Hari pertama di mulai hari ini, pagi ini aku berkutat di dapur memasak sarapan untukku dan Mas Rizwan. Anggap saja kita berdua mulai memperbaiki hubungan sampai emoat belas hari seperti yang diucapkan Mas Rizwan.
"Masak apa, Lai?" tanya Mas Rizwan usai mandi dan menuju ke dapur saat aku sedang memasak."Hanya masak ayam balado saja," ucapku singkat sambil mengaduk campuran ayam goreng dan bumbu balado. Ayam balado yang lama sekali tak kunikmati karena harganya tak mampu aku belim"Aku makan ya?" tanya Mas Rizwan sembari berkedip mata ke arahku. Sepertinya Mas Rizwan tergoda dengan aroma balado ayam buatanku."Ini memang menu sarapan kita, Mas. Lagian juga kamu tidak perlu minta ijin untuk sarapan." Kulihat ayam balado sudah matang dan aku segera menyajikannya ke meja makan."Em, Lai. Ini ada uang lemburku satu juta lima ratus untuk belanja sampai empat belas hari dan tolong rahasiakan ini pada Ibu dan Mbak Rina," ucapan Mas Rizwan membuatku terperangah. Ada baiknya juga ternyata membuat perjanjian dengannya. Ada raut wajah puas darinya ketika memberikan uang lemburnya padaku."Maksudnya apa Mas? Kamu tak sedang membujukku kan?" tanyaku penuh kecurigaan dengan sikap Mas Rizwan yang tiba-tiba baik."Aku tidak ada maksud tertentu, Lai. Aku ingin menjadi suami yang bertanggung jawab sebelum kita berpisah." meski ada rasa nyeri di hati namun aku harus tetap rela jika hubungaku dengannya tidak berjodoh."Oh," aku hanya menjawab sekenanya sembari menahan luka yang teramat sakit."Kok hanya Oh saja, Lai?" tanya Mas Rizwan melihatku biasa saja meski hati ingin kembali bersama."Terus?" "Hm, tidak apa-apa, Lai. Maaf atas perbuatan Mas selama ini. Mas mohon empat belas hari ke depan, kamu perlakukan Mas selayaknya suami," Mas Rizwan menatap nanar saat memandangku. Antara rela berpisah dan tidak namun aku tidak boleh terbujuk oleh sikapnya saat ini. Aku harus tegas dan merelakan Mas Rizwan menjadi milik jodoh pilihan Ibunya."Terus selama ini apa Mas Rizwan tidak kuanggap suami? Gimana sih, Mas?" tanyaku sengaja memancing Mas Rizwan."Bu, bukan seperti itu Lai, empat belas hari kedepan tetaplah bersamaku, Lai. Mas ragu dengan Shilla.""Ragu kenapa? keluarga Mas dan Shilla sudah setuju. Ingat Mas, baktimu masih pada Ibumu!""Tapi Lai, Mas tak bisa menikahi Shilla." "Kalau tidak bisa, kenapa Mas Rizwan tidak bisa tegas dengan keputusan sendiri?" tanyaku membuat nyali Mas Rizwan mengkerut. Jika memanga ragu, harusnya dia tegas dan menolak jika dijodohkan dengan Shilla."Em, anu Lai, Mas...," seperti bingung mau mengungkapkan."Begini saja, jika dalam empat belas hari ke depan Mas Rizwan tetap mempertahankan aku sebagai istrimu maka kita tetap akan menjadi suami istri. Tapi jika Mas Rizwan tidak bisa mempertahankan aku, ya apa boleh buat? Kita harus berpisah." "Kamu kok enteng banget, Lai, kalau ngomong.""Keluargamu saja enteng banget juga kalau menghina dan memaksamu menceraikan aku, apalagi nafkahmu sampai diatur juga," pungkasku."Iya, iya Lai, Mas paham.""Baiklah jadi deal ya, Mas," sedikit ada rasa bahagia ketika Mas Rizwan bersedia dengan persyaratan yang kuberikan. Semoga saja mendapatkan keputusan yang baik."Mas berangkat dulu Lai," pamit Mas Rizwan."Hati - hati Mas."