"Kamu jangan terlalu menuruti kemauan anakmu itu Nisa! Apa kamu nggak tau, jaman sekarang mencari uang itu susah!"
"Aku hanya membelikan ahmad tempat pensil, Mas!" Nisa berusaha menjelaskan alasannya."Alah ... memangnya nggak bisa apa pakai kantong plastik?" tanya Arman tajam."Ingat Nisa! Jika ada uang lebih dari belanja, lebih baik kamu tabung! Agar saat kamu perlu sesuatu bisa kamu gunakan, nggak semata mata mengemis pada suami, paham!""Iya Mas!" Nisa hanya menarik napas pelan.Lagi-lagi Nisa harus menahan kesal dengan segala perintah dan aturan yang diberikan."Oh ya Nisa, jika nanti Ibu atau Bella datang, jangan lupa kamu layani dengan baik?" ujar Arman."Aku nggak mau mereka ngadu tentang kamu, yang tak menghormati Ibuku!" ucap Arman lagi tanpa beban."Ya Mas, tapi selama ini aku sudah berusaha untuk selalu menghormati Ibumu, dan menuruti setiap perkataannya! Aku juga selalu berlaku baik pada Adikmu kok!" jawab Nisa."Kalau suami ngomong itu didengar Nisa bukan dibantah! Buktikan dong, jika kamu itu istri yang baik di mata keluargaku." Arman pun lantas berlalu begitu saja dengan raut wajah masam."Iya Mas," jawab Nisa dengan suara lembut."Bunda..Ahmad lapar!" Seorang anak laki laki berusia enam tahun berjalan menghampiri Nisa."Ma'afin Bunda ya sayang, Bunda sampai lupa anak tampan Bunda belum makan siang! Ikut Bunda ke dapur yuk!" Nisa pun berjalan ke dapur sambil menggiring putranya.Saat sampai di dapur, kata yang tak pantas kembali terdengar keluar dari mulut suaminya."Anak kecil itu nggak perlu makan makanan yang enak-enak, masa' sebagai Ibu, kamu nggak paham! Di usia mereka, hanya perlu gizi dan protein untuk pertumbuhannya, jadi biasakan saja anakmu itu makan sama tahu atau tempe." Setelah berkata, Arman pun berlalu masuk ke kamar."Ya Allah! Ampuni hamba jika terlalu sering mengeluh dan mengadu! Hamba mohon, lunakkanlah hati suami hamba, dan buatlah ia menerima anak hamba, seperti janjinya saat ingin menikahi hamba dulu!" hanya do'a yang terucap dalam hati Nisa sambil menyiapkan nasi putranya."Nggak usah Bun, Ahmad bisa makan sendiri kok!"Ahmad pun mengambil alih piring dan sendok dari tangan bundanya, yang ingin menyuapkan nasi kemulutnya dan mulai memakannya sendiri."Pintar...anak Bunda udah bisa makan sendiri ya?" ucap Nisa sambil mengusap kepala putranya.Ada perasaan pilu, di saat melihat anak yang ia besarkan, kini telah tumbuh menjadi anak yang penurut dan pengertian."Bun, nanti jika Ahmad udah besar, Ahmad akan bekerja seperti Ayah, cari uang yang banyak untuk Bunda! Agar Bunda bisa beli apa saja yang Bunda mau!" ujar bocah enam tahun itu semangat."Terimakasih sayang, Bunda do'akan jika Ahmad udah besar nanti, bisa jadi orang sukses ya? Sekarang makannya dihabisin, biar cepat besar seperti Ayah!""Iya Bun!" Ahmad pun melanjutkan makannya dengan lahap.Hati Nisa terasa perih, jika membayangkan pendidikan putranya nanti "Untuk sekolah dasar saja sekarang sudah perhitungan, apalagi nanti," ujar Nisa pada diri sendiri."Aku harus usaha mencari uang sendiri, agar bisa memiliki tabungan untuk membiayai pendidikannya nanti, tapi usaha apa?" kata hati Nisa."Nisa!" panggil Arman