Jeritan-jeritan histeris di luar nyaris membuat Linda pingsan.Linda tahu siksaan apa yang mereka alami karena dia telah melakukan hal yang sama pada jenderal ... bukan, pada Putra Mahkota Biromo yang telah ditangkap olehnya.Mereka mengebiri Putra Mahkota Biromo hidup-hidup, melihatnya berguling-guling di tanah seperti cacing yang menggeliat.Sebenarnya, mereka tidak akan terus menyiksa Putra Mahkota Biromo jika dia menjerit. Akan tetapi, Putra Mahkota Biromo tidak pernah menjerit sekali pun. Jadi, semua tentara membuang air kecil dan besar ke luka dan sekujur tubuh Putra Mahkota Biromo, menyayat tubuh Putra Mahkota Biromo, melihat darahnya bercampur dengan air kencing dan tinja.Sebelumnya, Linda merasa senang ketika teringat pada hal itu.Sekarang, Linda ketakutan ketika teringat pada hal itu.Melihat Sanji mengeluarkan belati, Linda langsung berteriak, "Jangan, jangan ke sini!"Sanji berjongkok dan memotong tali yang mengikat tubuh Linda. Hatinya penuh kemarahan ketika melihat Lind
Ketika Linda berpikir mereka akan terus menyiksanya, Linda diseret kembali ke dalam rumah kayu bersama tawanan lain.Arang bakar dinyalakan di dalam rumah kayu. Itulah satu-satunya kehangatan yang dapat mereka rasakan di tengah angin dingin yang merembes masuk dari sekeliling rumah. Mereka merangkak menuju arang bakar, ingin mengusir rasa dingin dan rasa sakit.Celana Linda direnggut, dia tidak dapat merapatkan kedua kakinya karena rasa sakit di pangkal paha. Rumah itu hangat, tetapi darah Linda terus mengalir dengan pelan dan menggenang di bawah tubuhnya.Semua orang sangat sengsara, tidak ada yang memperhatikan Linda. Erangan sakit tidak pernah berhenti.Seseorang masuk dan mencekoki semangkuk rebusan obat ke mulut Linda. Campuran bau obat dan air kencing nyaris membuatnya muntah.Linda tidak muntah karena takut akan dikencingi lagi. Dia tahu dia akan tewas di tangan Sanji pada akhirnya. Jika rebusan obat ini bisa membunuhnya, dia memilih untuk mati sekarang.Setelah itu, Pangeran Vi
Intan, Marsila, dan teman-temannya sedang mengitari api unggun kecil. Intan merapatkan bibirnya yang kering. "Apa buktinya dia berada di Pasukan Lonis yang kabur?""Tidak ada, tapi saat perang dimulai, dia pergi mengejar pasukan tentara Biromo dan belum kembali."Marsila menyeletuk dengan cuek, "Kalau begitu, cari di antara mayat-mayat di kota, lihat ada dia atau tidak.""Dia tidak akan mati." Kemarahan menyala di mata Rudi. "Jangan mengutuknya! Sebagai sesama Pasukan Aldiso, bagaimana bisa kamu mengutuk teman seperjuanganmu?"Marsila membalikkan telapak tangan dan mendengkus. "Perang sudah selesai, aku tidak mau jadi tentara lagi. Jangan katakan dia adalah teman seperjuanganku, dia tidak pantas."Rudi marah sampai tidak ingin berbicara dengan Marsila lagi. Dia menoleh pada Intan seraya berkata dengan serius, "Akulah yang bersalah padamu, itu tidak ada hubungannya dengan Linda. Kalau tentara lain yang ditangkap, apa kamu akan pergi menyelamatkannya?"Intan bertanya balik, "Kalau tentar
