Lega sekali melihat Pak Doni kembali masuk ke ruangannya. Ketika dia datang suasana seakan mencekam lebih tepatnya tatapannya sangat kaku sekali. Lelaki bijak dan kaku namun bisa merintis perusahannya yang dulunya kecil dan kini berubah menjadi perusahaan besar.
'Berat amat pekerjaanku. Tak apalah aku menikmatinya. Kangen juga dengan bekerja seprti dulu'Pekerjaan sudah selesai dan aku segera ke ruangan Pak Doni. Baru sampai di depan pintu, degub jantung mulai.berdetak tak beraturan, tapi kucoba kembali menenangkan diriku sendiri dan berharal semoga hasilnya memuaskan. Aku takut jika berakhir membuatnya kecewa karena hasil pekerjaanku.Tok tok tok"Masuk!" suaranya saja sudah terdengar begitu dingin.Aku membuka pintu ruangannya, dan terlihat Pak Doni serius dengan laptopnya sepertinya banyak pekerjaan yang harus dikerjakan, bisa dilihat beberapa berkas menumpuk di meja kerjanya."Kamu kenapa, kembali bekerja?" tanya Pak Doni dingin.'Tanya kok seperti orang yang mau menginterogasi tersangka' batinku. Hanya bisa membatin saja tanpa berani berucap, bisa-bisa aku dipecat jika bertanya macam-macam padanya."Saya ingin punya penghasilan sendiri," jawabku jujur tanpa ada rasa ingin menutup-nutupinya."Oh," ucap Pak Doni ber Oh ria kemudian melanjutkan pekerjaannya tanpa melihatku."Kalau memang ingin punya penghasilan sendiri kenapa dulu mengundurkan diri?" tanya Pak Doni tanpa melihatku dan sibuk mengulas beberapa berkas yang ada di meja kerjanya."Mm, maksud saya bukan seperti itu, Pak," ucapku terbata. Tak bisa menjawab alasanku dulu saat mengundurkan diri karena akan menikah dengan Mas Rizwan."Proposalnya sudah selesai, Pak. Pak Doni bisa tanda tangan di sini." segera kusodorkan Proposal yang telah kukerjakan sembari mengalihkan pertanyaan yang dia lontarkan padaku. Jujur saja, aku gugup jika harus berdua seperti ini."Saya keluar sebentar, apa kamu ingin makan sesuatu?" tanya Pak Doni datar dan tanpa ekspresi usai menandatangi berkas yang kuberikan padanya.'benar - benar terbuat dari batu nih orang' batinku."Oh! tidak perlu, Pak. Saya ucapkan terimakasih sebelumnya namun saya hanya meminta maaf, biar nanti saya makan siang setelah proposal yang kedua selesai," jawabku menolak secara halus namun sikap dingin masih terlihat yang ditampakkan Pak Doni padaku.Tanpa bicara apapun lagi Pak Doni keluar entah kemana, mungkin saja sekedar minum kopi di kantin atau makan siang. Setelah tiga jam aku berkutat dengan proposal dan file yang kedua, untuk presentasi meeting yang cukup membuatku menguras tenaga dan pikiran. Namun akhirnya selesai juga, bahkan jam makan siangpun terlewatkan. Tak lama dia kembali ke ruang kerjanya tanpa memperhatikanku yang rela tidak beristirahat dan melewatkan makan siang.Ceklek"Segera makan, kamu belum istirahat!" ucap Doni dengan meletakkan makan siang di meja kerjaku."Terimakasih, Pak," ucapku setelah menerima sebuah nasi kotak dari Pak Doni."Meeting saya tunda besok, setelah ini kamu siapkan untuk presentasi besok." Perintah Pak Doni padaku. Masih ada beberapa antrian pekerjaan yang harus kukerjakan setelah makan siang."Baik, Pak," ucapku menurut saja. Karena apa yang dikatakan Pak Doni tak bisa dibantah. Padahal aku sudah menyelesaikan file untuk presentasi setelah mengerjakan semua proposal yang dia minta. Aku sudah paham, jika proposal udah selesai, pasti aku akan diminta untuk membuat file untuk presentasi.Mungkin dari sikap Pak Doni membuat banyak sekretaris tak ada yang betah. Melihat sikap Pak Doni, membuatku tersenyum sendiri. Ternyata masih ada aja mahluk kaku dan dingin macam Pak Doni."Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Pak Doni dengan wajah tanpa ekspresi. Aku malu sudah membayangkan yang tidak-tidak pada Pak Doni."Ma, maaf Pak, Proposal yang kedua sudah selesai Pak, silahkan diperiksa dan tanda tangan di sini, Pak," ucapku kikuk setelah kepergok senyum sendiri."Segera makan siang dan setelah itu buatkan saya bahan untuk presentasi untuk besok," ucap Pak Doni."Baik, Pak!" jawabku. Segera kukeluar dari ruangan Pak Doni dan kembali ke meja kerjaku."Kayaknya cintanya Pak Doni kembali lagi, nih." celetuk Rini diiringi senyuman jahil padaku."Apaan sih Rin, orang kayak robot gitu siapa juga yang mau," pungkasku sembari mengalihkan pembicaraan mengenai Pak Doni."Ya siapa tau, semenjak ada kamu ada perubahan dari Pak Doni, padahal baru sehari saja loh. Eh tau gak, semenjak kamu mengundurkan diri kita sering kena semprot sama Pak Doni hanya karena masalah kecil dan sekarang semenjak ada kamu, Pak Doni sepertinya tidak akan pernah marah," ucap Rini diiringi Rosi yang tersenyum padaku."Iya tuh, kayaknya karena kamu," ucap Dina."Hust! aku sudah bersuami," pungkasku. Jangan sampai gosip kami terdengar sampai di ruangan Pak Doni."Kalau suami kayak gitu mah lempar aja ke laut," seloroh Rini membuat ruang kerja semakin ramai.CeklekSuara candaan di ruangan mendadak berhenti tiba-tiba ketika terdengar suara pintu dibuka oleh pemiliknya."Laila, nanti tolong kamu lembur," ucap Pak Doni. Cukup aneh bukan, melihat bos besar rela membuka pintu berkali-kali demi menyampaikan tugas padaku."Nanti, Pak? tapi--,"Ucapku belum selesai namun dia sepertinya akan memotong ucapanku."Karena semua bahan proposal yang lain ada di rumah tolong nanti lemburnya di rumah saya," ucap Pak Doni kemudian masuk ke ruangannya lagi. Tak bisa kubayangkan jika malam ini aku harus lembur di rumah Pak Doni. Aku pastinya akan sangat malu dan tidak percaya diri."Bakalan ketemu calon mertua nih," seloroh Dina."Apaan sih, aku hanya bekerja itu saja," ucapku membuat mereka saling mengedipkan mata."Iya, iya. Aku doakan semoga kamu segera cerai dengan Rizwan," ucap Rini."Hust! tidak boleh gitu tau!" kutegur si Rini. memang kalau bicara dia banyak benarnya. firasatnya selalu tepat."Hanya mendoakan yang terbaik aja buat kamu," ucap Dina.Drtt drttPonselku berbunyi pertanda ada panggilan masuk dan ternyata dia adalah Mas Rizwan."Halo Laila sepulang kerja segera pulang, jangan keluyuran," ucap Mas Rizwan di seberang sana"Aku lembur, Mas. Kalau tidak lembur aku bisa dipecat," ucapku ketus dan segera ku putus panggilan darinya.CeklekSelalu saja jantung berdegub kencang jika pintu dibuka pemiliknya. Lama-lama bikin aku senam jantung di sini."Lemburnya besok saja sepulang kerja kamu boleh pulang," ucap Pak Doni tiba - tiba."Baik Pak," ucapku pasrah meski aku sangat bahagia karena lemburnya batal.Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, gegas kurapikan meja kerjaku dan segera menuju ke fingerprint untuk absen pulang kerja."Ini bonus untukmu hari ini," ucap Pak Doni tiba - tiba sudah berada di sebelahku sambil menyerahkan amplop putih."Pak Doni, maaf Pak bukannya tanggal gajian masih lama?" tanyaku keheranan."Ya tapi ini bonus khusus untukmu karena pekerjaan hari ini kamu sudah handle semua bahkan proposal tadi juga sudah disetujui," ucap Pak Doni."Terimakasih banyak, Pak," ucapku senang saat menerima pemberian Pak Doni. Lega rasanya aku punya sedikit uang pegangan sampai gajian tiba.Segera ku menuju ke sebuah warung makan untuk membeli makan malam untukku. Setengah jam perjalanan akhirnya sampai juga di rumah. Terlihat di rumah lagi ada banyak orang, dua pasang sandal berbaris di depan pintu."Tuh! menantu Ibu membuatku dimarahi Mas Danu gara - gara uang dua ratus ribu," ucap Mbak Rina yang mengadu kepada ibu mertua."Emang wanita kurang ajar sukanya ngadu!" timpal ibu mertua dengan menunjukkan raut wajah tak suka padaku."Semakin kurang ajar dia, Bu," ucap Mbak Rina lagi seperti menyulut emosi Ibu mertua."Apa kita jodohkan saja Rizwan dengan Shilla tapi untuk kondisi Rizwan yang mandul jangan sampai terdengar ke Shilla. Shilla itu cinta mati sama Rizwan, pasti mau menerima Rizwan apalagi Shilla juga kaya. Lumayan bisa ikut nebeng kemewahan Shilla," ucap Ibu mertua memberi ide buruk untuk Mas Rizwan. Shilla adalah sosok wanita yang diimpikan oleh keluarga Mas Rizwan karena statusnya anak orang kaya.'geleng - geleng aku, semakin tua bukannya bertobat malah menjadi - jadi'Bagaimana kisah selanjutnya?Saksikan part selanjutnya"Baiklah! kuhubungi Shilla, Bu. Kalau dia masih punya peluang untuk bersama Rizwan," ucap Mbak Rina sembari menghubungi Shilla.Sengaja aku tak masuk dulu ke dalam rumah dan memperhatikan Ibu dan anak denggan segala rencana uniknya. Aku sudah bisa menebak jika ada sesuatu yang direncanakan Ibu dan anak ini.Tuut tuut"Halo Shil, apa kabar?" ucap Mbak Rina melalui sambungan telepon. Aku sengaja menguping sebelum masuk ke rumah. Aku mendengar Mbak Rina sedang menghubungi seseorang, mungkin seseorang yang dimaksud bernama Shilla."......"."Oh gini, Mbak Rina mau tanya sama kamu. Apakah kamu masih mencintai Rizwan?" tanya Mbak Rina, sangat tidak sopan sekali menanyakan perasaan orang lain tanpa basa basi.".....""Oh, tenang saja, semua akan Mbak Rina bantu untuk mendapatkan hati Rizwan. Kamu mau?" tanya Mbak Rina, kulihat ibu mertua tersenyum licik di samping Mbak Rina yang sedang menghubungi wanita bernama Shilla."........"."Ok, Sayang. Boleh kok besok sepulang kerja main kesini," uc
Tak lama setelah aku pulang kerja teedengar deru mobil Mas Rizwan, saat ini memang waktunya Mas Rizwan pulang kerja. Kudengar suara sepatunya begitu kentara saat memasuki rumah kontrakan kami. Namun aku sendiri tidak tahu mengapa, perasaanku padanya terasa hambar. Entah rasa cintaku padanya kini perlahan mulai menghilang, bukan karena nafkah saja namun perhatiannya padaku kini sudah tidak ada lagi. Ditambah rencana perjodohannya dengan wanita bernama Shilla membuatku semakin muak."Assalamu alaikum," kudengar salam dari Mas Rizwan saat berada di ambang pintu. Aku segera berdiri dan ikut menyambut suamiku meski hati terasa begitu berat."Waalaikum salam," jawaban salam dari ibu mertuaku. Kulihat sikap Ibu mertua begitu berbeda seakan ingin sesuatu kepada Mas Rizwan."Rizwan, belikan Ibu makanan, Ibu belum makan!" Ibu mertua mertua bagai anak kecil meminta Rizwan membelikan makanan. Sungguh tak tahu malu sekali melihat anaknya baru saja pulang kerja sudah minta dibelikan makan malam."Ma
