Malam semakin larut, namun saat ini, Indra disibukkan oleh tangisan putrinya."Cup... cup..! Jangan nangis ya sayangnya Ayah!" ucap Indra menghibur putrinya, berharap agar bayi yang masih berusia enam bulan itu berhenti dari tangisnya.Namun bukannya diam, tangisan bayi mungil itu semakin kencang, menambah panik Indra."Bik...kenapa sih, Dede kecilnya gak mau diam? Padahal tubuhnya gak panas!" tanya Indra heran pada art nya."Gak tau Tuan! Padahal dari siang, non Dede gak rewel!" jawab pelayan sekaligus baby sitter tersebut.Karena kondisi perusahaan Indra mengalami banyak penurunan, dia terpaksa memecat baby sitter putrinya, demi mengurangi pengeluaran.Belum lagi istrinya yang mengalami koma, memerlukan biaya yang lumayan besar, membuat Indra kalang kabut mengatur keuangan rumah tangganya."Ya sudah, sekarang Bibik siapkan keperluan Dede bayi, kita berangkat ke Rumah Sakit sekarang!" perintah Indra.Saking men
Rasya bergegas meninggalkan Nisa, dia tak mungkin melampiaskan kekesalan hatinya, pada istri yang sangat ia cintai.Namun untuk bersikap biasa-biasa saja, Rasya tak selihai itu mengelabui perasaan cemburunya."Mas...!" panggil Nisa menyusul langkah suaminya.Rasya tak menggubris panggilan Nisa, dengan langkah lebar, dia melanjutkan langkahnya."Maaasss....!" panggil Nisa lagi, dengan suara yang lebih nyaring. Dia berlari kecil menyusul langkah suaminya, yang jauh di depannya.Rasya menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap tajam istrinya "Kenapa...? Apa kamu masih mau membela dia?" tanya Rasya tersenyum miring.Nisa menghentikan langkahnya, ia tak menyangka, jika suaminya bisa berpikir seperti itu."Kamu kenapa sih, Mas? Jika aku terkesan membela dia! Oke...aku minta maaf!" ucap Nisa mencoba tuk mengalah.Rasya semakin kesal dengan jawaban istrinya. Dia semakin yakin dengan rencananya. Rasya kembali berbalik
Rasya yang telah melepaskan pelukannya, lalu memandang lekat wajah Nisa dengan intens "Apa itu membahagiakan kamu, sayang??" tanya Rasya.Nisa menggelengkan kepalanya, dan kembali menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi Rasya "Demi ketenangan rumahtangga kita! Juga menjaga nama baik kamu, di mata Ahmad nantinya!" ujar Nisa, lalu memberanikan diri mencium bibir suaminya.Mendapat serangan mendadak istrinya, Rasya langsung membalasnya dengan lebih bersemangat. Selama menikah, selalu dia yang memulai, maka di saat istrinya memulai, dengan semangat Rasya membalasnya dengan lebih.Merasakan ciuman suaminya yang semakin menuntut, Nisa memanfaatkan situasi ini "Mas, batalkan dulu rencana kalian, baru kamu boleh melakukan apa saja padaku!" ucap Nisa sambil berbisik di telinga suaminya."Beneran nih, aku boleh melakukan apa saja??" tanya Rasya dengan senyum jahatnya.Tanpa menjawab, Nisa hanya menganggukkan kepalanya, dan tersenyum manis, men
Nisa tak mau buru-buru menerima panggilan di handphonenya. Ia tak mau mendapat panggilan dari seseorang, yang bisa menimbulkan kesalahpahaman di antara dia dan suaminya.Namun lagi-lagi handphonenya bersuara, karena kesal, Nisa langsung menonaktifkan handphonenya. Lalu dia lanjut dengan aktivitasnya.Setelah dua jam melakukan senam dan bersih-bersih, Nisa beranjak keluar kamar. Tapi langkahnya tertahan dengan kehadiran salah satu pelayan, "Ada apa Bik?" tanya Nisa lembut."Anu Nyonya, Tuan nelpon dan menanyakan keberadaan Nyonya!" ujar pelayan menjelaskan.Alis Nisa mengernyit heran, "Kalau Tuan mau menanyakan saya, kenapa dia nggak telpon langsung ke saya, Bik?" tanya Nisa bingung."Itu...kata Tuan, nomor handphone Nyonya gak aktif!" "Astaghfirullah..saya lupa Bik! Handphone saya tadi saya matiin!" jawab Nisa gegas kembali ke kamarnya.Nisa menyalakan kembali handphonenya, dan bertambah kaget. Ternyata, ada panggilan s
