"Laila Ini jatah bulanan kamu, dan harus cukup sampai akhir bulan!" tegas suamiku dengan memberikanku jatah bulanan sebanyak satu juta lima ratus ribu. Jatah yang sangat pas-pasan menurutku bahkan terkadang aku harus mencari tambahan supaya cukup sampai satu bulan."Mas, uang ini cukup untuk pengeluaran sepuluh hari," ucapku supaya Mas Rizwan mengerti kekurangan keuangan dalam rumah tangga.Sudah banyak kecurangan saat dia memberikan nafkah yang tidak seimbang padaku. Uang satu juta lima ratus yang diberikannya kepadaku selama satu bulan tanpa mau memperhatikan pengeluaran rumah tangga kami."Sepuluh hari katamu?" sudah bisa kutebak dia bakalan marah jika kujelaskan seperti ini."Kamu boros sekali. Lihat si Janah dijatah suaminya sebulan satu juta itu sudah cukup buat dia. Lah kamu, aku beri satu juta lima ratus masih bilang tidak cukup," Mas Rizwan tak kalah sewot. Wajahnya sangat muram dan emosi dengan jatah yang kubilang sangat sedikit itu. Bagaimanapun aku harus bersikap tegas pad
Setelah Ibu mertua pulang, kulihat raut wajah Mas Rizwan seperti sedang gelisah. Dia sepertinya tertampar dengan semua keberanianku padanya barusan. Kubiarkan dia sementara untuk berfikir, mungkin dengan berfikir sejenak otaknya bisa kembali normal."Laila buatkan aku makan malam!" kesal sekali saat Mas Rizwan memintaku membuatkan makan malam. Padahal sudah jelas jika aku meminta semua kepada Ibu mertua untuk merawat Mas Rizwan. Enak saja minta buatkan makan, memberi nafkah sebagai kewajibannya saja pelit."Aku tidak pegang uang, Mas. Minta saja sama ibumu! Masa sih kamu tidak punya uang untuk beli makanan dan kalau tidak ada makanan, beli dong!" jawabku saat melihat Mas Rizwan nampak gusar. Mungkin dia akan semakin pusing mendengar pertanyaan bertubi-tubi padanya. Baru kali ini aku melihatnya gusar seperti ini. Biasanya lagaknya kayak orang kaya dan tak butuh siapapun meski saat ini aku benar-benar ingin tertawa melihatnya dilanda rasa gundah."Belikan nasi ayam dan ini uangnya!" Ma
Sepulang dari rumah Ibu mertua, wajah Mas Rizwan tampak lesu. Entah apa yang membuatnya lesu dan tak bergairah seperti itu. Tapi tidak munafik jika aku bahagia melihatnya seperti itu, kali aja dia sadar dan tidak konslet lagi."Gimana, Mas?" tanyaku dan menghampirinya yang sedang duduk dengan wajah lesu. Kukira dia akan berubaha bahagia setelah dari rumah ibunya namun ini malah sebaliknya."Katanya besok dibayar," ucapnya tanpa melihatku di sampingnya. Benar-benar aku disamakan dengan hantu yang tidak bisa dilihat."Oh, ya sudah, besok aku tunggu. Kalau tidak dibayar, biar aku samperin saja ke rumahnya," pungkasku dipenuhi rasa emosiku. Rasa emosiku sepertinya sudah mulai mendarah daging seperti ini. Biarkan jika nantinya aku dibilang seperti Mak Lampir yang penting bisa mengalahkan dan menyadarkan keluarga toxic ini."Kamu kenapa sih, uang dua ratus ribu aja diributin?" tanya Mas Rizwan saat melihatku sudah menggebu-gebu seperti Mak Lampir."Dua ratus ribu itu hasil menabungku selam
Hari ini aku mulai bekerja ketika semua pekerjaan rumah sudah kuselesaikan semua. Sementara asebekum berangkat, aku pergi ke rumah Mbak Rina untuk menagih uang dua ratus ribu yang dia pinjam. Aku sangat membutuhkan uang itu untuk perjalanan ke tempat kerja."Mbak Rina, Mbak Rina!" sengaja aku teriak-teriak memanggil Mbak Rina di depan rumahnya. Sengaja memang, biar suaminya tahu kelakuan istrinya padaku. CeklekAku tersenyum ketika seseorang yang aku tunggu dari kemarin sudah menunjukkan batang hidungnya, siapa lagi kalau bukan Mbak Rina. Heran aku, pagi-pagi tetapi penampilannya seperti kuntilanak bangun tidur. "Kamu ada apa sih, pagi- pagi sudah teriak seperti orang kesurupan!" Mbak Rina keluar seperti tak ada beban, rambutnya masih acak-acakan seperti penampakan wewe gombel. Bekas air ilur bahkan masih menempel di samping bibirnya. Benar-benar jorok kakak iparku ini. Aku saja jijik melihat penampilannya pagi ini."Mbak, aku kesini mau nagih uangku yang dua ratus ribu itu. Katanya