Ucapan itu membuat Rudi marah. Rudi mencengkeram tangan Intan dan menariknya ke samping. "Intan, kamu tahu dia ditangkap, tapi tidak mau pergi menyelamatkannya? Apa maksudmu? Kamu tahu dia ada di mana?"Marsila mengayun cambuknya sehingga Rudi terpaksa melepaskan tangan Intan dan mundur selangkah.Marsila berjalan ke sana seraya menegur, "Jaga jarak kalau mau bicara, jangan terlalu dekat dengan Intan."Rudi sangat marah pada Marsila, tetapi Marsila terampil dalam seni bela diri dan bukan tentara pimpinannya. Jadi, Rudi hanya bisa menahan emosi. Lalu, dia bertanya lagi pada Intan, "Kamu tahu dia di mana, ya?"Intan menggelengkan kepala. "Aku tahu tidak tahu. Dia mungkin di padang pasir, di padang rumput atau bersembunyi di gunung. Tidak peduli dia di mana, kita tidak mungkin menyuruh semua Pasukan Baja untuk mencarinya. Itu sangat berbahaya.""Kalau begitu, apa yang kita tunggu di sini? Tunggu mereka mengembalikan Linda?" Rudi marah sekali.Tatapan Intan tenang tak beriak. "Ya, tunggu m
Api unggun makin redup, maka Intan menambah beberapa batang kayu bakar. Api segera melahap kayu bakar dan memercikkan api. Hal itu menimbulkan bayangan di depan mata Intan. Saat dia pulang dari Kediaman Jenderal ke rumahnya, dia melihat tumpukan mayat dan genangan darah di mana-mana.Rasa sakit yang dahsyat kembali menyerang Intan sehingga membuatnya sulit untuk bernapas.Intan juga berharap Linda mati. Namun, kematian Linda bukan pembalasan dendam yang paling memuaskan.Sanji pasti sepemikiran dengannya.Jadi, Intan berpikir Sanji tidak akan membunuh Linda begitu saja. Alasan mengapa Panglima menyuruhnya memimpin tentara untuk menunggu di sana mungkin karena Sanji telah mengirim utusan untuk menyampaikan pesan pada Panglima.Sebelumnya, Panglima mengatakan dia memiliki pengintai di Kota Glasier. Mungkin Panglima juga memiliki pengintai di Norao.Panglima ingin mereka menunggu di sana, begitu pula Sanji.Pada tengah malam, mereka sudah lelah, mengantuk, dan lapar. Mereka tidak kedingin
Rudi menatap Intan dengan bengong. Ucapan Intan membuatnya tidak bisa berkata-kata.Ya, Intan adalah Wakil Komandan Pasukan Baja dan jenderal bintang lima. Ucapan Intan sangat berbobot.Pasukan Rudi tidak banyak sehingga dia berharap Pasukan Baja dapat pergi bersamanya.Pasukannya sudah sangat lelah, tetapi Pasukan Baja telah beristirahat untuk waktu yang lama di sana. Menurut Rudi, jika bertemu dengan Pasukan Biromo atau Klan Pengembara, Pasukan Baja dapat melawan mereka.Rudi berbisik, "Aku ingin membawa Pasukan Baja. Kumohon, Intan. Aku bersalah padamu sebelumnya, terserah kamu mau menghukumku bagaimana. Tapi kita sudah menunggu dua hari, Linda tidak akan sanggup bertahan. Aku tahu kamu benci Linda. Setelah temukan dia, kami akan memohon maaf padamu."Wajah Intan yang tirus sangat cuek. "Ini tidak ada hubungannya dengan dendam pribadi. Pasukan Baja tidak boleh maju lagi."Rudi mengepalkan tangan. "Intan, aku sudah memohon padamu. Kamu mau apa lagi?"Marsila menyeringai sinis. "Meman
Ekspresi Rudi berubah seketika. "Bagaimana kamu tahu mereka ada di gunung? Mereka ingin menuntut keadilan apa?"Intan menjauh beberapa langkah, tetapi Rudi mengikutinya dengan pincang. Begitu Intan berdiri di tempatnya, Rudi menatap lurus pada Intan.Suara Intan sangat rendah dibandingkan angin yang menderu-deru. "Kalau kamu tenangkan diri dan dengarkan baik-baik, kamu akan mendengar suara selain suara angin."Rudi menenangkan diri untuk mendengarkan dengan saksama, tetapi tidak bisa mendengar apa-apa selain suara angin.Rudi tidak seunggul Intan dalam seni bela diri, apalagi tenaga dalam. Bagaimana mungkin Rudi bisa mendengar suara di gunung? Bagaimana mungkin bisa mendengar suara napas seratus ribu orang di tengah suara angin yang kencang?Rudi marah karena merasa Intan hanya beromong kosong. "Katakan, mereka ingin menuntut keadilan apa?""Coba kamu pikirkan sendiri, kenapa seratus ribu orang itu naik ke gunung, bukannya pergi? Kenapa mereka menangkap Linda? Lalu, kenapa mereka pergi
