Beranda / Romansa / Aku Diabaikan Saat Setia / Dirayu Untuk Kembali

Share

Dirayu Untuk Kembali

Penulis: Hawa Hajari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Ce, cerai, Dik?!” Mata Kang Oded melotot, tangannya bergetar. Tubuhnya yang kurus akibat banyak merokok dan jarang makan itu goyah, lalu ia berpegangan pada televisi. Lebay!

“Iya, Kang. Kita sudahi saja semua ini.” Aku menguap lelah, rasa kantuk menyerangku. Topik tentang masa depan pernikahan ini sudah tamat buatku.

Aku tata bantal di kasur, lalu mulai bersiap tidur. Tak aku hiraukan Kang Oded yang masih berdiri terpaku, terguncang dengan keputusanku. Untuk sesaat tak ada kata-kata lain yang keluar dari bibir hitamnya yang setiap waktu mengisap rokok.

Kepala aku letakkan di atas bantal. Nyaman betul rasanya. Aku berbaring memunggungi Kang Oded. Entah apa yang dilakukannya, terserah dia saja.

Gemerisik kain sprei akibat kasur yang dinaiki terdengar di belakang punggungku. Jadi Kang Oded memutuskan bergerak mendekatiku.

“Dik, apa nggak mungkin kita mulai lagi dari awal,” bujuknya dengan suara pelan. Aku diam saja, menutup mata mencoba tak peduli. Posisi badan pun tak aku ubah. Aku bergeming.

“Aku masih cinta sama kamu, Dik...” Kang Oded berusaha berbisik di telingaku. Uh, embusan napasnya mengganggu saja. 

Dulu, bisikan cintanya memang terdengar romantis di telinga. Indah dan lembut. Tapi itu dulu, sewaktu kami masih menjadi pengantin baru. Seiring berjalannya waktu, bisikan itu semakin kehilangan makna. Apalagi ditambah dengan sikapnya yang semakin ke sini bertambah abai padaku.

“Dik, lihatlah mata Akang,” pintanya memelas. Aku jadi ingin tertawa mendengarnya.

Apa-apaan, sih, pakai menyuruh melihat mata segala. Apa dia mau menghipnotisku? Macam ilusionis yang sempat ngetop beberapa tahun lalu di teve? Ada-ada saja. 

“Dik,” panggilnya lagi. 

Tanganku terasa ada yang menyentuh, rupanya Kang Oded tengah meraih jemariku. Secepat kilat aku kibaskan tangan, tak mau dipegang lagi oleh suami yang telah mengabaikan sekian lama. 

Apa dipikirnya permintaan maaf dan janji satu malam bisa menghapus kesalahannya selama bertahun-tahun? Apa bisa luka yang sudah berbekas di kulit hilang dengan satu usapan salep? 

“Kamu sangat berharga buatku, Dik. Cinta Akang tidak akan luntur meskipun kamu sudah selingkuh,” rayunya lagi. Cuih! Mau menggombal, nih?

Cinta apa yang ketika aku meminta jalan-jalan pagi berdua ke alun-alun, tapi Kang Oded memilih tidur? 

Apakah cinta namanya saat aku minta jemput sehabis acara reuni teman-teman SMP, namun dia malah menyuruhku pulang diantar teman? Kang Oded tega membiarkan aku seperti gadis yang tak punya pacar, padahal aku bersuami.

Ke mana cinta itu sewaktu aku sakit dan ingin ditemani, boro-boro menemani dan menghibur, Kang Oded memilih pergi menonton bola ke rumah tetangga di depan. Aku dibiarkannya sendirian.

Makan saja itu cinta! Aku tak perlu cinta yang membiarkanku sedih sendiri saat ingin ditemani, cinta yang membuatku tak berharga sebagai istri di mata teman-teman reuni, juga cinta yang tak mau mengorbankan tidur pagi demi senyum bahagia di wajah istri.  

“Dik... jawab, dong,” suara Kang Oded terdengar cemas karena aku terus diam. 