dengan pakaian rapi keluar dari kamar mereka, kebiasaan yang akhir akhir ini dilakukan Arman, keluar dan pulang larut malam."Ya Mas!" Nisa bergegas beranjak begitu mendengar panggilan suaminya."Aku mau keluar, mungkin larut malam baru pulang! Jangan keluar rumah jika nggak benar benar penting!""Dan ingat pesanku tadi, jika Ibu datang sambut dengan baik!" Lagi-lagi perintah yang diberikan Arman, tak ubah seperti majikan pada pembantunya."Iya Mas!" hanya itulah, kata yang selalu terucap dari bibir Nisa jika tak ingin berujung perdebatan.Nisa menemani anaknya kembali, setelah selesai, Ahmad berjalan mengambil buku ke kamarnya dan duduk kembali di tempat semula.Nisa melanjutkan kembali kegiatannya membersihkan rumah yang berkali lipat lebih besar dari rumah orang tuanya waktu di desa.Lelah setelah membersihkan rumah dan juga menyelesaikan urusan dapur, Nisa istirahat di kursi sejenak sambil menikmati segelas teh."Huhh...! Capeknya!" Terdengar hembusan kasar napas Nisa, sambil memikirkan masa depan rumahtangganya.Suara bel yang terdengar menyadarkan Nisa dari lamunannya, ia pun beranjak dari duduknya dan membukakan pintu.Tampak dua orang wanita dua generasi yang tiada lain adalah ibu mertua dan adik iparnya."Buka pintu aja kok lama!" Tanpa mengucap salam,Kedua wanita itu pun langsung memasuki rumah tersebut."Biasa Ma, palingan juga lagi tiduran dan menikmati pasilitas mewah di rumah ini!" komentar Bella.Bella berlalu bersama ibunya menuju ruang keluarga, sambil sesekali tertawa ngakak."Ibu sama Bella mau minum apa?" Walau sering direndahkan namun sebagai tuan rumah, Nisa tetap berusaha ramah."Aku minuman dingin aja, ingat jangan pakai es! Aku nggak mau jika nanti perut aku jadi gendut!" ucap Bella sambil memainkan kuku lancipnya.Mendengar request dari adik iparnya, Nisa menarik napas dalam."Apa! Kamu nggak mau aku perintah ya?" Mendengar hembusan napas yang mengandung keberatan, Bella langsung tak terima! Dan berkata kasar tanpa merasa bersalah."Udahlah Bell, namanya juga orang kampung dan nggak berpendidikan! Mana tau sopan santun cara melayani tamu!" kata bu Susy terdengar menghina dan merendahkan."Kamu siapkan makan, aku dan anakku lapar! Dan ingat! Masak itu, harus masakan kota jangan masakan kampung!" titah bu Susy."Cuci bersih bahan masakannya ya? Jangan terlalu pedas, dan jangan terlalu banyak minyak, semuanya harus higienis! Awas aja kalau aku sampai sakit perut!" lanjutnya sambil melambaikan tangan mengusir."Iya Bu." Nisa pun beranjak ke dapur meninggalkan tamunya."Ibu kenapa sih larang aku ngerjain dia!" protes Bella."Sudahlah, kamu tenang saja, ibu punya rencana baru buat ngerjain dia!" jawab Bu Susy tersenyum smirk."Iya Bu!" jawab Nisa.Nisa segera menyiapkan semua pesanan dan permintaan mertua dan adik iparnya dengan begitu teliti.Setelah mengantarkan minuman untuk keduanya, Nisa kembali ke dapur.Nisa menyuruh Ahmad yang menemaninya sambil belajar di meja makan masuk ke kamar, dan dia pun melanjutkan kembali kegiatannya di dapur.Setelah kurang lebih satu jam, semua masakan pun telah selesai disajikan. Nisa pun beranjak menemui mertua dan adik iparnya kembali."Bu, makanan