Pasukan Sanji menuruni gunung di malam hari.Pada saat yang sama, Intan, Marsila, dan teman-temannya tahu sehingga mereka saling memandang.Intan berdiri dan memberi perintah, "Semuanya, siaga! Ambil senjata kalian."Semua Pasukan Baja bangkit berdiri, mengambil perisai dan senjata, serta bergegas membentuk formasi.Pasukan Biromo sangat cepat. Mereka menuruni gunung dalam formasi tiga baris secara berdampingan.Dari orang di baris terdepan, seling sepuluh orang lagi juga memegang obor untuk menerangi jalan.Secara logika, berjalan dengan cepat di gunung yang membeku akan mudah terpeleset dan menjatuhkan banyak orang.Namun, langkah mereka sangat mapan karena sepatu mereka adalah sepatu buatan khusus.Negara Biromo sangat kaya dan hal itu tercermin di berbagai bidang.Dengan aksi nyata, mereka memperlihatkan kepada orang Runa, jika melancarkan perang besar-besaran dengan Biromo, orang Runa akan menderita kerugian.Tak lama kemudian, seratus ribu tentara Biromo berdiri di padang rumput
Dayang Erika segera mengejar Tuan Putri setelah mendengar Jihan akan dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah, "Tuan Putri, apakah Anda berubah pikiran?"Putri Agung merasa isi pikirannya sangat kacau, "Kurung dia di penjara bawah tanah dulu dan nanti baru bicarakan hal ini lagi.""Baik, Anda jangan marah dan melukai tubuh Anda sendiri," bujuk Dayang Erika."Tidak ada seorang pun yang bisa dibandingkan dengan Marko, Jihan tetap bukan Marko meski punya tampang yang sama. Jihan sama sekali tidak bisa membuatku menyukainya dan aku malah marah saat melihat wajahnya."Putri Agung kembali ke kamarnya dengan amarah di matanya dan tetap merasa kesal meski sudah duduk, "Pelayan, bawakan air dan sabun. Aku mau cuci tangan."Semua pelayan sedang sibuk bekerja pada saat ini, Putri Agung mencuci tangan bekas menyentuh Jihan berulang kali, seperti setiap kali dia sehabis berhubungan badan. Putri Agung akan merendam dirinya di dalam ember yang berisi dengan air panas untuk menghilangkan aroma yang men
Jihan berusaha untuk berdiri, tapi Jihan sama sekali tidak memiliki kekuatan di dalam tubuhnya seolah-olah dia sedang sakit parah.Jihan segera menoleh setelah mendengar suara pintu terbuka dan terdapat seseorang yang berjalan masuk setelah melewati pembatas ruangan.Rambutnya disanggul dan dihiasi oleh pita, wanita ini mengenakan pakaian berbahan satin yang berwarna putih dan hijau. Wanita ini terlihat berusia sekitar 40 tahun yang tidak terdapat kerutan apa pun di wajahnya. Tapi ekspresi wanita ini sangat serius dan memiliki aura intimidasi dari seseorang yang berkuasa.Terdapat seseorang yang mengikuti di belakang wanita dan memindahkan kursi ke samping tempat tidur. Wanita itu duduk dengan perlahan dan menatap mata Jihan yang terlihat cemas serta curiga."Si ... siapa kamu?" Jihan tidak pernah melihat Putri Agung, tapi mengetahui identitasnya pasti tidak sederhana.Putri Agung melihat kepanikan di mata Jihan dan hatinya berada di tingkat ekstrim, seolah-olah terdapat air yang menyi