Dia tak tahu, meskipun mulutku sunyi, tapi hati dan otakku lebih gemuruh daripada kawah Gunung Lawu. Andai saja sebutir telur dipecahkan ke atas kepalaku, pasti telur itu sudah jadi telur ceplok dalam waktu satu menit.

“Dik, Akang nggak bisa kamu tinggalkan. Kamu itu hal terbaik dalam hidup Akang,” suara Kang Oded kembali lembut merayu.

Aku takjub! Aku heran, di mana Kang Oded memungut kata-kata pemikat itu? Apa dari lagu-lagu cinta picisan yang sering diputar di radio kuno yang menemaninya bekerja sepanjang hari? Atau dari tetangga pujangga yang rumahnya beberapa meter saja dari rumah kami?

Ah, tak penting! Rayuan itu terdengar seperti lagu usang yang sudah sumbang. Aku mulai jengah mendengar bujuk rayu Kang Oded. Aku lelah dan ingin tidur.

“Aku ngantuk, Kang,” aku berkata pendek. Semoga kali ini dia paham bahwa keputusan untuk meninggalkannya sudah bulat.

Tak ada jawabannya, hanya bunyi napas naik dan turun yang terdengar. Aku senang, akhirnya makhluk bebal ini punya rasa pengertian juga. Aku perbaiki posisi kepala untuk tidur, lalu guling aku peluk.

Aku sempat terkejut saat sehelai kain tipis menutupi tubuhku hingga ke pundak. Ternyata Kang Oded menyelimutiku tanpa suara. O-ho! Gagal merayu dengan kata-kata, ia ganti haluan merayu dengan tindakan. Sok perhatian. Terserah, deh. Aku mau tidur. 

***

Pagi harinya aku bangun agak terlambat, tapi badan terasa segar. Aku dapati tempat di sebelahku kosong, tak ada bekas kusut sebab bekas tidur pada kain sprei. Jadi Kang Oded tidak tidur di sebelahku tadi malam. Bagus, aku malah senang.

Aku menyeret kaki memasuki kamar mandi, lekas berwudhu dan mandi. Tak ada niat terbetik untuk mencari tahu keberadaan Kang Oded. Dia boleh berbuat semaunya, aku tak peduli dengan kegiatannya.

Sambil melipat mukena, otakku bekerja memikirkan rencana hari ini. Aku masukkan mukena berbahan parasut ke dalam tas ransel, juga beberapa baju ganti dan peralatan mandi. 

Hari ini aku akan menginap lagi di pabrik selama beberapa hari, seperti biasa yang aku lakukan selama beberapa bulan terakhir. Sejujurnya, aku lebih betah berada di pabrik daripada di rumah ini. Kamar mandi di sana saja lebih mewah daripada kamar tidur rumah kos ini. Maklum saja, RSSS (Rumah Sangat Sempit Sekali).

Aku kenakan pakaian yang pantas untuk bekerja, tidak elegan tapi cukuplah sebagai karyawan pabrik konveksi. Mudah-mudahan saja rencana perusahaan untuk mengadakan pakaian seragam buat pegawainya segera terlaksana, jadi aku tak perlu pusing memikirkan pakaian yang pantas dikenakan untuk bekerja setiap hari.

Aku sapukan bedak tipis ke wajah, selanjutnya lipstik aku poles tipis sekadar bibir tidak terlihat pucat. Aku siap, tas ransel kusandang di punggung. Langkah kaki aku tarik keluar kamar.

“Dik!” Cegat Kang Oded di ruang tamu sekaligus ruang kerjanya. 

Astaga! Mau copot jantungku mendengar suaranya. Tak aku sangka ia ada di dalam rumah, aku pikir dia pergi entah ke mana. Lantaran dari tadi tak aku dengar bunyi apapun selain gerakanku sendiri.

“Mau kerja? Makan dulu, Dik. Ini sudah Akang belikan nasi kuning.” Tangan Kang Oded mengulurkan sepiring nasi kuning yang masih mengepulkan uap panas. 