************Aku berangkat lebih pagi dari biasanya, aku begitu bersemangat sekali setelah membuat Mas Rizwan ragu atas keinginan dan perintah orang tuanya. Bukan karena aku jahat namun aku ingin membuat sedikit pelajaran kepada Mas Rizwan."Selamat pagi Pak," salamku saat melihat Pak Doni ada di depanku."Hmmm.""Lai, tolong ini habiskan," Ucapan Pak Doni membuatku terperangah."Baik Pak, tapi apa boleh saya habiskan nanti saat makan siang? Saya sudah sarapan.""Terserah," ketus Pak Doni dan masuk ke ruangannya. Baru kali ini aku melihatnya bicara ketus padaku, tidak seperti biasanya. Wajahnya terlihat kurang bersemangat sekali saat aku datang."Bawa apa Lai, kayaknya enak nih sarapan Croffel pagi-pagi," celetuk Rosi tiba - tiba di sebelahku."Dari Pak Doni barusan, Ros. Memberi makanan tanpa ada ekspresi rasanya aneh," jawabku membuat Rosi nyengir."Punya atasan kaku amat ya, Lai.""Tau ah Ros! Pokoknya fokus berkarir aja," ungkapku mengedikkan pundakku."Eh Lai, aku boleh cerita denganmu?" Tanya Rosi. Wajah Rosi begitu serius saat ingin menceritakan sesuatu padaku, tentu saja aku penasaran."Cerita apa?""Setiap ada rapat Pak Doni selalu memandangmu.""Maksudnya apa? Aku tidak mengerti deh Ros.""Kamu tuh, gak nyadar sama sekali ya dengan tingkah Pak Doni?" Rosi semakin kesal denganku."Ros, inget aku kesini kerja dan tidak mungkin juga aku bersama dengan Pak Doni, kamu tidak kasihan denganku jika aku harus bersuami dengan manusia robot? Sudah jangan bahas lagi! Lagian Pak Doni kan punya pacar juga," terangku mengalihkan pembahasan mereka mengenai Pak Doni."Tapi Pak Doni tidak suka dengan wanita itu, wanita itu yang ngejar Pak Doni. Ya sudah, jika keputusanmu seperti itu, semoga saja kamu kena omonganmu sendiri, Lai.""Huh Rosi, sudah tolong jangan bahas itu lagi. Statusku masih istri Mas Rizwan!" tegasku pada Rosi. Aku masih istri Mas Rizwan dan harusnya mereka tak menjodohkanku dengan Pak Doni."Eh ada Croffle yang enak dan terkenal nih," tiba Dini datang menyela."Makan aja, tapi ingat jangan tinggalkan bekas jika kalian yang makan, oke," peringatan dariku. Jika mereka makan dan meninggalkan bekas, maka Pak Doni akan mengira jika aku tidak menyukai makanan yang diberinya."Kenapa?" tanya Dini."Croffle dari manusia Robot.""Semoga aja nanti jika udah resmi diganti dengan cincin," celetuk Dini."Hus, kerja yok jangan ngobrol aja!" perintahku kepada mereka.Segera kuselesaikan Proposal hari ini karena siang nanti aku harus mendampingi Pak Doni metting dengan Vendor besar.Empat jam akhirnya selesai juga dan segera ku makan Croffle pemberian Pak Doni. Meskipun tinggal sisa beberapa setelah dimakan teman - teman, tak apalah untuk mengganjal perut sebelum jam makan siang tiba.CeklekSelalu saja jantungku akan berdegung kencang jika terdengar pintu dibuka. Jika harus berdua dengannya selalu saja membuatku grogi."Proposal sudah selesai, Lai?" tanya Pak Doni saat melihatku makan Croffle yang tersisa."Ma, maaf Pak, Proposal selesai," gelagapan saat kepergok makan di jam kerja."Baiklah, segera siap-siap ikut saya ke rapat penting," ucap Pak Doni dan kembali ke ruangannya."Aku pergi dulu ya teman - teman, mau dampingi manusia