Begini Pak, istri anda mengalami pendarahan, terlambat sedikit saja ditangani, maka akan fatal akibatnya!" ucap dokter dengan wajah tegas. "Apa pasien melakukan pekerjaan berat atau mengalami tekanan emosi yang berlebihan?" tanya pria berjas putih itu.
Maaf Dok, tadi memang kita ada salah paham yang berakibat pertengkaran. Memangnya apa yang terjadi pada istri saya Dok?""Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat atas kehamilan istri anda." jawab Dokter tersebut."Apa Dok!? Istri saya hamil??""Benar Pak, usia kandungan pasien saat ini memasuki usia empat minggu.""Nisa hamil?.... istri saya hamil Dok? alhamdulillah." tanya Arman lagi dengan wajah bahagia.Tanpa sadar Arman langsung memeluk Dokter paruh baya tersebut."Begini ya Pak, kandungan ibu Nisa sangat lemah, jadi tolong diusahakan, agar bapak lebih extra dalam menjaga pola makan, istirahat dan terutama emosinya. Bagaimana pak?" nasehat dokter tersebut."Baik Dok, saya akan berusaha memberikan yang terbaik untuk istri dan calon anak saya, tapi bagaimana dengan kondisinya? Istri saya baik baik saja kan, Dok?""Kondisi pasien sudah normal, hanya saja banyak yang harus Bapak lakukan.""Emosi bu Nisa harus benar-benar di jaga ya Pak! Biasanya emosi wanita yang sedang hamil sering turun naik, tolong usahakan pasien jangan sampai sedih, khawatir dan takut berlebihan, karena itu akan berdampak pada rangsangan terhadap bayi hingga bisa menyebabkan keguguran.""Untuk saat ini, pasien juga jangan terlalu capek, atau melakukan aktivitas yang berat.""Baik Dok!" Arman dengan yakin menjawab.Tiba-tiba Arman bertanya kembali, dengan ragu ia berkata. "Kalau itu?.....Itu, bagaimana dengan berhubungan suami istri, apa bisa dilakukan Dok?" tanya Arman yang disambut senyuman para perawat."Hehe...! Sebaik nya untuk di trimester awal lebih baik ditahan dulu ya Pak, karena kita harus lihat, dan memastikan perkembangan janin untuk satu Minggu sampai satu bulan ke depan. Goncangan atau gerakan saat berhubungan, di khawatirkan akan berpengaruh pada janin. Nanti saya akan resep kan obat penguat kandungan, juga vitamin untuk pasien."Setelah memberikan arahan panjang lebar, Dokter tersebut pun berlalu meninggalkan tempat.Arman duduk di sisi bed pasien Nisa dan menggenggam tangannya, serta tak henti menciuminya."Terimakasih karena kamu telah menjadikan aku sempurna sebagai lelaki Nisa, bertahanlah demi masa depan dan buah cinta kita. Maafkan aku telah berlaku buruk pada dirimu juga Ahmad. Aku menyesal Nis." Arman mengelus perut Nisa secara perlahan, seolah takut elusannya menyakiti calon anaknya."Sebagai seorang Ibu, kamu begitu luar biasa Nisa.""Janin ini tumbuh karena kasih sayangmu, dan dia ada bersama dirimu di saat orang lain bahkan belum menyadari kehadirannya." Arman terus berkata sambil sesekali ia mengelus dan mencium perut Nisa.Nisa yang tersadar beberapa waktu yang lalu, mendengar semua apa yang dikatakan Arman.Nisa mulai ragu untuk berpisah dengan Arman, ia tak tega dan merasa sebagai ibu yang kejam, jika anaknya akan kembali kekurangan sosok orang tua. Akhirnya Nisa mencoba mengalah dan menerima takdir demi calon buah hatinya."Apakah kau akan membedakan mereka nantinya Mas?" Tangan Nisa mengusap kepala Arman yang berada di atas perutnya.Arman langsung menoleh kearah Nisa "Jangan khawatir sayang, aku nggak akan membedakan mereka, percayalah!" Arman begitu bahagia