Harum santan berpadu bumbu serai dan daun salam menguar ke penjuru kamar yang kecil. Aku terperangkap dalam ruang penuh aroma. Cuping hidungku bergerak-gerak mengendus uap hangat yang menggugah selera. Memalukan sekali, tubuhku telah mengkhianati kehendakku. Seolah masih kurang memalukan, perutku ikut berbunyi kemruyuk minta diisi. Kalau sudah begini, aku tak bisa berbohong bahwa perutku belum lapar.

“Kasihan, kamu lapar. Ayo sarapan bersama,” Kang Oded memojokkan piring nasi kuning ke dekat tanganku. Otomatis tangan ini mengambil piring yang terulur.

Tanpa menunggu jawaban, Kang Oded menarik kursi di sebelahnya untuk aku duduki. Ia sendiri duduk di kursi yang lain, menghadapi meja potong kain yang sudah dirapikannya agar kami bisa makan berdua.

Rayuan untuk kembali rupanya masih berlanjut. Aku letakkan piring nasi kuning di meja, lalu duduk di kursi yang disediakan Kang Oded. Baru satu suapan masuk ke mulutku, suara Kang Oded sudah kembali meluncur ke telinga.

“Dik,” panggilnya mesra, atau aku pikir ia berusaha terdengar mesra. Apa lagi maunya kali ini.***

Bab terkait

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Tamu yang Datang

    “Dik,” panggil Kang Oded mesra. Matanya melirik ke arahku di sebelahnya.“Hmmm,” gumamku sambil terus mengunyah nasi. Apa boleh buat, aku terpaksa harus mendengar ocehannya lagi sepagi ini.“Mau tidak setiap pagi aku yang belikan sarapan? Lalu kita makan bersama seperti ini.” Kentara sekali rayuannya agar aku mau kembali dengannya.Bujukan Kang Oded terdengar sesejuk angin surga, indah, menggoda, dan melambungkan wanita. Sayangnya, aku sudah tak percaya lagi kepadanya. Bukan apa-apa, aku ragu ia mampu melaksanakan rayuannya sesuai janji. Jika memang menghargaiku sedari awal, mengapa tidak dari dulu saja ia semanis ini.“Mau kan, Dik?” Kang Oded melirikku

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Aku Diabaikan Saat Setia   Kemarahan Kang Oded

    “Ini Akang bawakan gorengan,” Kang Oded mengulurkan bungkusan hitam di tangannya.Oh, ternyata isi bungkusan itu gorengan. Tapi, tapi... Aku tak begitu suka gorengan yang asin. Gorengan memang camilan kesukaan Kang Oded, tapi bukan kesukaanku. Aku suka yang manis-manis seperti terang bulan. Satu bukti lagi betapa tak perhatiannya Kang Oded padaku. Masa menikah sepuluh tahun masih tak tahu makanan kesukaanku? Aku menepuk jidat.“Ada apa, Dik?” Kang Oded bingung melihat aku menepuk jidat.“Nggak, Kang. Aku kira ada nyamuk di dahiku,” kataku berbohong.“Terima kasih gorengannya. Ayo ke ruang tamu, Kang.” Aku berjalan mendahului Kang Oded menuju r

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ancaman Kang Oded

    “Kang, aku nggak ada kegiatan. Aku mau cari kerja,” pintaku sambil cemberut pada Kang Oded yang asyik menjahit.Biasanya, Kang Oded akan mengabulkan apapun keinginanku bila aku sudah merajuk. Kang Oded menghentikan tekanan kakinya pada pedal dinamo mesin jahit, lalu mengerutkan dahi.“Kamu mau kerja? Kerja apa modal ijazah SMP? Apa ada perusahaan yang mau terima?”Aku terdiam mendengar alasan Kang Oded, benar juga.“Sebelum kerja, kamu harus meningkatkan kemampuan. Kamu bisa komputer?” Kang Oded melirikku. Aku menggeleng lemah, pupus rasanya harapanku.“Aku punya teman yang bisa mengajari komputer. Kamu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Aku Diabaikan Saat Setia   Kalah Satu Langkah