robot dulu," pamitku kepada teman seruanganku. Segera kurapikan meja kerjaku sebelum pergi.Pak Doni keluar dan aku mengekor di belakangnya bak ajudan. Hening saat berada di dalam mobil. Kebetulan hari ini tidak memakai sopir jadi aku terpaksa duduk di depan bersama Pak Doni."Makan siang dulu, Lai," tiba-tiba Pak Doni mengarahkan mobilnya ke restoran terkenal dan mahal."Iya Pak, apa tidak makan di tempat lain saja, Pak?" tanyaku, takut jika disuruh bayar sendiri."Jangan banyak protes, saya ingin makan Steak wagyu mengingat kenangan saya dengan mantan tunangan saya yang telah tiada."Deg....Entah kenapa perasaan ini tidak nyaman ketika Pak Doni mengenang mantan tunangannya. Sungguh aku kasihan mendengar kisahnya."Baik Pak," ucapku tanpa banyak tanya. Kembali aku mengekor di belakangnya, jika aku berjalan bersisihan maka aku takut dibilang pegawai tak tahu diri."Bisakah berjalan bersisihan? Seperti ajudan saja berjalan di belakangku.""Maaf Pak," jawabku grogi bersisihan dengan manusia robot.Saat duduk netraku menangkap sosok yang kukenal, Mas Rizwan bersama dengan Shilla. Seketika air mata jatuh melihatnya bersama dengan Shilla, padahal baru saja dia ingin mundur. Rasanya ingin tidak percaya dengan kejadian di depanku namun ini nyata dan membuatku hatus percaya."Jangan lihat jika tidak ingin sakit hati," tegas Pak Doni saat melihatku. Wajahnya datar melihatku menangis, dia juga mengulurkan tisu untukku."Maaf Pak," segera kuusap air mataku."Kamu harus bahagia, biarkan jika mereka ingin bersama. Tetap jadilah Laila yang tangguh meskipun disakiti," kata Pak Doni."Makanan sudah siap, segera makan siang setelah ini kita ada rapat penting, saya tidak ingin proyek besar ini gagal karena sekretarisku galau.""Baik, Pak." aku memotong daging steak dan memasukkan ke mulutku meski tenggorokan rasanya bak dipenuhi duri. Aku berusaha menelannya meski susah payah, apalagi aku disuguhi pemandangan mesra dari Mas Rizwan dan Shilla."Jangan tampakkan wajah sedihmu di depan mereka," tegas Pak Doni.Sebenarnya aku tidak ingin dikasihani, termasuk Pak Doni. Aku yakin jika aku mampu melewati semua ini meski nantinya tertatih-tatih untuk melaluinya.Aku kecewa dengan sikapnya kemarin yang katanya ingin bersamaku sebelum perceraian, namun ternyata mulutnya hanya sekedar janji belaka."Kamu tidak masak, Lai?" tanya Mas Rizwan saat membuka tudung saji dan tidak ada isi di dalamnya."Makan di luar saja, Mas," jawabku datar tanpa memperhatikan Mas Rizwan dan aku menyibukkan sendiri menyemir sepatu kerjaku yang berwarna hitam."Bukannya kemarin aku sudah memberi uang belanja, Lai?" protes Mas Rizwan atas sikapku yang acuh padanya. Aku benar-benar sudah kecewa dengannya, rasa percaya menguap sempurna."Nih, Mas! kukembalikan uangmu. Lagian juga kamu sebentar lagi menikah dengan Shilla jadi kamu harus menjaga Shilla mulai dari sekarang.""Lai, kok kamu berubah?" "Yang berubah itu kamu, kamu yang menghianati perjanjian kita kan? Ya sudah nikmati saja." aku beranjak meninggalkannya namun tangannya mencekal tanganku. Sudah berselingkuh masih saja mengelak ternyata."Menghianati bagaimana, Lai?" aku memutar bola mataku dengan malas ke arahn
