Kesal, benci, kecewa perasaan Nisa saat ia kembali mengingat orang yang telah mengirim pesan.
Tak ingin memikirkan masalalu, Nisa kembali meletakkan handphonenya dan pergi ke luar.Di meja makan, Nisa melihat suaminya dan putranya, telah duduk menunggunya."Bunda....!" panggil Ahmad."Udah siap semuanya, sayang?" tanya Nisa sambil mencium pipi putranya."Udah, Bun! Tinggal sarapan aja, lagi!" jawab Ahmad tersenyum menampakkan gigi putihnya."Anak Bunda emang pinter, deh..! Tunggu sebentar ya, sayang!" ucap Nisa."Kok cuma Ahmad yang dipuji, Bun! Emang, Ayah nggak pintar, ya?" timpal Rasya di tengah obrolan ibu dan anak tersebut.Nisa dan Ahmad serempak memandang Rasya, dan "Hahahaha....." gelak tawa serempak dari Nisa dan putranya."Ayah cemburu...?" tanya Nisa, yang membiasakan memanggil Rasya ayah, jika di depan Ahmad."Iya Bun, Ayah cemburu, kasihaaaan! Hahaha...!" timpal Ahmad sambil tertaw"Hmmmph...boleh dicoba! Sebagai orang baru, kamu harus buktikan loyalitas kamu pada saya, baru saya bisa memberikan penilaian!""Baik, Tuan! Karena itu juga adalah tujuan saya, maka saya akan buktikan pada Tuan, bahwa saya adalah orang yang akan mendukung, apapun rencana Tuan, selanjutnya!" janji Jhon sungguh-sungguh."Jack...!""Ya, Tuan!""Kamu beri pasilitas untuknya seperti yang lainnya!" ujar Rasya sambil memandang Jhon."Dan untuk si tua bangka itu! Aku mau, hancurkan setiap bisnis gelapnya, dan ambil alih yang legal!" "Baik, Tuan!" jawab Jack."Dan kamu..!" tunjuk Rasya pada Jhon."Ikuti apapun perintah Jack, karena dia adalah rekanmu mulai saat ini!" "Baik Tuan!" Jhon bangkit dari duduknya, mengikuti rekannya yang sudah berdiri di sampingnya."Satu lagi, Jack!""Apa ada lagi, Tuan!" tanya Jack kembali duduk."Bagaimana dengan dua cecunguk itu!" "Yang satu m
Hari ini, Rasya pulang terlambat. Karena libur pernikahan selama satu minggu, tumpukan berkas laporan, menumpuk di mejanya.Saat ini, jam hampir menunjukkan pukul sepuluh malam, Rasya masih di perjalanan. "Jack...!" panggil Rasya yang duduk di belakang."Ya, Tuan!" jawab Jack cepat."Apa hadiah yang pas, buat menyenangkan wanita?" tanya Rasya.Jhon tak langsung menjawab, ia coba memikirkan, apa kiranya yang pantas, membuat istri dari Tuannya itu bahagia."Bagaimana, jika Tuan memberikan satu set perhiasan, Tuan! Bukannya, semua wanita sangat menyukai kemewahan!" jawab Jack."No, no..! Istriku tidak sama dengan wanita di luaran sana, Jack!" sambar Rasya cepat.Jack bingung, yang dia tau, setiap wanita sangat menyukai perhiasan. Jika istri dari Tuannya tidak menyukainya, lalu apalagi kira-kira yang bisa membuatnya bahagia "Bagaimana, jika mobil baru, Tuan?" ucap Jack asal."Mobil...?" gumam Rasya.Selama ini, Rasya tau bagaimana kehidupan istrinya dulu, menurutnya, bukanlah dari keluarg
Malam semakin larut, namun saat ini, Indra disibukkan oleh tangisan putrinya."Cup... cup..! Jangan nangis ya sayangnya Ayah!" ucap Indra menghibur putrinya, berharap agar bayi yang masih berusia enam bulan itu berhenti dari tangisnya.Namun bukannya diam, tangisan bayi mungil itu semakin kencang, menambah panik Indra."Bik...kenapa sih, Dede kecilnya gak mau diam? Padahal tubuhnya gak panas!" tanya Indra heran pada art nya."Gak tau Tuan! Padahal dari siang, non Dede gak rewel!" jawab pelayan sekaligus baby sitter tersebut.Karena kondisi perusahaan Indra mengalami banyak penurunan, dia terpaksa memecat baby sitter putrinya, demi mengurangi pengeluaran.Belum lagi istrinya yang mengalami koma, memerlukan biaya yang lumayan besar, membuat Indra kalang kabut mengatur keuangan rumah tangganya."Ya sudah, sekarang Bibik siapkan keperluan Dede bayi, kita berangkat ke Rumah Sakit sekarang!" perintah Indra.Saking men
Rasya bergegas meninggalkan Nisa, dia tak mungkin melampiaskan kekesalan hatinya, pada istri yang sangat ia cintai.Namun untuk bersikap biasa-biasa saja, Rasya tak selihai itu mengelabui perasaan cemburunya."Mas...!" panggil Nisa menyusul langkah suaminya.Rasya tak menggubris panggilan Nisa, dengan langkah lebar, dia melanjutkan langkahnya."Maaasss....!" panggil Nisa lagi, dengan suara yang lebih nyaring. Dia berlari kecil menyusul langkah suaminya, yang jauh di depannya.Rasya menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap tajam istrinya "Kenapa...? Apa kamu masih mau membela dia?" tanya Rasya tersenyum miring.Nisa menghentikan langkahnya, ia tak menyangka, jika suaminya bisa berpikir seperti itu."Kamu kenapa sih, Mas? Jika aku terkesan membela dia! Oke...aku minta maaf!" ucap Nisa mencoba tuk mengalah.Rasya semakin kesal dengan jawaban istrinya. Dia semakin yakin dengan rencananya. Rasya kembali berbalik
