu untukku."Maaf Pak," segera kuusap air mataku."Kamu harus bahagia, biarkan jika mereka ingin bersama. Tetap jadilah Laila yang tangguh meskipun disakiti," kata Pak Doni."Makanan sudah siap, segera makan siang setelah ini kita ada rapat penting, saya tidak ingin proyek besar ini gagal karena sekretarisku galau.""Baik, Pak." aku memotong daging steak dan memasukkan ke mulutku meski tenggorokan rasanya bak dipenuhi duri. Aku berusaha menelannya meski susah payah, apalagi aku disuguhi pemandangan mesra dari Mas Rizwan dan Shilla."Jangan tampakkan wajah sedihmu di depan mereka," tegas Pak Doni.Sebenarnya aku tidak ingin dikasihani, termasuk Pak Doni. Aku yakin jika aku mampu melewati semua ini meski nantinya tertatih-tatih untuk melaluinya.Aku kecewa dengan sikapnya kemarin yang katanya ingin bersamaku sebelum perceraian, namun ternyata mulutnya hanya sekedar janji belaka."Kamu tidak masak, Lai?" tanya Mas Rizwan saat membuka tudung saji dan tidak ada isi di dalamnya."Makan di luar saja, Mas," jawabku datar tanpa memperhatikan Mas Rizwan dan aku menyibukkan sendiri menyemir sepatu kerjaku yang berwarna hitam."Bukannya kemarin aku sudah memberi uang belanja, Lai?" protes Mas Rizwan atas sikapku yang acuh padanya. Aku benar-benar sudah kecewa dengannya, rasa percaya menguap sempurna."Nih, Mas! kukembalikan uangmu. Lagian juga kamu sebentar lagi menikah dengan Shilla jadi kamu harus menjaga Shilla mulai dari sekarang.""Lai, kok kamu berubah?" "Yang berubah itu kamu, kamu yang menghianati perjanjian kita kan? Ya sudah nikmati saja." aku beranjak meninggalkannya namun tangannya mencekal tanganku. Sudah berselingkuh masih saja mengelak ternyata."Menghianati bagaimana, Lai?" aku memutar bola mataku dengan malas ke arahn
Usai makan siang, Pak Doni mengemudikan mobilnya menuju ke galeri sepatu. Aku jadi grogi jika berdua bersamanya, entah karena lama tidak bertemu atau bagaimana, yang jelas aku tidak percaya diri sama sekali. Dulu berdua seperti tak membuatku gugup sama sekali. Malah aku bisa cerita banyak sekali padanya meski tanggapannya sangatlah kaku."Kamu kenapa, Lai?" dia memperhatikanku ternyata saat mengingat kenangan saat menjadi sekretaris pertamanya dulu."Oh, tidak apa-apa, Pak!" aku sedikit lega ketika mobil yang dikendarai Pak Doni sudah sampai di sebuah galeri sepatu yang cukup menguras kantong bagiku. Meski dulu gajiku besar namun aku hanya membeli sepatu yang harganya tiga ratus ribuan. Bagiku sayang sekali jika hanya menghambur-hamburkan uang untuk sepatu yang harganya jutaan. Aku dan Pak Doni kini masuk ke galeri sepatu, segera aku ke bagian sepatu khusus pantofel."Silahkan pilih sepatu yang kamu suka, anggap hari ini aku memberikan hadiah untuk sekretarisku yang berprestasi!" Sun
Kulihat pagi ini Mas Rizwan membuka tudung saji, dia sepertinya lapar pagi ini. Bisa dilihat dari wajahnya yang lapar."Kamu beberapa hari ini enggak pernah masak untuk sarapan, Lai," ujar Mas Rizwan yang sudah tidak masak beberapa hari ini. Aku terpaksa melakukannya, percuma saja aku menuruti permintaannya namun dia tak pernah menghargaiku."Uangnya udah aku balikin ke kamu, Mas." aku sibuk merapikan rambutku yang akan kucepol ke atas karena membuatku lebih nyaman dan tidak gerah."Iya, tapi udah habis." Yang benar saja, baru beberapa hari, uang sebanyak itu sudah habis. Jika aku yang mengatur pasti cukup untuk sebulan, hanya saja aku sudah tak mau lagi. "Iya itu masalah kamu, Mas! Lagian kamu udah berhak menalakku sekarang juga.""Maksudmu apa, Lai?" sungguh, saat ini aku benar-benar ingin mencakar wajahnya."Kamu sudah mengingkari perjanjian kita, jadi kamu sudah boleh menalakku, Mas!""Tunggu sampai empat belas hari, Lai.""Empat belas hari untuk mengingkari janjimu, Mas? Untuk ap
Sejak Laila memutuskan kembali bergabung di perusahaanku, tentu saja hal ini membuatku semangat bekerja kembali. Tak ada hari terlewatkan untuk tetap masuk kerja. Laila adalah wanita yang tangguh. Adanya Laila di perusahaanku membuat perubahan yang gemilang. Sengaja kuhadiahkan sebuah apartemen mewah dengan fasilitas lengkap. Hanya saja sebelum kuberikan, ternyata Laila tiba-tiba mengundurkan diri. Akhirnya kubiarkan saja apartemen ini, berharap bisa memberikannya kepada Laila suatu hari nanti.Semenjak Laila mengundurkan diri, segera kucari pengganti Laila. Ternyata penampilan mereka tak sepadan dengan kecerdasan Laila. Penampilan Laila sangat sederhana tetapi memiliki otak yang cerdas.Mencari pengganti Laila, aku berharap akan membawa kesuskesan untuk perusahaanku. Tapi ternyata bukan itu yang kudapatkan dan tidak sesuai kenyataan. Berkali - kali aku berganti sekretaris dan semua tak sesuai dengan ekspektasiku. Beberapa tahun kemudian Laila datang kembali untuk melamar pekerjaan. H