    Gawat! Kang Oded mau bawa-bawa keluarga dalam masalah kami. Sejenak aku panik, teringat pada Bapak dan Ibu di rumah yang akan terkaget-kaget mendengar kabar ini. Pikiran burukku muncul, Kang Oded tidak sekadar akan menjadikan besar persoalan ini di antara keluargaku, tapi juga di keluarganya. Terbayang olehku sorot mata marah Ibu akibat tingkahku, juga cibiran dari keluarga besar Kang Oded. Siapkah aku menanggung malu dan disalahkan oleh dua keluarga? Hatiku kebat-kebit. Eh, tapi tunggu dulu. Tadi Kang Oded bilang akan melaporkan pada ayahku saja. Ia tak mengancam akan mengabari keluarganya juga. Pikiranku mulai berpikir jernih. Kang Oded hanya ingin mengancamku agar kembali padanya dengan bantuan dari keluargaku. Ia tak bermaksud mengabari keluarganya tentang masalah kami, setidaknya belum. Jangan-jangan ia hanya menggertak? Baik kalau begitu. Aku juga bisa balas menggertak. &

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Aku Diabaikan Saat Setia   Niat Baik Berbuah Luka

    Bunyi derit pintu membangunkan aku dari alam mimpi. Sebelah mata aku mengintip, mencoba mencari bayang dari pintu depan yang baru saja menutup. Samar-samar, aku lihat baju biru milik Tisni. Rupanya ia pergi diam-diam selagi aku tidur.Aku diam terpekur di atas pembaringan. Sisa kantuk tadi malam sudah lenyap, seiring dengan bunyi perut yang menjerit minta diisi. Akan tetapi, aku malas keluar mencari sarapan. Aku pilih melamun memikirkan pernikahan bersama Tisni yang berada di ujung tanduk.Aku memang salah langkah sejak awal. Tidak seharusnya aku biarkan Tisni lama berduaan dengan Rudi. Niat awalku hanya ingin agar istri cantikku itu bertambah pintar, aku tidak menyangka akan begini akhirnya.Aku mengenal Rudi ketika mendapat proyek menjahit seragam pegawai salah satu kantor pemerintah. Di kantor itu, Rudi merupakan pegawai administrasi keuangan yang bertugas untuk membayar upahku. Oleh karena

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Aku Diabaikan Saat Setia   Santet Pengasihan

    “Assalamu’alaikum...” Aku melempar salam di depan rumah Pak Madya.Kebetulan istri Pak Madya yang keluar, wanita paruh baya berwajah teduh dan berkerudung panjang.“Wa’alaikumussalam. Oh, Kang Oded. Cari Bapak? Masuk dulu, Kang,” kata istri Pak Madya ramah. Pintu rumah dibukanya lebar-lebar.“Duduk dulu, ya. Bapak sedang di kamar mandi,” istri Pak Madya mempersilakan aku untuk duduk di kursi tamu.Istri Pak Madya menghilang ke dalam lagi. Tak berapa lama, dia muncul dengan sebuah nampan berisi segelas kopi dan sepiring kecil pisang goreng.“Silakan dinikmati dulu. Mungkin Bapak agak lama, Kang.” Istri Pak Madya masuk ke dalam lagi.Aku duduk menunggu sambil menikmati hidangan. Aku melamun lagi. Sejak Tisni ketahuan berselingkuh, aku jadi sering melamunkan masa lalu.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Aku Diabaikan Saat Setia   Mencari Penengah