Sebuah kereta kuda meninggalkan kota dan Jihan sedang bergegas untuk pergi ke Jinbaran karena terdapat masalah pada pabrik di Jinbaran. Ayahnya menyuruh Jihan untuk pergi ke sana secara pribadi meski masalahnya tidak terlalu serius.Sebenarnya Jihan telah tinggal di Jinbaran untuk waktu yang lama, tapi Jihan mengantar istrinya ke ibu kota untuk melakukan persalinan karena istrinya sedang hamil. Jihan bisa menyerahkan masalah di sana pada pengurus toko setelah masalah di Jinbaran diselesaikan, selain itu Jihan juga berencana untuk melakukan bisnis yang lain dalam perjalanannya kembali ke ibu kota.Jihan sudah lama menjadi seorang ayah, karena dia menikah saat masih berusia 20 tahun dan sudah memiliki dua putra pada saat ini. Jadi dia berharap istrinya bisa melahirkan seorang anak perempuan untuknya.Tidak terlalu banyak orang yang memiliki selir di keluarga mereka dan Jihan juga tidak memiliki satu pun selir. Jihan memiliki hubungan yang sangat harmonis dengan istrinya dan selalu membaw
Pangeran Rafael bersedia bekerja sama demi hal ini, karena anak ini akan memiliki nama belakang Gunawan dan pasti akan berada di pihak Keluarga Bangsawan Gunawan."Aku akan memberi tahu mereka saat kembali," ujar Pangeran Rafael.Putri Agung bertanya, "Sebentar lagi upacara pemberkatan orang meninggal sudah tiba, apakah kamu sudah mengundang Guru Boni?""Sudah aku undang, ada 8 biksu yang datang bersama Guru boni. Aku akan jemput mereka secara pribadi pada hari pertama."Putri Agung mengangguk kecil dan berkata, "Panggil ibumu datang, tapi kamu harus bilang kalau ibumu harus bergadang dan tidak perlu datang kalau tidak bisa melakukannya.""Tentu saja ibuku bisa melakukannya, ibuku telah menjadi penganut Buddha selama bertahun-tahun dan selalu ingin mengikuti upacara ini," ujar Pangeran Rafael dengan cepat. Terdapat Nyonya Clara, Nyonya Thalia, Nyonya Besar Arni, Nyonya Besar Mila dan lain-lain yang mendatangi upacara pemberkatan orang meninggal. Mereka semua adalah nyonya atau nyonya b
Keluarga Salim masih tidak memberi jawaban apa pun, tapi desakan berulang kali dari Putri Agung membuat Nyonya Mirna mau tidak mau harus mendatangi Kediaman Keluarga Salim secara pribadi.Nyonya Mirna baru mengetahui jika Vincent sedang pergi ke Cunang dan berada di Perkemahan Pengintai Tujuvan karena terjadi sesuatu pada Waldy, jadi Vincent pergi ke sana untuk mengunjunginya bersama dengan Charles, yang merupakan anak angkat Keluarga Akbar.Viona berkata dengan nada meminta maaf, "Seharusnya masalah ini sudah diputuskan sejak awal, tapi Vincent bersikeras mau pergi menemui teman seperjuangannya dan baru memutuskan hal ini. Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan, tapi aku sangat menyukai Nona Reni. Kamu sendiri juga tahu kalau aku sangat menyukainya pada pertemuan pertama kami dan sangat ingin segera menjadikannya sebagai menantuku."Viona berkata dengan tulus dan Nyonya Mirna percaya karena Viona memang menunjukkan kesukaannya pada Reni pada hari itu, kemudian berkata
Merpati milik Paviliun Prumania terus beterbangan untuk bertukar pesan dan tiba di ibu kota pada dua malam sebelum upacara pemberkatan orang meninggal setelah beterbangan selama beberapa hari. Surat-surat itu baru dibawa ke Kediaman Aldiso setelah Metta dan yang lain menyusunnya menjadi sebuah surat yang lengkap di malam hari.Metta memberi surat ini pada Marsila, tapi Marsila tidak membukanya, melainkan memanggil semua orang ke ruang kerja dan menyerahkan surat itu pada Tuan Axel, karena hal ini berhubungan dengan Jenny dan sebaiknya membiarkan Tuan Axel membukanya terlebih dahulu.Terdapat urat yang menonjol di dahi Tuan Axel setelah membaca ini, "Sungguh tidak masuk akal. Ini benar-benar merupakan sebuah konspirasi, apa itu utang budi karena telah menyelamatkannya, ini semua adalah rencana yang dibuat dengan teliti."Alfred mengambil surat itu dan berkata secara garis besar setelah membacanya, "Pembuat onar itu adalah preman lokal yang buat masalah setelah terima uang dari orang lai