Lega sekali melihat Pak Doni kembali masuk ke ruangannya. Ketika dia datang suasana seakan mencekam lebih tepatnya tatapannya sangat kaku sekali. Lelaki bijak dan kaku namun bisa merintis perusahannya yang dulunya kecil dan kini berubah menjadi perusahaan besar. 'Berat amat pekerjaanku. Tak apalah aku menikmatinya. Kangen juga dengan bekerja seprti dulu' Pekerjaan sudah selesai dan aku segera ke ruangan Pak Doni. Baru sampai di depan pintu, degub jantung mulai.berdetak tak beraturan, tapi kucoba kembali menenangkan diriku sendiri dan berharal semoga hasilnya memuaskan. Aku takut jika berakhir membuatnya kecewa karena hasil pekerjaanku.Tok tok tok"Masuk!" suaranya saja sudah terdengar begitu dingin.Aku membuka pintu ruangannya, dan terlihat Pak Doni serius dengan laptopnya sepertinya banyak pekerjaan yang harus dikerjakan, bisa dilihat beberapa berkas menumpuk di meja kerjanya."Kamu kenapa, kembali bekerja?" tanya Pak Doni dingin.'Tanya kok seperti orang yang mau menginterogasi
"Baiklah! kuhubungi Shilla, Bu. Kalau dia masih punya peluang untuk bersama Rizwan," ucap Mbak Rina sembari menghubungi Shilla.Sengaja aku tak masuk dulu ke dalam rumah dan memperhatikan Ibu dan anak denggan segala rencana uniknya. Aku sudah bisa menebak jika ada sesuatu yang direncanakan Ibu dan anak ini.Tuut tuut"Halo Shil, apa kabar?" ucap Mbak Rina melalui sambungan telepon. Aku sengaja menguping sebelum masuk ke rumah. Aku mendengar Mbak Rina sedang menghubungi seseorang, mungkin seseorang yang dimaksud bernama Shilla."......"."Oh gini, Mbak Rina mau tanya sama kamu. Apakah kamu masih mencintai Rizwan?" tanya Mbak Rina, sangat tidak sopan sekali menanyakan perasaan orang lain tanpa basa basi.".....""Oh, tenang saja, semua akan Mbak Rina bantu untuk mendapatkan hati Rizwan. Kamu mau?" tanya Mbak Rina, kulihat ibu mertua tersenyum licik di samping Mbak Rina yang sedang menghubungi wanita bernama Shilla."........"."Ok, Sayang. Boleh kok besok sepulang kerja main kesini," uc
Tak lama setelah aku pulang kerja teedengar deru mobil Mas Rizwan, saat ini memang waktunya Mas Rizwan pulang kerja. Kudengar suara sepatunya begitu kentara saat memasuki rumah kontrakan kami. Namun aku sendiri tidak tahu mengapa, perasaanku padanya terasa hambar. Entah rasa cintaku padanya kini perlahan mulai menghilang, bukan karena nafkah saja namun perhatiannya padaku kini sudah tidak ada lagi. Ditambah rencana perjodohannya dengan wanita bernama Shilla membuatku semakin muak."Assalamu alaikum," kudengar salam dari Mas Rizwan saat berada di ambang pintu. Aku segera berdiri dan ikut menyambut suamiku meski hati terasa begitu berat."Waalaikum salam," jawaban salam dari ibu mertuaku. Kulihat sikap Ibu mertua begitu berbeda seakan ingin sesuatu kepada Mas Rizwan."Rizwan, belikan Ibu makanan, Ibu belum makan!" Ibu mertua mertua bagai anak kecil meminta Rizwan membelikan makanan. Sungguh tak tahu malu sekali melihat anaknya baru saja pulang kerja sudah minta dibelikan makan malam."Ma
Pagi hari saat akan berangkat kerja, kulihat Mas Rizwan termenung di ruang tamu. Sepertinya dia memikirkan permintaan Ibu dan Kakaknya semalam. Semalam tidak ada percakapan apapun saat di kamar karena aku lebih memilih tidur lebih dulu. Aku tak mau terbebani dengan masalab perjodohan suamiku."Nih, Mas! Diminum jahenya dan aku berangkat kerja dulu," sebelum berangkat aku terlebih dahulu mencium takdzim punggung tangan Mas Rizwan. "Kamu tidak mau menemani aku di rumah Lai?" sepertinya Mas Rizwan mau aku tinggal di rumah dan menemaninya di saat sedang sakit. Ingin sekali aku menemaninya hanya saja akan menambah sakit hatiku karena hari ini adalah perjodohan suamiku."Kalau sakit ingat aku kalau banyak uang ingat sama saudara dan ibunya. Aku telpon ibu sama mbak Rina saja. Biar ada yang jaga kamu, Mas. Masa mau enaknya doang," ucapku dan segera menelpon mereka berdua supaya segera datang. Sebenarnya aku tidak tega namun aku juga harus bersikap tegas supaya Mas Rizwan bisa berfikir."Kamu