Usai makan siang, Pak Doni mengemudikan mobilnya menuju ke galeri sepatu. Aku jadi grogi jika berdua bersamanya, entah karena lama tidak bertemu atau bagaimana, yang jelas aku tidak percaya diri sama sekali. Dulu berdua seperti tak membuatku gugup sama sekali. Malah aku bisa cerita banyak sekali padanya meski tanggapannya sangatlah kaku."Kamu kenapa, Lai?" dia memperhatikanku ternyata saat mengingat kenangan saat menjadi sekretaris pertamanya dulu."Oh, tidak apa-apa, Pak!" aku sedikit lega ketika mobil yang dikendarai Pak Doni sudah sampai di sebuah galeri sepatu yang cukup menguras kantong bagiku. Meski dulu gajiku besar namun aku hanya membeli sepatu yang harganya tiga ratus ribuan. Bagiku sayang sekali jika hanya menghambur-hamburkan uang untuk sepatu yang harganya jutaan. Aku dan Pak Doni kini masuk ke galeri sepatu, segera aku ke bagian sepatu khusus pantofel."Silahkan pilih sepatu yang kamu suka, anggap hari ini aku memberikan hadiah untuk sekretarisku yang berprestasi!" Sun
Kulihat pagi ini Mas Rizwan membuka tudung saji, dia sepertinya lapar pagi ini. Bisa dilihat dari wajahnya yang lapar."Kamu beberapa hari ini enggak pernah masak untuk sarapan, Lai," ujar Mas Rizwan yang sudah tidak masak beberapa hari ini. Aku terpaksa melakukannya, percuma saja aku menuruti permintaannya namun dia tak pernah menghargaiku."Uangnya udah aku balikin ke kamu, Mas." aku sibuk merapikan rambutku yang akan kucepol ke atas karena membuatku lebih nyaman dan tidak gerah."Iya, tapi udah habis." Yang benar saja, baru beberapa hari, uang sebanyak itu sudah habis. Jika aku yang mengatur pasti cukup untuk sebulan, hanya saja aku sudah tak mau lagi. "Iya itu masalah kamu, Mas! Lagian kamu udah berhak menalakku sekarang juga.""Maksudmu apa, Lai?" sungguh, saat ini aku benar-benar ingin mencakar wajahnya."Kamu sudah mengingkari perjanjian kita, jadi kamu sudah boleh menalakku, Mas!""Tunggu sampai empat belas hari, Lai.""Empat belas hari untuk mengingkari janjimu, Mas? Untuk ap
Sejak Laila memutuskan kembali bergabung di perusahaanku, tentu saja hal ini membuatku semangat bekerja kembali. Tak ada hari terlewatkan untuk tetap masuk kerja. Laila adalah wanita yang tangguh. Adanya Laila di perusahaanku membuat perubahan yang gemilang. Sengaja kuhadiahkan sebuah apartemen mewah dengan fasilitas lengkap. Hanya saja sebelum kuberikan, ternyata Laila tiba-tiba mengundurkan diri. Akhirnya kubiarkan saja apartemen ini, berharap bisa memberikannya kepada Laila suatu hari nanti.Semenjak Laila mengundurkan diri, segera kucari pengganti Laila. Ternyata penampilan mereka tak sepadan dengan kecerdasan Laila. Penampilan Laila sangat sederhana tetapi memiliki otak yang cerdas.Mencari pengganti Laila, aku berharap akan membawa kesuskesan untuk perusahaanku. Tapi ternyata bukan itu yang kudapatkan dan tidak sesuai kenyataan. Berkali - kali aku berganti sekretaris dan semua tak sesuai dengan ekspektasiku. Beberapa tahun kemudian Laila datang kembali untuk melamar pekerjaan. H