Pagi hari saat akan berangkat kerja, kulihat Mas Rizwan termenung di ruang tamu. Sepertinya dia memikirkan permintaan Ibu dan Kakaknya semalam. Semalam tidak ada percakapan apapun saat di kamar karena aku lebih memilih tidur lebih dulu. Aku tak mau terbebani dengan masalab perjodohan suamiku."Nih, Mas! Diminum jahenya dan aku berangkat kerja dulu," sebelum berangkat aku terlebih dahulu mencium takdzim punggung tangan Mas Rizwan. "Kamu tidak mau menemani aku di rumah Lai?" sepertinya Mas Rizwan mau aku tinggal di rumah dan menemaninya di saat sedang sakit. Ingin sekali aku menemaninya hanya saja akan menambah sakit hatiku karena hari ini adalah perjodohan suamiku."Kalau sakit ingat aku kalau banyak uang ingat sama saudara dan ibunya. Aku telpon ibu sama mbak Rina saja. Biar ada yang jaga kamu, Mas. Masa mau enaknya doang," ucapku dan segera menelpon mereka berdua supaya segera datang. Sebenarnya aku tidak tega namun aku juga harus bersikap tegas supaya Mas Rizwan bisa berfikir."Kamu
Pekerjaan hari ini sungguh melelahkan, namun aku tidak boleh mengeluh atas semua nikmat yang sudah diberikan kepadaku, Bekerja sama saja membuatku melupakan masalah rumah tangga sejenak apalagi diberikan circle pertemanan yang cukup baik. Saat pulang kerja, terlihat rumah begitu ramai dengan obrolan para wanita. Pastinya aku sudah bisa menebaknya, aku rasa acara perjodohan belum selesai. Mungkin memang sangat berbahagia karena perjodohan ini adalah perjodohan yang sangat dinantikan oleh pihak suamiku."Assalamu alaikum," salamku saat akan memasuki rumah kontrakanku."Waalaikum salam." jawaban dari mereka serempak termasuk sosok wanita yang pernah mencintai suamiku yaitu Shilla. Shilla, sosok yang diinginkan Ibu mertuaku untuk menjadi pendamping Rizwan karena status keluarganya termasuk orang berada. Wanita berkulit putih terawat serta wajah yang menunjukkan senyum manisnya membuat siapa saja akan jatuh cinta padanya. Namun siapa sangka jika gadis ini lebih mencintai suamiku dan mener
Hari pertama di mulai hari ini, pagi ini aku berkutat di dapur memasak sarapan untukku dan Mas Rizwan. Anggap saja kita berdua mulai memperbaiki hubungan sampai emoat belas hari seperti yang diucapkan Mas Rizwan."Masak apa, Lai?" tanya Mas Rizwan usai mandi dan menuju ke dapur saat aku sedang memasak."Hanya masak ayam balado saja," ucapku singkat sambil mengaduk campuran ayam goreng dan bumbu balado. Ayam balado yang lama sekali tak kunikmati karena harganya tak mampu aku belim"Aku makan ya?" tanya Mas Rizwan sembari berkedip mata ke arahku. Sepertinya Mas Rizwan tergoda dengan aroma balado ayam buatanku."Ini memang menu sarapan kita, Mas. Lagian juga kamu tidak perlu minta ijin untuk sarapan." Kulihat ayam balado sudah matang dan aku segera menyajikannya ke meja makan. "Em, Lai. Ini ada uang lemburku satu juta lima ratus untuk belanja sampai empat belas hari dan tolong rahasiakan ini pada Ibu dan Mbak Rina," ucapan Mas Rizwan membuatku terperangah. Ada baiknya juga ternyata memb