sudah saya siapkan! Apa Ibu ingin makan sekarang?""Masak begitu saja kok lama! Kenapa sih Arman mau menikah sama kamu! Kerja aja lelet begitu!" Bukannya menghargai justru hinaan yang terlontar dari bibir bu Susy.Bu Susy dan Bella beranjak dan berjalan ke arah dapur duduk di kursi meja makan, tanpa basa-basi untuk mengajak menantunya makan bersama, mereka menikmati makanan yang tersaji.Sementara Nisa hanya duduk memperhatikan keduanya yang tak menganggap keberadaannya."Lain kali, kalau masak jangan terlalu banyak minyak,
"Apa Maksudnya ini?" tanya Arman, dengan tatapan tak sukanya pada Indra."Mas..! Kamu kenapa kembali?" tanya Nisa tak nyaman, sambil berdiri disisi suaminya."Oh...! Jadi kamu nggak suka, jika aku mengganggu acara lamaran kalian?" tanya Arman ketus."Kamu ngomong apa sih, Mas?" tanya Nisa tak nyaman pada suaminya."Jadi begini kelakuan kamu di belakangku, Nisa?" tanya Arman lagi."Ini tidak seperti yang kamu bayangkan, Mas!" jelas Nisa serba salah."Lalu, seperti apa yang tidak aku bayangkan, Nisa?" tanya Arman kasar.Indra yang merasa tak rela Nisa disudutkan, akhirnya tak mampu lagi menahan "Oh...! Jadi seperti ini kelakuan suami, yang kamu pertahankan, Nisa! Berkata kasar tanpa bertanya terlebih dahulu!" "Apa maksud kamu, hah!" sambar Arman tak terima."Udah dong, Jangan ribut!" pinta Nisa sambil berusaha memisahkan."Orang kasar seperti ini, gak bisa dipertahankan, Nisa! Lebih baik ceraikan dia dan menikahlah denganku!" ucap Indra tanpa peduli dengan Arman."Indra....!" Nisa tak
Setelah menemukan solusi untuk masalah pekerjaannya, Nisa segera melihat jam dari hapenya. "Hm...! Baru jam delapan, pasti Dinda belum tidur. Tapi lebih baik aku ganti sim card dulu aja ah!" gumam Nisa sambil tersenyum.Setelah mengaktifkan nomornya dan menyalin nomor sahabatnya, Nisa langsung menghubungi, dan tak perlu menunggu lama panggilan pun langsung terhubung."Halo..dengan siapa ya?" Begitu mendengar suara di seberang, Nisa langsung tersenyum."Assalamualaikum Dinda, ini Nisa! Kamu nggak lupa sama aku 'kan?" jawab Nisa."Waalaikumsalam, ya Allah Nisa..! Apa kabar? Kamu kemana aja Nis?" Dinda begitu gembira, begitu tau jika yang menghubunginya adalah orang yang ia tunggu kabarnya selama ini."Alhamdulillah aku baik, Da, selama ini aku dan Ahmad tinggal di rumah Mas Arman, kamu gimana? Apa masih lanjut usaha yang waktu itu atau buka usaha baru, Da?" tanya Nisa penasaran."Oh...Aku lanjut ke usaha yang lama Nis, masalahnya di usaha itu, aku udah di kenal banyak orang, jadi lebih
Arman yang mendengar bentakan dari istrinya, membatalkan niatnya yang ingin tidur."Cukup sudah kamu menghina posisi aku dan anakku dalam hidupmu, Mas!Bukankah sedari awal, kamu mengetahui statusku. Apa pernah aku menipumu Mas?" Kekecewaan yang selama ini terhadap sifat suaminya, tumpah sudah!"Nisa...." Arman tak mampu berkata-kata.Melihat air muka Nisa yang tampak penuh kekecewaan, ada penyesalan yang muncul dalam hatinya."Ahmad adalah darah dagingku Mas, dan aku adalah Ibu kandung Ahmad." "Jika untuk membuat kamu bahagia, harus memisahkan aku dan Ahmad. Itu nggak mungkin Mas, aku nggak akan bisa!" Sedih dan kecewa itulah perasaan Nisa saat ini."Mengapa kamu bicara begitu Nisa?" tanya Arman heran."Kamu menikahiku, tapi kamu gak bisa menerima kehadiran Ahmad dalam rumah tangga kita. Itu namanya apa, Mas?""Aku nggak pernah memisahkan kamu dan anakmu, Nisa." Arman mencoba membela diri."Ini....!! Apa kamu sadar Mas? Kata-kata ini yang telah memisahkan antara aku dan Ahmad! Apa ha