Seperti biasa pukul delapan pagi aku sudah sampai di tempat kerjaku. Aku melihat sosok wanita berpakaian kurang bahan terkesan seksi berdiri di depan pintu ruangan Pak Doni. Wajahnya bahkan terlihat kurang bersahabat sama sekali dan terkesan sombong."Kamu tidak mengucapkan selamat pagi padaku?" terlihat sekali dia sangat angkuh, bahkan memintaku mengucapkan selamat lagi padanya. Padahal sama sekali aku tidak mengenalnya."Maaf, anda siapa? saya baru melihat hari ini," tanyaku membuat wanita itu terperanjat dan kedua matanya membulat sempurna ke arahku."Oh, pasti kamu pegawai baru, Kenalkan aku Alexandra tunangannya atasan kamu. Jadi jika bertemu aku kamu harus salam selayaknya aku atasan kamu?" ketus wanita itu. Baru saja tunangan, layaknya sudah menjadi bos besar di perusahaan Pak Doni. Ternyata Pak Doni sudah punya tunangan macam wanita sombong yang ada di depanku. "Baik, Nyonya." Segera menuju ke meja kerjaku dan menyiapkan berkas untuk hari ini."Jam berapa atasanmu datang ke ka
Alexandra gemas sekali dengan sikap Doni padanya. Terpaksa Alexsandra menuju ke kediaman Doni untuk mengadukan sikap Doni kepada Ibunya. Alexsandra meneteskan air di kedua matanya supaya terlihat sedang bersedih."Tante, Alexandra dicuekin sama Doni," rengek Alexandra kepada Vera, Ibu dari Doni. "Kok bisa?" tanya Vera keheranan, Vera pura-pura terkejut atas aduan Alexsandra kepadanya."Sandra juga tidak tau. Padahal sandra udah berusaha maksimal," rengek Alexandra layaknya anak kecil."Kamu tenang dulu, nanti tante yang bicara dengan Doni. Kamu tenang aja ya." Vera masih membujuk Sandra supaya tetap tenang dan tidak merengek."Baik, Tante," Alexandrapun mengangguk setelah ditenangkan Vera. Namun Sandra diam-diam tersenyum licik setelah mengadukan sikap Doni padanya.Drrtttt ddrttttSuara panggilan di ponsel Alexandra, secepat mungkin Alexandra menjauh dari Vera. Vera curiga ada sesuatu yang disembunyikan Alexandra."Sandra angkat telepon dulu, Tante," ucap Alexandra dan keluar menjauh
"Kalian dari mana? Waktunya bekerja malah keluyuran. Mana belanja tas mahal lagi, kalian itu tidak pantas pakai tas mahal. Tau!" ucap seseorang dengan tatapan tajam kepada mereka berempat. Keempat wanita itu hanya diam dan menunduk ketika Alexandra berdiri menyambut kedatangan mereka dengan angkuhnya. Tak ada yang tahu dengan yang diinginkan Alexandra sebenarnya."Nyonya Alexandra!" Rini terkejut keberadaan wanita sombong di depannya. Sandra tidak tahu jika Vera yang mengajak mereka semua pergi jalan-jalan."Jangan buat keributan di sini, Sandra, Mamaku yang mengajak mereka keluar!" Alexandra terkejut mendengar ucapan Doni yang membela mereka. Sandra tentu saja kesal karena tidak ada yang membelanya sama sekali. Sandra bahkan terkejut dengan pengakuan Doni bahwa yang mengajak mereka adalah Vera, Ibunya Doni."Tapi kan--." suara Sandra mulai melunak ketika Doni berbicara tegas kepadanya."Pulanglah! jangan buat keributan di sini!" perintah Doni kepada Alexandra. Alexandra akhirnya ke