Tentu saja Edi tidak mengetahui jika Nona Nesa datang ke sini deminya. Edi tidak hanya akan menjadi menteri Departemen Konstruksi jika dia adalah orang yang pintar.Semua orang masih belum makan dan sedang menunggu Edi, Edi menyerahkan pangsit pada pelayan dan meminta mereka untuk merebusnya sesegera mungkin, agar mereka semua bisa makan selagi masih panas.Yanti berkata dengan nada bercanda, "Ternyata kamu pulang terlambat karena beli pangsit? Edi, sekarang perhatianmu hanya terpusat pada istrimu dan tidak ada ibumu lagi, kamu bahkan tega membiarkan ibumu kelaparan menunggumu kembali."Edi segera meminta maaf dan tidak bisa menahan diri untuk mengeluh, "Sebenarnya aku bisa pulang lebih awal, tapi Joko menyiapkan pangsitnya dengan lambat dan Nona Nesa juga menyela antrean. Nona Nesa Warda bilang dia sangat lapar dan menyuruhku untuk mengalah pada mereka berdua, jadi aku pulang terlambat hari ini.""Nona Nesa Warda?" tanya Yanti. Yanti sangat mengenal adik iparnya yang jarang berhubunga
Pangsit kuah yang panas disajikan, wangi sekali. Nona Nesa mengucap terima kasih pada Edi, "Terima kasih atas kebaikan Tuan Edi. Kalau Tuan Edi beli daun teh di tokoku lagi, aku akan beri sedikit diskon."Edi menatap Nona Nesa. "Diskon berapa?"Nona Nesa mengedipkan mata, tampak sangat lincah. "Tuan Edi mau diskon berapa?"Nona Nesa memiliki tampang yang manis dan lugu. Terutama saat mengedipkan mata, senyuman yang tersungging di bibir seperti bunga anggrek yang mekar di malam hari. Pria pasti akan terpukau padanya.Akan tetapi, Edi seakan-akan tidak melihat kecantikan dan kecentilan Nona Nesa. Dia hanya peduli berapa banyak diskon dari daun teh. "Samakan saja dengan diskon yang Nona Nesa berikan pada Tuan Warso."Nona Nesa tertawa. Matanya sangat indah. "Bagaimana bisa? Aku harus membalas kebaikan Tuan atas pemberian pangsit ini. Kalau Tuan Edi datang sendiri, aku beri seperempat kilo untuk pembelian setengah kilo. Bagaimana?"Edi berseru dengan girang, "Sepakat.""Sepakat!" Nona Nesa
Pada petang hari, Edi keluar dari kantor Departemen Konstruksi. Sudah ada kereta kuda yang menunggu di luar. Sebelum naik, Edi berpesan, "Pergi ke ujung Jalan Sejahtera. Dua hari lalu, Nyonya bilang mau makan Pangsit Joko. Beli yang mentah untuk masak di rumah nanti.""Sekarang sepertinya belum buka," jawab pak kusir.Pangsit Joko mulai berjualan pada malam hari. Ibu Kota Negara Runa makmur. Jalan Sejahtera dan Jalan Taraman sangat ramai di malam hari."Itu sebentar lagi, tunggu saja di sana," kata Edi.Pak kusir tersenyum seraya berkata, "Tuan Edi benar-benar sayang Nyonya Sanira."Edi mengetuk kepala pak kusir dengan kipas yang dia pegang. Dia tersenyum dan berujar, "Sanira menikah denganku dan sudah melahirkan anak untukku. Tentu saja aku sayang dia. Kamu juga, harus perlakukan Elmi dengan baik."Pak kusir tersenyum seraya berkata, "Aku tahu."Pak kusir adalah keturunan pelayan Keluarga Widyasono, sedangkan Elmi sudah dibeli oleh Keluarga Widyasono ketika masih kecil. Dua tahun lalu