"Nggak Nisa, nggak! kumohon jangan kau ucapkan kata terkutuk itu lagi!" jawab Arman semakin merengkuh tubuh istrinya.Takut merasa akan kehilangan, membuat Arman pun langsung berkata "Jangan tinggalkan aku, jangan pernah capek berdiri di sisiku, Nis, aku mohon...!Temani aku, untuk menaklukkan bahtera ini, seperti cita-cita kita dulu Nisa, please...!" Arman merasa tak sanggup mendengar rintih kepedihan dalam diri istrinya, yang begitu ia cintai."Percuma aku bertahan Mas, jika aku sendiri tak tau lagi ke mana arah bahtera ini akan di bawa!" jawab Nisa lemah."Cukup kamu bertahan di sisiku Nis, biarkan aku berjuang sendiri di temani semangat cinta yang kau berikan." Arman begitu takut, jika harus kehilangan wanita yang ia perjuangkan, walau harus melawan orang tuanya saat itu."Siapa dia Mas?""Si..siapa? Kamu mengigau 'kan Nis? Tidurlah." Arman dengan susah payah menyelesaikan ucapannya yang hanya beberapa kata."Jawab jujur Mas, siapa dia? Biarkan aku melepas mu jika itu membuat mu te
Begini Pak, istri anda mengalami pendarahan, terlambat sedikit saja ditangani, maka akan fatal akibatnya!" ucap dokter dengan wajah tegas. "Apa pasien melakukan pekerjaan berat atau mengalami tekanan emosi yang berlebihan?" tanya pria berjas putih itu.Maaf Dok, tadi memang kita ada salah paham yang berakibat pertengkaran. Memangnya apa yang terjadi pada istri saya Dok?" "Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat atas kehamilan istri anda." jawab Dokter tersebut."Apa Dok!? Istri saya hamil??" "Benar Pak, usia kandungan pasien saat ini memasuki usia empat minggu." "Nisa hamil?.... istri saya hamil Dok? alhamdulillah." tanya Arman lagi dengan wajah bahagia.Tanpa sadar Arman langsung memeluk Dokter paruh baya tersebut."Begini ya Pak, kandungan ibu Nisa sangat lemah, jadi tolong diusahakan, agar bapak lebih extra dalam menjaga pola makan, istirahat dan terutama emosinya. Bagaimana pak?" nasehat dokter tersebut."Baik Dok, saya akan berusaha memberikan yang terbaik untuk istri dan ca
Mendengar jika istrinya mempunyai teman laki-laki, Arman merasa tak terima jika istrinya nanti lebih akrab dengan laki-laki itu dan merasa nyaman, maka bisa saja Nisa pergi meninggalkan dirinya."Memangnya udah lama kenal yank?kenal di mana? Udah pernah ketemuan ya?" Arman segera memberikan rentetan pertanyaan.Nisa yang melihat rona merah menahan emosi di wajah suaminya, semakin semangat bercerita. "Hmm.! Sebenarnya aku baru sih kenal sama dia Mas, yaa..! Walaupun awal kenal lewat aplikasi sih, tapi dia enak diajak ngobrol, ngobrolnya nyambung lagi! Malah nih Mas ya? Dia itu udah kabulkan apa pun permintaan aku lho Mas, hehehe.""Mana, sini nomor handphone nya?" ucap Arman sambil menadahkan tangan meminta."'Kan handphone aku di rumah Mas, emang nya kamu mau ngapain? Mau hubungin dia? Ayo...!Jangan usil deh Mas."Nisa berusaha menahan tawanya, saat melihat wajah suaminya yang merah seperti kepiting rebus menahan emosi."Yank, please jangan nekad deh, jangan pernah hubungi dia lagi ya