Ting nungSuara bel dari pintu Appartmen Laila. Gegas Laila membuka dan terkejut Doni datang ke apartemennya sore ini."Pak Doni, ada yang perlu saya bantu, sampai malam begini datang ke apartemen saya?" Laila terkejut ketika mendapati bosnya bertamu di sore hari tanpa memberitahu terlebih dahulu."Oh, tidak ada apa-apa. Itu cream apa di wajah kamu?" Doni menunjuk olesan cream di wajahku yang belum di ratakan. Laila meraba wajahnya dan benar saja, Cream yang dioleskan belum diratakan. Hal ini tentu saja membuat malu dirinya sendiri di depan bosnya."Oh, maaf, Pak. Saya sedang perawatan sendiri, hanya perawatan kulit wajah," ucap Laila menahan malu dan Doni tertawa melihatnya kikuk. Laila mempersilahkan Doni masuk ke apartemennya, sedangkan Laipa dengan cepat meratakan cream di wajahnya."Kenapa, Pak Doni tertawa?" Laila tahu jika Doni sedang menertawakannya."Oh, tidak apa-apa. Kamu sudah makan?" tanya Doni kepada Laila."Sudah, Pak. Pak Doni sendiri apa sudah makan?""Belum, Lai. Bis
Danu sengaja bergerak mendekat tanpa diketahui Damar. Tangan sudah terkepal kuat ingin sekali menghajar Damar saat ini juga. Lelaki yang sudah merusak rumah tangga serta menyebabkan istrinya meninggal dunia."Ah sayang, kamu baik deh!" suara seorang wanita sedang bermesraan dengan Damar. "Bagaimana kabar si Rina?" tiba-tiba pertanyaan dilontarkan oleh wanita tersebut. Danu diam dan mendengarkan percakapan mereka berdua yang akan membahas Rina."Dia sudah meninggal, sepadan dengan apa yang terjadi dengan ibuku. Ibuku meninggal karena dia," Danu mencoba menahan amarah setelah mendengar ucapan dari mulut Damar."Dia adalah anak dari seorang pelakor, wanita itu merebut ayahku dari ibuku. Bahkan ayah mencampakkan kami berdua. Aku masih ingat kejadian itu dengan jelas," Damar menerawang ke langit. Teringat kisah buruknya di masa kecil bersama Ibunya."Bisa kau jelaskan apa alasanmu sesungguhnya?" Damar terkejut ketika Danu sudah ada di depannya. Tatapan marah terlihat jelas dari kedua bola
Pagi sekali, Shilla mempersiapkan menu sarapan khusus untuk suami. Shilla sengaja ikut makan menu yang sama dengan suaminya. Tak masalah bagi Shilla menemani Rizwan diet yang sama."Sedap sekali masakan istriku," Rizwan keluar dari kamar setelah mencium harumnya masakan Shilla. Akhir-akhir ini Rizwan tak pernah sekalipun melewatkan masakan Shilla. Baginya, makanan buatan Shilla selalu memanjakan perutnya."Iya dong, Shilla kan mulai suka sekali dengan memasak," tukas Shilla sembari sibuk mengaduk sayur yang ada di atas kompor."Mas mandi dulu, setelah itu kita sarapan bareng Mas," kata Shilla tanpa memoleh ke aras Rizwan. Rizwan hanya tersenyum melihat istrinya yang sibuk memasak tanpa menoleh padanya. "Mas, Shilla lagi masak nih! jangan peluk-peluk ah!" Shilla protes karena tiba-tiba Rizwan memeluknya dari belakang. Rizwan suka sekali mengganggu Shilla jika sedang memasak. Cintanya kepada Laila sudah berangsur hilang sejak Shilla selalu membuatnya nyaman di rumah."Habisnya, aku dic
Shilla begitu senang setelah membaca pesan yang diterimanya. Shilla tak menyangka jika akan mendapatkan tawaran menarik seperti ini."Alhamdulillah," Shilla bersyukur sekali, rona bahagia terpancar dari wajah Shilla. "Aku harus memberi kabar ini pada Mas Rizwan, bagaimanapun harus mendapat persetujuan darinya," Shilla segera pulang ke rumah dan mencuci gamis barunya. Sudah menjadi kebiasaan Shilla jika membeli baju baru, maka dia akan mencuci dan menyetrika terlebih dahulu."Selesai," Shilla menjemur gamis barunya di depan kontrakan, tiba-tiba datang seorang wanita yang menyapanya."Mbak Shilla," Shilla begitu terkejut melihat wanita yang menyapa dirinya."Fila?" Senyum mengembang dari wajah Shilla karena bertemu dengan teman lamanya. Meski teman tetapi Fila sangat menghormati Shilla walaupun usianya terpaut satu tahun saja."MasyaAllah mbak, aku tadi sampek takut salah orang. Mbak Shilla berubah banget, semakin cantik dengan hijabnya," Fila memuji Shilla karena perubahannya yang me