Lama Nino, dan Tuan Frass berkecamuk dengan pikiran masing-masing. Tak ada yang berani mengeluarkan pikiran mereka."Apa sesuatu yang buruk menimpa salah satu keluargaku?" tanya hati Tuan Frass."Nggak... nggak mungkin!" ucap Tuan Frass, mencoba menepis pikiran buruk yang sempat terlihat di pikirannya."Ada apa, Tuan?" tanya Nino yang dari tadi memperhatikan gerak-gerik bosnya."Nggak ada! Bukan apa-apa!" jawab Tuan Frass cepat.Nino merasa curiga, namun tak berani bertanya lebih lanjut."Nino...!" panggil Tuan Frass tiba-tiba."Ya, Tuan!" jawab Nino cepat."Aktifkan kartu seluler dari dalam negri!" ujar Tuan Frass buru-buru."Maaf Tuan, untuk apa?" tanya Nino takut-takut."Sejak kapan kamu banyak tanya?" tatap Tuan Frass tajam."Eh..tidak Tuan! Saya hanya khawatir, jika kartu itu diaktifkan, maka akan menunjukkan posisi kita saat ini!" jelas Nino setengah berani.Tuan Frass t
Nino segera membopong tubuh Tuan Frass ke kamar. Kondisi kejiwaan Tuan Frass nampak tergoncang. Nino segera menghubungi seseorang dokter. Nino ingin mengetahui, kabar apa yang membuat Tuannya itu terlihat shock dan mengalami kondisi seperti itu.Tapi karena tetap menjaga batasan antara dirinya dan Tuan Frass, Nino mengurungkan niatnya untuk bertanya.Setelah kedatangan dokter, dan melakukan pemeriksaan kondisi Tuan Frass, dokter menyarankan, agar Tuan Frass berkonsultasi pada dokter psikiater.Nino hanya mengangguk, tanpa tau harus berkata apa. Mengingat jika kondisi keuangan mereka saat ini, hanya mengandalkan tabungan yang tersisa, juga dari hasil Sherly."Tuan, sebaiknya Tuan istirahat dulu! Dan jangan memikirkan, apa yang terjadi saat ini!" ujar Nino perhatian, setelah mengantar kepulangan dokter.Tuan Frass tak bergeming, seakan tak mendengar kata-kata Nino yang nampak khawatir.***Sementara di kamar, per
"Aku kasian sama Dinda..!" ucap Rudy diawal ceritanya.Nisa tau kisah lama antara Rudy dan Dinda. Namun lagi-lagi Nisa mencegah rasa ingin taunya, dia hanya diam menyimak kata-kata Rudy duduk di kursi di sampingnya."Sejak dia melahirkan, dia sama sekali tak sempat melihat, seperti apa wajah putri yang dilahirkannya!" "Bahkan sampai sekarang..! Di mana, bahkan sampai putri mereka terkubur dalam tanah. Dinda maupun Indra bahkan, tak mengantar kepulangan putri mereka!" "Apa ini hukuman atas kesalahan yang mereka lakukan sama kamu ya, Nis?" ujar Rudy seakan bertanya.Nisa mengaduk gelasnya, matanya memandang jauh ke depan. Jujur ia tak tau, apakah musibah ini sebagai hukuman, atau ujian bagi keduanya.Nisa ingat, jika kedatangannya kali ini, adalah mencari kepastian ucapan dari suaminya."Apa penyebab kecelakaan Indra..?" tanya Nisa datar.Rudy menoleh Nisa sebentar, lalu kembali memandang ke gelasnya. Ia sedikit
Melihat penampilan suaminya yang bertubuh atletis, beraroma maskulin, dengan wajah tampan dan jambang menghiasi wajah, memberi rona merah di pipinya. Nisa membayangkan kehangatan dalam setiap sentuhan suaminya, membuat pipinya ssmakin merona. Tapi saat ini, laki-laki perkasa itu nampak peminim, dengan busana ciri khas emak-emak kekinian, membuat Nisa tak bisa menghilangkan rasa lucu, yang menghampirinya. "Hahaha.... kamu nampak manis deh, Mas!" celetuk Nisa memuji. Rasya yang mendapat pujian seakan ingin menangis. Jatuh sudah wibawa dan martabatnya sebagai seorang CEO, andai salah satu orang di luar sana melihat penampilannya saat ini. "Sayang... kamu balas dendam, ya?" ucap Rasya manyun. "Iihh.. bibirnya kok bisa, gitu?" ejek Nisa. "Kalau bibir Mas, memang manis, sayang! Tapi kalau saat ini....??" ucap Rasya sambil memandang bayanganmu di cermin. Beruntung dia saat ini berada di kamar, jadi mampu sedikit menahan rasa malunya, pikir Rasya santai. "Ayo Mas! Temani aku sebentar