    “Santet? Kok Kang Oded bisa menyangka begitu?” Pak Madya mengerutkan dahi, sebelah tangannya menggaruk telinga kiri. Wajah Pak Madya terlihat kebingungan.“Karena sikapnya aneh, Pak. Istri yang dulu sangat cinta pada saya sekarang berbalik membenci. Bukankah santet pengasihan begitu, Pak? Membuat istri membenci suami atau sebaliknya, hingga akhirnya suami-istri berpisah,” kataku panjang lebar.Pak Madya mengangguk-angguk. Tapi ekspresi wajahnya tak bisa aku tebak, setuju atau tidak setuju dengan kecurigaanku barusan. Pak Madya menghela napas.“Kita jangan berprasangka buruk dulu, Kang. Mungkin ada masalah lain yang membuat istri menjadi berubah sikap,” Pak Madya memberi nasihat.Aku terdiam. Ya, masalahnya ada pada Rudi. Pasti Rudi yang membuat istriku berubah. Aku semakin yakin, Rudi yang sudah menyantet istriku. Kalau tidak, mana mungkin istri yang pendiam sepert

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Aku Diabaikan Saat Setia   Tetangga Saja Tahu

    “Apa Teh Lisa tahu?” Tanyaku penasaran. “Ya. Tisni jarang ada di rumah kan, Kang?” Teh Lisa mengerjapkan mata saat berbalik tanya. Melihat gelagatnya yang mencurigakan, aku jadi punya insting bahwa Teh Lisa tidak jujur. “Tolong, Teh. Beri tahu saya apa yang Teteh tahu,” ujarku memelas, memohon kejujurannya. Kupandangi sepasang mata Teh Lisa dengan sorot permohonan yang sungguh-sungguh, berharap Teh Lisa merasa iba dan mau berpihak kepadaku. Teh Lisa menundukkan kepala, lalu melirikku takut-takut. “Kang Oded jangan marah, ya?” Pintanya dengan wajah seperti tak enak. “Iya, Teh. Saya nggak akan marah,” ujarku meyakinkannya. Senyum aku bentangkan selebar mungkin, berharap sikapku akan membuatnya menjadi berani berkata yang sebenarnya. Teh Lisa menghela napas, lalu ikut duduk di kursi kosong

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ekstra Part 4: Resti dan Dewi

    Tisni membalik badan dan melangkah pergi, setelah sebelumnya berpamitan pada sahabatnya Dewi dan Resti di pintu gerbang mess. Dewi dan Resti sama-sama menatap tas ransel yang tergantung di punggung Tisni, menjauh bersama pemiliknya. Sosok Tisni lenyap di balik angkot yang membawanya pergi secepat kedatangannya yang mengebut.“Kasihan Tisni ya, Res,” desah Dewi pelan. Napasnya mengembus pelan namun berat.“Maksudmu?” sahut Resti. Bola hitam mata Resti bergulir ke sudut, melirik Dewi di sampingnya.“Ya, Tisni hanya dikadalin Mas Rudi,” jelas Dewi. Sekarang Dewi menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah prihatin.“Hm, sebetulnya aku sudah menduga sejak lama lho, Dew,” balas Resti. Kepalanya ditelengkan miring, hingga wajahnya lurus ke arah wajah Dewi.“Oya? Kok bisa, Res? Kamu punya firasat begitu?” kejar Dewi. Dewi bal

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ekstra Part 3: Kang Oded Mengejar Cinta

    Pasrah. Itulah sikap yang kupilih. Biar saja semua orang membicarakanku sekehendak hati. Lebih baik aku fokus pada pekerjaan. Meskipun dalam hati kecil, terbersit rasa penasaran. Siapa dalang penyebar fitnah ini?Suatu hari, aku ungkapkan ganjalan hati tentang hal ini pada Boy dan Beni. Mereka berdua sudah aku percaya, karena terbukti berulang kali tak pernah mencampuri urusan orang lain jika tak diminta.“Kalau menurutku, penyebar fitnah itu ya Santi sendiri,” ujar Beni sambil merokok.Usai satu kalimat, ia mengisap benda haram itu dengan nikmat. Asap keluar dari dua lubang hidungnya membentuk dua jalur asap.“Menurutku juga begitu. Santi sakit hati, makanya mengarang kisah untuk menyudutkanmu, Kang,” timpal Beni.Beni seorang perokok berat, levelnya melebihi Boy. Sekarang saja ia mengeluarkan bungkus rokok kedua, lalu sebatang rokok berpindah