Seperti biasa pukul delapan pagi aku sudah sampai di tempat kerjaku. Aku melihat sosok wanita berpakaian kurang bahan terkesan seksi berdiri di depan pintu ruangan Pak Doni. Wajahnya bahkan terlihat kurang bersahabat sama sekali dan terkesan sombong."Kamu tidak mengucapkan selamat pagi padaku?" terlihat sekali dia sangat angkuh, bahkan memintaku mengucapkan selamat lagi padanya. Padahal sama sekali aku tidak mengenalnya."Maaf, anda siapa? saya baru melihat hari ini," tanyaku membuat wanita itu terperanjat dan kedua matanya membulat sempurna ke arahku."Oh, pasti kamu pegawai baru, Kenalkan aku Alexandra tunangannya atasan kamu. Jadi jika bertemu aku kamu harus salam selayaknya aku atasan kamu?" ketus wanita itu. Baru saja tunangan, layaknya sudah menjadi bos besar di perusahaan Pak Doni. Ternyata Pak Doni sudah punya tunangan macam wanita sombong yang ada di depanku. "Baik, Nyonya." Segera menuju ke meja kerjaku dan menyiapkan berkas untuk hari ini."Jam berapa atasanmu datang ke ka
Alexandra gemas sekali dengan sikap Doni padanya. Terpaksa Alexsandra menuju ke kediaman Doni untuk mengadukan sikap Doni kepada Ibunya. Alexsandra meneteskan air di kedua matanya supaya terlihat sedang bersedih."Tante, Alexandra dicuekin sama Doni," rengek Alexandra kepada Vera, Ibu dari Doni. "Kok bisa?" tanya Vera keheranan, Vera pura-pura terkejut atas aduan Alexsandra kepadanya."Sandra juga tidak tau. Padahal sandra udah berusaha maksimal," rengek Alexandra layaknya anak kecil."Kamu tenang dulu, nanti tante yang bicara dengan Doni. Kamu tenang aja ya." Vera masih membujuk Sandra supaya tetap tenang dan tidak merengek."Baik, Tante," Alexandrapun mengangguk setelah ditenangkan Vera. Namun Sandra diam-diam tersenyum licik setelah mengadukan sikap Doni padanya.Drrtttt ddrttttSuara panggilan di ponsel Alexandra, secepat mungkin Alexandra menjauh dari Vera. Vera curiga ada sesuatu yang disembunyikan Alexandra."Sandra angkat telepon dulu, Tante," ucap Alexandra dan keluar menjauh
"Kalian dari mana? Waktunya bekerja malah keluyuran. Mana belanja tas mahal lagi, kalian itu tidak pantas pakai tas mahal. Tau!" ucap seseorang dengan tatapan tajam kepada mereka berempat. Keempat wanita itu hanya diam dan menunduk ketika Alexandra berdiri menyambut kedatangan mereka dengan angkuhnya. Tak ada yang tahu dengan yang diinginkan Alexandra sebenarnya."Nyonya Alexandra!" Rini terkejut keberadaan wanita sombong di depannya. Sandra tidak tahu jika Vera yang mengajak mereka semua pergi jalan-jalan."Jangan buat keributan di sini, Sandra, Mamaku yang mengajak mereka keluar!" Alexandra terkejut mendengar ucapan Doni yang membela mereka. Sandra tentu saja kesal karena tidak ada yang membelanya sama sekali. Sandra bahkan terkejut dengan pengakuan Doni bahwa yang mengajak mereka adalah Vera, Ibunya Doni."Tapi kan--." suara Sandra mulai melunak ketika Doni berbicara tegas kepadanya."Pulanglah! jangan buat keributan di sini!" perintah Doni kepada Alexandra. Alexandra akhirnya ke
Ting nungSuara bel dari pintu Appartmen Laila. Gegas Laila membuka dan terkejut Doni datang ke apartemennya sore ini."Pak Doni, ada yang perlu saya bantu, sampai malam begini datang ke apartemen saya?" Laila terkejut ketika mendapati bosnya bertamu di sore hari tanpa memberitahu terlebih dahulu."Oh, tidak ada apa-apa. Itu cream apa di wajah kamu?" Doni menunjuk olesan cream di wajahku yang belum di ratakan. Laila meraba wajahnya dan benar saja, Cream yang dioleskan belum diratakan. Hal ini tentu saja membuat malu dirinya sendiri di depan bosnya."Oh, maaf, Pak. Saya sedang perawatan sendiri, hanya perawatan kulit wajah," ucap Laila menahan malu dan Doni tertawa melihatnya kikuk. Laila mempersilahkan Doni masuk ke apartemennya, sedangkan Laipa dengan cepat meratakan cream di wajahnya."Kenapa, Pak Doni tertawa?" Laila tahu jika Doni sedang menertawakannya."Oh, tidak apa-apa. Kamu sudah makan?" tanya Doni kepada Laila."Sudah, Pak. Pak Doni sendiri apa sudah makan?""Belum, Lai. Bis