Ada rasa iri dan menyesal di hati Rizwan ketika melihat kebahagiaan yang tengah di dapat oleh Laila."Aku tak boleh iri dengan kebahagiannya, aku yang telah membuatnya seperti ini." Rizwan berusaha menyemangati dirinya. Rizwan sadar jika dirinya tak berhak ikut campur atas segala hal yang menjadi kebahagiaan Laila."Mas, kapan kita adopsi seorang anak?" ucapan Shilla mengejutkan lamunan Rizwan."Tunggu Mas jika libur kerja bagaimana?" senyum Shilla mengembang ketika mendengar jawaban dari Rizwan."Shilla setuju, Mas. Shilla enggak sabar ingin segera punya momongan," Shilla terlihat begitu bahagia di samping Rizwan.Tanpa sadar air mata Rizwan jatuh juga, keinginannya memiliki momongan sejak menikah dengan Laila. Rizwan merasa gagal menjadi suami yang memiliki gangguan pada organ reproduksinya."Kenapa Mas Rizwan menangis? maafkan Shilla, jika Shilla terlalu memaksamu," Shilla kembali menunduk, tak ingin menyakiti perasaan suaminya."Maafkan suamimu ini, Shil. Suami yang tak bisa membe
Usia kandungan Laila kini sudah memasuki trisemester ketiga dan itu tandanya sebentar lagi Laila akan menghadapi persalinan. Beberapa bulan ini Doni bahkan lebih protektif dengan semua kegiatan Laila."Mas, aku kok mengeluarkan darah dan lendir. Perutku mules juga," Laila terlihat merintih kesakitan bahkan keringat sudah membanjiri wajahnya."Don, siapkan mobil! Laila sepertinya akan melahirkan," Doni menyambar kunci mobil dan tas berisi perlengkapan bayi. Sedangkan Vera memapah Laila masuk ke dalam mobil."Sakit, Ma." Laila merintih karena merasakan sakit yang melilit. Tangannya bahkan mengepal kuat menahan rasa sakit."Sabar, Sayang. Sebentar lagi kita sampai," Doni menenangkan Laila karena sebentar lagi akan sampai di rumah sakit."Sabar, ya. Sebentar lagi sampai," Vera mengelus punggung Laila. Doni mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tak butuh waktu lama, mobil Doni sudah berada di depan lorong UGD. Tampak beberapa perawat membawa brankar untuk membawa Laila masuk ke da
Sudah tiga hari Rina tidak sadarkan diri, tiga hari pula Danu mendampingi Rina. Rizwan membesuk setiap pulang kerja untuk menggantikan Danu begitu juga dengan Shilla.Tak berapa lama kedua mata Rina mengerjab dan melihat Danu tepat berada di sampingnya. Rina sangat malu kepada Danu, meski sudah menyakitinya Danu tetap mendampingnya saat sakit. Air mata tumpah juga di depan Danu, dengan pelan Danu mengusap air mata Rina."Mas," Danu menunjukkan senyum kepada Rina."Cepatlah sembuh, kita akan pulang bersama," Danu mengusap bagian rambut Rina tak tidak ikut diperban. "Maaf," hanya kata maaf yang mampu Rina ucapkan kepada Danu. Dosa besar yang pernah dilakukannya di belakang Danu membuat Rina sangat malu dan tak pantas dimaafkan olehnya."Semua manusia pernah salah, cepat sembuh dan kita pulang!" Tak ada sahutan dari Rina hanya derai air mata sedari tadi yang lolos begitu saja."Mas.""Ada apa, Sayang." Danu merasa ada sesuatu yang akan dikatakan Rina. "Aku mencintaimu," Danu mengangguk