melihat Nisa mau berbicara padanya, dan dalam keadaan baik-baik saja.Sambil mengelus perut istrinya, Arman berkata, "Mereka terlahir dari rahim yang sama, meminum air susu dari Ibu yang sama, dan dibesarkan oleh Ibu yang sama pula, juga dalam rengkuhan kasih sayang dari satu wanita." Arman memandang wajah Nisa dan tersenyum."Tak ada lagi alasan aku untuk membedakan mereka, karena mereka adalah bagian dari wanita yang aku cintai." Arman langsung memeluk nisa dengan erat.Sejenak sepasang suami isteri itu hanyut dalam pikiran masing-masing. Hanya perasaan mereka yang bersatu dan terjalin dalam sebuah ikatan cinta."Tapi bagaimana dengan Ibu dan Bella Mas?" Nisa masih merasa ragu, jika ibu mertuanya akan menerima dirinya hanya karena keadaan dan kehamilannya saat ini."Kamu harus tenang ya, jangan berpikir hal yang akan memancing emosi mu, masalah Mama dan Bella akan menjadi urusanku." Sebenarnya Arman pun berpikir sama, ia tau bagaimana mama dan adiknya sangat tak menyukai istrinya itu."Jika nantinya, Ibu meminta kita untuk berpisah bagaimana Mas? Apa kamu akan meninggalkan kami?" Nisa masih belum bisa menghilangkan kekhawatirannya saat ini untuk menghadapi keluarga suaminya itu."Itu nggak mungkin terjadi sayang, aku nggak mungkin meninggalkan kalian hanya sekedar keinginan Mama.""Semoga saja Mas!" ujar Nisa sambil menggenggam tangan suaminya."Ahmad mana Mas?" Melihat sekeliling, Nisa baru menyadari jika anaknya tidak ada di situ."Ahmad di rumah sayang. Maaf ya, tadi malam saat kita akan berangkat, aku panik, sampai melupakannya."Sejak menyadari kesalahannya dan mengetahui kehamilan istrinya, Arman selalu memberikan panggilan sayang pada Nisa seperti perasaannya."Apaan sih Mas, dari tadi sayang sayang terus, kalau di dengar orang, aku malu tau Mas!" ucap Nisa sambil memanyunkan bibirnya. Menjadikan wajah Nisa terlihat lucu."Kenapa harus malu sayang, 'kan aku memang sayang sama kamu." Arman mencium pipi Nisa gemas yang langsung mendapatkan pelototan mata.Mereka pun berbincang dan tertawa membahas masa depan, terutama saling memaafkan. Terlihat harmonis, sangat jauh dibandingkan kemarin yang selalu di sertai dengan kata kata kasar, sampai ketika."Mas Arman!""Apa sayang, apa kamu lapar? Atau ada yang kamu sakitkan? Tunggu sebentar ya, aku akan memanggil Dokter!" Arman beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan ke arah pintu."Kamu mau kemana Mas?? Aku nggak apa apa kok, sini duduk, aku mau bicara." Panggilan Nisa menghentikan langkah suaminya.Perhatian dan kekhawatiran Arman mengurangi sedikit demi sedikit kekecewaan hati Nisa."Udah sayang jangan bicara dulu, aku nggak mau kamu sakit lagi! Udah dulu ya bicaranya, lain kali kita bahas lagi. Tapi kumohon jangan meminta sesuatu yang nggak mungkin aku lakukan." Kecemasan Arman tentang pembicaraan yang di maksud Nisa, membuatnya takut."Apa sih Mas, orang aku cuma mau bicara tentang sahabat aku, kok kamu sampai panik gitu sih?" Nisa tersenyum melihat tingkah suaminya."Oh...Maaf, aku pikir kamu mau membahas masalah tadi malam!..Hehe..!" Arman nyengir sambil menggaruk kepalanya berjalan kembali ke sisi istrinya."Sahabat kamu yang mana sayang?" Arman merasa lega saat Nisa tak membahas masalah dirinya."Dinda, teman aku yang datang di pernikahan kita waktu itu. Apa kamu ingat Mas?""Maaf aku nggak ingat yank. Waktu itu aku hanya fokus sama kamu, jadi ngak sempat lihat wanita lain." Arman baring di sisi istrinya, sambil sesekali kali memainkan ujung hijab Nisa."Iya, dulu Mas fokusnya ke aku, sekarang...?" pancing Nisa."Udah dong yank, kok bahas aku lagi sih, 'kan kita lagi bahas sahabat kamu. Sekarang dia di mana?" Arman segera mengalihkan pembicaraan mereka."Iya..iya..! Pinter benar ngeles," gumam Nisa, "Gini lho, sahabat aku itu tinggalnya di kota ini juga. 