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ekstra Part 2: Kang Oded Mencari Pengganti

    Tiada hari tanpa penyesalan. Menyesal kurang memerhatikan Tisni, menyesal kurang menunjukkan rasa cintaku padanya, menyesal menganggap keluhannya sebagai angin lalu, menyesal dan menyesali banyak hal. Ribuan penyesalan silih berganti menghinggapi benak, hingga aku tenggelam dalam lautan keputusasaan.“Sudah, Ded. Jangan terlalu dipikirkan. Semua yang telah berlalu, anggaplah masa lalu kelabu. Pikirkan langkah baru,” nasihat Paman Andi kepadaku, sok bergaya menjadi pujangga.Tak aku jawab perhatian kakak ayahku itu. Hanya sorot mata pilu yang kuberikan sebagai tanggapan. Meskipun mulutku terkunci, sejatinya hatiku ingin menampik.“Mudah bagi Paman bicara itu, karena bukan Paman yang patah hati,” bisik hati kecilku.Lepasnya Tisni sebagai istri merupakan kehilangan besar yang berdampak hebat bagi jiwa dan ragaku. Baru dua minggu surat cerai dari Pengadilan Agama kuterima, berat

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ekstra Part 1: Isi Hati Mas Rudi

    Cantik. Itu yang kulihat ketika pertama kali mengenal Tisni. Wajahnya lugu khas gadis kampung, namun ia tak terlihat kampungan. Kulitnya putih bersih dan halus, matanya tidak liar jelalatan, bahkan ia lebih sering menunduk jika berbicara dengan lelaki atau orang yang lebih tua.Kang Oded sendiri teman yang cukup menyenangkan. Sejak kantorku menyewa jasanya untuk membuat seragam kantor, kami mulai dekat. Awalnya aku ke rumahnya untuk urusan proyek baju seragam, lalu kunjunganku berlanjut untuk sekedar mengobrol santai.Keberadaan Tisni yang cantik menjadi daya tarik tersendiri bagiku untuk terus berkunjung ke rumah Kang Oded. Dengan bertandang ke rumahnya, aku berharap dapat menikmati wajah cantik Tisni.Saat Kang Oded meminta bantuanku untuk mengajari Tisni komputer, aku langsung menyanggupi. Ini kesempatan untuk berdekat-dekatan dengan Tisni. Siapa yang tak suka berdekatan dengan perempuan cantik yang harumnya melambung

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Syarat

    Keesokan harinya, sebuah paket besar datang ke rumah. Saat itu, kami sekeluarga sedang makan siang bersama.“Paket!” seru Abang pengantar paket dari ekspedisi.Aku menghambur ke pintu depan, lantaran tahu Ibu sudah cukup tua untuk berlari menyambut paket.“Ya?” Sapaku pada Abang paket.“Paket buat Ibu Tisni?” tanyanya, sementara mata Abang paket terpaku pada label di atas paket besar yang ditopang oleh kedua tangannya.“Saya sendiri,” jawabku antusias.“Silakan,” ujar Abang paket seraya menyerahkan paket besar seukuran kardus minuman mineral ke arahku.Aku menyambut paket terbungkus kertas tebal cokelat itu, sedangkan Abang paket mencatat sesuatu dalam notesnya.“Terima kasih,” ujarku otomatis.Aku berjalan masuk kembali sambi