Brak..!""Arman! Ngapain kamu bawa dia ke rumah sakit, jika hanya sakit biasa begitu sih! Buang-buang uang saja." Melihat putranya memperlakukan istrinya dengan baik, bu Susy pun meradang."Ma! Mama apaan sih Ma! Datang ke Rumah Sakit teriak-teriak begitu. Mama mau kalau sampai Mama diusir sama security?" "Mengenai Nisa yang dirawat di sini, itu bukan keinginan dia. Tapi itu semua salah aku, gara-gara keegoan aku, aku hampir kehilangan calon anak aku, Ma."Bu Susy yang mendengar kabar kehamilan menantunya nampak tak suka dan tak rela."Apa!! Wanita itu hamil?" "Wanita itu istriku Ma, dia punya nama. Please, demi anak aku, hargai dia Ma." Arman memohon pada mamanya."Cukup dulu kamu memohon untuk menikahi dia Arman! Jangan pernah kamu memohon pada Mama, untuk menerima dia sepenuhnya hanya karena dia hamil. Mama gak sudi punya cucu dari wanita seperti dia!" ujar bu Susy sambil melototkan matanya.Kata-
Bu Susy tersadar dari tidurnya kaget, melihat suasana berbeda dengan tempat yang ia tempati beberapa bulan terakhir. Dalam kebingungan, ibu Susy berteriak. Tak berapa lama, seorang perawat yang bertugas melayani para penghuni panti, datang. "Ada apa, Bu?" tanya perawat tersebut. "Hapa... hamu...?" tanya bu Susy heran. "Saya perawat di sini, Bu! Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya perawat yang telah terbiasa berinteraksi dengan orang stroke, membuat ia bisa mengartikan bahasa tak jelas dari ibu Susy."Hana, haman, haku hau haman!" "Maaf Bu, Bapak Arman sendiri, yang mengantarkan Ibu ke sini! Saat ini, Bapak Arman sudah pulang! Ibu bisa tenang, Ibu berada di tempat yang khusus merawat para orangtua, yang tak sempat, di rawat anak-anak mereka!"Betapa kagetnya bu Susy setelah mendengar penjelasan perawat. Ia nampak shock, tak menyangka jika ia akan dibuang oleh anaknya sendiri. Bu Susy menangis, ia menyesal
"Apaan sih, Mas! Aku malah bahagia, jika mereka bisa tetap bersama selamanya! Lagi pula, aku udah punya kamu, ngapain harus menyemburukan suami orang?" jawab Nisa sambil nyelendot di tangan Rasya. Hati Rasya berbunga-bunga, dengan ungkapan perasaan istrinya. "Terimakasih sayang! Aku harap, apapun masalahnya, kita bisa bicarakan baik-baik! Aku tak mau mengalami kegagalan, dalam rumahtangga kita!""Aamiiiin....! Sama-sama, sayang!" jawab Nisa tersenyum manis. Nisa merasa bahagia, dengan selesainya semua permasalahan yang ia rasakan selama ini, Nisa akhirnya bisa merasa lega. "Mas.... aku bahagia banget, masalalu yang dulu aku alami terasa berat, ternyata memberi kebahagiaan bagiku, di masa sekarang!" ucap Nisa memandang jalanan di depan. "Syukurlah, tapi aku akan berusaha, memberikan kebahagiaan bukan cuma saat ini, tapi selamanya!""Aamiiiin...!"Kedua suami istri tak jadi pulang ke rumah, tapi justru mereka