'Kan kita udah lama nggak ketemu, jadi dia mau main ke rumah kamu, apa boleh Mas?""Yank, kok ngomongnya gitu sih yank!Rumah aku itu rumah kamu juga! Siapapun tamu kamu boleh datang kok, asalkan dia seorang wanita!""Kok aturannya gitu??""Ya jelas dong, asalkan dia seorang wanita jangankan main, nginap juga boleh. Kalau dia laki laki, jangankan nginap, mendatangi kamu juga nggak boleh, paham!" Bukan ingin membatasi pergaulan istrinya, Arman hanya merasa tak rela jika istrinya didekati laki-laki lain."Memangnya aku punya teman laki-laki ya, Mas?" Nisa memandang ke arah suaminya, tiba tiba..."Eh...! Tunggu, aku mau jujur kalau aku, punya satu teman laki-laki Mas!" ucap Nisa tersenyum smirk.Mendengar jika istrinya mempunyai teman laki-laki, Arman merasa tak terima jika istrinya nanti lebih akrab dengan laki-laki itu dan merasa nyaman, maka bisa saja Nisa pergi meninggalkan dirinya."Memangnya udah lama kenal yank?kenal di mana? Udah pernah ketemuan ya?" Arman segera memberikan rentetan pertanyaan.Nisa yang melihat rona merah menahan emosi di wajah suaminya, semakin semangat bercerita. "Hmm.! Sebenarnya aku baru sih kenal sama dia Mas, yaa..! Walaupun awal kenal lewat aplikasi sih, tapi dia enak diajak ngobrol, ngobrolnya nyambung lagi! Malah nih Mas ya? Dia itu udah kabulkan apa pun permintaan aku lho Mas, hehehe.""Mana, sini nomor handphone nya?" ucap Arman sambil menadahkan tangan meminta."'Kan handphone aku di rumah Mas, emang nya kamu mau ngapain? Mau hubungin dia? Ayo...!Jangan usil deh Mas."Nisa berusaha menahan tawanya, saat melihat wajah suaminya yang merah seperti kepiting rebus menahan emosi."Yank, please jangan nekad deh, jangan pernah hubungi dia lagi ya
Brak..!""Arman! Ngapain kamu bawa dia ke rumah sakit, jika hanya sakit biasa begitu sih! Buang-buang uang saja." Melihat putranya memperlakukan istrinya dengan baik, bu Susy pun meradang."Ma! Mama apaan sih Ma! Datang ke Rumah Sakit teriak-teriak begitu. Mama mau kalau sampai Mama diusir sama security?" "Mengenai Nisa yang dirawat di sini, itu bukan keinginan dia. Tapi itu semua salah aku, gara-gara keegoan aku, aku hampir kehilangan calon anak aku, Ma."Bu Susy yang mendengar kabar kehamilan menantunya nampak tak suka dan tak rela."Apa!! Wanita itu hamil?" "Wanita itu istriku Ma, dia punya nama. Please, demi anak aku, hargai dia Ma." Arman memohon pada mamanya."Cukup dulu kamu memohon untuk menikahi dia Arman! Jangan pernah kamu memohon pada Mama, untuk menerima dia sepenuhnya hanya karena dia hamil. Mama gak sudi punya cucu dari wanita seperti dia!" ujar bu Susy sambil melototkan matanya.Kata-