Rasya yang telah melepaskan pelukannya, lalu memandang lekat wajah Nisa dengan intens "Apa itu membahagiakan kamu, sayang??" tanya Rasya.Nisa menggelengkan kepalanya, dan kembali menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi Rasya "Demi ketenangan rumahtangga kita! Juga menjaga nama baik kamu, di mata Ahmad nantinya!" ujar Nisa, lalu memberanikan diri mencium bibir suaminya.Mendapat serangan mendadak istrinya, Rasya langsung membalasnya dengan lebih bersemangat. Selama menikah, selalu dia yang memulai, maka di saat istrinya memulai, dengan semangat Rasya membalasnya dengan lebih.Merasakan ciuman suaminya yang semakin menuntut, Nisa memanfaatkan situasi ini "Mas, batalkan dulu rencana kalian, baru kamu boleh melakukan apa saja padaku!" ucap Nisa sambil berbisik di telinga suaminya."Beneran nih, aku boleh melakukan apa saja??" tanya Rasya dengan senyum jahatnya.Tanpa menjawab, Nisa hanya menganggukkan kepalanya, dan tersenyum manis, men
Nisa tak mau buru-buru menerima panggilan di handphonenya. Ia tak mau mendapat panggilan dari seseorang, yang bisa menimbulkan kesalahpahaman di antara dia dan suaminya.Namun lagi-lagi handphonenya bersuara, karena kesal, Nisa langsung menonaktifkan handphonenya. Lalu dia lanjut dengan aktivitasnya.Setelah dua jam melakukan senam dan bersih-bersih, Nisa beranjak keluar kamar. Tapi langkahnya tertahan dengan kehadiran salah satu pelayan, "Ada apa Bik?" tanya Nisa lembut."Anu Nyonya, Tuan nelpon dan menanyakan keberadaan Nyonya!" ujar pelayan menjelaskan.Alis Nisa mengernyit heran, "Kalau Tuan mau menanyakan saya, kenapa dia nggak telpon langsung ke saya, Bik?" tanya Nisa bingung."Itu...kata Tuan, nomor handphone Nyonya gak aktif!" "Astaghfirullah..saya lupa Bik! Handphone saya tadi saya matiin!" jawab Nisa gegas kembali ke kamarnya.Nisa menyalakan kembali handphonenya, dan bertambah kaget. Ternyata, ada panggilan s
Lama Nino, dan Tuan Frass berkecamuk dengan pikiran masing-masing. Tak ada yang berani mengeluarkan pikiran mereka."Apa sesuatu yang buruk menimpa salah satu keluargaku?" tanya hati Tuan Frass."Nggak... nggak mungkin!" ucap Tuan Frass, mencoba menepis pikiran buruk yang sempat terlihat di pikirannya."Ada apa, Tuan?" tanya Nino yang dari tadi memperhatikan gerak-gerik bosnya."Nggak ada! Bukan apa-apa!" jawab Tuan Frass cepat.Nino merasa curiga, namun tak berani bertanya lebih lanjut."Nino...!" panggil Tuan Frass tiba-tiba."Ya, Tuan!" jawab Nino cepat."Aktifkan kartu seluler dari dalam negri!" ujar Tuan Frass buru-buru."Maaf Tuan, untuk apa?" tanya Nino takut-takut."Sejak kapan kamu banyak tanya?" tatap Tuan Frass tajam."Eh..tidak Tuan! Saya hanya khawatir, jika kartu itu diaktifkan, maka akan menunjukkan posisi kita saat ini!" jelas Nino setengah berani.Tuan Frass t
Nino segera membopong tubuh Tuan Frass ke kamar. Kondisi kejiwaan Tuan Frass nampak tergoncang. Nino segera menghubungi seseorang dokter. Nino ingin mengetahui, kabar apa yang membuat Tuannya itu terlihat shock dan mengalami kondisi seperti itu.Tapi karena tetap menjaga batasan antara dirinya dan Tuan Frass, Nino mengurungkan niatnya untuk bertanya.Setelah kedatangan dokter, dan melakukan pemeriksaan kondisi Tuan Frass, dokter menyarankan, agar Tuan Frass berkonsultasi pada dokter psikiater.Nino hanya mengangguk, tanpa tau harus berkata apa. Mengingat jika kondisi keuangan mereka saat ini, hanya mengandalkan tabungan yang tersisa, juga dari hasil Sherly."Tuan, sebaiknya Tuan istirahat dulu! Dan jangan memikirkan, apa yang terjadi saat ini!" ujar Nino perhatian, setelah mengantar kepulangan dokter.Tuan Frass tak bergeming, seakan tak mendengar kata-kata Nino yang nampak khawatir.***Sementara di kamar, per