"Terimakasih atas saran lo, Nis! Aku akan lihat, bagaimana Indra menyadari kesalahannya! Jika memang dia pantas untuk dipertahankan, maka aku akan berusaha mempertahankannya!" jawab Dinda santai. "Bagus deh, semoga Allah memberikan kebaikan untuk rumahtangga kalian!""Aamiiin....!" balas Dinda atas do'a Nisa. "Oh iya Nis! Aku mau minta maaf, ya! Nama kamu, ikut digunakan oleh mendiang anakku!' jawab Dinda sedih teringat dengan kematian putri kecilnya. "Gak papa, kok! Lagian, nama itu 'kan belum aku bikinkan lisensinya, jadi siapa aja boleh menggunakannya! Apalagi aku cantik, aku yakin siapapun yang menggunakan nama itu, pasti cantik kayak aku!" jawab Nisa enteng. Dinda melongo dengan kenarsisan sahabatnya, sejak kapan, pikirnya "Lo baik-baik aja, 'kan, Nis?" tanya Dinda sambil menempelkan tangannya di dahi Nisa. "Apaan sih, Din! Orang sehat begini, malah dibilang sakit!" gumam Nisa sewot. "Tunggu.... tunggu! Sejak
"Assalamualaikum....!" ucap salam Nisa yang di depan sebuah rumah minimalis, ditemani suaminya. "Rumahnya, asri ya Mas!" ucap Nisa sambil melihat-lihat lingkungan rumah sahabatnya. "Kamu suka?" tanya Rasya merangkul tubuh istrinya kepelukan. "Banget, aku itu sukanya suasana alam, ya.... seperti taman ini, Mas!""Nanti kita beli satu, rumah yang ada tamannya!" jawab Rasya enteng. "Awh....!" jerit Rasya yang mendapat cubitan dari istrinya. "Apaan sih, sayang! Main cubit aja!" sungut Rasya sambil menggosok perutnya. "Kamu yang apaan, Mas! Beli rumah, kayak beli gado-gado, pemborosan tau!" protes Nisa. "Kan kamu ingin suasana seperti ini, sayang!" jawab Rasya membela diri. "Tapi nggak gitu juga konsepnya, kali...!" jawab Nisa heran dengan pola pikir suaminya. "Waalaikum salam....! Maaf, cari siapa, ya?" tanya wanita paruhbaya yang membukakan pintu. Rasya dan Nisa menoleh ke pintu
"Dasar, adik ipar perhitungan! Baru aja dimintai pertolongan beberapa kali, udah main kabur!" omel Arman di sepanjang jalan. Sampai di rumah, emosi Arman semakin membengkak! Ibunya yang duduk di atas kursi roda, melemparkan perabotan rumah yang tidak seberapa, ke segala arah. "Mama apa-apaan sih, Ma! Udah gak bisa bantu beres-beres, malah berantakin rumah begini!" Melihat kedatangan putranya, bu Susy tambah meradang. Semua barang benda yang dapat terjangkau oleh tangannya, ia lemparkan kepada Arman. "Huh.... huh...!" Sambil melempar, hanya kata gak jelas yang keluar dari bibirnya. "Ma.... jika Mama terus-terusan seperti ini, Arman pastikan Mama akan menyesal!" bentak Arman memandang tajam. "Mama mikir gak, sih! Mama baru aja keluar dari Rumah Sakit, bukannya istirahat malah marah nggak jelas begini!" omel Arman sambil mengumpulkan pecahan beling yang berserakan di lantai."Hamu... hak.. hecus, hurus hibu!" ujar bu
Hati Indra terasa miris, melihat wanita yang biasanya selalu ceria, kini hilang ingatannya. Yang dipikirannya, hanya mengenai anak yang ia lahirkan, yang telah kembali ke pankuan ilahi. "Dinda, kamu udah makan obat?" tanya Indra duduk di bangku, yang ada di kamar mereka. "Udah donk, Mas! Aku kan harus sehat, agar bisa menjaga dede Nisa!" jawab Dinda semangat. "Iya, kamu harus minum obat terus ya, agar dede bayi juga ikutan sehat!" ucap Indra memotivasi istrinya agar tetap semangat untuk minum obat, walau harus mengikuti ke 'halu an' istrinya. "Gitu ya, Mas?" tanya Dinda dengan senyum di bibirnya. "Iya, donk! Jika kamu sehat, nanti kita bisa jalan-jalan!" tambah Indra. "Jalan-jalan...? Sama dede Nisa, Mas?" tanya Dinda dengab mata berbinar. Dinda duduk di pinggir tempat tidur, menghadap suaminya, seperti seorang anak yang ingin mendengar dongeng dari ibunya. "Iya..kita akan jalan-jalan, tapi pastikan