Arman yang melihat raut kecewa di wajah istrinya, langsung menolak panggilan dan menyimpannya kembali."Maaf, aku akan menyelesaikan permasalah ini secepatnya sayang!" ungkap Arman sambil memegang tangan istrinya."Itu adalah hak kamu Mas, dan aku hanya tidak ingin, jika pernikahan kita dimasuki orang ketiga." Tanpa berkata lagi, Nisa langsung membaringkan tubuhnya, dan membelakangi suaminya."Jika aku tahu kalian masih menjalin hubungan, maka jangan salahkan aku, jika aku inginkan perpisahan, Mas!" lanjut Nisa.Arman yang mendengar ultimatum istrinya hanya diam. Begitu masuk kedalam rumahnya, bu Susy langsung duduk dengan kasar dan meletakkan tasnya begitu saja. Nampak wajah penuh kemarahan, dan hembusan napas kasar pun berulang ulang ia lakukan.Semua itu membuat Bella, yang dari tadi duduk santai sambil menikmati cemilan di depan tv merasa heran dengan kelakuan ibunya."Mama kenapa sih? Datang-datang bukannya ucap salam k
Bu Susy langsung merogoh tasnya mengambil handphone. Ia langsung menghubungi seseorang. Tak lama terdengar suara dari seberang."Halo, Sherly ini Tante! Kamu ada waktu nggak? Ada yang ingin Tante bicarakan!" ucap Bu Susy pada seseorang.Terdengar obrolan panjang lebar antara bu Susy, dan seseorang di seberang sana. Entah apa yang dibicarakannya tak ada ada yang tahu. Muslihat dan taktik apa yang di rencanakan pun tak diketahui.Bahkan Bella yang saat itu berada di luar kamar ibunya pun, tak dapat mendengar jelas apa isi percakapan ibunya dengan Sherly. Yang ia ketahui bahwa ibunya sedang merencanakan sesuatu."Hm...! Moga aja Mama punya rencana bagus untuk mengusir perempuan itu dari keluargaku!" Gumam Bella sendiri.Tak terasa dua hari sudah Nisa dirawat di Rumah sakit. Hari ini Nisa sudah diperbolehkan pulang.Setelah menyelesaikan administrasi dan keperluan lainnya, Arman membawa istrinya pulang ke rumah mereka.Begit
Nisa mendudukkan dirinya di sofa yang ada di ruang keluarga rumahnya. Ia duduk menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, dan terdiam menatap ke langit-langit rumah. Ia masih kesal dan sakit hati, melihat bagaimana wanita tadi yang ternyata adalah selingkuhan suaminya, yang dengan percaya diri meminta ia menceraikan suaminya demi bisa menikahi dirinya.Sementara Arman masih berdebat dengan Sherly yang masih tak mau pergi saat disuruh pulang nampak emosi."Sher...! Please jangan ganggu rumah tanggaku lagi. Aku sudah menyesali semua kesalahanku selama ini." Arman pun berusaha memberi pengertian, agar tak menimbulkan masalah ke depan bagi rumah tangganya."Apa Mas? Kamu meminta aku meninggalkan kamu, hanya untuk dia Mas! Bukankah kamu sendiri yang bilang akan menikahi aku setelah menceraikannya, Mas!" Sherly yang tak terima dengan penjelasan Arman pun marah."Cukup Sherly..! Memang aku pernah bicara seperti itu, tapi aku menyesal Sher! Aku gak mungki
Apa-apaan ini Nisa? Kalian mau kemana?" tanya Arman sambil menurunkan tas dari tangan istrinya.Nisa yang menyadari keberadaan putranya di antara mereka pun memandang anaknya "Ahmad bisa tunggu di luar nggak, sebentar aja ya?" pinta Nisa pada putranya."Iya Bun!" Ahmad pun berjalan keluar rumah menunggu di teras.Arman yang hanya melihat interaksi antara anak dan istrinya pun hanya diam. "Mas..! Aku memberikan waktu untukmu berpikir sekali lagi! Dan untuk saat ini, aku akan pergi membawa putraku!" ujar Nisa sambil mengambil tasnya kembali.Arman jelas tak menerima permintaan istrinya, hingga tanpa sadar Arman pun berkata dengan keras "Jangan bodoh Nisa! Kamu gak bisa bertindak semaumu begini!" "Kenapa nggak bisa, Mas?" tanya Nisa membalas tatapan tajam suaminya."Aku gak bakal mengijinkan kamu pergi dari rumah ini walau hanya sejengkal, titik!" ucap Arman lagi."Oh....! Apa aku harus menunggu kamu mengusir aku