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Nenek Minum Jamu

    Haruskah aku menerima Kang Oded kembali, setelah semua kekecewaan yang ia berikan? Rasanya tak mungkin aku menjilat ludah sendiri. Egoku mengajak untuk menolak tawaran Kang Oded.Tetapi ... Bukankah aku juga gegabah? Aku balas semua kelakuannya dengan pengkhianatan, sebelum kami resmi berpisah. Kalau dipikir-pikir lagi, aku pun sama bersalahnya dengan Kang Oded.Aku bingung.“Aku pikirkan dulu, Kang,” kataku akhirnya.Kang Oded mengangguk pelan. Tak kulihat kemarahan ataupun kekecewaan dari raut wajahnya. Mungkin reaksiku sudah diperkirakan olehnya.“Akang tunggu, Dik,” balasnya, tatapannya penuh ke arah mataku.“Oya, Akang mau berpantun dulu. Boleh?” tambahnya, tak terduga.“Boleh, Kang,” jawabku sambil mengangguk.“Ke Cikini membeli dukuhWayah gini masih

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Masih Ada Cinta

    “Tisni? Tumben pulang di hari kerja begini,” sapa Ibu dengan nada suara terkejut.Tiba-tiba saja sosok Ibu muncul dari belakang dia. Tergopoh-gopoh Ibu mendekatiku dengan raut wajah yang sulit dilukiskan. Sorot mata Ibu heran menatapku, tapi bibir beliau tersenyum semringah.“Ayo lekas masuk, kok malah bengong di depan rumah,” seloroh Ibu.Senyum Ibu semakin lebar saat menggandeng tanganku dan menuntun untuk memasuki rumah. Aku tersadar dari rasa terpana yang menghipnotis, lalu dengan pasrah mengikuti langkah Ibu yang mendahului gerakan kakiku.“Kebetulan sekali kamu datang, Tis. Kamu jadi bisa bertemu Oded,” celetuk Ibu.Gandengan tangan Ibu semakin erat, sementara tatapan Ibu beralih-alih antara aku dan Kang Oded di hadapan. Aku mematung, bingung harus bereaksi yang patut. Sementara itu, Kang Oded juga tampak gugup dan grogi berhadapan dengan

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Bagai Tebu dan Botol

    Saat sadar, aku sudah berada di atas kasur di mess. Bagaimana caranya aku sampai di sini? Apakah aku bermimpi?Aku terbatuk, ada sesuatu yang gatal di kerongkongan.“Kamu sudah sadar, Tis? Duh, Tisni. Aku cemas banget,” suara Dewi mengalun.Ternyata Dewi sudah ada di sebelahku, dengan Resti di belakangnya. Aku betul-betul merasa kebingungan saat ini.“Apa yang terjadi?” Tanyaku lemah.“Kamu pingsan. Mas Rudi memanggilkan taksi dari aplikasi untuk kita tumpangi,” jawab Dewi.Ah, sekarang ingatanku kembali. Kejadian di kantor Mas Rudi kembali berputar dalam memori. Kilasan peristiwa menyakitkan yang ingin aku lenyapkan selamanya. Peristiwa terburuk dalam hidupku hingga saat ini.Tiba-tiba tanganku sudah ada dalam genggaman Dewi. Hangat telapak tangannya di tanganku terasa sangat nyaman, memberi ketenangan

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Jelaskan Padaku

    “Mas Rudi keterlaluan!” jeritku sambil menangis.Air mata berjatuhan, membasahi pipi dan baju yang aku kenakan. Tanpa sadar, tanganku meremas-remas kuat ujung baju hingga kusut.Dewi memelukku erat, bahkan matanya ikut berkaca-kaca dan basah. Ia memang sahabat sejati, dalam senang dan susah. Bahkan di saat aku berbuat buruk, tak sedikit pun ia mengutuk.Resti terdiam di tempat duduk, sedangkan kepalanya tertunduk. Jemari lentik memungut kartu undangan yang tergeletak di lantai, lalu meluruskan permukaan yang terlipat.“Sabar, Tis. Sabar...” ujar Dewi lirih sekali.Dalam suaranya, aku merasakan sikap prihatin dan simpati yang besar. Pelukannya tak mengendor, meskipun bahuku terguncang-guncang karena tangisan.“Aku harus minta penjelasan dari Mas Rudi!” Aku memekik, memuntahkan rasa sesak yang bergumpal dalam dada.&nb

DMCA.com Protection Status