"Siapa istri pemuda itu..? Apakah istrinya, mengenalku? Semoga saja begitu, dengan demikian, aku mempunyai harapan selamat, dari balas dendam bocah itu!" ucap hati Tuan Frass. "Ada apa dengan Tuan! Nampaknya dia begitu bahagia!" Tanda tanya menghantui pikiran Jhon, tapi dia tetap menjalankan perintah Tuannya***Di rumah, Nisa nampak duduk dengan Ahmad,putranya. Ahmad begitu senang mendengar kabar kehamilan ibunya, "Bunda... berapa lama lagi adik Ahmad bisa diajak bermain, Bun?" tanya Ahmad semringah. "Hehe... sabar ya sayang, tunggu adik lahir dulu, terus tunggu adek gede, baru deh main sama kakak Ahmad!" ucap Nisa sambil membelai rambut putranya. "Kok lama banget! Sekarang adik di mana, Bun?" tanya Ahmad polos. Sambil tersenyum, Nisa memindahkan tangan Ahmad, ke perutnya yang masih datar. "Kok di sini, Bun? Apa gak sempit Bun? Terus, tempat adik bermain, dimana?" tanya Ahmad heran. "Nggak sempit don
Air mata Nisa tak dapat ia bendung, air mata bahagia, mengiasi wajah cantiknya. Nisa merasa tak percaya, baru satu bulan ia menikah, ternyata Allah kembali menitip kan karunia terbesar, pada dirinya. Ia benar-benar bersyukur, karena banyak di luar sana, yang telah sekian lama menikah, namun belum dikaruniai seorang anak. "Selamat ya, Bu atas kehamilannya!" ucap dokter wanita yang menanganinya. "Terimakasih, Dok!" ucap Nisa tersenyum haru. "Sudah menjadi tugas kami, Bu! Pesan saya, jaga emosinya agar jangan sampai stres, dan jangan lupa konsumsi makanan bergizi ya, Bu! Jangan lupa, perbanyak istirahat!" nasehat dokter. "Baik, Dok!" jawab Nisa, serius mendengar nasehat dokter. "Satu lagi, di sini saya tulis resep vitamin, juga obat penghilang mualnya, jangan lupa bulan depan datang lagi, kita cek perkembangan janinnya, ya Bu!" "In syaa allah, Dok!"Setelah menebus obat dan vitamin di apotik, Nisa, segera meninggalkan
Nisa baru ingat, jika bulan ini dia belum menstruasi. "Kenapa, nak? Kamu gak berencana menunda kehamilan, 'kan?" "Ee...nggak kok, Yah!" cicit Nisa."Syukurlah, gak baik kamu menunda kehamilan! Walau bagaimanapun, kamu harus menghargai keinginan suamimu! Lagi pula, Ahmad juga sudah besar, sudah sepantasnya punya adik!" nasehat Ayah Faisal. "Iya Yah, dari awal menikah, Nisa gak ada niat untuk menunda kehamilan! Tapi kalau belum hamil, ya sabar aja!" jawab Nisa, tapi dalam hati Nisa berkata lain. "Bagus itu, mumpung kamu masih muda, jadi peluang untuk hamil itu, masih besar! Ayah do'akan agar kamu secepatnya, bisa memberikan Keturunan buat Rasya!""Iya, Yah! Moga aja secepatnya dipercaya Allah!""In syaa allah, aamiiin!" doa ayah Faisal.Ia ingin, dengan kehamilan, dapat mempererat cinta dalam rumahtangga putrinya. Nisa yang masih terngiang pertanyaan ayahnya, dia mulai memikirkan perubahan yang terja