Arman langsung mengangkat tubuh Nisa ke dalam kamarnya yang diikuti putra sambungnya."Yah, Bunda kenapa Yah?" tanya Ahmad sambil menangis mengikuti langkah ayahnya ke kamar.Sampai ke kamar, Arman pun meletakkan tubuh istrinya secara perlahan. Ia menyelimuti tubuh Nisa, dan menyetel ulang setelan AC yang tak di pakai beberapa hari ini."Bunda kamu cuma capek kok, Ahmad nggak usah khawatir ya! Bentar lagi juga Bunda sehat lagi!" Arman berusaha memberi penjelasan yang menenangkan bagi putra sambungnya itu."Kok Bunda bisa capek Yah? Bunda kan baru pulang dari Rumah Sakit?" tanya Ahmad lagi."Itu karena Bunda ingin pergi, makanya Bunda jadi sakit lagi! Nanti kalau Bunda udah sadar, Ahmad harus bujuk Bunda untuk tidak pergi lagi ya?" Arman pun berusaha menahan istrinya pergi melalui anak sambungnya."Iya Yah, Bunda biar istirahat di rumah aja." Ahmad pun mendukung rencana Ayahnya.Di sebuah rumah..."Gimana....! Ka
Nisa yang mendengar pertanyaan suaminya sontak memandang kaget.Melihat putranya ada di antara mereka, merasa tak nyaman.Ia pun meminta putranya pergi ke kamarnya "Sayang..! Kamu masuk ke kamar dulu ya? Ada yang ingin Ayah dan Bunda bicarakan!" pinta Nisa pada putranya. "Iya Bun..! Tapi, Bunda jangan sakit lagi ya?" ucap Ahmad penuh harap."Iya sayang..! Terimakasih ya udah perhatian sama Bunda!" jawab Nisa sambil mencium pipi anaknya.Ahmad pun berlalu meninggalkan kedua orang tuanya dan kembali ke kamarnya."Mas? Aku belum segila itu untuk pergi menemui laki-laki lain, di saat statusku masih sebagai istrimu!" jawab Nisa kesal sambil memandang suaminya.Arman pun segera menyadari kesalahannya "Maafkan aku, Nisa!""Aku hanya ingin menjaga kenyamanan bayi dalam kandunganku! Dari itu aku mohon, ijinkan aku pergi!" jelas Nisa lagi. Arman yang mendengar permintaan istrinya pun tak terima. Ia langsung ban
Bu Susy tersadar dari tidurnya kaget, melihat suasana berbeda dengan tempat yang ia tempati beberapa bulan terakhir. Dalam kebingungan, ibu Susy berteriak. Tak berapa lama, seorang perawat yang bertugas melayani para penghuni panti, datang. "Ada apa, Bu?" tanya perawat tersebut. "Hapa... hamu...?" tanya bu Susy heran. "Saya perawat di sini, Bu! Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya perawat yang telah terbiasa berinteraksi dengan orang stroke, membuat ia bisa mengartikan bahasa tak jelas dari ibu Susy."Hana, haman, haku hau haman!" "Maaf Bu, Bapak Arman sendiri, yang mengantarkan Ibu ke sini! Saat ini, Bapak Arman sudah pulang! Ibu bisa tenang, Ibu berada di tempat yang khusus merawat para orangtua, yang tak sempat, di rawat anak-anak mereka!"Betapa kagetnya bu Susy setelah mendengar penjelasan perawat. Ia nampak shock, tak menyangka jika ia akan dibuang oleh anaknya sendiri. Bu Susy menangis, ia menyesal
"Apaan sih, Mas! Aku malah bahagia, jika mereka bisa tetap bersama selamanya! Lagi pula, aku udah punya kamu, ngapain harus menyemburukan suami orang?" jawab Nisa sambil nyelendot di tangan Rasya. Hati Rasya berbunga-bunga, dengan ungkapan perasaan istrinya. "Terimakasih sayang! Aku harap, apapun masalahnya, kita bisa bicarakan baik-baik! Aku tak mau mengalami kegagalan, dalam rumahtangga kita!""Aamiiiin....! Sama-sama, sayang!" jawab Nisa tersenyum manis. Nisa merasa bahagia, dengan selesainya semua permasalahan yang ia rasakan selama ini, Nisa akhirnya bisa merasa lega. "Mas.... aku bahagia banget, masalalu yang dulu aku alami terasa berat, ternyata memberi kebahagiaan bagiku, di masa sekarang!" ucap Nisa memandang jalanan di depan. "Syukurlah, tapi aku akan berusaha, memberikan kebahagiaan bukan cuma saat ini, tapi selamanya!""Aamiiiin...!"Kedua suami istri tak jadi pulang ke rumah, tapi justru mereka