Danu dan Lisa sengaja meluangkan waktu untuk menemani Rina hari ini. Danu ingin Rina menyadari kesalahan yang telah diperbuat dan kembali bersamanya. Digenggamnya kembali tangan Rina yang hangat.Rizwan terharu dengan ketulusan Danu, masih bersedia meluangkan waktu liburnya untuk Rina."Rizwan, pulanglah! Biar aku yang menemani Rina," Danu menghampiri Rizwan dan Shilla yang duduk di bawah pohon. Rizwan diam sejenak untuk mempertimbangkan permintaan Danu."Kau tenanglah, Rina masih istriku dan kau tak perlu mengkhawatirkannya," Rizwan dan Shilla akhirnya pulang lebih dulu atas perintah Danu. Bersyukur sekali Rizwan memiliki ipar yang begitu tulus mencintai kakaknya.Rizwan dan Shilla akhirnya undur diri, kekhawatiran dan kegelisahan karena keadaan Rina kini berangsur membaik. Tak ada percakapan serius selama perjalanan kembali ke rumah. Shilla larut dalam pikirannya begitu juga Rizwan.Dua jam berlalu, Rina mulai mengerjabkan kedua matanya. Danu dan Lisa tentu saja senang sekali saat R
Semakin hari keadaan Rina semakin kacau, bahkan setiap malam Rina akan berteriak histeris memanggil Damar dan Ibunya, bahkan kepala dibenturkan di dinding. Tak jarang kalimat umpatan kepada ibunya sendiri pun terlontar begitu saja.Perawat sengaja tak membiarkan Rina keluar ruangan karena kondisi Rina belum stabil. Diajak bicarapun hanya diam kadang menyanyi lagu nina bobo yang selalu dinyanyikan Rina. Pagi ini Rizwan dan Shilla membesuk Rina, beberapa hari Rizwan tak sempat membesuknya karena ada beberapa masalah yang harus diselesaikan. Hari libur ini Rizwan memanfaatkan untuk menjaga Rina di rumah sakit jiwa."Mbak," sama sekali tak ada tanggapan dari Rina ketika Rizwan mencoba memanggilnya. "Mbak, bagaimana kabarmu?" Keadaan Rina semakin memprihatinkan, bahkan menoleh kepada adiknya pun tidak. Hanya tatapan kosong sambil menyanyi lagu nina bobo yang mampu Rina ucapkan. Shilla bahkan tak tega melihat keadaan Rina semakin memburuk."Mbak, kita belanja yuk!" Rizwan membujuk Rina su
Malam ini Doni teringat tatapan Rizwan siang tadi begitu lekat kepada Laila. Hati Doni begitu rapuh saat Laila kembali dekat dengan Rizwan. Tatapan Rizwan tergambar jelas jika dirinya rindu sosok Laila. Mantan istri yang pernah diabaikan oleh Rizwan.Doni sama sekali tak bisa tidur, perlahan beranjak dari ranjang dan duduk di balkon sendiri. Doni sudah membayangkan jika suatu saat Laila akan kembali kepada Rizwan. Mendapatkan Laila saja cukup sulit baginya, apalagi jika Laila tiba-tiba meninggalkannya."Aku tak mau mereka bersatu kembali, aku harus menjauhkan Laila dari Rizwan," gumam Doni. Begitu cintanya kepada Laila hingga tak akan membiarkan siapapun menyentuh atau menginginkan Laila."Tanpa Laila sama saja aku hidup tanpa nyawa," Doni menyugar rambutnya, teringat tatapan Rizwan saja sudah membuatnya frustasi. Seorang bos hampir gila karena pesona sang istri berhasil memikat mantan suaminya.Sekembalinya ke kamar, Doni membaringkan tubuhnya di samping Laila yang sudah tidur dengan