Aku kecewa dengan sikapnya kemarin yang katanya ingin bersamaku sebelum perceraian, namun ternyata mulutnya hanya sekedar janji belaka."Kamu tidak masak, Lai?" tanya Mas Rizwan saat membuka tudung saji dan tidak ada isi di dalamnya."Makan di luar saja, Mas," jawabku datar tanpa memperhatikan Mas Rizwan dan aku menyibukkan sendiri menyemir sepatu kerjaku yang berwarna hitam."Bukannya kemarin aku sudah memberi uang belanja, Lai?" protes Mas Rizwan atas sikapku yang acuh padanya. Aku benar-benar sudah kecewa dengannya, rasa percaya menguap sempurna."Nih, Mas! kukembalikan uangmu. Lagian juga kamu sebentar lagi menikah dengan Shilla jadi kamu harus menjaga Shilla mulai dari sekarang.""Lai, kok kamu berubah?" "Yang berubah itu kamu, kamu yang menghianati perjanjian kita kan? Ya sudah nikmati saja." aku beranjak meninggalkannya namun tangannya mencekal tanganku. Sudah berselingkuh masih saja mengelak ternyata."Menghianati bagaimana, Lai?" aku memutar bola mataku dengan malas ke arahn
Usai makan siang, Pak Doni mengemudikan mobilnya menuju ke galeri sepatu. Aku jadi grogi jika berdua bersamanya, entah karena lama tidak bertemu atau bagaimana, yang jelas aku tidak percaya diri sama sekali. Dulu berdua seperti tak membuatku gugup sama sekali. Malah aku bisa cerita banyak sekali padanya meski tanggapannya sangatlah kaku."Kamu kenapa, Lai?" dia memperhatikanku ternyata saat mengingat kenangan saat menjadi sekretaris pertamanya dulu."Oh, tidak apa-apa, Pak!" aku sedikit lega ketika mobil yang dikendarai Pak Doni sudah sampai di sebuah galeri sepatu yang cukup menguras kantong bagiku. Meski dulu gajiku besar namun aku hanya membeli sepatu yang harganya tiga ratus ribuan. Bagiku sayang sekali jika hanya menghambur-hamburkan uang untuk sepatu yang harganya jutaan. Aku dan Pak Doni kini masuk ke galeri sepatu, segera aku ke bagian sepatu khusus pantofel."Silahkan pilih sepatu yang kamu suka, anggap hari ini aku memberikan hadiah untuk sekretarisku yang berprestasi!" Sun
Kulihat pagi ini Mas Rizwan membuka tudung saji, dia sepertinya lapar pagi ini. Bisa dilihat dari wajahnya yang lapar."Kamu beberapa hari ini enggak pernah masak untuk sarapan, Lai," ujar Mas Rizwan yang sudah tidak masak beberapa hari ini. Aku terpaksa melakukannya, percuma saja aku menuruti permintaannya namun dia tak pernah menghargaiku."Uangnya udah aku balikin ke kamu, Mas." aku sibuk merapikan rambutku yang akan kucepol ke atas karena membuatku lebih nyaman dan tidak gerah."Iya, tapi udah habis." Yang benar saja, baru beberapa hari, uang sebanyak itu sudah habis. Jika aku yang mengatur pasti cukup untuk sebulan, hanya saja aku sudah tak mau lagi. "Iya itu masalah kamu, Mas! Lagian kamu udah berhak menalakku sekarang juga.""Maksudmu apa, Lai?" sungguh, saat ini aku benar-benar ingin mencakar wajahnya."Kamu sudah mengingkari perjanjian kita, jadi kamu sudah boleh menalakku, Mas!""Tunggu sampai empat belas hari, Lai.""Empat belas hari untuk mengingkari janjimu, Mas? Untuk ap