"Terimakasih atas saran lo, Nis! Aku akan lihat, bagaimana Indra menyadari kesalahannya! Jika memang dia pantas untuk dipertahankan, maka aku akan berusaha mempertahankannya!" jawab Dinda santai. "Bagus deh, semoga Allah memberikan kebaikan untuk rumahtangga kalian!""Aamiiin....!" balas Dinda atas do'a Nisa. "Oh iya Nis! Aku mau minta maaf, ya! Nama kamu, ikut digunakan oleh mendiang anakku!' jawab Dinda sedih teringat dengan kematian putri kecilnya. "Gak papa, kok! Lagian, nama itu 'kan belum aku bikinkan lisensinya, jadi siapa aja boleh menggunakannya! Apalagi aku cantik, aku yakin siapapun yang menggunakan nama itu, pasti cantik kayak aku!" jawab Nisa enteng. Dinda melongo dengan kenarsisan sahabatnya, sejak kapan, pikirnya "Lo baik-baik aja, 'kan, Nis?" tanya Dinda sambil menempelkan tangannya di dahi Nisa. "Apaan sih, Din! Orang sehat begini, malah dibilang sakit!" gumam Nisa sewot. "Tunggu.... tunggu! Sejak
"Assalamualaikum....!" ucap salam Nisa yang di depan sebuah rumah minimalis, ditemani suaminya. "Rumahnya, asri ya Mas!" ucap Nisa sambil melihat-lihat lingkungan rumah sahabatnya. "Kamu suka?" tanya Rasya merangkul tubuh istrinya kepelukan. "Banget, aku itu sukanya suasana alam, ya.... seperti taman ini, Mas!""Nanti kita beli satu, rumah yang ada tamannya!" jawab Rasya enteng. "Awh....!" jerit Rasya yang mendapat cubitan dari istrinya. "Apaan sih, sayang! Main cubit aja!" sungut Rasya sambil menggosok perutnya. "Kamu yang apaan, Mas! Beli rumah, kayak beli gado-gado, pemborosan tau!" protes Nisa. "Kan kamu ingin suasana seperti ini, sayang!" jawab Rasya membela diri. "Tapi nggak gitu juga konsepnya, kali...!" jawab Nisa heran dengan pola pikir suaminya. "Waalaikum salam....! Maaf, cari siapa, ya?" tanya wanita paruhbaya yang membukakan pintu. Rasya dan Nisa menoleh ke pintu
"Dasar, adik ipar perhitungan! Baru aja dimintai pertolongan beberapa kali, udah main kabur!" omel Arman di sepanjang jalan. Sampai di rumah, emosi Arman semakin membengkak! Ibunya yang duduk di atas kursi roda, melemparkan perabotan rumah yang tidak seberapa, ke segala arah. "Mama apa-apaan sih, Ma! Udah gak bisa bantu beres-beres, malah berantakin rumah begini!" Melihat kedatangan putranya, bu Susy tambah meradang. Semua barang benda yang dapat terjangkau oleh tangannya, ia lemparkan kepada Arman. "Huh.... huh...!" Sambil melempar, hanya kata gak jelas yang keluar dari bibirnya. "Ma.... jika Mama terus-terusan seperti ini, Arman pastikan Mama akan menyesal!" bentak Arman memandang tajam. "Mama mikir gak, sih! Mama baru aja keluar dari Rumah Sakit, bukannya istirahat malah marah nggak jelas begini!" omel Arman sambil mengumpulkan pecahan beling yang berserakan di lantai."Hamu... hak.. hecus, hurus hibu!" ujar bu
Hati Indra terasa miris, melihat wanita yang biasanya selalu ceria, kini hilang ingatannya. Yang dipikirannya, hanya mengenai anak yang ia lahirkan, yang telah kembali ke pankuan ilahi. "Dinda, kamu udah makan obat?" tanya Indra duduk di bangku, yang ada di kamar mereka. "Udah donk, Mas! Aku kan harus sehat, agar bisa menjaga dede Nisa!" jawab Dinda semangat. "Iya, kamu harus minum obat terus ya, agar dede bayi juga ikutan sehat!" ucap Indra memotivasi istrinya agar tetap semangat untuk minum obat, walau harus mengikuti ke 'halu an' istrinya. "Gitu ya, Mas?" tanya Dinda dengan senyum di bibirnya. "Iya, donk! Jika kamu sehat, nanti kita bisa jalan-jalan!" tambah Indra. "Jalan-jalan...? Sama dede Nisa, Mas?" tanya Dinda dengab mata berbinar. Dinda duduk di pinggir tempat tidur, menghadap suaminya, seperti seorang anak yang ingin mendengar dongeng dari ibunya. "Iya..kita akan jalan-jalan, tapi pastikan
"Siapa istri pemuda itu..? Apakah istrinya, mengenalku? Semoga saja begitu, dengan demikian, aku mempunyai harapan selamat, dari balas dendam bocah itu!" ucap hati Tuan Frass. "Ada apa dengan Tuan! Nampaknya dia begitu bahagia!" Tanda tanya menghantui pikiran Jhon, tapi dia tetap menjalankan perintah Tuannya***Di rumah, Nisa nampak duduk dengan Ahmad,putranya. Ahmad begitu senang mendengar kabar kehamilan ibunya, "Bunda... berapa lama lagi adik Ahmad bisa diajak bermain, Bun?" tanya Ahmad semringah. "Hehe... sabar ya sayang, tunggu adik lahir dulu, terus tunggu adek gede, baru deh main sama kakak Ahmad!" ucap Nisa sambil membelai rambut putranya. "Kok lama banget! Sekarang adik di mana, Bun?" tanya Ahmad polos. Sambil tersenyum, Nisa memindahkan tangan Ahmad, ke perutnya yang masih datar. "Kok di sini, Bun? Apa gak sempit Bun? Terus, tempat adik bermain, dimana?" tanya Ahmad heran. "Nggak sempit don
Air mata Nisa tak dapat ia bendung, air mata bahagia, mengiasi wajah cantiknya. Nisa merasa tak percaya, baru satu bulan ia menikah, ternyata Allah kembali menitip kan karunia terbesar, pada dirinya. Ia benar-benar bersyukur, karena banyak di luar sana, yang telah sekian lama menikah, namun belum dikaruniai seorang anak. "Selamat ya, Bu atas kehamilannya!" ucap dokter wanita yang menanganinya. "Terimakasih, Dok!" ucap Nisa tersenyum haru. "Sudah menjadi tugas kami, Bu! Pesan saya, jaga emosinya agar jangan sampai stres, dan jangan lupa konsumsi makanan bergizi ya, Bu! Jangan lupa, perbanyak istirahat!" nasehat dokter. "Baik, Dok!" jawab Nisa, serius mendengar nasehat dokter. "Satu lagi, di sini saya tulis resep vitamin, juga obat penghilang mualnya, jangan lupa bulan depan datang lagi, kita cek perkembangan janinnya, ya Bu!" "In syaa allah, Dok!"Setelah menebus obat dan vitamin di apotik, Nisa, segera meninggalkan
Nisa baru ingat, jika bulan ini dia belum menstruasi. "Kenapa, nak? Kamu gak berencana menunda kehamilan, 'kan?" "Ee...nggak kok, Yah!" cicit Nisa."Syukurlah, gak baik kamu menunda kehamilan! Walau bagaimanapun, kamu harus menghargai keinginan suamimu! Lagi pula, Ahmad juga sudah besar, sudah sepantasnya punya adik!" nasehat Ayah Faisal. "Iya Yah, dari awal menikah, Nisa gak ada niat untuk menunda kehamilan! Tapi kalau belum hamil, ya sabar aja!" jawab Nisa, tapi dalam hati Nisa berkata lain. "Bagus itu, mumpung kamu masih muda, jadi peluang untuk hamil itu, masih besar! Ayah do'akan agar kamu secepatnya, bisa memberikan Keturunan buat Rasya!""Iya, Yah! Moga aja secepatnya dipercaya Allah!""In syaa allah, aamiiin!" doa ayah Faisal.Ia ingin, dengan kehamilan, dapat mempererat cinta dalam rumahtangga putrinya. Nisa yang masih terngiang pertanyaan ayahnya, dia mulai memikirkan perubahan yang terja